Tag Archives: pangeran mahinda

Riwayat Hidup Raja Asoka (3)

RAJA ASOKA MENGENAL AGAMA BUDDHA

Menjadi Pengikut Agama Buddha

Raja Bindusara semasa hidupnya merupakan pengikut ajaran para brahmana. Setiap hari ia memberikan dana kepada enam puluh ribu brahmana. Pada mulanya Raja Asoka juga mengikuti kebiasaan ayahnya ini selama tiga tahun masa pemerintahannya.

Namun ketika melihat pengendalian diri yang buruk dari para brahmana tersebut saat pembagian dana makanan, Raja Asoka memerintahkan para menterinya untuk memanggil para pertapa dari ajaran-ajaran lain yang ada saat itu. Para pun menteri memanggil para pertapa Ajivaka, Nigantha (Jain), dan Paribbajaka (Parivrajaka). Raja menguji tingkah laku mereka, memberi mereka dana makanan, dan mempersilahkan mereka meninggalkan istana setelah ia mengadakan perjamuan makan dengan mereka.

Suatu hari ketika sedang berdiri di dekat jendela, ia melihat seorang pertapa muda berjubah kuning yang tenang penampilannya melewati jalan. Pertapa tersebut tak lain adalah Samanera Nigrodha, putra Pangeran Sumana. Tidak mengetahui jati diri samanera tersebut yang sebenarnya, Raja Asoka seketika itu merasa tertarik pada sang pertapa dan menyukainya.

Saat Pangeran Sumana terbunuh, istrinya yang juga bernama Sumana sedang mengandung. Ia menyelamatkan diri melewati gerbang timur ke sebuah desa candala dan di sana seorang dewa penunggu pohon nigrodha membuatkan sebuah gubuk untuknya. Pada waktunya ia melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan dan diberi nama Nigrodha untuk menghargai perlindungan dari dewa pohon tersebut. Kemudian kepala desa candala yang merasa kasihan atas nasib sang ibu merawat keduanya sebagaimana istri dan anaknya sendiri selama tujuh tahun. Suatu hari seorang bhikkhu bernama Mahavaruna melihat bahwa Nigrodha dapat mencapai tingkat kesucian Arahat pada kehidupan sekarang. Sang bhikkhu lalu menahbiskan Nigrodha yang berusia tujuh tahun tersebut sebagai samanera setelah mendapatkan izin dari ibunya. Dalam ruangan di mana para bhikkhu mencukur rambutnya, Samanera Nigrodha langsung mencapai tingkat Arahat.

Saat itu sang samanera sedang dalam perjalanan untuk mengunjungi ibunya. Ia memasuki kota dari gerbang selatan dan ketika melalui jalan yang menuju desanya, ia melewati istana raja. Raja tertarik pada sang samanera karena pembawaannya yang tenang saat berjalan dan berdiri, tetapi perasaan menyukai timbul karena pada kehidupan lampau mereka pernah berhubungan sebagai saudara.

Raja memanggil sang samanera ke hadapannya; sang samanera berjalan dengan tenang ke hadapan raja. Raja mempersilahkan samanera itu untuk duduk pada singgasana kerajaan. Ketika sang samanera melangkah menuju singgasana, raja berpikir, “Hari ini samanera ini akan menjadi tuan di rumahku.” Bersandar pada tangan raja, Samanera Nigrodha menaiki singgasana dan mengambil tempat duduk pada singgasana di bawah payung putih.

Setelah memberikan makanan keras maupun lembut, Raja Asoka menanyakan sang samanera tentang ajaran Sang Buddha. Maka sang samanera membabarkan Appamadavagga kepada raja. Raja sangat bergembira atas pembabaran Dhamma ini dan berkata, “Yang Mulia, saya mendanakan kepada anda delapan jenis persediaan makanan.”

Samanera Nigrodha menjawab, “Ini akan saya berikan kepada guru saya.”

Ketika delapan jenis persediaan makanan lagi didanakan kepadanya, ia memberikannya kepada gurunya; ketika delapan lagi didanakan, ia memberikannya kepada Sangha; akhirnya, ketika delapan lagi didanakan kepadanya, ia menerimanya untuk dirinya sendiri.

