Monthly Archives: December 2021

MAHĀ SUTASOMA JĀTAKA

“Tuan dari rasa,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang Thera, Aṅgulimāla (Angulimala). Kisah kelahirannya dan bagaimana ia bisa menerima penahbisan menjadi seorang bhikkhu dapat dilihat pada Aṅgulimāla Sutta. Mulai dari saat dengan menggunakan pernyataan kebenaran ia menyelamatkan nyawa seorang wanita yang mengalami kesulitan dalam proses kelahiran, ia mendapatkan makanan derma dengan mudahnya, dan dengan terus-menerus mengembangkan pelepasan (viveka) ia pun mencapai tingkat kesucian Arahat, dan kemudian dikenal sebagai salah satu dari delapan puluh Mahathera. Kala itu, para bhikkhu memulai pembicaraan mengenai ini di dalam balai kebenaran, dengan berkata, “Āvuso, betapa suatu keajaiban luar biasa yang disebabkan oleh Yang Terberkahi, dengan damai tanpa menggunakan kekerasan apa pun, Beliau mengubah dan membuat seorang penyamun besar yang keji dan berlumuran darah, Angulimala, menjadi rendah hati: Oh, sungguh, para Buddha melakukan hal-hal yang luar biasa!” Sang Guru yang sedang duduk di dalam gandhakuṭi, dengan kekuatan telinga dewa-Nya, mendengar apa yang mereka katakan. Mengetahui bahwa kedatangan-Nya pada hari itu akan menjadi sangat membantu dan akan adanya pemaparan khotbah besar, dengan keanggunan seorang Buddha, Beliau pergi ke balai kebenaran dan setelah duduk di tempat yang telah disediakan, menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk berkumpul di sana; ketika mereka memberitahukan topik pembicaraannya, Beliau berkata, “Tidaklah luar biasa, para bhikkhu, di saat sekarang saya mengubahnya, ketika telah kucapai penerangan tertinggi. Di masa lampau ketika hidup dengan pengetahuan yang terbatas, juga kuubah dirinya menjadi yang baik,” dan setelah mengucapkan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala seorang raja yang bernama Koravya

memerintah Kota Indapatta dengan benar, di dalam Kerajaan

Kuru. Bodhisatta terlahir sebagai anak dari permaisurinya, dan

dikarenakan kegemarannya akan jus buah soma, mereka

memberinya nama Sutasoma. Ketika beranjak dewasa, ayahnya

mengirim ia ke Takkasila untuk mendapatkan pendidikan dari

seorang guru yang terkemuka. Maka setelah mengambil uang

untuk membayar gurunya, ia pun berangkat pergi. Di Kerajaan

Benares juga, Pangeran Brahmadatta, putra dari Raja Kasi,

dikirim oleh ayahnya dengan tujuan yang sama, dan berangkat

menuju tempat yang sama. Di tengah perjalanannya, untuk

beristirahat, Sutasoma duduk di sebuah papan yang terdapat

dalam suatu balai di dekat gerbang kota. Pangeran Brahmadatta

juga, datang dan duduk di papan yang sama. Setelah beruluk

salam, Sutasoma bertanya kepadanya, “Teman, Anda kelihatan

lelah dalam perjalanan. Dari manakah asalmu?” Ketika

dijawabnya, “Dari Benares,” ia kemudian menanyakan putra

siapakah dirinya itu. “Putra dari Brahmadatta.” “Dan siapakah

namamu?” “Pangeran Brahmadatta.” “Apa tujuanmu datang ke

sini?” “Untuk mendapatkan pendidikan,” jawabnya. Kemudian

Pangeran Brahmadatta berkata, “Anda juga kelihatan lelah dalam

perjalanan,” dan menanyakan hal yang sama kepadanya. Dan

Sutasoma memberitahukan kepadanya semua tentang dirinya.

Mereka berdua kemudian berpikir, “Kami berdua adalah

pangeran yang pergi untuk mendapatkan pendidikan dalam ilmu pengetahuan dari satu guru yang sama,” dan mereka pun

menjadi sahabat. Kemudian setelah memasuki kota, mereka

langsung pergi ke rumah sang guru dan memberi salam hormat

kepadanya, dan setelah memberitahukan dari mana mereka

berasal, mereka pun memberitahukan bahwa tujuan mereka

datang adalah untuk mendapatkan pendidikan. Sang guru

menerima permintaan mereka. Setelah memberikan uang untuk

pendidikan, mereka memulai pembelajaran. Bukan hanya

mereka saja, tetapi pangeran-pangeran lain yang ada di India,

sampai berjumlah seratus satu orang, mendapatkan pendidikan

dari guru yang sama. Merupakan murid yang senior, dengan

cepat Sutasoma mendapatkan kemampuan dalam mengajar,

tanpa mengunjungi yang lainnya, ia berpikir, “Ini adalah

sahabatku,” dan hanya mengunjungi Pangeran Brahmadatta.

Menjadi guru pribadinya, dengan cepat ia mengajari dirinya,

sedangkan yang lainnya secara berangsur-angsur mendapatkan

pelajaran mereka. Setelah menyelesaikan pendidikannya,

mereka berpamitan dengan sang guru, dan dengan membentuk

satu kumpulan mengikuti Sutasoma dalam perjalanan pulang.

Kemudian dengan berdiri di depan mereka, untuk membubarkan

mereka, Sutasoma berkata, “Setelah kalian menunjukkan bukti

dari pembelajaran kepada ayah kalian masing-masing, kalian

akan menjadi raja di kerajaan masing-masing. Ketika hal itu

terjadi, pastikan kalian mematuhi petunjuk dariku.” “Apa

petunjuknya itu?” “Menjalankan sila Uposatha dan berusaha

menghindari pembunuhan terhadap makhluk apa pun.” Mereka

semuanya setuju dengan hal ini. Dari kekuatannya untuk

meramal dari penampilan seseorang, Bodhisatta mengetahui bahwa bahaya besar akan muncul yang berhubungan dengan

Pangeran Benares di masa yang akan datang, dan oleh karena

itu ia membubarkan mereka dengan sebelumnya menasihati

mereka demikian. Mereka semua kemudian kembali ke kerajaan

masing-masing, dan setelah menunjukkan hasil pembelajaran

kepada ayah mereka, mereka pun naik takhta menjadi raja.

Untuk memberitahukan tentang hal ini dan juga tentang mereka

yang tetap menjalankan nasihatnya, dan sebuah hadiah, mereka

mengirimkan surat kepada Sutasoma. Ketika mengetahui hal ini,

Sang Mahasatwa membalas surat-surat mereka, dengan tetap

meminta mereka melakukannya dengan sungguh-sungguh

berkeyakinan. Salah satu dari mereka, Raja Benares, tidak

pernah memakan makanannya tanpa daging, dan untuk

menjalankan laku Uposatha, mereka akan meletakkan dagingnya

di satu sisi. Suatu hari, setelah dagingnya diletakkan demikian,

disebabkan oleh kecerobohan dari si juru masak, anjing-anjing

yang berada di dalam istana memakan daging tersebut. Ketika

tidak lagi menemukan daging itu, juru masak istana mengambil

segenggam penuh koin dan berkeliling untuk membeli daging.

Tidak berhasil untuk mendapatkan daging apa pun, ia berkata,

“Jika kusajikan makanan tanpa daging, saya pasti akan mati. Apa

yang harus kulakukan?” Tetapi setelah berpikir, “Masih ada satu

cara,” pada malam hari ia pergi ke suatu daerah pekuburan

tempat mayat-mayat dikuburkan, ia mengambil daging paha dari

seorang laki-laki yang baru saja meninggal. Ia memanggangnya

sampai matang dan menyajikannya sebagai makanan. Tak lama

setelah potongan kecil daging itu masuk ke lidah raja, kemudian

itu menyampaikan suatu sensasi ke tujuh ribu saraf perasa dan terus-menerus menimbulkan suatu guncangan di sekujur tubuh

raja. Mengapa terjadi demikian? Karena di kehidupan

lampaunya, ia pernah memakan makanan seperti ini. Dikatakan

bahwa sebagai yaksa di kehidupan lampaunya, ia memakan

sejumlah daging manusia, dan oleh sebab itulah tubuhnya

mengenali rasa tersebut. Raja kemudian berpikir, “Jika

saya tetap makan tanpa bersuara, ia tidak akan

memberitahukanku daging apa ini sebenarnya,” maka ia pun

memuntahkan sepotong daging ke lantai. Ketika juru masak itu

berkata, “Paduka, Anda dapat memakannya; tidak ada yang

salah,” raja memerintahkan semua pengawalnya untuk keluar

dan berkata, “Saya tahu daging ini tidak bermasalah, tetapi

daging apakah ini?” “Sama seperti apa Yang Mulia makan pada

hari-hari sebelumnya.” “Mengapa daging pada hari-hari

sebelumnya tidak memiliki rasa seperti ini?” “Karena hari ini

dagingnya dimasak dengan amat baik, Paduka.” “Apakah benar

kamu memasaknya sama seperti pada hari-hari sebelumnya?”

Kemudian ketika melihatnya diam membisu, raja berkata, “Jika

tidak memberitahukan yang sebenarnya, maka kamu akan mati.”

Maka ia pun meminta jaminan pengampunan terlebih dahulu dan

memberitahukan kebenarannya. Raja berkata, “Jangan

mengatakan apa-apa tentang ini. Kamu akan tetap dapat

memakan daging yang biasa kamu masak, dan, hanya untukku

sendiri, kamu harus memasak daging manusia.” “Ini adalah suatu hal yang sulit, Paduka.” “Jangan takut, tidak ada yang sulit.” “Dari

mana bisa kudapatkan daging manusia secara terus-menerus?”

“Apakah tidak ada banyak orang di dalam penjara?” Mulai saat

itu, ia pun melakukan apa yang diminta oleh raja. Lambat laun,

ketika jumlah tawanan telah amat berkurang, ia berkata, “Apa

yang harus kulakukan sekarang?” “Buanglah satu bungkusan

yang berisikan ribuan keping uang di tengah jalan besar, dan

tangkaplah siapa saja yang memungutnya sebagai seorang

pencuri dan hukum mati dirinya.” Ia pun melakukan demikian.

Lambat laun, ketika tidak ada lagi orang yang mengambil

bungkusan uang itu, ia berkata, “Apa yang harus kulakukan

sekarang?” “Di saat genderang dibunyikan pada jam malam, kota

akan dipenuhi dengan orang. Kemudian, dengan berada di celah

pada dinding rumah atau persimpangan jalan, pukullah

seseorang sampai jatuh mati dan ambillah dagingnya.” Mulai hari

itu, ia selalu kembali dengan membawa daging segar, dan di

tempat-tempat yang berbeda selalu terdapat mayat-mayat

berserakan. Ratap tangis pun terdengar, “Saya telah kehilangan

ayah, saya telah kehilangan ibu, saya telah kehilangan abang,

saya telah kehilangan adik.” Para penduduk diserang dengan

kepanikan dan berkata, “Pasti ada singa atau harimau atau

yaksa yang memakan orang-orang ini.” Ketika memeriksa mayatmayat

tersebut, mereka melihat luka seperti akibat perbuatan

manusia dan berkata, “Apakah ini berarti manusia yang

memakan daging mereka-mereka ini?” Para penduduk

berkumpul bersama di halaman istana dan menyampaikan

keluhan mereka. Raja bertanya, “Ada apa ini, Teman-temanku?”

“Paduka,” kata mereka, “ada penjahat kanibal di kota ini: Mohon Paduka memerintahkan pengawal untuk menangkapnya.”

“Bagaimana caranya saya mengetahui siapa itu orangnya?

Apakah saya harus berjalan berkeliling dan menjaga kota?” Para

penduduk berkata, “Raja tidak memiliki kepedulian (lagi)

terhadap kota. Kami akan melaporkan hal ini kepada Panglima

Tertinggi, Kāḷahatthi (Kalahatthi).” Mereka memberitahukan

masalah itu kepadanya dan berkata, “Anda harus mencari

penjahat itu.” Panglima menjawab, “Berilah waktu tujuh hari,

akan kudapatkan penjahat itu dan kuserahkan ia kepada kalian.”

Dan setelah membubarkan kumpulan orang tersebut, ia

memberikan perintah kepada para pengawalnya, dengan

berkata, “Teman-temanku, orang-orang mengatakan bahwa ada

seorang penjahat kanibal di kota ini. Siap siaga lah di beberapa

tempat yang berbeda dan kalian harus mampu menangkapnya.”

“Baik,” jawab mereka. Mulai hari itu, mereka mengelilingi seluruh

kota. Kemudian, si juru masak bersembunyi di celah sebuah

rumah dan membunuh seorang wanita, dan mulai mengisi

keranjangnya dengan daging segar. Maka para pengawal istana

seketika itu juga menangkap dan memukulinya, dan setelah

mengikat kedua tangannya di belakang, mereka berkata dengan

keras, “Kami telah menangkap penjahat kanibal itu.” Kerumunan

orang pun mengelilingi mereka. Kemudian setelah memukulinya

dengan keras dan mengikat keranjang daging itu di lehernya,

mereka membawanya ke hadapan panglima. Ketika melihatnya,

panglima berpikir, “Apakah orang ini yang memakan daging atau

apakah ia mencampurnya dengan daging yang lain dan

menjualnya, atau apakah ia membunuh orang atas perintah orang lain?” Dan untuk menanyakan masalah ini, ia

mengucapkan bait pertama berikut:

Tuan dari segala rasa, kebutuhan apa yang

mendesakmu melakukan perbuatan mengerikan ini?

Apakah untuk makanan atau untuk kekayaan, Orang

buruk yang salah arah, Anda membunuh orang-orang?

Bait-bait berikutnya diucapkan oleh mereka secara

bergantian:

Bukan untuk istri atau anak, teman, saudara, atau uang,

Bukan juga untuk diriku sendiri kubunuh wanita ini;

Tuanku yang mulia, pemimpin negeri ini,

memakan daging manusia: kulakukan perbuatan buruk

ini atas permintaannya.

Jika demikian diperintahkan untuk memuaskan nafsu

tamak dari tuanmu, maka Anda bersalah atas perbuatan

buruk ini,

Mari kita menghadap kepada raja di subuh hari,

dan kembalikan tuduhan ini kepada dirinya.

Wahai Kāḷahatthi, pemimpin baik yang patut dipuja,

akan kulakukan sesuai dengan perkataanmu,

saya akan menghadap kepada raja di subuh hari,

dan mengembalikan tuduhan ini kepada dirinya.

Maka sang panglima membaringkannya, tetap dalam

keadaan terikat, dan pada subuh hari ia berdiskusi dengan para

pemimpin pasukannya. Ketika mereka setuju dengannya, ia pun

menempatkan penjaga di segala penjuru, dan setelah demikian

menguasai kota, ia mengikatkan keranjang daging itu pada leher

si juru masak dan pergi bersamanya menuju ke istana, seluruh

kota berada dalam suatu kegemparan. Hari itu, raja telah

menyantap sarapan satu hari sebelumnya, tetapi tidak

menyantap makan malam dan menghabiskan waktunya

semalaman duduk menunggu si juru masak datang. “Hari ini

juga,” pikirnya, “tak ada juru masak yang datang, dan kudengar

ada kegemparan di kota. Ada apa gerangan?” Dan sewaktu

melihat ke luar jendela, ia melihat laki-laki itu diperlakukan

dengan cara yang telah diuraikan sebelumnya menuju ke sana,

dan dengan berpikir bahwa semuanya telah terbongkar, ia pun

berusaha mengumpulkan segala keberaniannya dan duduk di

takhtanya. Kalahatthi kemudian menghampirinya dan bertanya

kepadanya, dan raja menjawabnya.

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Matahari belum terbit dan hari pun belum pagi,

ketika Kāḷa datang ke istana membawa serta juru masak,

dan dengan menghampiri raja, kata-kata berikut diucapkannya.

‘Paduka, apakah benar juru masak ini dikirim ke jalanan,

dan diperintahkan untu membunuh orang-orang agar

dapat memberikan daging kepadamu sebagai

makanan?’

’Kāḷa, benar demikian; itu dilakukan atas permintaanku:

Mengapa menyalahkannya atas perbuatan yang

dilakukan atas perintah dariku?’

Ketika mendengar ini, panglima berpikir, “Ia

mengakuinya dengan mulutnya sendiri. Oh, Makhluk keji! Selama

ini ia memakan daging manusia: akan kuhentikan ia dari

perbuatannya ini,” dan berkata, “Paduka, janganlah makan ini,

jangan memakan daging manusia.” “Kalahatthi, apa yang kamu

katakan ini? Saya tidak bisa berhenti darinya.” “Paduka, jika tidak

berhenti darinya, Anda akan menghancurkan diri sendiri dan juga

kerajaan.” “Meskipun kerajaanku hancur, tetapi saya tidak

mampu berhenti darinya.” Kemudian sang panglima, untuk

memberikan pemikiran yang lebih baik, menceritakan sebuah

kisah sebagai bentuk perumpamaan.

Dahulu kala terdapat enam ekor ikan monster di sebuah samudra

yang mahaluas. Mereka adalah Ānanda (Ananda), Timanda,

Ajjhohāra (Ajjhohara) yang berukuran lima ratus yojana

panjangnya, Tītimīti (Titimiti), Miṅgala (Mingala), Timirapiṅgala

(Timirapingala) yang berukuran seribu yojana panjangnya.

Mereka semuanya ini pemakan lumut yang tumbuh di

bebatuan. Di antara mereka, Ananda tinggal di satu sisi dari samudra tersebut dan banyak ikan yang datang untuk

mengunjunginya. Suatu hari mereka berpikir, “Terdapat para

pemimpin di antara makhluk-makhluk berkaki dua dan makhlukmakhluk

berkaki empat, tetapi kami tidak memiliki raja

(pemimpin): kami akan menjadikan ikan ini sebagai raja kami.”

Dan karena semuanya mencapai satu kesepakatan, mereka pun

menjadikan Ananda sebagai raja mereka, dan mulai hari itu

semua ikan datang untuk memberikan hormat dan pelayanan

kepadanya. Suatu hari, Ananda sedang berada di satu gunung

dan menyantap lumut yang ada, secara tak sengaja ia memakan

seekor ikan karena mengira itu adalah lumut. Daging ikan

itu terasa lezat baginya, dan merasa ingin tahu benda apa itu

yang begitu manis, ia pun mengeluarkannya dari mulut dan

melihat potongan daging dari seekor ikan. Ia berpikir, “Karena

ketidaktahuan-ku selama ini tidak pernah kumakan makanan

jenis ini sebelumnya: setiap sore dan pagi hari ketika ikan-ikan itu

datang untuk memberikan pelayanan kepadaku, akan kumakan

satu atau dua dari mereka, karena jika kumakan mereka secara

terang-terangan, maka tak ada satu pun yang akan mendekatiku

lagi, mereka akan kabur semuanya.” Maka dengan sembunyisembunyi,

ia menyerang ikan yang berada di bagian belakang

(ketika hendak pulang) dan memakannya. Ketika jumlah mereka

lambat laun menjadi berkurang, ikan-ikan tersebut berpikir,

“Bahaya apa ini yang mengancam kami?” Kemudian seekor ikan

bijak yang berada di antara mereka berpikir, “Saya merasa tidak

puas dengan apa yang dilakukan oleh Ananda: akan kuselidiki

apa yang sebenarnya dilakukannya,” dan ketika ikan-ikan datang

untuk memberikan hormat dan pelayanan kepada Ananda, si ikan bijak itu bersembunyi pada insang Ananda. Setelah

membubarkan ikan-ikan tersebut, Ananda memakan mereka

yang berada di luar barisan di bagian belakang. Ikan bijak yang

melihatnya memberitahukan hal ini kepada yang lainnya dan

mereka melarikan diri karena panik. Sejak hari itu, dikarenakan

nafsu serakahnya akan rasa daging ikan, Ananda menolak jenis

makanan yang lainnya. Sewaktu jatuh sakit karena lapar, ia

berpikir, “Ke mana gerangan perginya mereka?” Dalam

pencariannya, ia melihat sebuah gunung dan berpikir,

“Dikarenakan rasa takut terhadap diriku, menurutku ikan-ikan itu

pasti berada di dekat gunung ini. Akan kukelilingi gunung ini dan

kucari mereka. Maka dalam pencariannya mengelilingi gunung

tersebut, ia berpikir kembali, “Jika mereka berada di tempat ini,

mereka pasti melarikan diri (sekarang),” dan sewaktu melihat

ekornya sendiri di saat berputar mengelilingi gunung tersebut, ia

berpikir, “Ikan ini berada di dekat gunung ini dan sedang

mencoba untuk menghindariku,” dalam kemarahannya, ia pun

menggigit ekornya sendiri, yang panjangnya lima puluh yojana,

yang dianggapnya sebagai seekor ikan, dan memakannya

dengan suara kunyah yang keras. Akibatnya, ia merasakan rasa

sakit dan mengalami penderitaan yang dahsyat. Mencium bau

darah, ikan-ikan pun berkumpul, dan dengan menggigit sedikit

demi sedikit bagian ekor Ananda, akhirnya sampai pada bagian

kepala. [464] Karena badannya yang begitu besar, ia tidak

mampu berbalik dan demikian menemui ajalnya. Kemudian di

sana terdapat satu tumpukan tulang belulang yang besarnya

sama dengan sebuah gunung. Para petapa (dan juga petapa

pengembara) yang sewaktu terbang di angkasa dan melihatnya, memberitahukan kepada manusia mengenai hal ini. Dan para

penduduk di seluruh India pun mengetahui akan hal ini. Sebagai

perumpamaan, Kalahatthi menceritakan kisah ini dan berkata:

Ānanda memangsa ikan dan ketika pengikutnya

melarikan diri,

dengan rakusnya ia memakan ekornya sendiri dan

mengunyahnya sampai akhirnya ia mati.

Budak nafsu tidak mengenal kesenangan lainnya,

Makhluk dungu yang ceroboh, begitu butanya ia

terhadap penderitaan yang datang:

Ia akan menjadi hina dan merusak anak-anak serta

sanak saudaranya,

kemudian mengubah dirinya sendiri menjadi mangsa

bagi ketamakannya yang mematikan.

Wahai raja, dengarkanlah kata-kataku ini dengan baik,

Jangan memakan daging manusia; kembalilah kepada

tujuanmu seperti sebelumnya:

Jika tidak, Anda akan berbagi nasib yang sama dengan

ikan itu suatu hari,

dan kerajaanmu akan mengalami kehancuran.

Mendengar ini, raja berkata, “Kalahatthi, saya juga

mengetahui satu contoh seperti halnya dirimu,” dan sebagai

contoh ia menceritakan sebuah kisah yang menggambarkan

keserakahannya terhadap daging manusia dan berkata:

Putra sekaligus ahli waris Sujāta menangis-nangis

meminta buah jambu,

anak itu amat bersedih karena tak mendapatkannya, ia

membaringkannya dan meninggal.

Jadi Kāḷa, saya yang telah sekian lama memakan

makanan lezat,

jika tidak lagi mendapatkan daging manusia, maka

hidupku akan hancur.

Dahulu kala, seorang tuan tanah yang bernama Sujāta

(Sujata) di Benares tinggal di dalam tamannya dan melayani lima

ratus petapa yang turun dari pegunungan Himalaya untuk

mendapatkan derma makanan. Makanan selalu dibawakan ke

rumahnya untuk mereka, tetapi para petapa tersebut kadangkadang

berkeliling untuk mendapatkan derma makanan dan

membawa pulang buah-buah jambu yang besar untuk dimakan.