Pada hari berikutnya ia datang bersama dengan tiga puluh dua orang bhikkhu. Setelah dilayani oleh raja dengan tangannya sendiri dan membabarkan Dhamma kepada raja, ia memperkuat keyakinan raja dengan memberikan Tisarana dan pelatihan Pancasila.

Setiap hari Raja Asoka mendanakan lima ratus ribu dari kekayaannya dengan rincian sebagai berikut: seratus ribu didanakan untuk Samanera Nigrodha untuk digunakan sesukanya, seratus ribu untuk persembahan wewangian dan bunga pada stupa-stupa Sang Buddha, seratus ribu untuk pembabaran Dhamma, seratus ribu untuk empat kebutuhan para anggota Sangha, dan sisanya untuk pengobatan orang sakit. Sebagai tambahan, raja juga mendanakan sejumlah jubah yang ditempatkan di atas punggung gajah dan dihiasi dengan rangkaian bunga tiga kali sehari kepada Samanera Nigrodha. Sang samanera memberikan jubah-jubah ini kepada para bhikkhu lainnya.

Perbuatan Lampau Raja Asoka

Jauh sebelum kemunculan Buddha Gotama hiduplah tiga orang bersaudara yang merupakan pedagang madu; salah seorang menjual madu, sedangkan yang lainnya mengambil madu. Seorang Pacceka Buddha tertentu menderita luka dan seorang Pacceka Buddha lainnya datang ke kota guna mencarikan madu untuk menyembuhkan luka temannya tersebut. Ia melalui jalan yang biasa ia lalui saat berpindapatta.

Seorang gadis sedang berjalan mengambil air ke tepi sungai. Ketika ia mengetahui tujuan sang Pacceka Buddha, gadis itu menunjuk ke arah tertentu dengan mengulurkan tangannya dan berkata, “Di sebelah sana ada toko madu, Yang Mulia. Pergilah ke sana.”

Sang pedagang madu dengan hati yang yakin mendanakan semangkuk penuh madu kepada Pacceka Buddha yang datang meminta madu. Ketika melihat madu yang mengisi mangkuk dan mengalir keluar dari tepi kemudian tumpah ke tanah, ia berharap, “Semoga saya, karena dana ini, memperoleh kekuasaan tertinggi yang tidak terbagi atas Jambudipa dan semoga titahku menjangkau satu yojana ke atas angkasa dan satu yojana ke bawah bumi.”

Kepada saudara-saudaranya ketika mereka datang, ia berkata, “Kepada orang tersebut telah kuberikan madu; setujuilah dana ini karena madu itu juga milik kalian.”

Sang kakak tertua berkata dengan tidak rela, “Ia pasti seorang candala karena candala biasanya memakai pakaian kuning.” Orang kedua berkata, “Menjauhlah dengan Pacceka Buddha-mu ke seberang lautan.” Tetapi ketika mereka mendengar janji saudara mereka untuk berbagi manfaat dari dana tersebut, mereka pun menyetujuinya.

Kemudian sang gadis yang menunjukkan toko madu tersebut berharap ia dapat menjadi istri sang pedagang dan memiliki tubuh yang menarik dengan bentuk anggota tubuh yang sempurna.

Pedagang madu yang memberikan madu tak lain adalah Raja Asoka yang menguasai seluruh India (Jambudipa); gadis yang menunjukkan toko madu adalah Ratu Asandhimitta, permaisuri utama Raja Asoka. Orang mengucapkan kata “candala” adalah Nigrodha yang tinggal di desa candala, tetapi karena mengharapkan pembebasan, ia dapat menjadi Arahat bahkan saat masih berusia tujuh tahun. Orang terakhir yang menginginkan sang pedagang menjauh ke seberang lautan adalah Denampiya Tissa, raja Sri Lanka yang bersahabat dengan Raja Asoka.

Setelah sang pedagang madu meninggal dunia, ia terlahir kembali di alam surga. Setelah beberapa lama di surga, ia terlahir kembali di alam manusia sebagai seorang anak bernama Jaya di kota Rajagaha pada masa Buddha Gotama.