Ketika mereka sedang menyantap buah-buah jambu yang

didapat, Sujata berpikir, “Hari ini adalah hari ketiga atau keempat

bagi para orang suci itu tidak datang ke tempatku, ke sini. Ke

mana gerangan perginya mereka?” Dengan menggandeng

tangan anak laki-lakinya, ia pergi ke sana di saat mereka sedang

menyantap makanan. Kala itu, seorang petapa junior

memberikan air kepada para petapa senior untuk mencuci mulut

dan sedang memakan potongan buah jambu. Sujata memberi

hormat kepada para petapa dan setelah duduk, bertanya,

“Bhante, apa yang sedang kalian makan?” “Buah jambu yang besar, Āvuso 263. Mendengar ini, anak kecil tersebut menjadi

merasa haus, maka pemimpin para petapa itu meminta petapa

yang lainnya untuk memberikan potongan kecil kepadanya. Anak

itu memakannya. Ia begitu suka dengan rasa lezatnya sehingga

terus-menerus meminta mereka untuk memberikannya lagi. Lakilaki

tersebut, yang sedang mendengarkan khotbah, berkata,

“Jangan menangis. Nanti di saat tiba di rumah, kamu akan

mendapatkannya,” demikian ia membohongi anak tersebut

karena merasa takut kalau-kalau para resi itu menjadi terganggu

dengan suara tangisnya. Maka sambil menghibur sang anak, ia

membawanya meninggalkan kumpulan orang suci tersebut dan

pulang kembali ke rumah. Mulai dari saat mereka tiba di rumah,

anak itu terus-menerus berkata dengan keras, “Berikan buah

jambu kepadaku.” Kemudian para resi berkata, “Kita sudah

tinggal di sini untuk waktu yang lama,” dan kembali ke Himalaya.

Karena tidak menemukan anak tersebut di taman, maka mereka

mengirimkan kepadanya hadiah berupa buah mangga, jambu,

nangka, pisang, dan buah-buah lainnya, yang semuanya

dicampur dengan gula bubuk. Tak lama setelah campuran buah

ini dimasukkan ke lidahnya, kemudian itu bereaksi seperti racun

yang mematikan. Selama tujuh hari, anak itu tidak (mau)

memakan makanan lainnya dan meninggal dunia. [466] Kisah ini

diceritakan oleh raja sebagai ilustrasi. Kemudian Kalahatthi

berpikir, “Raja ini telah menjadi seorang budak pecandu rasa

(daging): akan kuberitahukan kepadanya contoh-contoh lainnya,” dan berkata, “Maharaja, berhentilah dari ini.” “Tidak mungkin,”

balasnya. “Jika Anda tidak berhenti, maka lambat laun Anda

akan dikeluarkan dari keluargamu dan kekuasaanmu sebagai

raja akan dicabut.”

Dahulu kala di Kota Benares yang sama ini juga terdapat sebuah

keluarga brahmana yang selalu menjalankan lima sila. Satusatunya

anak laki-laki lahir di keluarga ini, kesayangan dan

kegembiraan dari kedua orang tuanya, ia adalah anak yang

bijaksana dan terlihat menguasai tiga Kitab Weda dengan baik.

Ia biasa pergi keluar bersama dengan kelompok anak yang

seusia dengannya. Anak-anak yang lain dalam kelompok

tersebut makan ikan, daging, dan sejenisnya serta minum

minuman keras, sedangkan ia tidak makan daging ataupun

minum minuman keras. Kemudian pikiran ini terlintas dalam diri

mereka, “Karena tidak minum minuman keras, anak ini tidak ikut

ikut membayar bagiannya: mari kita lakukan sesuatu untuk

membuatnya minum.” Jadi ketika mereka berkumpul bersama,

mereka berkata, “Teman, mari kita adakan sebuah perayaan.” Ia

berkata, “Kalian minum minuman keras, tetapi saya tidak.

Pergilah tanpa diriku.” “Teman, kami akan bawakan susu sebagai

minuman untukmu.” Ia pun menyetujuinya, dengan berkata,

“Baiklah.” Anak-anak yang jahat itu masuk ke dalam taman dan

mengikat satu minuman keras pada sebuah gelas daun dan

meletakkannya di antara daun-daun teratai. Ketika mereka mulai

minum, mereka memberikan susu kepada anak tersebut. Salah

satu dari anak yang jahat itu berkata, “Ambilkan sari bunga

teratai untuk kami,” dan setelah meminta orang membawakan itu

kepadanya, ia membuat sebuah lubang di bagian bawah gelas daun yang diletakkan di dalam teratai, kemudian meletakkan di

dalam mulutnya dan mulai mengisapnya. Anak-anak yang lain

juga melakukan hal yang sama. Anak tersebut menanyakan

minuman apa itu dan meminum minuman keras itu yang

dianggapnya sebagai sari bunga teratai. Mereka juga

memberikan kepadanya daging bakar, dan ia juga memakan ini.

Dan ketika ia telah ketagihan minuman keras, mereka

memberitahunya, “Ini bukanlah sari bunga teratai, melainkan

minuman keras.” “Selama ini,” katanya, “tak pernah kurasakan

rasa manis seperti ini. Bawakanlah kepadaku minuman keras itu

lagi!” Mereka membawakan dan memberikannya kepadanya

karena ia merasa sangat haus. [467] Kemudian ketika ia

memintanya lagi, mereka memberitahu bahwa minuman itu

sudah habis. Ia berkata, “Ayo, bawakan lagi minuman itu

kepadaku,” dan memberikan cincin stempelnya kepada mereka.

Setelah menghabiskan seharian dengan minum bersama

mereka, dalam keadaan mabuk dan mata yang berwarna merah

darah, tubuh sempoyongan dan mulut mengoceh tak karuan, ia

pulang ke rumah dan tidur. Kemudian sang ayah yang

mengetahui bahwa ia telah meminum minuman keras, setelah

pengaruh minuman keras itu hilang, berkata kepadanya,

“Anakku, Anda telah melakukan sesuatu yang amat salah

sebagai seorang anggota keluarga brahmana, dengan meminum

minuman keras: jangan pernah mengulanginya lagi.” “Ayah, apa

kesalahanku?” “Meminum minuman keras.” “Apa yang ayah

katakan ini, tidak pernah sebelumnya kurasakan sesuatu yang

amat manis seperti ini.” Brahmana itu terus-menerus memintanya

untuk berhenti meminum minuman keras. “Tak sanggup kulakukan itu,” katanya. Kemudian brahmana itu berpikir, “Jika

begini terus keadaannya, maka tradisi dari keluarga kita akan

hancur dan harta kita akan musnah,” dan ia mengulangi bait berikut:

Seorang ahli waris keluarga brahmana,

seorang anak yang rupawan,

Anda tidak boleh meminum minuman celaka

yang tidak disukai oleh para brahmana.

Dan setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia

menambahkan, “Anakku, berhentilah darinya. Jika tidak, terpaksa

kukeluarkan kamu dari rumahku dan kuusir dari kerajaanku.”

Anak laki-laki itu menjawab, “Walaupun demikian keadaannya, tetap tak sanggup kulakukan itu,” dan ia mengulangi dua bait berikut ini:

Karena, Ayah, Anda menghalangiku dari mendapatkan

rasa terbaik yang amat kuinginkan ini,

maka, untuk mendapatkannya, akan kucari ke mana pun,

betapa pun jauhnya.

Segera saya akan pergi dan tidak lagi tinggal

bersamamu,

karena sekarang tidak lagi diriku suka terlihat olehmu.

Selanjutnya ia berkata, “Saya tidak akan berhenti dari

meminum minuman keras ini: lakukan apa saja sesuka hatimu.” Kemudian brahmana tersebut berkata, “Baiklah, karena kamu

(memilih untuk) meninggalkan kami, maka kami juga akan

meninggalkanmu,” dan mengulangi bait berikut:

Kami pasti mendapatkan putra lainnya sebagai pewaris

atas harta kekayaan kami,

Pergilah, anak bandel, ke mana kami tidak lagi pernah

mendengar namamu.

Kemudian setelah membawa putranya ke pengadilan,

brahmana itu mencabut haknya sebagai ahli waris dan

mengusirnya dari rumah. Setelah kejadian ini, anak laki-laki itu

menjadi orang miskin yang malang, mengenakan pakaian usang,

dan dengan membawa mangkuk seorang pengemis di

tangannya, ia berkeliling untuk mendapatkan sedekah, yang

akhirnya meninggal, dengan bersandar pada sebuah dinding.

Dengan mempertautkan kisah ini sebagai suatu pelajaran bagi

raja, Kalahatthi berkata, “Paduka, jika Anda tetap menolak untuk

mendengarkan perkataan kami, maka mereka akan membuatmu

keluar dari kerajaan,” dan setelah berkata demikian, ia

mengucapkan bait berikut:

Maka dengarkanlah dengan baik, wahai raja manusia,

patuhilah perkataanku,

atau seperti pemuda mabuk itu, Anda akan diusir keluar

dari kerajaan.

Bahkan setelah contoh yang ditunjukkan demikian oleh

Kalahatthi, raja tetap tidak mampu berhenti dari kebiasaannya,

dan untuk mengilustrasikan kisah lainnya, ia berkata:

Siswa dari para resi yang sempurna, Sujāta, dikatakan,

berpantang makan dan minum demi cintanya terhadap

seorang bidadari kayangan.

Seperti tetesan embun pada sehelai rumput dengan air

yang ada di samudra,

demikianlah cinta manusia jika dibandingkan dengan

cinta terhadap makhluk kayangan.

Jadi Kāḷa, saya yang telah sekian lama memakan

makanan lezat,

jika tidak lagi mendapatkan daging manusia, maka

hidupku akan hancur.

Kisahnya hampir sama dengan kisah sebelumnya yang

telah diceritakan.

Dikatakan bahwa ketika melihat para petapa tersebut

tidak kembali lagi setelah selesai menyantap buah jambu besar,

Sujāta (Sujata) ini berpikir, “Saya ingin tahu mengapa mereka

tidak kembali lagi. Jika mereka telah pergi ke tempat yang

lainnya, akan kucari tahu di mana itu: atau akan kudengar khotbah yang mereka paparkan.” Maka ia pergi ke taman dan

mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh pemimpin

rombongan. Ketika matahari mulai terbenam, meskipun telah

disuruh pergi, ia berkata, “Saya akan tinggal di sini hari ini,” dan

setelah memberi hormat kepada rombongan orang suci tersebut,

ia masuk ke dalam gubuk daunnya dan berbaring. Pada malam

hari, Sakka, raja para dewa, ditemani dengan rombongan

bidadari beserta dengan pelayannya, datang untuk memberi

hormat kepada rombongan petapa suci tersebut, dan membuat

seluruh pertapaan menjadi bercahaya. Merasa ingin tahu ada

apa, Sujata bangkit dan melihat melalui satu celah dari dalam

gubuk daunnya kedatangan Sakka beserta rombongannya untuk

memberi hormat kepada rombongan resi, [469] yang ditemani

juga oleh sekelompok bidadari. Tak lama setelah melihat

mereka, kemudian dirinya pun dilanda oleh nafsu (yang

menggebu-gebu). Sakka kemudian mengambil tempat duduknya,

dan setelah mendengarkan khotbah mengenai Keyakinan,

kembali ke kediamannya. Pada keesokan harinya, tuan tanah

tersebut menjumpai para petapa suci tersebut dan bertanya,

dengan berkata, “Bhante, siapakah yang datang di malam hari

memberikan hormat kepada Anda?” “Sakka, Āvuso.” “Dan

siapakah yang duduk di sekelilingnya itu?” “Mereka adalah para

bidadari kayangan.” Setelah memberi hormat kepada

rombongan petapa tersebut, ia kembali ke rumahnya, dan sejak

saat itu, ia selalu meneriakkan kata-kata bodoh, “Berikan accharā

kepadaku.” Sanak keluarganya, yang berada di sekelilingnya, bertanya-tanya dalam hati apakah ia dirasuki oleh makhluk halus,

dan menjentikkan jari mereka. Ia berkata, “Yang kuminta

bukanlah jentikkan jari, melainkan bidadari266.” Dan ketika

mereka mendandani dan membawakan kepadanya seorang selir

dan bahkan seorang wanita penghibur, dan berkata, “Ini

bidadarinya,” ia membalas, “Ini bukanlah seorang bidadari, ini

adalah yaksa wanita,” dan kembali terus meneriakkan, “Berikan

accharā kepadaku.” Karena ia tidak memakan apa pun, akhirnya

ia pun meninggal dunia.

Setelah mendengar ini, Kalahatthi berpikir, “Raja ini telah menjadi

seorang budak pecandu rasa (daging): akan kubuat ia memiliki

pemikiran yang lebih baik.” Dan ia berkata, “Angsa-angsa emas

yang terbang tinggi di angkasa juga mati karena memakan

daging saudara mereka sendiri,” dan untuk memberikan

perumpamaan, ia mengulangi dua bait berikut:

Seperti angsa-angsa Dhataraṭṭha yang terbang di

angkasa ini, semuanya mati karena memakan makanan

dan minuman yang tidak biasa,

Demikian juga halnya dengan Anda, wahai raja manusia,

dengarkanlah baik-baik apa yang kukatakan,

Karena memakan makanan yang tidak biasa ini, maka

Anda juga akan diasingkan oleh mereka.

Dahulu kala, dikatakan ada sebanyak sembilan puluh ribu ekor

angsa bertempat tinggal di Gua Emas di Gunung Cittakūṭa.

Selama empat bulan di musim hujan mereka tidak akan keluar.

Jika mereka keluar, maka sayap mereka yang akan dipenuhi

oleh air akan membuat mereka tidak mampu terbang jauh dan

terjatuh ke laut. Oleh karenanya mereka pun tidak keluar (pada

musim hujan), tetapi ketika musim hujan baru akan tiba, mereka

akan mengumpulkan padi dari suatu danau alami untuk

memenuhi gua mereka, dan bertahan hidup dengannya. Akan

tetapi tidak lama setelah mereka masuk ke dalam gua, kemudian

seekor laba-laba uṇṇanābhi yang sebesar roda pedati akan

menjalin sarang di pintu masuk gua pada setiap bulannya, dan

jaring itu setebal tali kekang (pada sapi). Angsa-angsa ini

memberikan makanan sebanyak dua porsi kepada angsa muda

dengan beranggapan bahwa angsa muda itu akan mampu

menerobos jaring tersebut. Ketika langit terang, dengan

berada di barisan paling depan, angsa muda ini maju

menghancurkan jaring laba-laba tersebut dan angsa-angsa

lainnya dapat meloloskan diri melalui jalan yang sama. Pada

suatu ketika, terjadi musim hujan yang berlangsung selama lima

bulan, dan persediaan makanan milik angsa-angsa tersebut pun

menjadi amat kurang. Mereka berdiskusi mengenai apa yang

harus dilakukan, dan berkata, “Jika kita ingin tetap hidup, maka

kita harus memakan telur-telur (kita).” Pertama, mereka

memakan telur-telur, kemudian anak-anak angsa, dan setelah

semuanya itu habis, mereka memakan angsa-angsa yang tua. Di

akhir bulan kelima, hujan berhenti dan laba-laba itu telah

menjalin lima sarang. Karena memakan daging sanak saudara mereka sendiri, angsa-angsa itu (yang bertahan hidup) menjadi

lemah. Angsa muda yang mendapatkan makanan sebanyak dua

porsi tersebut berhasil menghancurkan empat sarang laba-laba

ketika menerobos keluar, tetapi tidak berhasil menghancurkan

yang kelima dan tersangkut di sana. Maka laba-laba itu

memotong kepalanya dan meminum darahnya. Satu per satu

dari angsa-angsa yang tersisa itu pun datang dan menerobos

sarang tersebut, dan laba-laba itu berkata, “Ada lagi angsa yang

tersangkut di tempat yang sama ini,” dan meminum darah

mereka semuanya. Pada waktu itu, dikatakan suku angsa

Dhataraṭṭha menjadi punah.

Raja masih ingin memberikan perumpamaan yang lain, tetapi

para penduduk bergejolak dan berkata, “Tuanku Panglima, apa

yang hendak Anda lakukan? Bagaimana Anda bertindak

selanjutnya setelah menangkap penjahat kanibal ini? Jika ia

tetap tidak mau berhenti memakan daging manusia, maka usirlah

ia dari kerajaannya,” dan mereka tidak memberikan kesempatan

kepada raja untuk mengucapkan bahkan sepatah kata pun.

Mendengar kata-kata dari para penduduk, raja menjadi ketakutan

dan tidak mampu berkata apa-apa lagi, dan untuk ke sekian

kalinya, panglima berkata kepadanya, “Tuan, apakah mungkin

bagimu untuk berhenti dari ini?” “Tidak mungkin,” jawabnya.

Maka sang panglima menempatkan di satu sisi semua selirnya,

putra dan putrinya, yang berhiaskan dengan segala kebesaran

mereka, dan berkata, “Tuan, lihatlah anggota dari sanak

keluargamu, kumpulan orang-orang istanamu: Berhentilah dari

memakan daging manusia.” Raja berkata, “Semuanya ini tidaklah

lebih nikmatnya dari daging manusia.” “Kalau begitu, Tuan, pergilah dari kota dan kerajaan ini.” “Kalahatthi,” katanya, “saya

tidak menginginkan kerajaanku; saya siap untuk pergi, tetapi

kabulkanlah satu permintaanku; berikanlah pedang, juru masak

itu, dan belanga kepadaku.” Maka mereka memberikan

kepadanya sebilah pedang, sebuah belanga untuk memasak

daging manusia dan sebuah keranjang, dan juru masak itu,

sebelum akhirnya mengusir mereka keluar dari kerajaan.

Dengan membawa serta juru masaknya, ia keluar dari kerajaan

dan masuk ke dalam suatu hutan, membuat tempat tinggalnya di

bawah kaki pohon beringin. Dengan tinggal di sana, ia akan

selalu berjaga di jalan yang dilalui oleh orang yang melewati

hutan tersebut, dan setelah membunuh mangsanya, ia akan

membawakan dan memberikannya kepada juru masak untuk

dimasak. Sang juru masak akan memasak dan menyajikan

kepadanya. Dengan cara demikian ini, mereka berdua menjalani

hidup. Ketika ia mendadak menghalang jalan sembari berkata

dengan keras, Inilah saya, si pemakan daging manusia!” tak

seorang pun berani melawannya dan mereka semuanya

bersujud di tanah, dan siapa saja yang disukai olehnya akan

ditariknya, digantung terbalik dan diberikan kepada juru

masaknya. Suatu hari, ia tidak mendapatkan satu orang pun di

hutan dan ketika ditanya oleh juru masaknya sewaktu kembali,

“Bagaimana ini, Tuan?” Ia menyuruhnya untuk meletakkan

belanga itu pada perapian. “Tetapi, mana dagingnya, Tuan?”

“Oh! Saya pasti akan mendapatkan daging,” balasnya. Juru

masak berpikir, “Saya pasti mati kali ini,” dan dengan gemetaran

ia membuat perapian dan meletakkan belanga itu di atasnya.

Kemudian si kanibal tersebut dengan satu sabetan pedangnya membunuh juru masak itu, memasak dan memakan dagingnya.

Sejak saat itu, ia hidup sendirian dan harus memasak

makanannya sendiri. Berita ini tersebar luas di seluruh India,

“Pembunuh kanibal membunuh orang-orang yang bepergian

(melewati daerahnya).” Pada waktu itu, seorang brahmana kaya

yang sedang berada dalam perjalanan dagang dengan

membawa lima ratus kereta, berjalan dari arah timur menuju ke

barat, dan ia berpikir, “Orang-orang mengatakan bahwa penjahat

kanibal ini membunuh orang-orang yang melewati daerahnya.

Dengan uang, akan saya lewati jalan di hutan itu.” Maka ia

memberikan uang seribu keping kepada orang-orang yang

tinggal di dekat pintu masuk ke hutan tersebut dan meminta

mereka mengiringi dirinya dalam konvoi untuk melewati hutan

dengan aman. Mereka pun mengiringinya dalam konvoi. Ia

menempatkan karavannya di bagian depan, dan setelah selesai

mandi dan meminyaki dirinya, dan mengenakan pakaian mewah,

ia duduk di satu kereta yang ditarik oleh sapi-sapi putih, dengan

diiringi oleh konvoinya, ia berjalan di bagian paling belakang.

Memanjat sebuah pohon, pemakan manusia itu sedang melihatlihat

untuk mencari mangsa. Ia tidak berselera melihat orangorang

yang berada dalam konvoi tersebut, tetapi sewaktu ia

melihat brahmana tersebut, mulutnya dipenuhi dengan air liur

karena bernafsu untuk memakannya. Ketika brahmana itu

bergerak mendekat ke arahnya, ia meneriakkan namanya,

“Inilah saya, si pemakan daging manusia,” dan dengan

mengayunkan pedangnya keluar, seperti orang yang

memasukkan pasir ke dalam mata orang-orang lainnya, ia

melompati mereka dan tak seorang pun mampu berdiri melawannya, mereka semuanya hanya mampu bersujud di

tanah. Setelah menangkap kaki brahmana itu yang sedang

duduk di keretanya, ia melemparnya di punggung, dengan posisi

kepalanya di bawah, dan memukul kepalanya dengan

menggunakan tumitnya, kemudian membawanya pergi. Orangorang

bangkit dan berteriak satu sama lain, “Teman-teman,

gerakkanlah diri kalian. Kita telah menerima uang seribu keping

dari tangan brahmana itu. Siapa di antara kita yang mengenakan

atribut sebagai seorang manusia? Mari kita semuanya, baik kuat

maupun lemah, mengejar penjahat itu sekuat tenaga.” Mereka

pun mengejarnya. Kemudian penjahat kanibal itu berhenti,

melihat ke arah belakang, dan melambatkan langkahnya ketika

melihat tidak ada orang yang mengikutinya. Tak lama kemudian,

seorang pemberani dengan amat cepat berlari menyusulnya.

Ketika melihatnya, penjahat itu melompati sebuah pagar dan

memijak tunggul pohon akasia267 yang melukainya sampai

menembus bagian atas kakinya, dan menyebabkan ia berjalan

pincang dan darah mengucur keluar dari lukanya itu. Kemudian

si pemberani yang mengejarnya itu, ketika melihat ini, berkata,

“Saya telah membuatnya terluka: ikuti saja jejaknya dari

belakang dan akan dapat kutangkap dirinya.” Mereka melihat

betapa lemahnya penjahat itu sekarang dan ikut dalam

pengejaran. Ketika melihat orang-orang terus mengejarnya,

penjahat itu melepaskan brahmana tersebut dan berusaha

menyelamatkan dirinya sendiri. Sewaktu menemukan brahmana

itu, rombongan tersebut kemudian berpikir, “Apa gunanya lagi mengejar penjahat ini?” dan berbalik arah kembali. Sedangkan si

penjahat kanibal itu terus bergerak ke tempat pohon beringinnya

dan berbaring, mengucapkan permohonan kepada dewata

penjaga pohon dengan berkata, “Dewi pohon, jika dalam waktu

tujuh hari Anda dapat menyembuhkan lukaku, akan kumandikan

batang pohonmu dengan darah segar dari seratus satu raja dari

seluruh India, dan akan kugantungkan pada pohonmu semua

organ dalam mereka, serta akan kupersembahkan lima jenis

daging yang lezat.” Pada saat itu, dikarenakan tidak memiliki apa

pun untuk dapat dimakan atau diminum, maka tubuhnya pun

mengering, dan dalam waktu tujuh hari lukanya menjadi sembuh.

Ia menyangka bahwa penyembuhan lukanya tersebut dilakukan

oleh sang dewi pohon. Dalam waktu beberapa hari saja, ia

memulihkan kembali kekuatannya dengan memakan daging

manusia, dan berpikir, “Dewi pohon ini telah menolongku. Akan

kupenuhi janjiku.” Dengan membawa serta pedangnya, ia

berangkat keluar dari bawah kaki pohon beringin, dengan tujuan

membawa kembali para raja tersebut. Waktu itu, sesosok yaksa

yang dalam kehidupan lampau adalah rekan dari penjahat

kanibal tersebut, melihatnya dan sewaktu mengetahui bahwa ia

adalah rekannya dalam kehidupan lampau, bertanya kepadanya,

“Apakah kamu mengenaliku, Teman?” “Tidak,” jawabnya.