Pada saat itu Sang Buddha sedang berdiam di Kalandakanivapa di Veluvana dekat Rajagaha. Suatu pagi Beliau memakai jubah-Nya, membawa mangkuk-Nya, dan disertai oleh para bhikkhu berjalan menuju Rajagaha untuk berpindapatta. Setelah memasuki gerbang kota, Sang Buddha melewati jalan utama dan melihat dua orang anak laki-laki sedang bermain membangun rumah-rumahan dari tanah lumpur. Salah seorang anak yang berasal dari keluarga yang makmur bernama Jaya dan yang lain dari keluarga yang kurang mampu bernama Vijaya.

Kedua anak ini melihat Sang Buddha dan sangat terkesan dengan penampilan-Nya yang mulia dan gemilang, tubuh-Nya yang dihiasi dengan tiga puluh dua ciri manusia agung. Jaya berpikir, “Aku akan memberikan Ia makanan dari tanah” dan memasukkan segenggam tanah ke dalam mangkuk Sang Buddha. Vijaya beranjali dengan melipat kedua tangannya.

Setelah memberikan persembahan ini, Jaya membuat tekad: “Dengan kebajikan dari pemberian ini, semoga aku menjadi seorang raja dan setelah menempatkan Jambudipa dalam satu payung kekuasaan, aku akan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha.”

Sang Buddha, yang memahami sifat pembawaan Jaya dan tekadnya serta mengetahui ketulusan hatinya, menerima pemberian segenggam tanah tersebut dan tersenyum. Senyum Sang Buddha kemudian diikuti oleh cahaya biru, kuning, merah, putih, jingga, kristal, dan perak yang mengelilingi-Nya tiga kali dan memasuki telapak tangan kiri-Nya.

Ananda yang melihat pemandangan ini berkata, “Tidak pernah para Tathagata tersenyum tanpa alasan. Hilangkanlah keraguan kami, O Yang teragung di antara manusia yang ucapan-Nya bagaikan halilintar, dan ungkapkanlah apakah yang akan menjadi buah dari pemberian tanah ini.”

Sang Buddha menjawab, “Dua ratus delapan belas tahun setelah kematian-Ku akan muncul seorang raja bernama Asoka di Pataliputta. Ia akan menguasai salah satu dari empat benua dan menghiasi Jambudipa dengan relik-relik tubuh-Ku dengan membangun delapan puluh empat ribu stupa untuk kemakmuran orang banyak. Ia akan membuat stupa-stupa ini dihormati oleh para dewa dan manusia. Nama besarnya akan tersebar luas. Persembahan berjasanya hanyalah segenggam tanah yang dimasukkan Jaya ke dalam mangkuk Sang Tathagata.”

Jaya kemudian terlahir kembali sebagai Raja Asoka, sedangkan Vijaya terlahir kembali sebagai Perdana Menteri Radhagupta.

Pengeran Tissa Melepaskan Keduniawian

Suatu hari ketika sedang berburu Pangeran Tissa, adik kandung Raja Asoka, melihat sekelompok rusa bermain dengan gembira di alam liar; ia berpikir, “Bahkan para rusa yang hanya makan rumput di alam liar bermain demikian gembiranya. Mengapa para bhikkhu yang makan makanan yang enak dan tinggal di tempat yang nyaman tidak bahagia dan gembira?”

Sekembalinya ke istana, sang pangeran mengutarakan pemikirannya kepada raja. Untuk memberinya pelajaran, raja menyerahkan pemerintahan kerajaan ke tangan pangeran selama satu minggu dengan berkata, “Bergembiralah, Pangeran, karena selama satu minggu aku akan menyerahkan kerajaan ini ke tanganmu, kemudian aku akan menghukum mati kamu.”

Ketika satu minggu telah berlalu, raja bertanya, “Mengapa kamu tidak kelihatan gembira, O Pangeran?”

Pangeran menjawab, “Karena rasa takut akan kematian.”

“Dengan berpikir bahwa kamu pasti akan meninggal setelah satu minggu berlalu, kamu tidak lagi bergembira dan bahagia; lalu bagaimana para pertapa yang selalu merenungkan tentang kematian dapat bergembira dan bahagia?” Demikianlah akhirnya Pangeran Tissa menjadi berkeyakinan dalam ajaran Buddha.

Pada hari lain ketika pergi berburu, Pangeran Tissa melihat Bhikkhu Mahadhammarakkhita sedang duduk di bawah pohon dan dikipasi oleh seekor ular kobra dengan sebatang cabang pohon sala. Sang pangeran berpikir, “Kapan aku bisa seperti bhikkhu ini, ditahbiskan dan hidup dalam hutan belantara?”

Kemudian sang thera datang mendekat dengan terbang melalui udara, berdiri di atas air kolam, melepaskan jubahnya ke belakang di udara, menceburkan diri ke dalam air dan membersihkan anggota tubuhnya. Ketika melihat kejadian ini, pangeran dipenuhi dengan keyakinan yang menggembirakan dan bertekad: “Pada hari ini juga aku akan menerima penahbisan.” Ia pergi menemui raja dan dengan hormat memohon kepada raja agar diizinkan menjadi anggota Sangha.

Karena raja tidak dapat mengubah ketetapan hati adiknya, ia membawa pangeran ke vihara dan di sana pangeran menerima penahbisan dari Bhikkhu Mahadhammarakkhita bersama dengan sejumlah besar orang lainnya. Seorang keponakan Raja Asoka bernama Aggibrahma yang menjadi suami dari Putri Sanghamitta dan ayah dari Sumana juga ditahbiskan bersama dengan Pangeran Tissa.


Pembangunan Delapan Puluh Empat Ribu Vihara

Jumlah bhikkhu yang datang untuk menerima dana di istana Raja Asoka terus bertambah setiap harinya hingga akhirnya mencapai enam puluh ribu bhikkhu. Setelah memerintahkan makanan mewah baik yang keras ataupun lembut untuk dipersiapkan dengan cepat guna memberi makan enam puluh ribu bhikkhu, raja pergi menemui Sangha dan mengundang mereka ke istana. Setelah melayani mereka dengan ramah dan memberikan barang-barang kebutuhan para pertapa, raja bertanya, “Berapa banyak Dhamma yang diajarkan oleh Sang Guru?”

Bhikkhu Tissa Moggaliputta yang berada di antara para bhikkhu menjawab, “Terdapat delapan puluh empat ribu bagian dalam Dhamma.”

“Setiap bagian Dhamma ini akan saya hormati dengan sebuah vihara,” seru raja.

Dengan mendanakan sembilan puluh enam koti uang di delapan puluh empat ribu kota, Raja Asoka memerintahkan semua raja di India untuk mulai membangun vihara dan ia sendiri membangun vihara yang dinamakan Asokarama (dikenal juga dengan nama Kukkutarama).

Semua vihara yang indah ini seharusnya diselesaikan dalam tiga tahun, tetapi dengan kekuatan batin dari Bhikkhu Indagutta yang mengawasi pekerjaan ini, pembangunan vihara-vihara ini dengan cepat dapat diselesaikan. Pada setiap sisi dari delapan puluh empat ribu kota datang surat dalam satu hari dengan kabar bahwa vihara telah selesai dibangun. Raja juga mendirikan cetiya pada tempat-tempat yang pernah dikunjungi Sang Buddha.

Ketika menerima kabar gembira tersebut, Raja Asoka memerintahkan setiap kota untuk mengadakan perayaan keagamaan yang besar pada hari ketujuh sejak hari itu di setiap vihara di mana dana besar-besaran akan diberikan kepada Sangha. Pada hari tersebut juga diwajibkan untuk menjalankan uposatha sila dan mendengarkan kotbah Dhamma. Semua penduduk di setiap kota pun mengadakan perayaan yang berlangsung sangat meriah tersebut.

Pada hari perayaan berlangsung raja memakai semua perhiasannya dan pergi menuju Asokarama bersama-sama dengan semua wanita di istananya dan para menteri dengan dikelilingi oleh para prajuritnya. Kemudian raja memberikan penghormatan kepada Sangha. Saat itu terdapat delapan koti bhikkhu dan di antara mereka terdapat seratus ribu pertapa yang telah mengatasi kekotoran batin (asava). Terdapat juga sembilan juta bhikkhuni dan seribu di antaranya telah mengatasi kekotoran batin. Karena perbuatan baik ini, raja kemudian dikenal sebagai Dhammasoka (Asoka yang baik) sebagai ganti dari nama Candasoka sewaktu ia baru menjadi raja.