Kemudian ia pun memberitahukan kepadanya tentang apa yang

mereka lakukan dalam kehidupan lampau, yang menyebabkan

penjahat kanibal itu mengenali dirinya dan memberikan salam

hangat kepadanya. Ketika ditanya oleh yaksa tersebut di mana ia

dilahirkan, penjahat kanibal itu memberitahukan tempat lahirnya

dan juga bagaimana ia diusir dari kerajaannya, dan di mana ia tinggal sekarang. Kemudian ia menceritakan bagaimana ia

terluka oleh tunggul pohon dan juga tentang apa yang sedang

dilakukannya untuk menebus janjinya terhadap makhluk dewata

penjaga pohon tersebut. “Saya pasti dapat melalukan hal yang

sulit ini dengan bantuanmu: mari kita melakukannya bersama,

Teman,” katanya. “Saya tidak bisa pergi bersamamu, tetapi ada

satu bantuan yang dapat kuberikan kepadamu. Saya tahu suatu

mantra yang memiliki keistimewaan dengan kata-kata yang tak

ternilai harganya. Mantra ini dapat memberikan kekuatan,

kecepatan (langkah kaki), dan kekerasan (suara). Pelajarilah

mantra ini.” Ia pun menyetujuinya dan yaksa tersebut

memberikan mantra itu kepadanya, kemudian pergi. Penjahat

kanibal itu telah menghafal mantra tersebut di luar kepala, dan

sejak saat itu ia menjadi (mampu berlari) secepat angin dan

sangat kuat. Dalam waktu tujuh hari, ia mencoba mendapatkan

seratus satu raja tersebut sewaktu mereka berada di taman atau

tempat bersenang-senang lainnya, dengan melompat muncul di

hadapan mereka secepat angin dan memberitahukan namanya,

melompat ke sana dan ke sini serta berteriak-teriak, ia membuat

mereka menjadi ketakutan. Kemudian ia menangkap kaki mereka

dan menggendong mereka dengan posisi kepala di bawah,

membawa mereka pergi secepat angin, sembari tumitnya

memukul bagian kepala mereka (sewaktu berlari). Berikutnya, ia

melubangi telapak tangan mereka dan menggantung mereka

pada pohon beringin dengan menggunakan tali. Mereka

terhuyung-huyung oleh angin karena mereka tergantung berdiri

dengan ujung jari kaki saja yang menyentuh tanah, berputarputar

seperti untaian bunga layu di dalam keranjang. Tetapi ia berpikir, “Sutasoma adalah guru pribadiku: Janganlah membuat

seluruh India menjadi habis,” dan ia tidak menangkapnya.

Dengan berpikiran untuk membuat persembahan kepada dewi

pohon, ia membuat perapian dan duduk sambil mengasah

sebuah tombak. Ketika melihat ini, dewi pohon berpikir, “Orang

ini sedang menyiapkan kurban persembahan untukku. Bukan

diriku yang menyembuhkan lukanya: Ia akan menyebabkan

terjadinya suatu pembantaian yang besar. Apa yang harus

dilakukan? Saya tidak mampu menghentikannya.” Maka ia pergi

dan memberitahukan hal ini kepada dewa-dewa Cātumahārājika

dan memohon kepada mereka untuk menghentikannya. Ketika

mereka mengatakan bahwa mereka tidak mampu melakukannya,

ia pun pergi menjumpai dewa Sakka dan memberitahukan

kepadanya mengenai semua ceritanya dan memohon kepadanya

untuk menghentikannya. Sakka berkata, “Saya tidak dapat

melakukannya, tetapi saya dapat memberitahukan kepadamu

orang yang mampu melakukannya.” Dewi pohon kemudian

bertanya, “Siapakah orangnya itu?” “Di alam dewa dan manusia,”

jawabnya, “yang mampu melakukannya, selain Sutasoma,

Pangeran Kuru, yang berada di Kota Indapatta di dalam Kerajaan

Kuru. Ia akan mampu mengatasi dan mengubah diri orang ini,

akan mampu menyelamatkan nyawa dari raja-raja tersebut, dan

menyembuhkannya dari kebiasaannya memakan daging

manusia, serta akan menghujani seluruh India dengan buah

kebenaran. Jika Anda benar-benar ingin untuk menyelamatkan

nyawa dari para raja tersebut, maka mintalah ia untuk

membawakan Sutasoma terlebih dahulu sebelum memberikan

persembahannya kepada pohon.” “Baiklah,” jawabnya dan kemudian pergi dengan cepat. Dengan menyamar sebagai

seorang petapa, ia mendatangi penjahat kanibal tersebut.

Mendengar suara langkah kaki, ia berpikir, “Apakah salah satu

raja ini melarikan diri?” Ketika mencari tahu jawabannya dan

melihat seorang petapa, ia kemudian berpikir, “Petapa adalah

(termasuk) kaum kesatria. Jika ia kutangkap, maka akan

kudapatkan seratus satu orang raja (kesatria) dan dapat

kuberikan persembahanku.” Bangkit dan dengan pedang di

tangan, ia mengejar petapa tersebut. Akan tetapi ia tidak mampu

menyusulnya meskipun telah mengejarnya sejauh tiga yojana

dan keringat telah bercucuran keluar dari tangannya. Ia berpikir,

“Biasanya saya mampu mengejar dan menangkap seekor gajah,

atau seekor kuda, atau sebuah kereta yang berjalan amat cepat.

Tetapi hari ini, meskipun saya berlari dengan segala kecepatan

yang kumiliki, tidak mampu kutangkap petapa ini yang hanya

berjalan dengan langkah yang biasa. Ada apa ini?” Kemudian

dengan berpikir, “Petapa biasanya (selalu) patuh: Jika kuminta ia

berhenti maka ia akan melakukannya, dengan demikian akan

dapat kutangkap dirinya,” dan berteriak, “Berhenti, Petapa.”

“Saya telah berhenti,” jawabnya, “Anda juga harus berhenti.”

Kemudian ia berkata, “Teman, untuk menyelamatkan nyawanya,

seorang petapa tidaklah seharusnya berkata tidak benar, tetapi

Anda melakukannya,” dan mengulangi bait berikut ini:

Meskipun kuminta untuk berhenti,

Anda tetap melaju cepat,

dan dengan berkata, ‘Saya telah berhenti,’ Anda telah

berkata tidak benar:

Ini tidak pantas; Wahai petapa, Anda pasti menganggap

pedang ini sebagai batang anak panah yang tak

berbahaya, yang dihiasi dengan bulu bangau.

Kemudian makhluk dewata itu mengucapkan dua bait berikut:

Berdiri kukuh dalam kebenaran diriku ini,

tidak mengubah nama ataupun margaku,

di alam ini penjahat tidak hidup lama,

segera mereka akan berakhir di alam neraka.

Jadilah berani dan tangkap serta bawa Sutasoma ke

tempat ini,

dan dengan mempersembahkan dirinya, Anda akan

mendapatkan tempat di alam surga.

Setelah mengucapkan kata-kata demikian, dewi pohon

tersebut membuka samarannya sebagai seorang petapa dan

kemudian berdiri dalam wujud aslinya, bersinar terang di

angkasa layaknya matahari. Mendengar apa yang dikatakannya

dan melihat wujud aslinya, penjahat kanibal itu menanyakannya

siapa dirinya. Dan ketika dijawabnya bahwa ia adalah makhluk

dewata penjaga pohon itu, penjahat kanibal tersebut bersukacita dan dalam dirinya ia berpikir, “Telah kutemukan dewata

pelindungku,” kemudian berkata, “Wahai dewi pohon, jangan

menjadi khawatir atas masalah Sutasoma, silakan Anda

masuk saja kembali ke dalam pohon.” Makhluk dewata itu pun, di

hadapan penjahat kanibal tersebut, masuk ke dalam pohon. Kala

itu, matahari terbenam dan bulan muncul keluar. Penjahat ini ahli

dalam ilmu pengetahuan dan ilmu perbintangan, setelah melihat

ke langit, ia berpikir, “Besok adalah gugusan bintang Phussa;

Sutasoma akan pergi ke taman untuk mandi dan semua

penghuni di seluruh India akan ikut bersama untuk menjaganya

sejauh tiga yojana di sekelilingnya. Pada penggal awal malam

hari, sebelum pengawal-pengawalnya berada di posisi mereka,

saya akan pergi ke taman Migācira dan turun ke kolam, berdiri di

di sana dengan daun teratai menutupi kepalaku. Dikarenakan

kebesarannya yang mulia, ikan-ikan, kura-kura dan hewan

lainnya pergi menjauh darinya dan berenang di tepian. Apa yang

menjadi penyebab dari semua kejayaannya ini? Dikarenakan

perbuatan baiknya di masa lampau: Di masa kehidupan Buddha

Kassapa, ia memulai pemberian susu secara teratur. Disebabkan

oleh perbuatan ini, ia menjadi orang yang sangat kuat. Ia juga

membangunkan sebuah balai perapian bagi anggota sangha,

untuk menghilangkan rasa dingin, ia yang menyediakan api, kayu

bakar, dan kapak untuk membelah kayu. Disebabkan oleh

perbuatan ini, ia menjadi orang yang terkemuka.

—Kembali ke keadaan sekarang, ia telah berada di dalam taman. Sewaktu hari

masih subuh, para penjaga mulai berjaga di sekeliling taman

sampai sejauh tiga yojana. Dan setelah selesai menyantap

sarapan, Raja Sutasoma menunggangi seekor gajah yang bersenjata lengkap dan berangkat keluar dari kota, dikawal oleh

empat kelompok pengawal. Kala itu, seorang brahmana yang

bernama Nanda dari Takkasila yang membawa bersamanya

empat bait kalimat, yang masing-masing bait seharga seratus

keping uang, tiba di kota setelah melewati perjalanan sejauh

seratus dua puluh yojana, dan tinggal di suatu daerah pedesaan.

Di saat matahari terbit, ketika hendak memasuki kota, ia melihat

raja berangkat keluar dari gerbang timur, dan dengan

mengangkat tangannya naik ke atas, ia kemudian berseru,

“Semoga Paduka berjaya.” Karena melihat dari tempat yang jauh

ketika sedang menunggang, raja (hanya) melihat tangan

brahmana yang diangkat tersebut. Setelah menghampirinya, ia

mengucapkan bait berikut:

Lahir di alam apa dan mengapa Anda datang,

wahai brahmana,

jika ini dikatakan, maka hari ini akan kukabulkan

permohonanmu, apa pun itu.

Kemudian brahmana itu menjawabnya:

Empat bait, Raja yang perkasa, bagimu adalah sama

dalamnya seperti samudra,

kubawakan ke sini untukmu; dengarkanlah baik-baik,

mereka mengungkapkan rahasia-rahasia yang berharga

paling tinggi.

“Maharaja,” katanya, “keempat bait kalimat ini diajarkan

oleh Buddha Kassapa, dan bernilai seratus keping uang setiap baitnya. Setelah mendengar bahwa Anda kaya dalam ilmu

pengetahuan, saya pun datang ke sini untuk mengajarimu.” Raja

menjadi amat gembira dan berkata, “Guru, ini adalah suatu hal

yang amat bagus, tetapi tidaklah mungkin bagiku untuk berbalik

arah (sekarang). Karena hari ini adalah hari gugusan bintang

Phussa, maka hari ini merupakan hari untuk memandikan

kepalaku: Di saat kembali nanti, pasti akan kudengarkan itu

darimu. Janganlah menjadi kesal terhadap diriku.” Setelah

mengucapkan kata-kata ini, ia memberikan perintah kepada para

pejabat kerajaannya, dengan berkata, “Pergilah kalian ke rumah

seorang brahmana ini dan siapkan sebuah tempat duduk dan

susun tempat makan yang telah dihias,” dan ia pun melanjutkan

perjalanannya menuju ke taman. Taman ini dikelilingi oleh

dinding yang tingginya mencapai delapan belas hasta dan

dikawal oleh gajah-gajah yang saling bergandengan. Kemudian

juga terdapat kuda, kereta, dan para pemanah serta pasukan

(pengawal) berjalan kaki—itu terlihat seperti sebuah samudra

yang kacau setelah para pasukan tersebut diberangkatkan ke

sana. Setelah menanggalkan segala perhiasannya yang berat,

dicukur, dan diberi sabun, raja pun mandi di dalam kolam teratai

tersebut. Setelah keluar dari dalam air, ia berdiri dengan

mengenakan pakaian mandi, dan mereka membawakan untaian

wewangian bunga untuk menghias dirinya. Penjahat kanibal

tersebut berpikir, “Jika ia (telah) berpakaian lengkap, maka ia

akan menjadi suatu beban yang berat. Akan kutangkap ia selagi

masih ringan untuk dibawa.” Maka dengan berteriak,

melompat, dan memutar pedang di atas kepalanya secepat kilat,

ia menyerukan namanya, “Inilah saya, si pemakan daging makan manusia,” ia meletakkan jari tangannya pada dahinya dan

keluar dari dalam air. Segera setelah mereka mendengar

seruannya, para penunggang gajah dengan gajah-gajah mereka,

para penunggang kuda dengan kuda-kuda mereka, dan para

pengemudi kereta dengan kereta-kereta mereka, para pemanah

dengan panah-panah mereka, dan para pasukan berjalan kaki

dengan senjata-senjata mereka letakkan di bawah perut dan

berlutut di tanah. Penjahat kanibal itu menangkap Sutasoma,

dengan memegangnya dalam keadaan berdiri. Terhadap rajaraja

lain yang ditangkapnya, ia menangkap bagian kaki dan

menggantung bagian kepala mereka di bawah, membawa

mereka pergi dengan bagian tumit yang selalu memukul bagian

kepala mereka. Akan tetapi, terhadap Bodhisatta, ia menunduk

ke bawah, mengangkatnya dan menempatkannya di bagian

pundak. Merasa akan menjadi suatu perjalanan yang berputarputar

jika melewati gerbang, ia pun melompati pagar dinding

yang tingginya delapan belas hasta yang berada di depannya,

kemudian memijak bagian kepala gajah-gajah yang memberikan

jejak, menaklukkan mereka seperti halnya menaklukkan puncakpuncak

gunung. Berikutnya, ia memijak bagian punggung kuda—

mereka bergerak secepat angin dan memiliki harga yang tak

ternilai—dan membuat mereka berbaring di tanah. Kemudian

ketika memijak kereta-kereta perang, ia menjadi seperti sesuatu

yang berputar di bagian atas dengan suara dengung atau seperti

sesuatu yang menghancurkan dedaunan pohon phalaka atau

pohon beringin, dan dalam satu letusan ia pun melewati jarak tiga yojana. Merasa ingin tahu apakah ada orang yang

mengikutinya untuk menyelamatkan Sutasoma, ia melihat (ke

belakang). Melihat tidak ada siapa pun, ia memelankan

langkahnya. Setelah memperhatikan tetesan air (keringat) yang

jatuh mengenai dirinya dari rambut Sutasoma, ia berpikir, “Tidak

ada manusia yang hidup bebas dari rasa takut terhadap

kematian: Sutasoma juga demikian halnya, menangis

disebabkan oleh rasa takut ini,” dan berkata:

Orang yang ahli dalam ilmu pengetahuan, yang di dalam

dirinya timbul pemikiran-pemikiran yang hebat,

orang-orang yang demikian terpelajar dan bijak tidak

pernah menangis;

Semuanya dapat dijadikan sebagai tempat bernaung dan

tempat tinggal,

Orang bijak dapat menghalau penderitaan yang demikian.

Apakah dikarenakan sanak saudaramu, istrimu, anakmu,

atau mungkin dikarenakan dirimu sendiri,

kerajaanmu, harta kekayaanmu—

Apa, Sutasoma, yang menjadi penyebab keluarnya

tetesan air mata ini?

Raja agung Kuru, jawabanmu ingin kami ketahui.

Sutasoma berkata:

Tidak, tidak ada tetesan air mata yang kucucurkan

karena diriku sendiri,

tidak juga karena istri atau anakku, kerajaanku ataupun

kekayaanku.

Selalu kulatih kehidupan seorang bijak nan suci,

saya menangis karena suatu janji yang belum kupenuhi.

Tadinya telah kujanjikan sesuatu kepada seorang

brahmana,

selalu diriku memerintah kerajaan dengan benar;

Janji yang telah kubuat itu ingin kupenuhi dahulu,

kemudian kembali kepadamu, kehormatanku

terselamatkan.

Penjahat kanibal itu berkata:

Saya tidak percaya jika ada orang yang terbebas dari

jerat maut, kemudian dengan senang hati akan kembali

untuk menyerahkan diri kepada musuhnya;

Demikian juga dirimu nantinya bertindak, jika

kubebaskan untuk pergi.

[480] Jika terlepas dari cengkeraman si pemakan daging

manusia, Anda akan kembali ke istanamu,

dipenuhi dengan segala keinginan, segala kesenangan

dalam hidup dikembalikan kepadamu;

Alasan apa yang dapat membuatmu kembali kepadaku?

Mendengar ini, Sang Mahasatwa, seperti seekor singa

tanpa rasa takut, berkata:

Jika bersalah, seseorang akan lebih memilih kematian

daripada kehidupan yang dipenuhi noda;

Jika ia, untuk menyelamatkan nyawanya, berkata dusta,

maka itu tidak akan pernah melindunginya dari

mendapatkan penderitaan di alam menyedihkan.

Angin mungkin dapat memindahkan gunung,

Matahari dan bulan mungkin dapat jatuh dari langit,

Tuan, aliran air mungkin dapat mengalir ke atas,

tetapi saya pasti tidak akan berkata dusta.

Meskipun ia berkata demikian, penjahat kanibal itu tetap

tidak memercayainya. Maka Bodhisatta, dengan berpikiran, “Ia

tidak memercayaiku; Dengan satu sumpah, akan kubuat ia

percaya padaku,” dan berkata, “Teman kanibal, turunkanlah

saya dari punggungmu, saya akan mengambil satu sumpah dan

membuatmu memercayaiku.” Setelah mengucapkan kata-kata

ini, ia diturunkan oleh penjahat kanibal tersebut ke tanah. Untuk

mengambil sumpah itu, ia berkata:

Dengan menyentuh pedang dan tombak ini,

kunyatakan sumpahku kepadamu,

Lepaskanlah aku dan, setelah hutangku lunas,

kehormatanku terselamatkan, akan kembali kepadamu.

Kemudian penjahat kanibal itu berpikir, “Sutasoma ini

membuat satu sumpah yang bila dilanggar akan menerima balasan yang setimpal dengan yang melanggar aturan para

kesatria. Apa lagi yang saya inginkan darinya? Baiklah, saya juga

adalah seorang kesatria; Akan kuambil darah dari tanganku

sendiri dan kupersembahkan kepada dewi pohon. Orang ini

adalah seorang pengecut.” Dan ia berkata:

Kata-kata itu diucapkan layaknya ditujukan kepada

seorang brahmana,

setiap saat di dalam kerajaanmu memerintah

dengan benar,

sumpahmu itu kuminta untuk dipenuhi,

setelah kehormatanmu terselamatkan, akan kembali

kepadaku.

Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Teman, jangan

khawatir. Setelah kudengarkan empat bait yang masingmasingnya

berharga senilai seratus keping uang dan kuberikan

persembahan kepada sang pengkhotbah kebenaran, saya akan

kembali kepadamu di hari menjelang fajar.” Dan ia mengucapkan bait berikut:

Kata-kata itu diucapkan layaknya ditujukan kepada

seorang brahmana,

setiap saat di dalam kerajaanku memerintah

dengan benar,

sumpahku itu kepadamu akan kupenuhi

setelah kehormatanku terselamatkan, akan kembali

kepadamu.

Kemudian penjahat kanibal itu berkata, “Anda telah

membuat satu sumpah yang bila dilanggar akan menerima

balasan yang setimpal dengan yang melanggar aturan para

kesatria. Pastikan Anda bertindak sesuai dengan itu.” “Teman

kanibal,” katanya, “Anda telah mengenalku sejak kecil: tidak

pernah sebelumnya diriku berkata dusta, dan sekarang di saat

diriku telah duduk di singgasana dan mengetahui yang benar dan

yang salah, mengapa saya harus berkata dusta? Percayalah

padaku, akan kusediakan diriku sebagai persembahan bagi

dirimu.” Setelah berhasil dibujuk untuk memercayainya, ia

berkata, “Baiklah, Paduka, Anda boleh pergi. Jika Anda tidak

kembali, maka tidak akan ada persembahan dan makhluk

dewata itu tidak akan menerimanya tanpa adanya dirimu: jangan

menimbulkan rintangan dalam persembahanku,” dan

melepaskan Sang Mahasatwa untuk pergi. Seperti bulan yang

lepas dari cengkeraman Rāhu dan dengan kekuataan seekor

gajah muda, dengan cepat ia tiba di kota. Sebelumnya, para

pasukannya berpikir, “Raja Sutasoma adalah orang yang bijak

dan pengkhotbah kebenaran yang handal. Jika ia dapat

berbincang dengannya, maka ia akan mengubah penjahat

kanibal itu, dan akan kembali seperti gajah yang meloloskan diri

dari mulut singa.” Dan dengan berpikir, “Orang-orang akan

mengecam kami dan berkata, ‘Setelah menyerahkan rajamu

kepada penjahat kanibal, kalian masih berani kembali kepada

kami?” mereka pun menetap (sementara) di luar gerbang kota.

Ketika mereka melihat raja datang dari kejauhan, mereka pergi

menyambutnya dan beruluk salam kepadanya, kemudian bertanya, “Apakah Anda tidak terluka oleh penjahat kanibal itu,

Paduka?” “Penjahat kanibal itu,” balasnya, “melakukan sesuatu

yang lebih sulit daripada yang dilakukan oleh orang tuaku.

Karena meskipun ia adalah makhluk yang demikian buas dan

kejam, tetapi ia melepaskanku pergi setelah mendengar

pemaparan kebenaranku.” Kemudian mereka mendandani raja

dan menaikkannya ke atas punggung gajah, mengawalnya

masuk kembali ke dalam kota. Ketika melihatnya, orang-orang

bersukacita. Dikarenakan keinginannya untuk mendengarkan

pemaparan khotbah (kebenaran), ia pun tidak mengunjungi

orang tuanya (terlebih dahulu) dengan berpikiran, “Akan

kukunjungi mereka lain kali,” ia pun masuk ke dalam istananya

dan duduk di atas takhtanya. Kemudian ia memanggil sang

brahmana dan memberi perintah kepada pengawalnya untuk

membersihkan dirinya. Setelah rambut dan janggutnya dipotong

dan dirapikan, setelah ia mandi dan menggunakan wewangian,

serta setelah ia mengenakan pakaian yang terang, mereka

membawanya menghadap kepada raja. Dan ketika brahmana itu

datang menghadap, Sutasoma pergi mandi dan memerintahkan

agar makanan yang disajikan kepadanya agar diberikan kepada

sang brahmana. Setelah brahmana itu selesai makan, ia pun

memakannya (sisa). Kemudian ia memberikan tempat duduk

yang agung kepada brahmana tersebut, dan untuk memberikan

penghormatan kepadanya ia memberikan persembahan berupa

untaian wewangian bunga dan sejenisnya. Setelah duduk di

tempat yang lebih rendah, ia memohon kepadanya dengan

berkata, “Guru, kami telah siap mendengar bait-bait (syair) yang

Anda bawakan kepada kami.”

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Terbebas dari cengkeraman makhluk kanibal kejam,

ia pergi menemui teman brahmananya dan berseru,

‘Kami ingin mendengar bait-bait kalimat yang masingmasing

berharga senilai seratus keping uang,

demi kebaikan kami semua jika Anda bersedia mengajar.’

Setelah Bodhisatta mengucapkan permohonannya,

brahmana tersebut, setelah membersihkan tangannya dengan

wewangian, mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas dengan

kedua tangannya dan berkata: “Baiklah, Paduka, dengarkanlah

empat syair-ku ini, yang masing-masing berharga senilai seratus

keping uang. Syair-syair ini diajarkan oleh Buddha Kassapa,

penghancur nafsu, penghancur kesombongan diri dan keburukan

sejenisnya dan memberikan pelepasan akan nafsu (keinginan)

dan berhentinya keadaan pikiran, bahkan pencapaian keadaan

nibbana, pelenyapan nafsu, pemutusan proses kelahiran yang

berulang-ulang, dan pencabutan kemelakatan,” dan setelah

mengucapkan kata-kata ini, ia mengulangi syair-syair berikut:

Binalah hubungan dengan orang-orang yang baik,

jangan membina hubungan dengan orang-orang yang

tidak baik, maka kedamaian akan mendatangimu.

Bertemanlah dengan orang-orang yang bijaksana,

mengenal hanya orang-orang demikian,

dari orang bijaksana mempelajari pengetahuan dan kian

hari tumbuh kian baik.