Pangeran Mahinda dan Putri Sanghamitta Memasuki Sangha

Raja sangat gembira saat melihat perayaan besar ini dan bertanya kepada para bhikkhu, “Yang Mulia, kedermawanan siapakah dalam ajaran Yang Dirahmati yang pernah sebesar kedermawanan saya?”

Bhikkhu Tissa Moggaliputta menjawab, “Bahkan pada masa kehidupan Yang Dirahmati tidak ada pemberi yang dermawan seperti anda.”

“Jika demikian, apakah ada pewaris agama (sasanadayada) Buddha yang seperti saya?”

Sang bhikkhu melihat bahwa putra raja yang bernama Pangeran Mahinda dan putrinya bernama Putri Sanghamitta dapat menjadi Arahat dan memelihara ajaran Sang Buddha sehingga ia berkata, “Bahkan pemberi dana besar-besaran seperti anda bukan pewaris agama, O penguasa di antara manusia, namun hanya disebut pemberi dalam hal materi. Tetapi ia yang melepaskan putra atau putrinya untuk memasuki Sangha merupakan seorang pewaris agama dan melebihi seorang pemberi dana.”

Karena raja sangat ingin menjadi seorang pewaris agama, ia bertanya kepada Pangeran Mahinda dan Putri Sanghamitta yang berdiri di dekatnya: “Apakah kalian ingin menerima penahbisan, Anak-anak yang kusayangi? Penahbisan merupakan hal yang baik.”

Mereka menjawab, “Pada hari ini juga kami akan sangat senang untuk memasuki Sangha jika ayahanda menginginkannya. Bagi kami, bahkan bagi ayahanda, penahbisan kami akan mendatangkan suatu berkah.”

Sejak Pangeran Tissa, adik Raja Asoka, melepaskan keduniawian dan menjadi bhikkhu, Pangeran Mahinda juga bertekad untuk menjadi bhikkhu, sedangkan Putri Sanghamitta bertekad menjadi bhikkhuni sejak suaminya, Aggibrahma, menjadi bhikkhu bersama dengan Pangeran Tissa. Walaupun raja menginginkan Pangeran Mahinda menjadi penerus tahta, namun sang pangeran berpikir bahwa kemuliaan menjadi bhikkhu akan jauh lebih besar daripada menjadi raja. Maka Raja Asoka mengizinkan Pangeran Mahinda dan Putri Sanghamitta memasuki kehidupan tanpa rumah. Saat ditahbiskan Pangeran Mahinda berusia dua puluh tahun dan Putri Sanghamitta berusia delapan belas tahun. Keduanya pun mencapai kesucian Arahat.

Pembagian Relik Sang Buddha ke Seluruh India

Menurut Mahaparinibbana Sutta, setelah Sang Buddha wafat dan tubuh-Nya dikremasi, sisa-sisa peninggalan tubuh atau relik Beliau dibagikan secara adil oleh Brahmana Dona menjadi delapan bagian kepada delapan pihak yang memperebutkannya (Kedelapan pihak tersebut adalah Raja Ajatasattu dari Magadha, suku Licchavi dari Vesali, suku Sakya dari Kapilavatthu, suku Buli dari Allakappa, suku Koliya dari Ramagama, seorang brahmana dari Vethadipa, suku Malla dari Pava, dan suku Malla dari Kusinara).

Masing-masing kemudian membangun sebuah stupa untuk menyimpan relik tersebut. Salah satu relik ini yang berada di Ramagama tenggelam ke dalam sungai Gangga karena terkena banjir dan kemudian dijaga oleh raja naga di sana. Setelah membangun delapan puluh empat ribu vihara, Raja Asoka bermaksud untuk membagikan relik tubuh Sang Buddha ke seluruh vihara yang telah dibangun tersebut. Raja berkata kepada Sangha, “Yang Mulia, saya akan membagikan relik-relik Sang Bhagava ke seluruh Jambudipa dan membangun delapan puluh empat ribu stupa. Di manakah relik-relik tersebut dapat ditemukan?”

Para bhikkhu menjawab bahwa relik Sang Buddha telah dibagikan menjadi delapan bagian dan disimpan dalam delapan stupa yang berada di delapan tempat yang berbeda. Raja pun pergi menuju lokasi kedelapan stupa tersebut satu per satu. Pertama kali ia menuju ke Rajagaha di mana terdapat stupa yang dibangun Raja Ajatasattu, membuka stupa tersebut, mengambil relik di dalamnya, mengembalikan sebagian relik tersebut, dan membangun stupa baru di sana. Ia melakukan hal yang sama pada keenam stupa lainnya, tetapi ia tidak dapat menemukan stupa terakhir yang berada di Ramagama.

Mengetahui bahwa relik di Ramagama telah tenggelam ke dalam sungai Gangga dan dijaga oleh raja naga, Raja Asoka menemui raja naga di istananya di bawah air. Raja naga menyambut kedatangan Asoka dengan hormat dan menunjukkan stupa tersebut. Raja naga mengatakan bahwa ia dan para naga ingin menghormati relik yang sekarang mereka miliki dan karenanya menolak untuk membagikan relik tersebut kepada sang raja. Asoka, yang menyadari bahwa ia tidak dapat menandingi para naga dalam hal ketaatan dan persembahan kepada relik tersebut, menyetujui hal ini dan pulang dengan tangan kosong.

Kemudian Raja Asoka memerintahkan untuk membuat delapan puluh empat ribu kotak dari emas, perak, permata, dan kristal sebagai tempat penyimpanan relik-relik yang telah ia peroleh. Ia juga menyediakan pasu (urn) dan lempengan prasasti dalam jumlah yang sama. Semuanya ia serahkan kepada para yakkha untuk ditempatkan dalam stupa yang ia bangun di masing-masing vihara di seluruh India.

Perbuatan Berjasa Raja Asoka Lainnya

Suatu hari para peramal kerajaan melihat bahwa tubuh Raja Asoka memiliki tanda-tanda tertentu yang tidak baik dan membawa kesialan. Untuk menghilangkan tanda-tanda tubuh ini, raja disarankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Kemudian raja bertanya kepada Bhikkhu Yasa, kepala vihara Kukkutarama di Pataliputta, “Yang Mulia, walaupun saya telah membangun delapan puluh ribu vihara dan menyebarkan relik-relik Sang Buddha ke seluruh India, mengapa saya masih memiliki tanda-tanda tubuh yang tidak baik ini?”

Sang bhikkhu menjawab, “Ini disebabkan karena Baginda Raja hanya melakukan perbuatan baik untuk diri sendiri, yang bernilai sangat kecil jika dibandingkan mendorong orang lain untuk berbuat baik.”

Oleh karena itu, Raja Asoka menyamarkan dirinya sebagai orang miskin yang berkeliling dari pintu ke pintu untuk meminta sedekah. Suatu hari ia mendatangi sebuah gubuk reyot milik seorang janda miskin yang tidak memiliki apa pun untuk diberikan. Namun melihat kesempatan untuk melakukan perbuatan baik, sang janda tidak menyia-nyiakannya. Satu-satunya yang janda miskin itu miliki hanyalah sehelai pakaian yang ia kenakan. Dengan bersembunyi di balik dinding gubuknya yang terbuat dari anyaman bambu, janda tersebut memberikan pakaiannya kepada raja yang sedang menyamar. Raja yang sangat tergerak hatinya atas pengorbanan sang janda memberikan sebuah kalung berharga dan beberapa desa kepada wanita itu.

Pada rumah lainnya ia bertemu dengan pasangan suami istri yang sudah lanjut usia dan miskin. Mereka tidak memiliki apa pun untuk diberikan, tetapi mereka menyuruh raja untuk menunggu seraya mereka pergi ke seorang tetangga yang kaya untuk meminjam tujuh potong emas dengan janji akan menjadi budak orang kaya tersebut jika dalam seminggu tidak dapat mengembalikan pinjaman. Emas ini diberikan kepada raja yang sedang menyamar sebagai sedekah. Sebagai balasannya, raja memberikan pasangan suami istri itu pakaian mewah, perhiasan, dan sejumlah desa.

Dengan cara ini Raja Asoka berkeliling mendorong orang-orang untuk melakukan jasa kebajikan. Tanda-tanda yang tidak menguntungkan pada tubuh raja akhirnya berangsur-angsur menghilang.

–berlanjut–

Sumber:

Riwayat Hidup Raja Asoka

Ariyakumara

Tagged , , , , ,