Seperti hiasan pada kereta kerajaan yang luntur dan

pudar, demikian juga halnya dengan tubuh kita yang

akan menua dan menderita pembusukan.

Akan tetapi, kebenaran dari orang bijak akan tetap dan

tidak akan usang,

Orang-orang baik memberitahukan ini kepada mereka

yang baik sejak dahulu.

Langit membentang luas di atas, bumi membentang

luas di bawah,

dan daratan di seberang lautan luas terlihat amat jauh,

tetapi masih lebih hebat dari semuanya ini dan lebih luas

dalam jangkauannya yaitu ajaran mengenai kebaikan

atau keburukan yang dipaparkan oleh orang bijaksana

nan suci.

Demikianlah sang brahmana mengajarkan keempat

syair tersebut, yang masing-masing berharga senilai seratus

keping uang, sama seperti bagaimana ia diajar oleh Buddha

Kassapa, dan kemudian diam. Sang Mahasatwa bersukacita

setelah mendengar pemaparannya dan berkata, “Perjalananku

kembali ke sini tidaklah sia-sia,” dan dengan berpikir, “Syair-syair

ini bukanlah hanya kata-kata dari seorang siswa atau dari seorang petapa suci atau hasil karya dari seorang penyair,

melainkan adalah kata-kata yang diucapkan oleh Yang

Mahatahu; Saya bertanya-tanya berapa harga dari mereka ini.

Meskipun memberikan seluruh dunia yang terbentang sampai ke

alam brahma, mengisinya dengan tujuh batu permata berharga,

seseorang pun belum sanggup memberikan balasan yang

setimpal atas syair-syair ini. Pastinya, saya dapat memberikan

kepadanya kekuasaan atas Kota Indapatta yang melingkupi

wilayah seluas tujuh yojana di dalam Kerajaan Kuru, yang

terbentang seluas tiga yojana. Tidak diragukan lagi, pasti ini

adalah buah dari jasa-jasa kebajikannya yang menyebabkan ia

menjadi seorang raja.” Tetapi ketika hendak menyerahkan

kepadanya kekuasaan yang dimilikinya yang dapat menentukan

kehidupan seseorang dari penampilan luarnya, raja tidak

mendapatkan persetujuan darinya. Kemudian raja menawarkan

kepadanya jabatan sebagai Panglima Tertinggi dan juga jabatan

sejenisnya, tetapi juga ia tidak mendapatkan persetujuan darinya,

bahkan sebagai seorang kepala suatu perkampungan sekalipun.

Berikutnya, memikirkan tentang kepemilikan harta kekayaannya,

ia memulai menawarkan uang sejumlah seratus juta sampai

akhirnya pada jumlah uang empat ribu keping. Dengan berpikiran

untuk memberikan kepadanya jumlah yang demikian, ia

mempersembahkan kepadanya empat kantong yang masingmasing

berisikan uang seribu keping, dan ia bertanya

kepadanya, “Guru, ketika Anda mengajarkan syair-syair kepada

raja-raja yang lain, berapa yang Anda dapatkan?” “Seratus

keping untuk tiap syair.” Sang Mahasatwa berkata, “Guru, Anda

tidak memedulikan harga dari barang yang tak ternilai, yang Anda bawa berkeliling ini. Mulai sekarang, biarlah mereka

menjadi seharga seribu keping (tiap syair),” setelah berkata

demikian, ia mengulangi bait berikut:

Bukanlah ratusan nilai syair-syair ini, melainkan ribuan.

Oleh karenanya, Brahmana, ambillah empat ribu keping

ini dan kembalilah dengan membawa mereka.

Kemudian ia mempersembahkan kepadanya sebuah

kereta dan memberi perintah kepada pengawalpengawalnya,

dengan berkata, “Bawa brahmana ini kembali

dengan selamat ke tempat tinggalnya,” dan kemudian

memintanya pergi. Kala itu, suara tepuk tangan yang keras

terdengar dan seruan, “Bagus, bagus! Raja Sutasoma benarbenar

menghargai syair-syair ini, dengan memberikan seribu

keping uang atas barang yang sebelumnya dihargai seratus

keping.” Orang tua raja yang mendengar suara ribut itu

menanyakan apa yang terjadi, dan menjadi marah dengan Sang

Mahasatwa ketika mengetahui kejadian yang sebenarnya,

dikarenakan ketamakan mereka. Setelah memulangkan

brahmana tersebut, ia pergi menjumpai orang tuanya dan berdiri

memberi hormat kepada mereka. Kemudian ayahnya berkata,

“Putraku, Anda telah lolos dari tangan seseorang yang disebutsebut

sebagai penjahat kejam,” dan tidak mengungkapkan

kebahagiaan atas pertemuan ia dengan anaknya, dikarenakan

ketamakannya terhadap uang, ia bertanya, “Apakah benar yang

mereka katakan bahwa Anda memberikan empat ribu keping

uang karena telah mendengarkan empat bait kalimat?” Dan ketika diakui oleh anaknya bahwa hal itu adalah benar adanya,

ayahnya mengulangi bait berikut:

Syair mungkin saja berharga senilai delapan puluh

setiap baitnya,

bahkan juga mungkin berharga senilai seratus keping.

Akan tetapi, Sutasoma, tidak pernah kuketahui satu bait

syair yang berharga senilai seribu keping uang.

Kemudian Sang Mahasatwa, untuk membuatnya dapat

melihat segala hal dengan lebih terbuka, berkata, “Ayah,

bukanlah peningkatan dalam harta kekayaan yang kuinginkan,

melainkan peningkatan dalam pengetahuan,” dan ia

mengucapkan bait-bait berikut:

Peningkatan dalam ilmu pengetahuan amat kuinginkan

dan juga persahabatan dengan orang-orang yang baik;

tidak ada sungai yang mampu membanjiri lautan,

demikianlah diriku yang masih merasa kurang akan katakata

(yang mengandung) kebenaran.

Seperti api yang terus berkobar, tidak puas dengan kayu

dan rerumputan,

seperti samudra, yang meskipun diberi makan oleh aliran

air sungai, terus-menerus meminta lagi,

demikianlah orang bijak, raja para kesatria,

tetap tidak puas untuk mendengarkan kata-kata

kebenaran

Jika dari mulut pembantuku sendiri kudengar syair-syair

yang mengandung kebenaran,

maka kata-katanya itu akan kuterima dengan penuh

hormat, karena diriku masih merasa kurang akan katakata

kebenaran.

Setelah berkata demikian, ia menambahkan, “Janganlah

menyalahkan diriku hanya karena masalah uang. Saya kembali

kemari setelah sebelumnya bersumpah untuk kembali lagi

setelah selesai mendengarkan kebenaran. Karena sekarang

telah kulakukan itu, maka sudah saatnya saya kembali ke tempat

penjahat kanibal tersebut. Ambil alihlah kekuasaan ini,” dan

mengucapkan bait berikut ini:

Kerajaan ini beserta dengan segala kekayaannya

adalah milikmu,

segala hiasan kota, kegembiraan dan kesenangan

berlimpah ruah.

Mengapa menyalahkanku, jika dari kesenangan indriawi

diriku (hendak) bebas dan menemui ajal di tangan

makhluk kanibal tersebut?

Pada saat itu, hati dari ayah sang raja tersebut menjadi

panas di dalam, dan ia berkata, “Apa, Sutasoma, yang kamu

katakan ini? Akan kudatangi dengan empat kelompok pengawal

dan kutangkap penjahat itu,” dan ia mengulangi bait berikut:

Bala tentara datang untuk pertahanan kita,

Sebagian menunggang gajah, sebagian mengendarai

kereta, sebagian menunggang kuda dengan busur, dan

sebagian lagi berjalan kaki—

Dengan Panglima sebagai pemimpin, mari kita bunuh

musuh kita.

Kemudian ayah dan ibunya, dengan air mata yang

berlinang, memohon kepadanya, dengan berkata, “Jangan pergi,

Anakku. Tidak, Anda tidak boleh pergi,” dan sebanyak enam

belas ribu gadis penari beserta sisa rombongannya meratap dan

berkata, “Ke mana Anda hendak pergi dengan meninggalkan

kami yang tak berdaya di sini?” dan tak seorang pun di seluruh

pelosok kota mampu menahan perasaan mereka, dan mereka

berkata, “Ia telah datang kembali setelah sebelumnya membuat

satu sumpah kepada makhluk kanibal itu, dan sekarang [487]

karena telah selesai mendengarkan empat syair yang masingmasing

berharga senilai seratus keping dan telah memberikan

penghormatan selayaknya kepada seorang pengkhotbah

kebenaran serta telah berpamitan kepada orang tuanya, ia akan

kembali ke tempat penjahat itu, sekali lagi,” dan seluruh kota

menjadi gempar. Ketika mendengar apa yang dikatakan oleh

orang tuanya, ia kemudian mengulangi bait berikut:

Perbuatan dari musuh kita, si pemakan daging manusia,

itu amat baik, membolehkanku pergi setelah menangkapku.

Mengingat perbuatannya yang baik itu,

bagaimana mungkin kulanggar sumpahku sendiri?

Untuk menghibur orang tuanya, ia kemudian berkata,

“Ayah dan Ibu, janganlah mencemaskan diriku. Saya telah

melakukan perbuatan yang baik, dan penguasaan terhadap

keinginan dari enam indra bukanlah hal yang sulit,” dan

setelah berpamitan dengan orang tuanya, ia memberikan

wejangan kepada orang-orang dan kemudian berangkat.

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Berpamitan dengan kedua orang tuanya, dengan nasihat

bijak ia menasihati para penduduk dan pejabat kerajaan,

Kemudian tidak berniat untuk tidak memenuhi

sumpahnya, ia kembali lagi ke tempat makhluk kanibal.

Kemudian penjahat kanibal itu berpikir, “Jika temanku,

Sutasoma, hendak kembali, maka biarlah ia kembali. Kalau tidak,

biarlah dewi pohon itu melakukan apa pun yang

diinginkannya, dan akan kubunuh para kesatria ini untuk

membuat suatu persembahan dengan lima jenis daging yang

lezat.” Maka ia pun membuat satu tumpukan kayu bakar dan

mulai menyalakan api, dengan berpikiran untuk menunggu

sampai baranya menjadi panas. Ketika ia sedang duduk dan

mengasah tombak (tusuk), Sutasoma datang. Melihat Sutasoma

datang kembali, ia menjadi gembira dan bertanya, dengan

berkata, “Teman, apakah Anda telah pergi dan melakukan apa yang harus dilakukan?” Sang Mahasatwa berkata, “Ya,

Maharaja, telah kudengar syair-syair dari brahmana itu yang

diajarkan oleh Buddha Kassapa, dan telah kuberikan

penghormatan yang selayaknya kepada pengkhotbah

kebenaran. Sekarang saya telah kembali, setelah selesai

melakukan apa yang harus dilakukan.” Untuk menggambarkan

permasalahan ini, ia mengulangi bait berikut:

Suatu hari kujanjikan sesuatu kepada seorang

brahmana, di saat diriku memerintah dengan benar di

dalam kerajaanku,

dan sekarang setelah kupenuhi sumpahku itu,

kehormatanku terselamatkan, saya datang kembali.

Bunuh dan persembahkanlah diriku kepada

dewi pohonmu,

atau untuk memuaskan nafsumu akan daging manusia.

Mendengar ini, penjahat kanibal itu berpikir, “Raja ini

tidak memiliki rasa takut; ia berbicara layaknya semua rasa takut

dirinya terhadap kematian telah lenyap. Saya ingin tahu dari

mana datangnya kekuatan ini. Tidak mungkin yang lainnya lagi,

tadi ia mengatakan, ‘Telah kudengar syair-syair yang diajarkan

oleh Buddha Kassapa.’ Kekuatan luar biasa ini pastinya berasal

dari syair-syair itu. Akan kuminta ia mengucapkan syair-syair

tersebut untuk kudengar, dan dengan demikian diriku juga akan

terbebas dari segala rasa takut.” Dan dengan menetapkan tekad

demikian, ia mengulangi bait berikut:

Api masih membara: meskipun agak sedikit tertunda,

tetapi saya tidak akan berhenti dari memakan mangsaku.

Daging yang dipanggang di atas bara api akan matang

dengan enak;

Mari beritahukan bait yang berharga seratus keping itu.

Mendengar ini, Sang Mahasatwa berpikir,

“Penjahat kanibal ini adalah orang yang berada di jalan yang

salah: Akan kukecam ia dan dengan kata-kata akan kubuat ia

menjadi malu,” dan ia berkata:

Anda adalah manusia yang keji,

terjatuh dari singgasana dikarenakan nafsu indriawi;

Syair-syair ini memberitahukan kebenaran kepadaku,

bagaimana yang benar bergabung dengan yang salah?

Bagi seorang penjahat keji, yang tangannya terjerumus

dalam limbah darah,

dari mana datangnya kebenaran atau kebaikan?

Apa gunanya ilmu pengetahuan?

Ketika dikecam dengan kata-kata ini, penjahat kanibal itu

tidak marah. Mengapa demikian? Hal ini terjadi dikarenakan

kekuatan cinta kasih (metta) yang luar biasa dari Sang

Mahasatwa. Maka ia berkata, “Apakah hanya saya, Teman

Sutasoma, orang yang tidak benar?” dan mengulangi bait berikut:

Manusia yang memburu hewan

untuk dijadikan makanan,

dan manusia yang membunuh manusia

untuk dijadikan makanan,

kedua jenis orang ini akan dihitung sama besar

kesalahannya setelah kematian:

Mengapa hanya diriku sendiri yang disalahkan

karena kekejaman?

Mendengar ini, Sang Mahasatwa, untuk membantah

pandangan salahnya, mengulangi bait berikut:

Oleh kaum kesatria diketahui ada lima mangsa berkuku

lima yang boleh disantap;

Oh, Paduka, menyantap yang tak boleh disantap,

karena itu Anda bertentangan dengan kebenaran

(Dhamma).

Ketika mendapatkan kecaman ini dan melihat tidak

adanya cara untuk membantah lagi, ia mencoba untuk

menyembunyikan perbuatan buruknya dan mengulangi bait

berikut:

Bebas dari pemakan daging manusia, Anda pulang

kembali ke istana, penuh dengan kesenangan.

Kemudian kembali lagi kepada seorang musuh untuk

memberikan nyawamu?

Anda adalah seorang yang ahli dalam pengetahuan!

Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Teman, seseorang

seperti diriku ini seharusnya ahli dalam pengetahuan (kaum

kesatria). Saya mengetahuinya dengan baik, tetapi tidak

mendasarkan perbuatanku padanya,” dan ia mengucapkan bait berikut:

Yang terdapat di dalam ajaran kaum kesatria membuat

orang berakhir di alam neraka.

Oleh karenanya tidak kusukai ajaran kaum kesatria dan

kembali lagi ke tempatmu ini, memenuhi sumpahku:

Jadikanlah diriku sebagai persembahanmu, atau

makanan untukmu.

Penjahat kanibal itu berkata:

Tempat tinggal dalam istana megah, tanah yang luas,

kuda dan ternak lainnya,

wewangian, kain yang mahal, dan banyak selir,

Semuanya ini Anda miliki tanpa harus membayar—

Hal baik apa yang Anda dapatkan dari (menjaga)

kebenaran?

Bodhisatta berkata:

Dari segalanya kebaikan yang dapat kunikmati di dunia,

tak ada yang lebih baik daripada kebaikan dari

kebenaran:

Para petapa dan brahmana yang selalu bertindak

dengan benar, terbebas dari lingkaran kelahiran dan

kematian, menuju ke sisi yang lebih jauh ke depan.

Demikian Sang Mahasatwa memaparkan kepadanya

akan kebaikan dari kebenaran. Kemudian sewaktu melihat

wajahnya yang amat cerah seperti bunga teratai yang mekar

sempurna atau seperti terangnya bulan purnama, penjahat

kanibal itu berpikir, “Sutasoma ini melihatku mempersiapkan

tumpukan kayu bakar dan mengasah tombak, tetapi ia tidak

menunjukkan rasa takut sedikitpun. Apakah mungkin ini

disebabkan oleh syair-syair yang masing-masing berharga senilai

seratus keping atau apakah ini disebabkan oleh suatu

kebenaran? Akan kutanyakan padanya.” Dan dalam bentuk

pertanyaan, ia mengulangi bait berikut:

Bebas dari pemakan daging manusia, Anda pulang

kembali ke istana, penuh dengan kesenangan.

Kemudian kembali lagi kepada seorang musuh untuk

memberikan nyawamu?

Pastinya Anda tidak mengetahui apa itu rasa takut

terhadap kematian, bebas dari nafsu keinginan,

menepati sumpahmu.

Untuk menjawabnya, Sang Mahasatwa berkata:

Dikarenakan telah kulakukan kebajikan yang tak

terhitung jumlahnya,

telah kuberikan persembahan yang berlimpah ruah,

maka telah jelas pula jalan yang akan kutempuh di

kehidupan berikutnya:

Ia yang berjalan di dalam kebenaran tidak akan takut

terhadap kematian.

Dikarenakan telah kulakukan kebajikan yang tak

terhitung jumlahnya,

telah kuberikan persembahan yang berlimpah ruah,

maka tanpa sesal akan kutempuh jalan ke alam surga,

oleh karenanya, jadikanlah diriku sebagai

persembahanmu atau makanan untukmu.

Orang tuaku telah kubahagiakan dengan perawatan

yang baik,

pemerintahanku mendapatkan pujian sebagai

pemerintahan yang adil (benar),

maka telah jelas pula jalan yang akan kutempuh di

kehidupan berikutnya:

Ia yang berjalan di dalam kebenaran tidak akan takut

akan kematian.

Orang tuaku telah kubahagiakan dengan perawatan

yang baik,

pemerintahanku mendapatkan pujian sebagai

pemerintahan yang adil (benar),

maka tanpa sesal akan kutempuh jalan ke alam surga,

oleh karenanya, jadikanlah diriku sebagai

persembahanmu atau makanan untukmu.

Telah kulakukan perbuatan yang selayaknya dilakukan

terhadap sanak keluarga dan teman-teman,

pemerintahanku adil dan mendapatkan pujian,

maka tanpa sesal akan kutempuh jalan ke alam surga,

oleh karenanya, jadikanlah diriku sebagai

persembahanmu atau makanan untukmu.

Telah kuberikan derma yang demikian banyak,

telah kupuaskan para petapa dan brahmana dengan

dana (makanan),

maka telah jelas pula jalan yang akan kutempuh di

kehidupan berikutnya:

Ia yang berjalan di dalam kebenaran tidak akan takut

terhadap kematian.

Telah kuberikan derma yang demikian banyak,

telah kupuaskan para petapa dan brahmana dengan

dana (makanan),

maka tanpa sesal akan kutempuh jalan ke alam surga,

oleh karenanya, jadikanlah diriku sebagai

persembahanmu atau makanan untukmu.

Ketika mendengar ini, penjahat kanibal tersebut

berpikir, “Raja Sutasoma ini adalah orang yang bajik dan

berpengetahuan: jika kumakan dagingnya, maka kepalaku akan

terbelah menjadi tujuh bagian, atau bumi akan terbuka lebar dan

menelanku ke dalamnya,” dan dalam rasa takutnya, ia berkata,

“Teman, Anda bukanlah jenis orang yang harus kumakan,” dan

mengulangi bait berikut:

Ia harus meminum secangkir racun, atau

menghadapi ular ganas yang murka, atau

kepalanya akan terbelah menjadi tujuh bagian,

bila berani memakan seseorang yang tak berkata dusta.

Demikian ia berkata kepada Sang Mahasatwa, dengan

menambahkan, “Anda itu, terlihat seolah-olah, seperti racun yang

mematikan; siapa yang berani memakan dagingmu?” dan

dikarenakan ingin mendengar syair-syair tersebut, ia pun

memohon kepadanya untuk memberitahukan itu kepadanya.

Ketika permohonannya ditolak oleh Sang Mahasatwa disebabkan

oleh rasa hormat yang selayaknya terhadap hal-hal yang suci,

dengan dasar alasan bahwa ia bukanlah penerima yang tepat

atas syair yang demikian, ia berkata, “Di seluruh India tidak ada

orang bijak seperti ia, karena ketika ia kubebaskan dari

cengkeramanku, ia pulang dan mendengarkan syair-syair ini.

Setelah memberikan hormat yang selayaknya kepada sang

pengkhotbah kebenaran, ia kemudian kembali lagi, dengan

kematian yang tertulis jelas di kepalanya. Syair-syair ini pastilah

memiliki kebaikan yang luar biasa,” dan masih dengan dipenuhi oleh keinginan untuk (dapat) mendengar syair-syair tersebut, ia

memohon kembali kepada Sang Mahasatwa dan mengulangi bait berikut:

Sesudah mendengar kebenaran itu, orang-orang segera

dapat membedakan yang baik dan yang buruk;

Jika saya dapat mendengarnya, maka hatiku dapat diisi

dengan kebahagiaan dalam kebenaran.

Kemudian Sang Mahasatwa berpikir, “Penjahat kanibal

ini sekarang berhasrat untuk mendengar: akan kupaparkan syairsyair

tersebut kepadanya,” dan berkata, “Baiklah, Teman,

dengarkanlah baik-baik.” Demikianlah, setelah mendapatkan

perhatiannya, ia melantunkan syair-syair tersebut sama seperti

bagaimana mereka diajarkan kepadanya oleh Brahmana Nanda,

para dewa di enam alam kesenangan indriawi berseru [494], dan

para bidadari bertepuk tangan menandakan persetujuan, dan

Sang Mahasatwa demikian memaparkan kebenaran tersebut

kepada si penjahat kanibal:

Binalah hubungan dengan orang-orang yang baik,

jangan membina hubungan dengan orang-orang yang

tidak baik, maka kedamaian akan mendatangimu.275

Disebabkan karena syair-syair tersebut disampaikan oleh

Sang Mahasatwa dengan begitu baik dan ditambah dengan kenyataan bahwa ia adalah seorang yang bijak, maka penjahat

kanibal itu berpikir, “Syair-syair ini, terdengar seolah-olah, seperti

kata-kata dari Buddha Yang Mahatahu,” dan seluruh tubuhnya

didera oleh lima jenis kegiuran (batin), dan ia merasakan

perasaan lembut terhadap Bodhisatta dan menganggapnya

seperti seorang ayah yang siap untuk memberikan kepadanya

payung putih kerajaan. Dan ia berpikir, “Tidak kulihat adanya

persembahan berupa emas kuning untuk diberikan kepada

Sutasoma. Akan tetapi, akan kukabulkan satu permintaan untuk

setiap baitnya,” dan ia mengucapkan bait berikut:

Penuh dengan arti dan dengan suara yang jelas,

kata-kata manismu terdengar oleh telingaku,

demikian tergiurnya batinku, sehingga dengan senang

akan kukabulkan empat permintaan darimu.

Kemudian Sang Mahasatwa memarahinya dan berkata,

“Permintaan apa yang dapat Anda tawarkan kepadaku

sebenarnya?” dan ia mengulangi bait berikut:

Seorang makhluk yang tak mengetahui keadaan batin,

yang baik atau yang buruk, tak mengetahui alam neraka,

budak dari nafsu keinginan, bagaimana seorang makhluk

sepertimu mengerti akan mengabulkan permintaan untuk orang?

Andaikata saya mengatakan ‘Kabulkanlah permintaanku

ini,’ kemudian akan Anda tarik kembali perkataanmu,

Orang bijak manakah yang telah mengetahui ini (dan

hendak) menerima risiko pertengkaran yang cukup jelas?

Kemudian penjahat kanibal itu berkata, “Ia tidak

memercayaiku; Akan kubuat agar ia memiliki kepercayaan

kepada diriku,” dan ia mengulangi bait berikut:

Tak seorang pun boleh mengatakan akan mengabulkan

suatu permintaan,

kemudian menarik balik perkataannya itu:

Teman, katakanlah tanpa rasa takut permintaan-permintaanmu itu;

Akan kukabulkan itu untukmu, meskipun harus

kehilangan nyawa.

Kemudian Sang Mahasatwa berpikir, “Ia telah berkata

layaknya seorang pemberani dan akan melakukan apa yang

kuminta; Akan kuterima penawarannya ini. Tetapi, jika sebagai

permintaan pertama kuminta ia untuk berhenti memakan daging

manusia, ia pasti akan menjadi amat terganggu. Saya akan

meminta permintaan lainnya di tiga permintaan pertama, dan

baru setelah semua itu akan kupinta yang terakhir ini,” dan

berkata:

Ia yang bersahabat dengan orang yang berperilaku baik

akan selalu setuju dengan perbuatan baik,

juga seorang baik pastinya saling menyenangkan sesama:

Saya ingin melihatmu hidup dalam keadaan demikian

selama beratus-ratus tahun:

Inilah permintaan pertamaku dari seluruh permintaan

yang ingin dikabulkan.

Ketika mendengar ini, penjahat kanibal tersebut,

“Meskipun telah kusebabkan ia kehilangan kerajaannya, tetapi

sekarang ia malah meminta sesuatu agar saya hidup panjang

umur, seorang penjahat besar yang (ketagihan) memakan daging

manusia dan (pernah) berniat buruk terhadap dirinya. Ah, ia

adalah penolongku yang baik.” Dan ia merasa amat gembira,

tidak mengetahui bahwa permintaan ini dipilih untuk mengalihkan

dirinya. Untuk mengabulkan permintaan itu, ia mengucapkan bait berikut:

Ia yang bersahabat dengan orang yang berperilaku baik

akan selalu setuju dengan perbuatan baik,

juga seorang baik pastinya saling menyenangkan

sesama:

Anda ingin melihatku hidup dalam keadaan demikian

selama beratus-ratus tahun:

Dengan senang hati kukabulkan permintaan pertamamu.

Kemudian Bodhisatta berkata:

Para kesatria yang berada dalam tawananmu,

yang di kerajaan mereka diberkati sebagai raja,

para pemimpin di atas bumi ini tidak boleh Anda makan:

Inilah permintaanku yang kedua.

Demikianlah dalam memilih permintaan kedua ia

meminta agar nyawa seratus raja tersebut diselamatkan. Dan

untuk mengabulkan permintaannya ini, ia berkata:

Para kesatria yang berada dalam tawananku,

yang di kerajaan mereka diberkati sebagai raja,

para pemimpin di atas bumi tidak akan kumakan:

Dengan senang hati kukabulkan permintaan keduamu.

Apakah para raja itu mendengar apa yang mereka

bicarakan? Mereka tidak mendengarnya. Sewaktu penjahat

kanibal itu menyalakan api, dikarenakan takut pohon tersebut

terluka oleh asap dan apinya, ia mundur dari pohon tersebut,

dan Sang Mahasatwa duduk di antara perapian dan pohon

tersebut ketika berbicara dengannya. Oleh karenanya, para

raja tersebut tidak mendengar semua yang mereka bicarakan,

melainkan sebagian saja. Mereka kemudian saling menghibur,

dengan berkata, “Jangan takut, sekarang Sutasoma akan

mengubah si pemakan daging manusia,” dan pada saat ini

Sang Mahasatwa mengucapkan bait berikut:

Anda menawan sekitar seratus orang raja,

semuanya dalam keadaan terikat dan meratap,

kembalikan mereka ke kerajaan mereka masing-masing:

Inilah permintaanku yang ketiga.

Demikianlah dalam memilih permintaannya yang ketiga

ia meminta pengembalian (kekuasaan) para kesatria ini ke

kerajaan mereka masing-masing. Mengapa memilih permintaan

ini? Karena andaikan penjahat kanibal itu tidak memakan daging

mereka, dikarenakan takut pembalasan dari mereka, ia mungkin

saja menjadikan mereka sebagai budak dan membuat mereka

tinggal di dalam hutan, atau mungkin membunuh mereka dan

meninggalkan mayat mereka, atau mungkin juga membawa

mereka ke daerah perbatasan dan menjual mereka sebagai

budak. Oleh sebab itulah, ia memilih permintaan berupa

pengembalian mereka ke kerajaan masing-masing. Untuk

mengabulkan permintaannya ini, penjahat kanibal itu

mengucapkan bait berikut:

Saya menawan sekitar seratus orang raja,

semuanya dalam keadaan terikat dan meratap,

akan kukembalikan semuanya ke kerajaan mereka

masing-masing:

Dengan senang hati kukabulkan permintaan ketigamu.

Sekarang, untuk mengatakan permintaannya yang

keempat, Bodhisatta mengucapkan bait berikut:

Duniamu ini kacau balau dan dipenuhi dengan ketakutan

orang-orang bersembunyi di dalam gua (lubang) jika

melihat dirimu.

Berhentilah memakan daging manusia, wahai raja:

Inilah permintaanku yang keempat.

Setelah demikian ia berkata, penjahat kanibal itu

bertepuk tangan dan berkata, sambil tertawa, “Teman Sutasoma,

apa yang Anda katakan ini? Bagaimana mungkin kukabulkan

permintaan ini? Jika Anda masih ingin meminta sesuatu, pilihlah

yang lainnya,” dan ia mengucapkan bait berikut:

Begitu lezatnya makanan ini terasa bagi diriku;

Dikarenakan inilah diriku bersembunyi di dalam hutan.

Bagaimana mungkin dari kesenangan yang demikian

diriku berpantang?

Untuk permintaanmu yang keempat, pilihlah yang lain.

Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Karena Anda

menyukai daging manusia, Anda mengatakan, ‘Saya tidak bisa

berpantang darinya.’ Sesungguhnya, ia yang melakukan

perbuatan buruk karena itu menyenangkan adalah orang yang

dungu,” dan ia mengulangi bait berikut:

Seorang raja sepertimu tidak seharusnya mengikuti

kesenangan,

tidak juga mengorbankan diri demi kesenangan,

dapatkanlah kehidupan dalam maknanya yang tertinggi,

hadiah terbaik, dan kebahagiaan di kehidupan

mendatang akan didapatkan karena perbuatan baik.

Ketika kata-kata ini selesai diucapkan oleh Sang

Mahasatwa, penjahat kanibal tersebut dirundung oleh rasa takut, dan berpikir, “Saya tidak bisa menolak permintaan dari

Sutasoma, tidak juga bisa berpantang makan daging manusia.

Apa yang harus kulakukan?” dan dengan berlinang air

mata, ia mengulangi bait berikut:

Saya menyukai daging manusia: Anda tentu tahu,

Sutasoma agung, demikianlah adanya.

Dari makanan ini, tidak pernah diriku dapat berpantang.

Pikirkanlah permintaan yang lain dan pilihlah itu.

Kemudian Bodhisatta berkata:

Ia yang mengikuti kesenangan,

bahkan juga mengorbankan diri demi kesenangan,

maka gelas (berisi) racun akan diteguknya seperti

seorang pemabuk,

dan di kehidupan berikutnya penderitaan tiada akhir

sudah pasti menunggu dirinya.

Ia yang tidak mengikuti kesenangan,

menunaikan kewajibannya dengan usaha keras,

maka gelas (berisi) penawar akan diteguknya seperti

seorang pesakit,

dan di kehidupan berikutnya kebahagiaan sudah pasti

menunggu dirinya.

Setelah ia berkata demikian, penjahat kanibal tersebut

mengulangi bait berikut, sembari meratap tangis:

Lima kesenangan yang muncul dari indra,

orang tua dan semuanya kutinggalkan,

dikarenakan alasan ini saya tinggal di dalam hutan;

Bagaimana mungkin bisa kukabulkan permintaanmu ini?

Kemudian Sang Mahasatwa mengucapkan bait berikut:

Orang bijak tidak pernah mengucapkan kata-kata dusta,

selalu menepati janji mereka adalah (ciri) orang baik:

’Katakanlah permintaanmu, Teman,’ ini yang Anda

katakan kepadaku;

Dan sekarang apa yang Anda katakan bertentangan

dengannya.

Sekali lagi, masih dalam keadaan meratap tangis,

penjahat kanibal itu mengucapkan bait berikut:

Kerugian, ditambah dengan malu dan aib,

keburukan, kejahatan dan kebejatan,

semuanya ini kutimbulkan demi memakan daging

manusia:

Bagaimana mungkin bisa kukabulkan permintaanmu ini?

Kemudian Sang Mahasatwa berkata:

Tak ada seorang pun yang seharusnya boleh menarik

kembali janji yang telah diucapkannya, mengabulkan

semua permintaan:

‘Teman, katakanlah tanpa rasa takut permintaan-permintaanmu itu;

Akan kukabulkan itu untukmu, meskipun harus

kehilangan nyawa.’

Setelah demikian menunjukkan kembali bait yang pernah

diucapkan oleh si penjahat kanibal, dan untuk mendesaknya

dengan usaha mengabulkan permintaan tersebut, ia

mengucapkan bait berikut:

Orang baik akan meninggalkan kehidupan, tetapi

kebenaran tidak, selalu tepati janji mereka;

Jika Anda telah berjanji, wahai raja, mengabulkan

satu permintaan,

maka sempurnakanlah perbuatan yang Anda mulai itu

dengan menyelesaikannya.

Orang memberikan harta kekayaan untuk

menyelamatkan dirinya,

orang mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan

kehidupannya.

Kekayaan, diri, kehidupan dan segalanya akan musnah,

kebenaran dan buah darinya yang akan tersisa.

Demikian Sang Mahasatwa dengan cara ini mengajarkan

kebenaran kepada penjahat kanibal tersebut, dan kemudian

untuk menjelaskannya, ia mengucapkan bait berikut:

Orang yang membuktikan perkataan yang diucapkannya,

—semua orang baik yang akan menghilangkan segala

keraguannya—

membuktikan dirinya sebagai tempat bernaung, tempat

bertumpu, dan tempat beristirahat;

Kasih dari orang-orang suci untuk dirinya takkan habis.

Setelah mengucapkan bait ini, ia berkata, “Teman

kanibal, tidaklah pantas bagimu untuk melampaui kata-kata dari

seorang Guru yang demikian baik, dan juga diriku, ketika Anda

masih muda, adalah gurumu dan mengajarimu banyak hal, dan

sekarang dengan gaya layaknya seorang Buddha, telah

kuperdengarkan untukmu syair-syair yang masing-masing

berharga senilai seratus keping. Oleh sebab itu, Anda harus

mematuhi perkataanku.” Ketika mendengar ini, penjahat kanibal

tersebut berpikir, “Sutasoma adalah guruku dan seorang yang

terpelajar, dan saya yang mengatakan akan mengabulkan

permintaannya. Apa yang kulakukan (ini)? Kematian adalah

suatu hal yang pasti dalam kehidupan setiap manusia. Saya tidak

akan lagi memakan daging manusia, akan kukabulkan

permintaannya,” dan berlinangan dengan air mata, ia pun bangkit

dan bersujud di kaki Sutasoma. Untuk mengabulkan

permintaannya, ia mengulangi bait berikut:

Manis dan enak terasa makanan ini olehku,

Dikarenakan alasan ini, saya tinggal di dalam hutan;

Tetapi jika Anda (tetap) memintaku untuk melakukan

perbuatan ini,

maka permintaan ini akan kukabulkan untukmu,

Temanku juga rajaku.

Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Bagus sekali,

Teman. Bagi seorang yang dengan ketat menjalankan latihan

moralitas (sila), bahkan kematian juga merupakan suatu

permintaan. Telah terkabulkan permintaanku kepadamu. Mulai

hari ini, Anda harus berjalan di jalan para ariya, dan oleh

karenanya saya memohon sesuatu kepadamu: jika Anda

memiliki cinta kasih terhadap diriku (dalam persahabatan), maka

jalankanlah, Paduka, lima latihan moralitas.” “Baik,” jawabnya,

“ajarkanlah kepadaku, Teman, lima latihan moralitas itu.” “Kalau

begitu, belajarlah dariku, Paduka.” Maka ia memberi

penghormatan kepada Sang Mahasatwa dengan bersujud pada

lima tumpuan276 dan duduk di satu sisi, kemudian Sang

Mahasatwa pun mengajarkan lima sila kepadanya. Kala itu, para

makhluk dewata yang berada di bumi berkumpul bersama dan

berkata, “Tak ada orang lain lagi, mulai dari penghuni Alam

Neraka Avīci sampai kepada penghuni alam tanpa bentuk,

dengan cinta kasih mampu membuat penjahat kanibal ini

berhenti memakan daging manusia, selain Sang Mahasatwa. Oh,

suatu keajaiban luar biasa dilakukan oleh Sutasoma,” dan mereka bertepuk tangan, membuat hutan itu menggemakan

suara-suara mereka yang keras. Mendengar suara (ribut) ini,

para dewa di Alam Cātumahārājika juga melakukan hal yang

sama, dan sampai akhirnya kegemparan ini bahkan sampai ke

alam brahma. Para raja yang tergantung di pohon juga

mendengar suara ribut tanda persetujuan ini dari para makhluk

dewata, dan dewi pohon tersebut dengan berdiri di dalam

kediamannya mengeluarkan suara tanda persetujuan juga. Jadi,

suara dari para makhluk dewata terdengar, tetapi bentuk mereka

tidak terlihat. Ketika mendengar suara ribut dari para makhluk

dewata tersebut, berpikir, “Dikarenakan Sutasoma, nyawa kita

terselamatkan: Sutasoma telah melakukan suatu keajaiban

dengan mengubah si pemakan daging manusia,” dan mereka

melantunkan puji-pujian terhadap Bodhisatta. Setelah bersujud di

kaki Sang Mahasatwa, penjahat kanibal itu berdiri di satu sisi.

Kemudian Sang Mahasatwa berkata kepadanya, “Teman,

bebaskanlah raja-raja kesatria itu.” Ia berpikir, “Saya adalah

musuh raja-raja kesatria itu. Jika kubebaskan, mereka akan

berkata, ‘Tangkap ia, ia adalah musuh kita,’ dan akan melakukan

sesuatu yang buruk terhadap diriku. Akan tetapi, meskipun harus

kehilangan nyawa, saya tidak boleh melanggar sila yang telah

kuambil dari Sutasoma. Saya akan pergi bersama dengannya

dan melepaskan raja-raja kesatria itu, dan dengan jalan ini akan

kudapatkan keselamatan.” Kemudian membungkuk memberi

hormat kepada Bodhisatta, ia berkata, “Sutasoma, mari kita pergi

bersama untuk membebaskan raja-raja kesatria itu,” dan ia

mengulangi bait berikut:

Guru sekaligus temanku adalah dirimu,

telah kupenuhi semua permintaanmu:

Sebagai balasannya, Anda lakukan apa yang kuminta

mari kita segera pergi dan bebaskan para raja ini.

Kemudian Bodhisatta berkata kepadanya:

Guru sekaligus temanmu adalah diriku,

telah kamu penuhi semua permintaanku:

Saya juga akan melakukan apa yang kamu minta,

mari kita segera pergi dan bebaskan para raja ini.

Setelah berada di dekat mereka, Bodhisatta berkata:

Terikat di pohon ini, air mata kalian berlinangan

karena penjahat kanibal telah melakukan perbuatan

buruk kepada kalian,

meskipun demikian, kami ingin kalian berjanji,

jangan pernah melukai raja ini.

Kemudian mereka membalas:

Terikat di pohon ini dan air mata berlinangan,

kami membenci penjahat kanibal ini yang telah

melakukan perbuatan buruk kepada kami,

meskipun demikian, kami semua berjanji,

tidak pernah melukainya jika kami dibebaskan.

Kemudian Bodhisatta berkata, “Baiklah, berikanlah

janji ini kepadaku,” dan mengulangi bait berikut:

Seperti orang tua yang menyayangi anak-anaknya

memberikan kasih sayang nan lembut,

demikianlah jadikan ia sebagai seorang ayah

dan kalian, sebagai anak-anaknya, mengasihinya.

Dengan menyetujui akan janji ini, mereka juga

mengulangi bait berikut:

Seperti orang tua yang menyayangi anak-anaknya

memberikan kasih sayang nan lembut,

demikianlah ia kami jadikan sebagai seorang ayah

dan, sebagai anak-anaknya, mengasihinya.

Demikian Sang Mahasatwa membuat mereka berjanji,

dan memanggil si pemakan daging manusia itu dengan berkata,

“Datanglah ke sini dan bebaskan raja-raja kesatria ini.” Ia

mengambil pedangnya dan memotong ikatan dari salah seorang

raja kesatria tersebut. Dikarenakan sudah tujuh hari raja ini tidak

makan dan didera dengan rasa sakit, maka tak lama setelah

ikatannya dipotong, kemudian ia terjatuh ke tanah. Melihat

kejadian ini, Sang Mahasatwa tergerak oleh cinta kasihnya dan

berkata, “Teman, jangan memotong ikatan mereka seperti ini,”

dan dengan memegang erat seorang raja kesatria lainnya

dengan kedua tangannya, ia mengangkatnya sampai ke bagian

dadanya dan berkata, “Sekarang potonglah ikatannya.” Maka penjahat kanibal itu pun memotong ikatan tersebut dengan

pedangnya. Kemudian Sang Mahasatwa, yang diberkahi dengan

kekuatan yang besar, menopangnya di bagian dada,

menurunkannya dengan perlahan seolah-olah ia adalah anaknya

sendiri, dan membaringkannya di tanah. Dengan cara yang

demikian ia membaringkan mereka semua di tanah. Setelah

membersihkan luka-luka mereka, dengan lembut ia melepaskan

tali ikatan dari tangan-tangan mereka, seolah-olah tali yang

dilepaskan dari telinga seorang anak kecil, kemudian

melancarkan kembali darah yang membeku, ia membuat lukaluka

itu menjadi tidak berbahaya. Dan ia berkata kepada

penjahat kanibal tersebut, “Teman, haluskanlah beberapa kulit

kayu pohon pada batu dan bawakanlah itu kepadaku.” Setelah itu

dilakukannya, ia melakukan pernyataan kebenaran dan

menggosokannya pada telapak tangan mereka, dan seketika itu

juga luka-luka mereka menjadi sembuh. Penjahat kanibal itu

membawa beras sekam dan memasaknya sebagai obat [505],

dan mereka berdua memberikan obat itu kepada seratus raja

kesatria. Demikian mereka semua dirawat, dan matahari pun

kala itu terbenam. Keesokan harinya, pada pagi, siang dan

malam hari mereka masih memberikan mereka minum air beras,

tetapi pada hari ketiga dan berikutnya sampai sembuh, mereka

memberikan bubur susu. Kemudian Sang Mahasatwa

menanyakan apakah mereka sudah cukup kuat untuk dapat

pulang kembali, dan ketika mereka menjawab mereka sanggup

melakukannya, ia berkata, “Temanku pemakan daging manusia,

mari kita pulang kembali ke kerajaan kita masing-masing.”

Tetapi, dengan meratap, ia bersujud di kaki Sang Mahasatwa dan berkata, “Teman, Anda saja yang bawa raja-raja kesatria ini

dan pulang kembali. Sedangkan, saya akan tetap tinggal di sini,

bertahan hidup dengan memakan buah-buahan dan akarakaran.”

“Apa yang akan Anda lakukan di sini, Teman?

Kerajaanmu adalah tempat yang menyenangkan: pergi dan

pimpinlah kembali Benares.” “Teman, apa yang Anda katakan

ini? Adalah hal yang tidak mungkin bagiku untuk kembali ke

sana: semua penduduk di sana adalah musuhku. Mereka akan

mengecamku dan mengatakan, ‘Orang ini memakan ibuku, atau

ayahku; tangkap penjahat ini,’ dan dengan bebatuan, mereka

akan merenggut nyawaku. Jika tetap kukuh dalam lima latihan

moralitas, saya tidak dapat membunuh siapa pun, tidak juga

bahkan untuk menyelamatkan nyawaku. Saya tidak akan pergi.

Sebagai akibat dari perbuatanku yang berhenti memakan daging

manusia, berapa lama waktu yang kumiliki untuk bertahan hidup?

Dan sekarang saya tidak akan berjumpa lagi denganmu,” dan ia

menangis, sambil berkata, “Pergilah.” Sang Mahasatwa

mengusap punggungnya dan berkata, “Teman, namaku adalah

Sutasoma: telah kuubah dirimu, seorang makhluk yang

sedemikian buruknya. Jika Anda menanyakan apa yang harus

dilakukan di Benares, saya akan mengembalikan kekuasaan

kepadamu, atau (kalau tidak berhasil) kerajaanku akan kubagi

dua dan kuberikan setengahnya kepadamu.” “Di dalam

kerajaanmu juga saya memiliki musuh,” balasnya. Sutasoma

berpikir, “Dengan mematuhi perkataanku, orang ini telah

melakukan satu tugas yang amat sulit: Dengan suatu cara harus

kukembalikan kejayaan dirinya yang dahulu,” dan untuk menggoda dirinya, ia melantunkan pujian akan kejayaan

kerajaannya dan berkata:

Daging hewan dan segala jenis burung

pernah Anda nikmati,

dimasakkan oleh para juru masak yang ahli,

hidangan yang benar-benar lezat,

Meninggalkan kesenangan demikian seperti apa yang

dirasakan oleh (Dewa) Indra, dalam menikmati

ambrosia—

Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam

hutan ini sendirian?

Para wanita kaum kesatria dengan pinggang ramping,

pakaian yang luar biasa,

yang biasanya mengelilingimu, sekumpulan gadis,

seperti halnya (Dewa) Indra, di antara para bidadarinya,

melangkah dalam kebahagiaan—

Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?

Di atas ranjang megah, wahai raja, pernah Anda berbaring,

dengan sedemikian banyak seprai menumpuk, mengelilingimu,

bantal merah di bawah kepalamu dan kain yang putih nan bersih—

Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?

Pernah, acap kali di malam hari terdengar suara tabuhan genderang,

dan suara-suara yang bukan suara manusia juga dapat terdengar,

musik dan lagu selalu dalam satu kesatuan, membuat suasana hati tetap gembira—

Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?

Anda pernah memiliki sebuah taman tempat tumbuhnya beragam jenis bunga,

Migācira, dikenal dengan demikian namanya, sebagai taman dan juga kota,

di sana terdapat kuda-kuda, gajah-gajah, dan kereta-kereta dalam jumlah besar—

Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?

Sang Mahasatwa berpikir, “Mungkin orang ini,

dengan mengingat kembali kesenangan-kesenangan yang

dinikmatinya dahulu kala, akan menjadi ingin untuk pergi

bersamaku,” dan demikian ia menggodanya, pertama dengan makanan, kedua dengan nafsu, ketiga dengan ranjang, keempat

dengan nyanyian, tarian dan musik, kelima dengan

mengingatkannya akan taman dan kota—dengan semua

pemikiran ini ia menggodanya, dan berkata, “Mari, Paduka, saya

akan pergi bersamamu ke Benares dan mengembalikan

kedudukan raja kepadamu, dan setelah itu saya akan kembali ke

kerajaanku sendiri; tetapi jika kita gagal mendapatkan kembali

kekuasaanmu di Kerajaan Benares, saya akan memberikan

kepadamu setengah dari kerajaanku. Apalah gunanya tinggal di

dalam hutan? Lakukan saja seperti apa yang kukatakan.” Setelah

mendengar perkataannya, penjahat kanibal itu menjadi ingin

pergi bersama dengannya dan berpikir, “Sutasoma menginginkan

kebaikan untuk diriku dan ia adalah seorang yang penuh cinta

kasih. Pertama ia membuat diriku kukuh dalam kebajikan, dan

sekarang ia mengatakan akan mengembalikan kejayaan diriku

seperti sediakala, ia pasti mampu melakukannya. Saya harus

pergi bersamanya. Apalah gunanya tinggal di dalam hutan?” Dan

dengan perasaan sukacita, ia ingin melantunkan pujian terhadap

Sutasoma dikarenakan jasa kebajikannya, dan ia berkata,

“Teman Sutasoma, tidak ada hal lain yang lebih baik daripada

bersahabat dengan seorang teman yang baik, tidak ada hal lain

yang lebih buruk daripada bersahabat dengan seorang teman

yang buruk,” dan mengulangi bait-bait berikut:

Seperti bulan yang makin redup dari hari ke hari setelah

pertengahan bulan,

demikianlah persahabatan dengan orang yang buruk,

wahai raja, membuahkan penderitaan seperti

pembusukan;

Demikian saya bersahabat dengan juru masak itu, orang

yang hina dari yang paling hina, melakukan perbuatan

buruk, yang memastikan diriku masuk ke alam neraka.

Seperti bulan yang makin terang dari hari ke hari

sebelum pertengahan bulan,

demikianlah persahabatan dengan orang baik, wahai

raja, tidak akan membuahkan penderitaan seperti pembusukan:

Demikian saya bersahabat denganmu, Anda tahu itu,

melakukan kebajikan, yang membawa diriku ke alam

surga, yang menyenangkan.

Seperti banjir besar yang melanda daratan kering akan

reda secara perlahan, bersifat sementara,

demikianlah persahabatan dengan orang yang buruk,

wahai raja, seperti air di daratan, suatu hal yang lambat

laun akan menghilang.

Seperti banjir besar yang melanda lautan

akan bertahan lama,

demikianlah persahabatan dengan orang yang baik,

wahai raja, seperti air di lautan,

suatu hal yang bertahan lama.

Tidaklah singkat persahabatan dengan orang yang baik,

selama hidup, persahabatan demikian bertahan,

sedangkan persahabatan dengan orang yang buruk

segera berakhir,

dari jalan kebajikan, orang-orang yang buruk tersesat.

Demikian dalam tujuh bait kalimat, penjahat kanibal itu

melantunkan pujian terhadap Sang Mahasatwa. Sang

Mahasatwa kemudian membawanya beserta dengan para raja

kesatria tersebut pergi ke suatu desa perbatasan, dan para

penduduk yang melihat Sang Mahasatwa pergi ke kota dan

melaporkannya. Kemudian para menteri raja datang beserta

dengan satu pasukan dan mengawal Sang Mahasatwa, dengan

kawalan rombongan ini ia tiba di Kerajaan Benares. Di tengah

perjalanan ke sana, penduduk kota membawakan hadiah dan

mengikuti rombongannya, dan oleh karenanya terdapat

sekelompok besar orang yang tiba di Benares bersama

dengannya. Pada waktu itu, putra dari penjahat kanibal itu

menjadi raja dan Kalahatthi masih tetap menjabat sebagai

panglima. Orang-orang di kota melaporkan ini kepada raja

dengan berkata, “Paduka, dikatakan bahwa Sutasoma telah

mengubah si penjahat kanibal dan sekarang telah tiba di sini

bersama dengannya. Kita tidak akan memperbolehkan ia masuk

ke kota,” dan dengan segera mereka menutup gerbang kota,

berdiri dengan lengan di dalam tangan mereka. Ketika

mengetahui gerbang kota ditutup, Sang Mahasatwa

meninggalkan penjahat kanibal dan seratus raja kesatria tersebut, pergi bersama sebagian menteri dan berseru, “Saya

adalah Raja Sutasoma, buka pintu gerbangnya,” dan para

pengawal kerajaan pergi memberitahukan ini kepada raja. Raja

memerintahkan untuk segera membuka pintu gerbangnya, dan

Sang Mahasatwa pun masuk ke dalam kota. Raja dan kalahatthi

keluar untk menjumpainya dan membawanya naik ke

istana. Setelah duduk di tempat duduk yang mewah, Sang

Mahasatwa memanggil istri dari penjahat kanibal dan juga

rombongan menterinya, kemudian bertanya kepada Kalahatthi,

“Mengapa, Kalahatthi, Anda tidak memperbolehkan raja untuk

masuk ke dalam kota?” Ia menjawab, “Ia adalah seorang yang

jahat. Di saat ia memerintah sebagai raja di kota ini, ia memakan

banyak manusia dan melakukan apa yang tidak seharusnya

dilakukan oleh kaum kesatria, dan menggemparkan seluruh

India: itulah alasannya mengapa kami bertindak demikian.”

“Jangan beranggapan,” balasnya, “bahwa ia akan bertindak

seperti itu lagi sekarang. Saya telah mengubah dirinya dan

mengukuhkan dirinya dalam sila. Bahkan untuk menyelamatkan

dirinya sendiri, ia tidak akan melukai orang lain. Kalian tidak

berada dalam bahaya: janganlah bertindak seperti ini.

Sesungguhnya, anak harus merawat orang tua: mereka yang

membahagiakan orang tuanya akan terlahir di alam surga,

sedangkan mereka yang tidak membahagiakan orang tuanya

akan terlahir di alam neraka.” Demikian ia menasihati putra raja,

yang duduk di sampingnya di tempat duduk yang rendah.

Kemudian ia mengajari panglima dengan berkata, “Kalahatthi,

Anda adalah seorang teman sekaligus pengikut raja, dan

mendapatkan kekuasaan yang besar dikarenakan olehnya; Anda juga harus bertindak mendukung raja.” Dan untuk menasihati

ratu, ia berkata, “Wahai ratu, Anda berasal dari keturunan

bangsawan dan dari tangannya Anda mendapatkan posisi

sebagai permaisuri, dan mendapatkan banyak putra dan putri

darinya; Anda juga harus bertindak mendukung raja,” dan

sebagai puncaknya dalam mengajarkan kebenaran ini, ia berkata:

Tidak ada raja yang seharusnya bertindak melampaui

batas terhadap ia yang tak terkalahkan,

Tidak ada teman yang mendapatkan teman yang lebih

baik melalui tindak pengkhianatan;

Wanita yang takut berdiri membela suaminya bukanlah

seorang istri sejati,

dan mereka juga bukan anak-anak yang berbakti, yang

tidak merawat ayahnya di masa tua.

Tidak ada balai yang tidak memiliki seorang bijak

di dalamnya,

Tidak ada orang bijak yang tidak menyebarkan

kebenaran di mana pun ia berada.

Orang bijak adalah mereka yang telah mengenyahkan

nafsu (kemelekatan), kebencian, dan kedunguan,

serta tidak pernah tidak mengajarkan kebenaran di mana

pun ia berada.

Orang bijak di antara orang-orang dungu, jika membisu,

tidak ada yang tahu ia adalah orang bijak,

(jika) ia berbicara, maka seluruh alam mengenalnya

sebagai seorang guru.

Ajarkan, terangkan kebenaran, dan kibarkan (tinggi)

bendera para orang suci,

lambang dari orang suci adalah ucapan yang

bermanfaat, dan kebenaran adalah bendera yang

mereka kibarkan.

Setelah mendengar pemaparan kebenaran ini, raja

dan panglima bersukacita dan berkata, “Mari kita pergi dan

jemput raja kembali ke sini,” dan setelah membuat pengumuman

di kota dengan tabuhan genderang, mereka memanggil keluar

semua penduduk dan berkata, “Jangan takut lagi; mereka

memberitahukan kami bahwa raja telah menjadi orang yang

kukuh dalam kebenaran: mari kita pergi membawanya kembali

ke tempat ini.” Maka dengan satu rombongan yang amat besar,

dengan Sang Mahasatwa sebagai pemimpin rombongan, mereka

pun pergi dan memberi salam hormat kepada raja. Mereka

memanggilkan tukang pangkas untuknya; ketika rambut dan

janggutnya telah dirapikan, ketika ia telah selesai mandi dan

mengenakan pakaian yang mewah, mereka mendudukkannya di

satu tumpukan batu permata, melakukan upacara pemercikan

dan kemudian membawanya masuk ke dalam kota. Raja

pemakan daging manusia itu memberikan penghormatan yang

besar kepada para raja kesatria dan Sang Mahasatwa. Terdapat suatu kegemparan yang besar di seluruh India yang mengatakan

bahwa Sutasoma, raja manusia, telah mengubah seorang

penjahat kanibal dan mengembalikan kekuasaannya sebagai raja

di kerajaannya. Penduduk Kota Indapatta mengirim pesan,

meminta raja mereka untuk pulang kembali. Sang Mahasatwa

tinggal di sana selama satu bulan dan demikian menasihati raja,

“Teman, kami akan pergi. Pastikan Anda tidak lalai dalam

kebajikan, bangunlah lima balai distribusi dana di gerbang kota

dan satu balai di pintu istanamu, dan jalankanlah sepuluh

kualitas seorang raja, serta lindungilah diri dari jalan-jalan

perbuatan buruk.” Bala tentara dari seratus kota kerajaan

berkumpul bersama dan dengan kawalan rombongan ini ia

berangkat meninggalkan Benares. Pemakan daging manusia

tersebut ikut pergi mengantarnya, dan berhenti di pertengahan

perjalanan. Sang Mahasatwa memberikan kuda kepada mereka

yang tidak memiliki kuda dan sebagainya, kemudian meminta

mereka untuk pergi membubarkan diri. Mereka semua saling

bersitabik beruluk salam, dan setelah saling memberikan salam

dan berpelukan, mereka masing-masing kembali kepada

rakyatnya. Sang Mahasatwa juga, tiba dengan keagungan yang

mulia di Indapatta, masuk ke dalam kota, yang telah dihias oleh

para penduduknya menjadi seolah-olah seperti kota para dewa.

Setelah memberi hormat kepada orang tuanya dan menyatakan

kegembiraannya berjumpa kembali dengan mereka, ia pun naik

ke menara istana. Ketika ia memerintah dengan benar di

kerajaannya, terlintas pikiran ini di benaknya, “Makhluk dewata

penjaga pohon itu sudah sangat membantuku; akan kupastikan

ia mendapatkan persembahan yang setimpal.” Maka ia meminta pengawalnya untuk membuat satu danau yang besar di dekat

pohon beringin itu dan memindahkan banyak keluarga untuk

membangun sebuah perkampungan di sana. Perkampungan itu

kemudian tumbuh berkembang menjadi sebuah tempat yang

besar dengan delapan ribu tempat jualan. Dan dimulai dari batas

terjauh yang dijangkau cabang pohonnya, ia menaikkan tanah

tempat akar pohonnya berada dan mengelilinginya dengan

sebuah anjungan yang dilindungi dengan panah dan gerbang;

demikianlah makhluk dewata penjaga pohon itu disenangkannya.

Dikarenakan perkampungan itu dibangun di tempat penjahat

kanibal itu dijinakkan, tempat itu berkembang menjadi Kota

Kammāsadamma. Dan semua raja tersebut, dengan mengikuti

nasihat dari Sang Mahasatwa, melakukan kebajikan seperti

memberikan derma dan sebagainya, terlahir di alam surga.

Sang Mahasatwa mengakhiri uraian Dhamma-Nya di sini dan berkata, “Bukan hanya kali ini, Para Bhikkhu, saya mengubah Aṅgulimāla, tetapi juga di masa lampau dirinya diubah olehku,” dan mempertautkan kisah kelahiran ini, “Pada masa itu, raja pemakan daging manusia itu adalah Aṅgulimāla, Kāḷahatthi adalah Sāriputta, Brahmana Nanda adalah Ānanda, dewi pohon adalah Kassapa, Sakka adalah Anuruddha, raja-raja kesatria adalah para pengikut Buddha, ayah dan ibu dari raja adalah anggota dari kehidupan maharaja, dan Raja Sutasoma adalah diriku sendiri.”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 5

 

 

Tagged , ,

KUṆĀLA JĀTAKA

“Berikut ini adalah kisahnya dan ketenaran darinya.”

Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di dekat Danau Kuṇāla, tentang lima ratus bhikkhu yang dilanda rasa tak puas. Berikut ini adalah urutan kejadiannya. Kaum Sākiya dan Koliyā (Sakya dan Koliya) memiliki Sungai Rohiṇī yang mengalir di antara Kota Kapilavatthu dan Koliya, dibatasi oleh satu bendungan, yang airnya digunakan oleh mereka untuk mengolah lahan tanaman. Di bulan Jeṭṭhamūla ketika tanaman mulai layu dan menunduk, para pekerja dari kedua kota berkumpul bersama. Kemudian penduduk Koliya berkata, “Jika air sungai ini digunakan untuk mengairi kedua tempat, maka airnya tidak akan cukup. Akan tetapi, panen kami akan berhasil dengan pengairan yang diarahkan ke tempat kami saja: karena itu, berikanlah air sungai ini kepada kami.” Penduduk Kapilavatthu berkata, “Di saat kalian mengisi lumbung-lumbung dengan hasil panen, kami tidak bisa datang ke depan pintu kalian dengan membawa koin tembaga, permata, emas, dan keranjang serta karung di tangan kami. Panen kami juga akan berhasil dengan pengairan yang diarahkan ke tempat kami saja; karena itu, berikanlah air sungai ini kepada kami.” “Kami tidak akan memberikannya,” jawab mereka. “Begitu juga halnya dengan kami,” jawab penduduk Kapilavatthu. Di saat situasi menjadi makin memanas, salah satu dari mereka bangkit dan memukul yang lainnya, dan orang itu kemudian memukul orang berikutnya, dan demikian terjadi baku hantam di antara mereka, serta ditambah dengan saling mencaci kedua kaum kesatria, mereka menambah kericuhan yang telah ada. Para pekerja dari kaum Koliya berkata, “Enyahlah kalian, orang-orang Kapilavatthu, orang-orang yang menyerupai anjing, serigala, dan hewan liar lainnya, yang tinggal Bersama dengan saudari-saudari mereka. Apalah yang dapat dilakukan oleh gajah, kuda, tameng dan tombak mereka kepada kami?”

Para pekerja dari kaum Sakya berkata, “Tidak, kalian lah, para penderita kusta, yang pergi bersama dengan anak-anak kalian, orang-orang egois yang jahat, seperti makhluk yang berjalan sejajar dengan tanah (hewan) yang tinggal di pohon bidara (kola). Apalah yang dapat dilakukan oleh gajah, kuda, tameng dan tombak mereka kepada kami?” Mereka pergi mengadu kepada para pejabat yang berwenang menangani masalah seperti ini, dan para pejabat ini melaporkannya kepada para kesatria dari kaum mereka. Kemudian kaum Sakya berkata, “Kita akan tunjukkan kepada mereka betapa kuat dan perkasanya orang-orang yang tinggal bersama dengan saudari-saudari mereka ini,” dan mereka pun berangkat, siap untuk berperang. Dan kaum Koliya berkata, “Kita akan tunjukkan kepada mereka betapa kuat dan perkasanya mereka yang tinggal di pohon bidara,” dan mereka pun berangkat, siap untuk berperang. Akan tetapi, ada beberapa guru lain yang menceritakan kisah ini demikian, “Ketika para pembantu dari kaum Sakiya dan Koliya pergi ke sungai untuk mengambil air, dan duduk sambal berbincang-bincang setelah meletakkan gelung bantal yang mereka bawa di kepala, seorang wanita mengambil gelung bantal milik wanita yang lain karena menganggap itu adalah miliknya sendiri; oleh karenanya, pertengkaran pun terjadi, masing-masing dari kaum mereka menyatakan bahwa itu adalah milik mereka, kemudian berangsur-angsur sampai kepada para penduduk dari kedua kota, para budak, pekerja, pelayan, kepala kampung, pemimpin, pejabat dan wakil raja, mereka semuanya berangkat, siap untuk berperang. Versi yang pertama lebih banyak ditemukan dalam kitab-kitab komentar dan juga lebih dapat diterima daripada versi yang kedua.

Kala itu hari menjelang malam, ketika mereka bersiap

untuk berperang. Pada waktu itu, Yang Terberkahi sedang

berada di Sāvatthi, dan ketika sedang meninjau keadaan dunia,

Beliau melihat kedua kaum ini yang berangkat, siap untuk

berperang. Ketika melihat ini, Beliau ingin mengetahui apakah

jika Beliau pergi ke sana, maka perseteruan akan reda atau

tidak, dan Beliau memutuskan seraya berpikir, “Saya akan pergi

ke sana, dan untuk memadamkan perseteruan ini, saya akan

menceritakan tiga kisah kelahiran, dan setelahnya, perseteruan

akan reda. Kemudian setelah menceritakan dua kisah kelahiran

lagi, untuk memberitahukan tentang berkah dari kerukunan, saya

akan mengkhotbahkan Attadaṇḍa Sutta224 kepada mereka. Dan

setelah mendengar khotbah-Ku ini, orang-orang dari kedua kota

tersebut masing-masing akan memberikan dua ratus lima puluh

pemuda kepadaku, dan saya akan menahbis mereka menjadi

bhikkhu, dan akan terbentuk suatu kumpulan yang banyak.”

Setelah memutuskan demikian dan merapikan pakaian, Beliau

pergi ke Sāvatthi untuk berpindapata.

Sekembalinya dari berpindapata dan

setelah menyantap makanan, pada sore hari

Beliau keluar dari gandhakuṭi dan tanpa mengatakan apa pun

kepada siapa pun, Beliau mengambil patta dan jubah-Nya, pergi

sendirian ke tempat tersebut, kemudian duduk bersila di udara di

antara kedua kubu yang berseteru itu. Melihat adanya suatu

kesempatan untuk mengejutkan mereka, untuk membuat

kegelapan, Beliau duduk di sana mengeluarkan sinar (biru

gelap)225 dari rambut-Nya. Ketika mereka semua meresah, Beliau

menunjukkan diri-Nya dan mengeluarkan enam sinar seorang

Buddha. Orang-orang Kapilavatthu, yang melihat Yang

Terberkahi, berpikir, “Sang Guru, Saudara kami yang mulia, telah

datang. Apakah mungkin Beliau telah mengetahui keburukan

kami dalam peperangan ini? Karena Sang Guru telah datang,

tidaklah mungkin kami melucuti senjata dari pihak lawan,”

dan mereka membuang senjata-senjata dari tangan mereka, dan

berkata, “Biarlah kaum Koliya membunuh atau menangkap

kami.” Orang-orang dari kaum Koliya juga memikirkan dan

melakukan hal yang sama. Kemudian Yang Terberkahi turun dan

duduk di tempat duduk Buddha yang luar biasa, terletak di

tempat yang memukau pada hamparan pasir, dan Beliau

mengeluarkan sinar kejayaan tiada tara dari seorang Buddha.

Para kesatria juga memberikan hormat kepada Beliau dan

mengambil tempat untuk duduk. Kemudian Sang Guru, meskipun

Beliau sudah mengetahui jawabannya dengan amat baik,

bertanya, “Mengapa Anda sekalian datang ke sini, para

Maharaja?” “Bhante,” jawab mereka, “kami datang ke sini bukanlah untuk melihat sungai ini ataupun untuk bersenangsenang,

melainkan untuk berperang.” “Mengenai apakah

pertengkarannya ini?” “Mengenai masalah air.” “Berapakah nilai

dari air, Maharaja?” “Sangat kecil, Bhante.” “Berapakah nilai dari

bumi ini?” “Tak ternilai.” “Berapakah nilai dari kaum kesatria?”

“Mereka juga sama, tak ternilai.” “Jadi mengapa disebabkan oleh

air yang sangat kecil nilainya, Anda sekalian hendak saling

menghancurkan kaum kesatria yang tak ternilai, Maharaja?

Sesungguhnya, tidaklah ada suatu akhir yang bahagia dari

perseteruan; di masa lampau dikarenakan suatu perseteruan di

antara dewa pohon dan singa hitam, terbentuklah suatu dendam

yang sampai pada kurun waktu sekarang ini,” dan setelah

mengatakan ini, Beliau menceritakan kepada mereka tentang

kisah Phandana-Jātaka. Kemudian Beliau berkata,

“Seharusnya tidaklah ada para pengikut yang membabi buta

seperti ini: Di masa lampau, sekelompok hewan berkaki empat

yang panjangnya mencapai tiga yojana, di daerah pegunungan

Himalaya, saling mengikuti satu sama lain menuruti perkataan

dari seekor kelinci untuk terjun ke samudra yang luas. Oleh

karena itu, tidak seharusnyalah kelompok pasukan yang

membabi buta ada saat ini,” setelah berkata demikian, Beliau

menceritakan kisah Daddabha-Jātaka. Lebih lanjut, Beliau

berkata kembali, “Kadang kala si lemah melihat kekurangan dari

si kuat, dan kadang kala pula si kuat melihat kekurangan dari si

lemah; di masa lampau, pada suatu ketika, seekor burung puyuh

dan seekor burung (gagak) membunuh seekor gajah,” dan Beliau menceritakan kisah Laṭukika-Jātaka. Demikianlah untuk

memadamkan perseteruan itu, Beliau menceritakan tiga kisah

kelahiran, dan untuk menjelaskan tentang berkah dari kerukunan,

Beliau menceritakan dua kisah kelahiran yang lainnya lagi.

“Dalam suatu keadaan, semua orang hidup dalam kerukunan, tak

seorang pun dapat menemukan celah untuk menyerang,” dan

Beliau menceritakan kisah Rukkhadhamma-Jātaka. Beliau

juga menambahkan, “Terhadap mereka yang hidup dalam

kerukunan, tak seorang pun dapat menemukan celah untuk

menyerang. Akan tetapi, ketika mereka ini terpecah satu sama

lain, di masa lampau, seorang pemburu menyebabkan

kehancuran mereka dan pergi sesudahnya. Sesungguhnya,

tidaklah ada suatu akhir yang bahagia dari perseteruan,” dan

setelah berkata demikian, Beliau menceritakan kisah Vaṭṭaka-

Jātaka. Setelah menceritakan lima kisah kelahiran ini, Beliau

mengakhirinya dengan mengkhotbahkan Attadaṇḍa Sutta.

Setelah menjadi orang yang berkeyakinan, para kesatria itu

berkata, “Seandainya Guru tidak datang tadi, kami pasti telah

saling membunuh dan menimbulkan terjadinya banjir darah.

Berkat Sang Guru-lah, kami masih hidup sekarang. Seandainya

Guru menjalankan kehidupan sebagai manusia biasa (awam),

maka daerah kekuasaan berupa empat pulau besar (benua)

ditambah dengan dua ribu pulau kecil lainnya akan jatuh ke

tangan-Nya dan Beliau pasti memiliki lebih dari seribu orang putra, serta dikelilingi oleh kelompok-kelompok kesatria. Akan

tetapi, Beliau meninggalkan semua kejayaan ini dan melepaskan

keduniawian mencapai pencerahan. Baiklah, sekarang

biarlah Beliau juga dikelilingi oleh pengikut berupa kelompok

kesatria.” Maka masing-masing kaum kesatria tersebut

memberikan kepada-Nya dua ratus lima puluh orang kesatria.

Setelah menahbiskan mereka, Beliau pergi ke Mahavana. Mulai

dari keesokan harinya, dengan ditemani oleh mereka, Beliau

pergi berpindapata di kedua kota tersebut, kadang kala di

Kapilavatthu dan kadang kala di Koliya, dan orang-orang dari

kedua kota memberikan kehormatan yang besar kepada-Nya. Di

antara mereka-mereka ini yang ditahbiskan bukan karena

keinginan mereka tidak menunjukkan hormat kepada Sang Guru

dan muncul rasa tidak puas dalam diri mereka. Dan para istri

menambah rasa tidak puas suami mereka dengan mengirimkan

pesan-pesan anu. Dengan memindai permasalahan ini, Yang

Terberkahi mengetahui betapa tidak puasnya diri mereka itu dan

berpikir, “Bhikkhu-bhikkhu ini, meskipun tinggal bersama dengan

seorang Buddha seperti diriku ini, masih merasa tidak puas.

Saya ingin tahu khotbah apakah yang cocok untuk mereka ini,”

Beliau kemudian memikirkan tentang uraian Dhamma mengenai

Kuṇāla. Kemudian gagasan ini muncul dalam dirinya, “Akan

kubawa bhikkhu-bhikkhu ini ke daerah pegunungan Himalaya

dan setelah memaparkan keburukan para wanita (istri) dengan

uraian mengenai Kuṇāla dan menghilangkan rasa tidak puas

mereka, akan kubuat mereka kukuh berada dalam Jalan

Sotapanna.” Maka pada pagi harinya, sambil membawa serta

patta dan jubah, Beliau pergi berpindapata ke Kapilavatthu. Setelah kembali dan menyantap makanan serta melakukan apa

yang seharusnya dilakukan, Beliau memanggil lima ratus bhikkhu

ini dan bertanya, “Apakah daerah pegunungan Himalaya yang

demikian menyenangkan pernah terlihat oleh kalian

sebelumnya?” Mereka menjawab, “Belum, Bhante.” “Maukah

kalian melakukan perjalanan ke daerah pegunungan Himalaya?”

“Bhante, kami tidak memiliki kekuatan gaib; bagaimana bisa kami

pergi ke sana?” “Andai kata ada seseorang yang membawa

kalian pergi bersamanya, maukah kalian ikut serta?” “Ya,

Bhante.” Dengan kekuatan gaib, Sang Guru membawa mereka

terbang bersama-Nya di angkasa dan tiba di daerah pegunungan

Himalaya, dan dengan berdiri di angkasa, Beliau menunjukkan

kepada mereka hamparan luas pegunungan Himalaya berupa

beragam jenis gunung, Gunung Emas, Gunung Perak, Gunung

Vermiliun, Gunung Hitam, Gunung Dataran Tinggi, Gunung

Kristal; lima sungai yang besar; tujuh danau, Kaṇṇamuṇḍa,

Rathakāra, Sīhapapāta, Chaddanta, Tiyaggaḷa, Anotatta, Kuṇāla.

Himalaya adalah suatu daerah pegunungan yang amat luas, lima

ratus yojana panjangnya dan tiga ribu yojana lebarnya. Bagian

yang menyenangkan darinya ini ditunjukkan oleh Beliau dengan

kekuatan gaib-Nya, berikut dengan taman yang ada di sana,

kelompok-kelompok hewan berkaki empat, singa, harimau, gajah

dan sebagainya—berbagai tempat hiburan lainnya, pohon-pohon

yang berbunga dan berbuah, kelompok berbagai jenis burung, tanaman air dan darat,—di sebelah timur Himalaya terdapat

dataran emas, dan di sebelah barat adalah Dataran Vermiliun.

Pertama kalinya melihat daerah-daerah yang amat

menyenangkan ini, para bhikkhu tersebut tidak lagi memiliki

nafsu keinginan (untuk kembali) kepada mantan istri-istri mereka.

Kemudian Sang Guru bersama dengan para bhikkhu ini

turun dari angkasa di sebelah barat Himalaya pada satu dataran

bebatuan yang panjangnya tujuh puluh yojana, di dataran merah

yang panjangnya tiga yojana, di bawah pohon sala yang

menutupi area seluas enam puluh yojana dan berusia satu kalpa.

Sang Guru, yang dikelilingi oleh para bhikkhu ini, mengeluarkan

enam sinar (warna), seperti menembus masuk ke kedalaman

samudra dan bersinar seperti matahari, kemudian duduk dan

berkata demikian kepada para bhikkhu ini dengan nada suara

yang manis: “Para Bhikkhu, tanyakanlah padaku mengenai

ketakjuban yang belum pernah kalian lihat sebelumnya di

Himalaya ini.” Kala itu dua ekor burung tekukur yang berwarna

cerah menggigit sebatang kayu di kedua ujungnya, dan di bagian

tengah terdapat raja mereka, kemudian delapan ekor burung

tekukur lainnya berada di bagian depan dan delapan ekor di

bagian belakang, delapan ekor di sebelah kanan dan delapan

ekor di sebelah kiri, delapan ekor lagi di bagian atas dan delapan

ekor di bagian bawah, dalam keadaan demikian melindungi raja

mereka itu, terbang di angkasa. Melihat kawanan burung ini, para

bhikkhu tersebut bertanya kepada Sang Guru, “Apakah arti dari

burung-burung ini?” “Para Bhikkhu,” Beliau menjawab, “ini adalah

tradisi lama dari keluarga kami, sebuah tradisi yang dibuat

olehku; di masa lampau, dalam keadaan demikianlah mereka mengawal diriku. Saat seperti ini di masa lampau terdapat

kawanan burung yang berjumlah besar, sebanyak tiga ribu lima

ratus ekor burung betina yang mengelilingi diriku. Karena

berangsur-angsur berkurang, jumlah kawanan burung ini menjadi

seperti yang dapat kalian lihat sekarang ini.” “Di hutan jenis

apakah mereka menjadi pengikutmu, Bhante?” Kemudian Sang

Guru berkata, “Baik, simaklah ini, Para Bhikkhu,” dan sembari

mengingat kembali, Beliau menceritakan sebuah kisah masa

lampau dan demikian ini mengajar mereka.

Demikianlah kisahnya dan yang kudengar: suatu daerah

yang dari tanahnya menghidupi berbagai jenis tanaman,

berbagai jenis bunga; didatangi oleh gajah, banteng, kerbau, sapi

(yak), antelop berbintik, badak, rusa, singa, harimau, macan

kumbang, beruang, serigala, hiena, berang-berang, antelop

kadalī, kucing yang bertelinga panjang seperti telinga kelinci;

dihuni oleh kawanan-kawanan berbagai jenis gajah; kerap

dikunjungi oleh berbagai jenis rusa; dan dihuni pula oleh para

yaksa berwajah kuda, dan makhluk sejenisnya; terhampar luas

dengan belukar pepohonan yang puncak-puncaknya berbunga,

berbatang kuat dan berdiri kokoh, tak ada yang kuncup, yang

menggemakan suara kicauan ratusan burung yang semuanya

bersukacita, burung elang laut, burung belibis, burung hering

berparuh gajah, burung merak, burung kuau, dan beragam burung tekukur India; ditutupi dan dihiasi oleh ratusan zat

mineral, collyrium, arsenik, orpiment, vermiliun, emas dan

perak—di hutan yang demikian inilah hidup burung Kuṇāla

(Kunala): ia begitu elok dan memiliki bulu-bulu yang

berwarna terang. Burung Kunala ini memiliki tiga ribu lima ratus

burung betina yang melayaninya. Kemudian dua ekor burung

menggigit ujung sebatang kayu, mendudukkan Kunala di bagian

tengah, terbang di angkasa, karena takut rasa lelah dalam

perjalanan jauh dapat membuatnya bergerak dari posisinya dan

terjatuh maka lima ratus ekor burung terbang di bagian bawah,

dengan pemikiran, “Seandainya Kunala terjatuh dari

tenggerannya, kami dapat menahannya dengan sayap kami.”

Lima ratus ekor burung lainnya terbang di bagian atas, karena

takut panas dapat membuat Kunala gosong. Lima ratus ekor

burung masing-masing terbang di kedua sisinya untuk

menghalangi dingin atau panas, sampah atau debu, angin atau

embun, agar tidak mengenai dirinya. Lima ratus ekor burung

terbang di bagian depan, kalau-kalau ada penggembala sapi,

penggembala kambing, pemotong rumput, atau pengumpul kayu

atau pekerja di hutan, memukul Kunala dengan kayu atau

pecahan kayu, dengan kepalan tangan atau gumpalan tanah,

dengan tongkat atau pedang atau batu, atau kalau-kalau Kunala

akan bertabrakan dengan ranting-ranting pohon atau pepohonan,

atau dengan tiang atau batu (karang), atau dengan burung lain

yang kuat. Lima ratus ekor burung terbang di bagian belakang,

melayaninya dengan kata-kata lembut, baik, memikat nan manis dengan suara merdu, kalau-kalau Kunala bosan duduk di tempat

tenggernya. Lima ratus ekor burung terbang ke sana dan ke sini,

membawa beragam jenis buah dari pohon-pohon yang berbeda,

kalau-kalau ia merasa lapar. Kemudian burung-burung tersebut

mengiringi Kunala dari satu taman ke taman yang lain, dari satu

hutan ke hutan yang lain, dari satu sungai ke sungai yang lain,

dari satu puncak gunung ke puncak gunung yang lain, dari satu

hutan mangga ke hutan mangga yang lain, dari satu hutan jambu

ke hutan jambu yang lain, dari satu hutan sukun ke hutan sukun

yang lain, dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa yang lain.

Tetapi Kunala yang setiap hari diiringi oleh burung-burung ini

mencela mereka demikian: “Enyahlah kalian, makhlukmakhluk

rendah, binasalah kalian, makhluk-makhluk penipu,

pencuri, yang tak berkesadaran, yang selalu berubah-ubah, yang

tidak tahu berterima kasih, pergi seperti angin yang terbang ke

tempat mana pun.”

Setelah mengucapkan kata-kata ini, Sang Guru

berkata, “Para Bhikkhu, bahkan sewaktu terlahir sebagai hewan,

saya mengetahui dengan sangat baik mengenai rasa tak tahu

berterima kasih, tipu muslihat, kekejaman dan keburukan dari

wanita, dan pada waktu itu saya dapat berada jauh dari pengaruh

mereka dan mengendalikan mereka,” dan ketika dengan

perkataan ini dapat menghilangkan rasa tidak puas (dalam batin)

bhikkhu-bhikkhu tersebut, Sang Guru pun diam sejenak. Kala itu,

dua ekor burung tekukur hitam datang ke tempat tersebut,

membawa pemimpin mereka di tengah sebatang kayu, tempat

terdapat empat ekor burung lainnya di masing-masing sisinya.

Ketika melihat mereka ini, para bhikkhu bertanya kepada Sang Guru mengenai mereka, dan Beliau berkata, “Di masa lampau,

Para Bhikkhu, saya memiliki teman, seekor burung tekukur, yang

bernama Puṇṇamukha (Punnamukha), dan demikian tradisi dari

keluarganya,” dan untuk menjawab pertanyaan para bhikkhu itu,

sama seperti sebelumnya, Beliau berkata:

Di sebelah timur dari pegunungan Himalaya, rajanya

para gunung, terdapat aliran-aliran air jernih yang bersumber di

lereng-lereng gunung landai nan lembut; di suatu tempat yang

berbau harum, memukau, cerah, indah dengan bunga-bunga

teratai yang bermekaran, teratai biru, teratai putih, teratai

berdaun seratus, bunga lili putih, dan pohon surgawi, di

suatu daerah yang ditumbuhi dan dihiasi oleh berbagai jenis

pohon, tanaman dan belukar yang bermekaran, diramaikan

oleh suara-suara dari burung angsa, itik, angsa, dijadikan tempat

tinggal oleh kelompok-kelompok petapa yang memiliki kekuatan

gaib, dihuni oleh para makhluk dewata, yaksa, raksasa, asura,

gandhabba, kinnara, dan ular naga—demikian indahnyalah hutan

tempat burung tekukur Puṇṇamukha (Punnamukha) itu

bertempat tinggal. Ia memiliki suara yang amat merdu, matanya

seperti mata seseorang yang selalu dirundung oleh kegembiraan,

terdapat tiga ribu lima ratus burung betina yang mengikutinya,

dua ekor burung menggigit sebatang kayu di kedua ujungnya,

memberikan tempat duduk kepada rajanya di bagian tengah,

mendudukkan Punnamukha di bagian tengah, terbang di

angkasa, karena takut rasa lelah dalam perjalanan jauh dapat membuatnya bergerak dari posisinya…dan seterusnya.

Punnamukha, yang dikawal oleh burung-burung ini setiap

harinya, memuji mereka dengan berkata, “Bagus sekali, Saudarisaudariku,

perbuatan kalian ini menjadikan kalian berstatus

tinggi, dengan pelayanan yang diberikan kepada raja kalian.”

Kemudian Punnamukha terbang mendekati tempat Kunala

berada, dan ketika burung-burung yang melayani Kunala

melihatnya, mereka terbang menghampiri Punnamukha ketika

masih berada di satu kejauhan dan demikian menyapanya,

“Teman Punnamukha, Kunala ini adalah burung yang galak dan

kasar. Mungkin dengan bantuanmu, kami nantinya bisa

mendapatkan perkataan yang baik darinya.” “Semoga saja

demikian, Saudari-saudari,” jawabnya. Setelah berkata demikian,

ia menghampiri Kunala, dan sesudah beruluk salam, dengan

penuh hormat ia duduk di satu sisi dan menyapa Kunala

demikian: “Mengapa Anda, Teman Kunala, bersikap demikian

kasar terhadap burung-burung betina yang berstatus tinggi ini, di

saat mereka demikian baiknya bertingkah laku kepadamu.

Teman Kunala, selayaknya kita bahkan harus berbicara dengan

baik kepada wanita yang berkata kasar, apalagi kepada mereka

yang baik.” Setelah ia berkata demikian, Kunala demikian

mengecamnya, “Enyahlah, makhluk rendah, binasalah, siapa

saja yang menyerupai dirimu, yang mengikuti perkataan dari

wanita.” Karena dicela demikian, Punnamukha pun kembali.

Tak lama kemudian, penyakit yang parah menyerang

Punnamukha, penderitaan yang luar biasa menderanya,

membuat dirinya dekat dengan maut. Kemudian pemikiran ini

muncul di dalam diri burung-burung yang melayani dirinya:

“Burung ini sedang sakit parah; Mungkin ia tidak akan sembuh

lagi.” Maka dengan meninggalkan dirinya sendirian, mereka

terbang menghampiri tempat Kunala berada. Kunala melihat

mereka dari kejauhan, dan menegur mereka demikian, “Di

manakah, makhluk-makhluk rendah, raja kalian?” “Teman

Kunala,” kata mereka, “Punnamukha sedang sakit parah.

Mungkin ia tidak akan sembuh lagi.” Ketika mereka berkata

demikian, Kunala mengecam mereka dengan berkata, “Enyahlah

kalian, makhluk-makhluk rendah, binasalah kalian, makhluk-makhluk

penipu, pencuri, yang tak berkesadaran, yang selalu

berubah-ubah, yang tidak tahu berterima kasih, pergi seperti

angin yang terbang ke tempat mana pun.” Setelah berkata

demikian, ia terbang ke tempat Punnamukha berada dan

menyapanya, “Hai, Teman Punnamukha.” “Hai, Teman Kunala,”

balasnya. Kemudian Kunala membantu Punnamukha untuk

bangkit dengan sayap dan paruhnya, memberikannya berbagai

jenis obat untuk diminum, sehingga penyakitnya pun sembuh.

Dan ketika Punnamukha menjadi sehat kembali, burungburung

betina tersebut kembali lagi (ke sisinya), dan Kunala tetap

memberikan buah-buahan kepada Punnamukha untuk dimakan

selama beberapa hari, dan ketika kekuatannya pulih kembali, ia

berkata, “Teman, sekarang Anda sudah sembuh; tinggallah

bersama dengan para pelayanmu, dan saya akan kembali ke

kediamanku.” Kemudian Punnamukha berkata kepadanya,

“Mereka ini terbang meninggalkan diriku di saat sakit. Saya tidak

memerlukan mereka yang tidak bisa diandalkan ini.” Mendengar

ini, Sang Mahasatwa berkata, “Baik, Teman, saya akan memberitahukan kepadamu mengenai keburukan dari wanita,” dan ia membawa Punnamukha ke Lembah Merah di lereng

pegunungan Himalaya, duduk di batu arsenik merah di bawah

kaki pohon sala, yang panjangnya tujuh yojana. Sedangkan

Punnamukha beserta dengan pengikutnya duduk di satu sisi. Di

seluruh Himalaya terdengar suara dewa, “Hari ini, Kunala si raja

burung, dengan duduk di batu arsenik merah, dengan gaya

seperti seorang Buddha, akan memberikan khotbah kebenaran.

Dengarkanlah dirinya.” Secara berturut-turut suara ini

terdengar sampai kepada para dewa di keenam alam

kāmāvacara, yang kemudian berkumpul bersama: berikut juga

dengan banyak peri (kinnara) di dalam hutan, ular naga, burung

garuda, dan burung hering. Kala itu, Ānanda, raja burung hering,

dengan pengikut berupa sepuluh ribu ekor burung hering lainnya,

berdiam di puncak Gunung Burung Hering. Dan ketika

mendengar kabar tersebut, ia berpikir, “Saya akan

mendengarkan khotbah kebenaran itu,” dan kemudian datang

beserta dengan para pengikutnya dan duduk di satu sisi. Begitu

juga halnya dengan Nārada, petapa yang memiliki lima

kemampuan batin luar biasa, yang tinggal di daerah pegunungan

Himalaya bersama dengan pengikutnya berupa sepuluh ribu

petapa, ketika mendengar suara ini, berpikir, “Temanku, Kunala,

dikatakan akan memaparkan tentang keburukan dari wanita;

Saya juga harus ikut mendengarkan khotbahnya,” dan dengan

ditemani oleh seribu orang petapa, dengan kemampuan

batinnya, ia datang ke sana dan duduk di satu sisi. Selalu ada

banyak jumlah dari mereka yang berkumpul untuk

mendengarkan ajaran dari (para) Buddha. Kemudian Sang

Mahasatwa, dengan kemampuannya melihat kembali kelahiran-kelahiran masa lampau, membuat Punnamukha menjadi saksi,

mempertautkan satu keadaan yang terlihat di kehidupan

sebelumnya, yang berhubungan dengan keburukan dari wanita.

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Demikian Kunala menyapa Punnamukha, yang baru saja bangkit

dari ranjang kematian, “Teman Punnamukha, telah kulihat

Kaṇhā, ia yang memiliki dua orang ayah236 dan lima orang

suami, dan yang juga memberikan cintanya kepada orang

keenam, yaitu seorang cacat yang tak berkepala.

Berikut ini terdapat syairnya:

Dikatakan pada satu kisah lampau, Kaṇhā,

seorang wanita menikah dengan lima orang pangeran,

masih merasa tidak puas, ia mencari lagi yang lain,

dan dengan seorang pelayan bungkuk, ia mainkan peran

seorang pelacur.

“Teman Punnamukha, telah kulihat kasus seorang

petapa wanita yang bernama Saccatapāvī, yang tinggal di suatu

daerah pekuburan dan berpantang hingga setiap makanan

kelima, ia berbuat zina dengan seorang pandai emas. Telah

kulihat juga, Teman Punnamukha, kasus dari Kākāti, istri dari

Venateyya, yang tinggal di tengah samudra, dan meskipun dalam

keadaan demikian berbuat zina dengan Naṭakuvera. Telah kulihat, Teman Punnamukha, Kuraṅgavī, yang meskipun

jatuh cinta kepada Eḷakamāra, tetapi berzina dengan

Chaḷaṅgakumāra dan Dhanantevāsī. Ini juga telah kuketahui,

bagaimana ibu Brahmadatta yang meninggalkan Raja Kosala,

berzina dengan Pañcālacaṇḍa. Wanita-wanita ini dan wanita

lainnya melakukan kesalahan buruk, dan seseorang tak

seharusnya menaruh kepercayaan kepada wanita atau tak

seharusnya menyanjung mereka. Seperti bumi yang adil kepada

seluruh dunia, memberikan kekayaan kepada semuanya,

memberikan tempat tinggal kepada orang dari segala tipe dan

kondisi (baik maupun buruk sama saja), terus bertahan, tak

guncang, tak goyah, demikianlah seharusnya kita bersikap

terhadap para wanita (yang buruk). Seseorang tak selayaknya

memercayai mereka.

Seperti singa yang hidup dari daging segar dan darah,

dengan lima cakar melahap makanannya;

Dalam penderitaan orang lain mereka mendapatkan

kesenangan terbesar—demikianlah para wanita itu.

Wahai semua makhluk, waspadalah terhadap mereka.

Sesungguhnya, Teman Punnamukha, makhluk-makhluk

ini tidak lebih dari pelacur, orang berkasta rendah, dan orang

yang selalu bepergian, mereka tidak demikian seperti para

pembunuh—maksudku para pelacur, orang berkasta rendah dan

orang yang selalu bepergian ini. Mereka seperti para perampok dengan rambut kepang, seperti minuman beracun, seperti para

saudagar yang melantunkan pujian atas diri mereka sendiri,

bengkok seperti tanduk rusa, lidah bercabang seperti lidah ular,

seperti sebuah lubang yang tersamarkan, tidak pernah puas

seperti gua di bawah tanah (neraka), sukar dipuaskan seperti

raksasa wanita, seperti Yama yang mengambil segalanya,

mereka melahap segalanya seperti kobaran api, menghanyutkan

segala yang ada di depannya seperti sungai, seperti angin yang

pergi ke mana pun ia berhembus, tak pandang bulu seperti

Gunung Neru, yang sepanjang tahun berbuah seperti pohon

bisa.” Berikut ini adalah syairnya:

Seperti minuman beracun atau seperti para perampok,

bengkok seperti tanduk rusa, lidah bercabang seperti

lidah ular, seperti saudagar yang membual,

Bahaya seperti lubang yang tersamarkan, tidak pernah

puas seperti neraka, tamak seperti raksasa atau seperti

Dewa Kematian yang mengambil segalanya.

Melahap segalanya seperti kobaran api, kuat seperti

angin atau air, seperti puncak emas Gunung Neru yang

tidak membedakan baik dan buruk,

merugikan seperti pohon bisa, mereka menyebabkan

kehancuran dalam rumah tangga, penghambur kekayaan

dan segala benda yang berharga.

Dahulu kala, dikatakan bahwa Brahmadatta, Raja Kāsi

(Kasi) dengan bala tentaranya menyerang Kerajaan Kosala,

membunuh rajanya dan membawa ratunya, yang sedang

mengandung, ke Benares dan menjadikannya sebagai

permaisuri. Seiring berjalannya waktu, ratu tersebut pun

melahirkan seorang putri, dan karena raja tidak memiliki putra

maupun putri dari keturunannya sendiri, ia merasa sangat

gembira dan berkata, “Ratu, mintalah satu anugerah dariku.” Ia

menerima anugerah itu dan menyimpannya. Waktu itu, mereka

memberinya nama Kaṇhā (Kanha). Ketika putrinya ini dewasa,

ratu berkata demikian kepadanya, “Putriku, dahulu ayahmu

memintaku untuk memohon satu anugerah darinya, yang

kemudian kuterima dan kusimpan. Sekarang pilihlah anugerah

apa saja yang Anda inginkan.” Dikarenakan nafsunya yang

berlebihan dan dengan tak memedulikan lagi rasa malu dan

segan untuk berbuat buruknya, ia berkata kepada ibunya, “Tidak

ada kekurangan bagi diriku; mintalah ayah menyelenggarakan

suatu sayembara untuk memilih seorang suami bagiku.” Sang ibu

kemudian mengulangi ini kepada raja. Raja berkata, “Biarlah ia

mendapatkan apa yang diinginkannya,” dan raja memerintahkan

untuk mengadakan suatu sayembara untuk memilih seorang

suami. Di halaman istana, kerumunan laki-laki berkumpul

bersama, berdandankan segala kebesaran mereka. Kanha, yang

membawa satu keranjang bunga di tangannya, melihat keluar

dari jendela atas, tidak menyukai satu dari mereka semua.

Kemudian Ajjuna, Nakula, Bhīmasena (Bhimasena), Yudhiṭṭhila

(Yudhittila), Sahadeva, keturunan dari keluarga Pāṇḍu (Pandu),

kelima putra dari Raja Pandu ini, setelah mendapatkan pendidikan dalam segala cabang ilmu pengetahuan di Takkasila

dari seorang guru yang terkemuka, yang sedang mengembara

untuk menguasai kebudayaan-kebudayaan setempat, tiba di

Benares, dan ketika mendengar adanya kegaduhan di kota dan

untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan mereka mengenai

gerangan apakah kegaduhan itu terjadi, mereka berlima datang

dan duduk di satu baris, dengan penampilan layaknya patungpatung

emas. Ketika melihat mereka berdiri di depan, Kanha

jatuh cinta kepada mereka berlima semua dan melemparkan

untaian bunga ke kepala mereka dan berkata, “Ibu, saya pilih

kelima laki-laki ini.” Ratu memberitahukan ini kepada raja.

Karena telah berjanji mengabulkan pilihan anugerahnya, raja

tidak mengatakan, “Anda tidak boleh melakukan ini,” tetapi hanya

merasa amat gusar. Ketika menanyakan asal muasal mereka

dan putra siapakah mereka, dan mengetahui bahwa mereka

adalah anak-anak dari Raja Pandu, ia pun memberikan hormat

kepada mereka dan menikahkan putrinya kepada mereka. Dan

dengan kekuatan nafsunya, Kanha mendapatkan cinta dari

kelima pangeran ini dalam istana tujuh tingkatnya. Kala itu,

Kanha memiliki seorang pelayan cacat yang bungkuk, dan

setelah mendapatkan cinta dari kelima pangeran tersebut

dengan kekuatan nafsunya, di saat mereka pergi dari istana,

serasa mendapatkan kesempatan dan terbakar oleh nafsu,

Kanha berbuat zina dengan pelayan bungkuk itu, dan berkata

demikian kepadanya, “Tidak ada orang lain yang mengasihiku

seperti dirimu; akan kubunuh pangeran-pangeran ini dan

membuat kakimu berlumuran darah yang dikeluarkan dari mulut

mereka.” Dan ketika ia bersama dengan pangeran sulung dari kelima bersaudara tersebut, ia akan berkata, “Anda-lah yang

paling mengasihiku dibandingkan dengan keempat saudaramu.

Demi dirimu, akan kukorbankan nyawaku sendiri. Setelah ayahku

meninggal, takhta kerajaan akan kuberikan kepadamu seorang

diri.” Tetapi ketika ia bersama dengan yang lainnya, ia juga akan

mengatakan hal yang sama. Mereka merasa amat senang

dengan dirinya dan masing-masing berpikir, “Ia menyukai diriku

dan oleh karenanya, ia akan memberikan kekuasaan atas

kerajaan ini kepadaku.” Suatu hari ketika ia sakit, mereka semua

berkumpul di sisinya, satu orang mengelus-elus bagian kepala,

dan yang lainnya masing-masing pada bagian kaki dan tangan,

sedangkan pelayan bungkuk tersebut duduk di kedua kakinya.

Kepada Ajjuna, pangeran tertua yang mengelus kepalanya,

Kanha membuat suatu tanda yang mengisyaratkan, “Tidak ada

yang lebih mengasihiku dibandingkan dirimu: seumur hidupku

akan kuberikan nyawaku ini untukmu dan sepeninggal ayahku

akan kuberikan kerajaan ini kepadamu,” dan demikianlah Kanha

mendapatkan hatinya. Kepada yang lainnya juga, Kanha

membuat tanda yang mengisyaratkan hal yang sama pula.

Kepada pelayan bungkuknya, ia membuat tanda dengan

lidahnya yang mengisyaratkan, “Hanya dirimulah yang

mengasihiku. Saya hidup hanya demi dirimu.” Disebabkan oleh

apa yang telah dikatakan kepada mereka sebelumnya, maka

mereka semua mengerti arti dari tanda itu. Akan tetapi, ketika

melihat gerakan tangan, kaki ataupun lidahnya, Pangeran Ajjuna

berpikir, “Seperti halnya dengan diriku dan juga diri yang

lainnya, dengan tanda ini pastinya ada isyarat yang diberikan dan

tidak diragukan lagi pasti ia memiliki hubungan istimewa dengan orang bungkuk ini,” maka dengan membawa saudarasaudaranya

beranjak keluar, ia bertanya, “Apakah tadi kalian

melihat wanita yang bersuami lima itu membuat tanda dengan

kepalanya kepadaku?” “Ya, kami melihatnya.” “Apakah kalian

mengetahui arti dari isyarat itu?” “Kami tidak tahu.” “Arti dari

isyarat itu adalah anu: Apakah kalian mengetahui arti dari isyarat

yang diberikan kepada kalian dengan gerakan tangan dan kaki?”

“Ya, kami mengetahuinya.” “Dengan cara yang sama pula, ia

memberikan isyarat itu kepadaku. Apakah kalian mengetahui arti

dari isyarat yang diberikan kepada si bungkuk dengan gerakan

lidahnya?” “Kami tidak tahu.” Kemudian ia memberitahukan

mereka, “Ia telah berbuat zina dengannya.” Dan ketika mereka

tidak memercayai dirinya, ia memanggil si bungkuk dan

menanyakan kepadanya, dan si bungkuk memberitahukan

semuanya kepada dirinya. Ketika mereka mendengar apa yang

dikatakan oleh si bungkuk, perasaan cinta mereka kepada Kanha

seketika itu juga hilang. “Ah! benar-benar,” kata mereka, “wanita

adalah makhluk yang keji dan licik. Tanpa memedulikan laki-laki

seperti kita, yang berstatus tinggi dan berlimpahkan kekayaan, ia

berbuat zina dengan seorang yang berstatus rendah, menjijikkan,

bungkuk seperti ini. Orang bijak manakah yang dapat

menemukan kebahagiaan dengan menikahi wanita yang tak tahu

malu dan keji seperti ini?” Setelah mencela wanita demikian,

kelima pangeran tersebut berpikir, “Kami sudah bosan dengan

kehidupan rumah tangga,” dan hidup mengasingkan diri di

daerah Himalaya. Setelah melaksanakan meditasi pendahuluan

Kasiṇa, setelah meninggal, mereka menuai hasil sesuai dengan

perbuatan mereka masing-masing. Pada waktu itu, Kunala adalah Ajjuna, dan atas alasan ini lah dalam memaparkan segala

sesuatu yang telah dialaminya sendiri, ia memulai kisah-kisah

tersebut dengan kata, “Telah kulihat…” Untuk menghubungkan

hal-hal lain yang telah dialaminya di masa lampau, ia juga

menggunakan kata-kata yang sama, dan berikut ini adalah

penjelasan atas kisah-kisah (kejadian) yang disebutkan di awal.

Dahulu kala, dikatakan seorang petapa wanita putih yang

bernama Saccatapāvī (Saccatapavi) tinggal di sebuah gubuk

yang berada di suatu daerah pekuburan dekat Benares. Ketika

tinggal di sana, dari lima kali makanan ia selalu berpantang

makan empat kali, dan ketenarannya tersebar luas di seluruh

kota seperti ketenaran dari sang Bulan atau Matahari. Jika bersin

atau tersandung, setiap penduduk Benares akan berujar,

“Terpujilah Saccatapavi.” Pada hari pertama dari suatu festival,

beberapa pandai emas membuat sebuah tenda di satu tempat,

tempat orang-orang ramai berkumpul, dengan membawa ikan,

daging, minuman keras, wewangian, untaian bunga dan

sebagainya, dan memulai pesta minuman. Kemudian seorang

pandai besi, yang kecanduan minuman keras, muntah dan

berujar, “Terpujilah Saccatapavi.” Ada seorang bijak di antara

mereka yang kemudian berkata, “He, orang tolol yang buta, Anda

menghormati seorang wanita yang pikirannya selalu berubahubah,

Anda adalah orang dungu.” Ia kemudian membalas,

“Teman, jangan berkata demikian, jangan melakukan perbuatan

salah yang mengarahkanmu ke neraka.” Kemudian laki-laki bijak

itu berkata, “Diamlah, dungu. Mari kita bertaruh seribu kepeng,

pada hari ketujuh mulai hari ini, dengan duduk di tempat ini akan

kubawakan kepadamu Saccatapavi yang mengenakan pakaian mewah dan bercanda ria dengan minuman keras dan diriku

sendiri juga akan berbagi minuman dengannya: wanita itu adalah

orang yang selalu berubah-ubah.” Ia berkata, “Anda tidak akan

mampu melakukannya,” dan ia mengeluarkan seribu kepeng.

Maka ia memberitahukan pandai-pandai emas lainnya, dan

keesokan paginya, dengan samaran sebagai seorang petapa,

orang bijak tersebut beranjak ke daerah pekuburan itu, dan pada

jarak yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal petapa wanita itu,

ia berdiri sembari menyembah matahari. Saccatapavi melihatnya

ketika hendak berkeliling untuk mendapatkan derma makanan

dan berpikir, “Ia pasti adalah seorang petapa yang digdaya.

Diriku tinggal di samping pekuburan, sedangkan dirinya tinggal di

tengahnya: hatinya pasti penuh dengan ketenangan murni. Akan

kuberikan hormatku kepadanya.” Maka Saccatapavi pun

menghampirinya dan memberi hormat kepadanya, dan ia tidak

menoleh maupun berbicara kepadanya. Keesokan harinya, ia

bersikap sama. Pada hari ketiga, ketika Saccatapavi memberi

hormat kepadanya, ia melihat ke bawah dan berkata, “Pergilah.”

Pada hari keempat, ia berbicara lembut kepada Saccatapavi dan

berkata, “Apakah Anda tidak bosan harus berkeliling meminta

derma makanan?” Saccatapavi berpikir, “Saya telah

mendapatkan salam balasan yang baik,” dan pergi dengan hati

yang gembira. Pada hari kelima, Saccatapavi mendapatkan

salam yang lebih baik lagi, dan setelah duduk sejenak, ia

memberi hormat kepadanya dan pergi. Pada hari keenam,

Saccatapavi datang menghampiri dan memberi hormat

kepadanya di saat ia sedang duduk di sana. Ia berkata, “Saudari,

ada gerangan apa dengan suara ribut dari lagu dan musik di Benares hari ini?” Ia menjawab, “Ayya, tidakkah Anda tahu

bahwa ada festival di kota, dan ini adalah suara ribut dari mereka

yang sedang bersenang-senang di sana?” Berpura-pura tidak

tahu, ia kemudian berkata, “Ya, tak diragukan lagi, inilah suara

yang kudengar.” Kemudian ia bertanya, “Saudari, sampai berapa

makanan kah Anda selalu berpantang?” “Empat, Ayya,”

jawabnya, “dan berapa makanan kah Anda berpantang?” “Tujuh,

Saudari,” dalam hal ini ia berbohong, karena sepanjang siang

dan malam ia selalu makan. Kemudian ia bertanya lagi, “Sudah

berapa tahun kah Anda menjadi seorang petapa?” Dan ketika

dijawab olehnya, “Dua belas tahun, dan Anda berapa tahun?” ia

menjawab, “Ini adalah tahun keenam.” Kemudian ia bertanya

kembali, “Saudari, apakah Anda telah mencapai ketenangan

murni?” “Belum, Ayya. Apakah Anda telah mencapainya?”

“Belum juga,” katanya, “Saudari, baik kesenangan indriawi

maupun kebahagiaan dari pelepasan keduniawian tidak kita

dapatkan. Apakah gunanya pengetahuan bahwa neraka itu

panas? Mari kita ikuti saja jalan yang dilalui oleh orang banyak:

saya akan kembali menjadi umat awam, dan karena saya

memiliki harta warisan ibuku, maka diriku akan baik-baik saja.”

Ketika mendengar perkataannya ini, dikarenakan

ketidakkukuhannya, Saccatapavi menjadi jatuh cinta kepadanya

dan berkata, “Ayya, saya juga merasakan ketidakpuasan: Jika

Anda tidak menolakku, saya juga ingin berumah tangga

denganmu.” Maka ia berkata kepadanya, “Saya tidak akan

menolakmu: Anda akan menjadi istriku.” Kemudian ia membawanya ke kota dan tinggal bersama dengannya. Sewaktu

pergi bersama dengannya ke tempat minum tersebut, ia

meneguk minuman keras dan memberikan minuman itu kepada

Saccatapavi, kemudian kepada teman-temannya, akibat buruk

dari minuman keras; jadi orang yang tadinya bertaruh itu kalah

seribu kepeng. Saccatapavi memiliki banyak putra dan putri, hasil

pernikahannya dengan si pandai emas. Pada waktu itu, Kunala

adalah si pandai emas, dan sewaktu menceritakan kisah ini, ia

memulainya dengan perkataan, “Telah kulihat…”

Kisah ketiga diuraikan secara lengkap di Buku Keempat

dalam kisah Kākāti-Jātaka; kala itu Kunala adalah si burung

garuda, dan inilah alasannya mengapa dalam memberitahukan

apa yang telah dilihatnya dengan mata kepala sendiri, ia

menggunakan perkataan, “Telah kulihat…”

Kisah keempat: Pada suatu ketika, Brahmadatta

membunuh Raja Kosala dan merampas kerajaannya. Dengan

memboyong istrinya, yang sedang mengandung, ia kembali ke

Benares dan menjadikannya sebagai permaisuri meskipun ia

mengetahui kondisinya yang sebenarnya. Ketika waktunya tiba,

permaisuri melahirkan seorang putra yang rupawan. Permaisuri

berpikir, “Ketika anak ini dewasa, Raja Benares (mungkin) akan

berkata, ‘Ini adalah putra dari musuhku: apalah hubungan

ia denganku?’ dan membunuhnya. Tidak, saya tidak boleh

membiarkan putraku mati di tangan seorang musuh.” Maka ia

berkata kepada perawat anaknya, “Bungkuslah anak ini dengan

kain yang bermutu rendah, kemudian pergi dan letakkan ia di daerah pekuburan.” Perawat itu melakukan apa yang

diperintahkan, dan pulang kembali ke rumah setelah selesai mandi.

Setelah kematiannya, Raja Kosala terlahir sebagai dewata

pelindung bagi putranya. Dengan kekuatan supranatural yang

dimilikinya, ketika seekor kambing betina, kepunyaan seorang

penggembala kambing yang sedang menggembalakan kawanan

kambingnya di tempat ini, melihat anak tersebut langsung

memiliki perasaan cinta kepadanya dan menyusuinya, kemudian

pergi. Setelah pergi beberapa jauh, kambing betina tersebut

kembali lagi untuk kedua kalinya, untuk ketiga kalinya, dan

bahkan untuk keempat kalinya, untuk menyusuinya. Mencari tahu

apa yang sebenarnya dilakukan oleh kambing betina tersebut, si

penggembala datang ke tempat itu. Di saat melihat anak itu, ia

pun langsung memiliki perasaan cinta kepadanya dan

membawanya pulang kepada istrinya. Kala itu, sang istri

penggembala tidak bisa memiliki anak, dan oleh karenanya tidak

memiliki air susu untuk menyusuinya. Maka kambing betinalah

yang tetap menyusuinya, dan sejak saat itu dua atau tiga ekor

kambing mati setiap harinya. Penggembala berpikir, “Jika anak

laki-laki itu tetap kami rawat, maka semua kambing kami akan

musnah. Apalah hubungan ia dengan kami?” Kemudian ia

meletakkan anak itu dalam sebuah bejana lempung, menutupnya

dengan satu bejana yang lain, membedaki seluruh wajahnya

dengan tepung kacang tanpa meninggalkan satu celah pun, dan

menghanyutkannya di sungai. Anak tersebut dibawa oleh arus

sungai dan ditemukan di bagian hilir sungai dekat istana raja oleh

seorang tukang tambal, seorang candala, yang berkasta rendah, yang kebetulan berada di sana sedang mencuci muka di sana,

bersama istrinya. Dengan sigap, ia menarik bejana tersebut

keluar dari air dan meletakkannya di tepian. “Apa yang kita

dapatkan di sini?” pikirnya, dan ketika membuka bejana tersebut,

ia melihat anak itu. Istrinya, kala itu, juga tidak memiliki anak, dan

ia juga memiliki perasaan cinta kepadanya, maka ia

membawanya pulang dan merawatnya. Di saat ia berusia tujuh

atau delapan tahun, orang tuanya selalu membawa serta dirinya

ketika pergi ke istana. Di saat berusia enam belas tahun, anak

laki-laki itu sering berkunjung ke istana untuk menambal barangbarang

usang. Waktu itu, raja dan permaisuri memiliki seorang

anak yang bernama Kuraṅgavī (Kurangavi), putri yang luar biasa

cantiknya. Sejak pertama melihat laki-laki itu, putri jatuh cinta

kepadanya, dan tanpa memedulikan yang lainnya lagi, ia selalu

pergi ke tempat laki-laki itu bekerja. Dari pertemuan yang cukup

sering itu, mereka menjadi saling tertarik, dan diam-diam di

sekitar ruangan istana mereka melakukan hubungan terlarang.

Suatu ketika, para pelayan istana memberitahukan hal ini kepada

raja. Dalam kemarahannya, raja mengumpulkan para menterinya

dan berkata, “Perbuatan anu telah dilakukan oleh orang candala

ini: pertimbangkanlah apa yang harus dilakukan kepadanya.”

Para menterinya menjawab, “Ini adalah pelanggaran berat;

setelah mempertimbangkan berbagai jenis hukuman, kami

memberinya hukuman mati.” Pada waktu ini, ayah dari anak

tersebut (Raja Kosala), yang terlahir kembali sebagai dewata

pelindungnya, memasuki tubuh ibu dari anak tersebut, dan dalam

keadaan di bawah pengaruh makhluk dewata itu, sang ibu

menghampiri raja dan berkata, “Paduka, anak ini bukanlah seorang candala. Ia adalah putraku, hasil pernikahanku dengan

Raja Kosala, dahulu saya berbohong dengan mengatakan bahwa

ia meninggal. Karena menyadari bahwa ia adalah putra dari

musuhmu, kuberikan ia kepada seorang perawat dan

memintanya untuk meletakkannya di suatu daerah pekuburan.

Kemudian seorang penggembala kambing merawatnya, tetapi

ketika satu per satu kambingnya mati, ia menghanyutkan anak ini

ke sungai, dan karena terbawa oleh arus sampai ke hilir, ia

ditemukan oleh seorang candala, yaitu tukang tambal barangbarang

usang di istana kita, dan diasuh olehnya. Jika Anda tidak

memercayaiku, Anda boleh memanggil orang-orang tersebut dan

menanyakannya kepada mereka.” Raja memanggil mereka

semua, dimulai dari perawat, dan ketika mengetahui

kebenarannya sama seperti yang dikatakan oleh sang

permaisuri, raja merasa gembira mengetahui bahwa anak

tersebut adalah benar seorang keturunan bangsawan, dan

setelah memberikan perintah untuk memandikan anak tersebut

dan mengenakan padanya pakaian yang amat bagus, raja pun

menikahkan putrinya kepadanya. Dikarenakan dirinya yang

menyebabkan matinya kambing-kambing tersebut, maka ia diberi

nama Eḷakamāra (Elakamara). Kemudian raja memberikan

kepadanya kereta dan pasukan, kemudian menyuruhnya pergi

dengan berkata, “Pergi dan ambil alih kekuasaan dari kerajaan

milik ayahmu.” Maka ia pun berangkat bersama dengan

Kurangavi, dan mendapatkan takhta kerajaannya, berkuasa di

sana. Kemudian Raja Benares berpikir, “Anak ini tidak begitu

terpelajar,” dan untuk mengajari dirinya, raja mengutus

Chaḷaṅgakumāra (Chalangakumara) untuk menjadi gurunya. Setelah menerimanya sebagai gurunya, ia memberikan jabatan

Panglima Tertinggi kepadanya. Kemudian lambat laun Kurangavi

pun berbuat zina dengannya. Kala itu, sang panglima memiliki

seorang pelayan yang bernama Dhanantevāsī, dan ketika ia

dikirim untuk mengantarkan pakaian dan hiasan lainnya kepada

Kurangavi, ia juga berbuat zina dengannya. Demikian salah dan

buruknyalah wanita itu, oleh karenanya saya tidak memuja

mereka. Ini diceritakan oleh Sang Mahasatwa karena ia adalah

Chaḷaṅgakumāra, dan oleh sebab itu pula, ia menceritakan

kembali kisah tersebut dengan perkataan, “Telah kulihat…”

Kisah kelima: Dahulu kala, seorang Raja Kosala

merampas Kerajaan Benares dan menjadikan permaisuri Raja

Kosala, yang kala itu sedang mengandung, sebagai

permaisurinya, dan kemudian kembali ke kerajaannya sendiri.

Seiring berjalannya waktu, permaisuri pun melahirkan seorang

putra. Karena tidak memiliki anak, raja amat menyayangi putra

tersebut dan membuatnya mempelajari semua cabang ilmu

pengetahuan. Ketika ia telah dewasa, raja memintanya untuk

mengambil alih kerajaan milik ayahnya. Ia pun pergi dan

berkuasa di sana. Kemudian di saat merindukan putranya, sang

ibu meminta izin dari Raja Kosala untuk bertemu dengannya, dan

berangkat ke Benares dengan rombongan besar, kemudian

bertempat tinggal di sebuah kota yang terletak di antara kedua

kerajaan tersebut. Di tempat ini, tinggallah seorang brahmana

muda tampan yang bernama Pañcālacaṇḍa. Ia membawa hadiah

untuk permaisuri. Ketika melihatnya, permaisuri menjadi jatuh

cinta kepadanya dan kemudian melakukan perbuatan yang salah

dengannya. Setelah tinggal selama beberapa hari di sana, permaisuri pergi ke Benares dan menjumpai putranya. Dalam

perjalanannya kembali ke Kosala, permaisuri menginap selama

beberapa hari di kota yang sama dan melakukan perzinaan

dengan kekasihnya. Sesudah kejadian ini, dengan alasan ini dan

itu permaisuri selalu meminta izin dari raja untuk mengunjungi

putranya, dan dalam perjalanannya pergi dan kembali, ia selalu

menginap selama dua minggu di kota yang sama, melakukan

perzinaan dengan kekasihnya tersebut. Demikian bohong dan

buruknya lah wanita itu, Teman Punnamukha. Dan dalam

menceritakan kembali kisah masa lampau ini, ia memulainya

dengan perkataan, “Telah kulihat…”

Berikutnya, dengan beragam gaya untuk

memberikan khotbah kebenaran itu, ia berkata, “Teman

Punnamukha, terdapat empat hal yang dapat menjadi berbahaya

jika keadaan-keadaan tertentu terpenuhi—keempat hal ini tidak

boleh ditempatkan dalam rumah tangga orang lain (tetangga)—

seekor sapi jantan, seekor sapi perah, sebuah kereta, dan

seorang istri. Seorang yang bijak akan membuat rumahnya

bersih dari keempat hal ini:

Sapi jantan, sapi perah, atau kereta tidak dipinjamkan

kepada tetangga, tidak juga memercayakan istri di rumah

seorang teman:

Kereta akan hancur oleh mereka karena menginginkan keahlian,

Sapi jantan akan mati karena dipaksa bekerja keras terus-menerus.

Sapi perah akan diperah sebelum waktunya,

Istri di rumah seorang saudara (teman) akan melakukan

perbuatan salah.

Terdapat enam hal, Teman Punnamukha, yang dalam keadaankeadaan

tertentu dapat menjadi berbahaya—sebuah busur tanpa

tali, seorang istri yang tinggal di rumah seorang saudara (teman),

sebuah kapal tanpa tujuan, sebuah kereta tanpa poros sumbu,

seorang teman yang jauh (saat dibutuhkan), seorang rekan yang jahat.

Terdapat delapan alasan, Teman Punnamukha, seorang istri

membenci suaminya: karena kemiskinan, penyakit, usia tua,

ketagihan minuman memabukkan, kebodohan, kecerobohan,

mengurusi segala macam urusan, mengabaikan setiap kewajiban

terhadap dirinya—sungguh, atas delapan alasan ini seorang

wanita dapat membenci suaminya. Berikut ini adalah syairnya:

Jika miskin atau sakit atau tua, mabuk, atau bodoh,

jika ceroboh atau terlalu banyak mengurusi urusan

dengan penuh perhatian,

atau mengabaikan kewajiban—seorang istri tidak akan

menghormati suami yang demikian.

Terdapat sembilan alasan bagi seorang istri menimbulkan

perbuatan yang salah: jika ia sering mengunjungi tempat hiburan,

taman, sungai, sering mengunjungi rumah saudara, rumah orang

asing, terbiasa memakai hiasan pakaian yang biasanya

dikenakan oleh pria, jika ia adalah seorang peminum (minuman memabukkan), menatap kosong, atau berdiri di depan pintunya—

atas sembilan alasan ini, kukatakan seorang wanita dapat

menimbulkan perbuatan yang salah. Berikut ini adalah syairnya:

Seorang wanita yang mengenakan pakaian pria, yang

meminum minuman memabukkan, yang sering

bersenang-senang di tempat hiburan, taman, tepi sungai,

mengunjungi rumah teman atau orang lain,

Yang berdiri di depan pintunya, menatap dengan

pandangan kosong,

terjebak dalam sembilan jalan demikian, ia berada jauh

dari jalan kebajikan.

Sungguh, Teman Punnamukha, terdapat empat puluh cara yang

digunakan oleh seorang wanita untuk berdamai kembali dengan

seorang pria. Ia meluruskan badannya, ia membungkukkan

badannya, ia berlari-lari dan melompat-lompat, ia kelihatan

tersipu malu-malu, ia menjentikkan jari-jari tangannya, ia

menyilangkan satu kaki di atas kaki yang lainnya, ia menggaruk

tanah dengan sebatang kayu, ia menggendong naik anaknya, ia

menggendong turun anaknya, ia bermain dan membuatnya

ikut bermain, ia mencium dan membuatnya mencium dirinya, ia

makan dan memberinya makan, ia memberi atau meminta

sesuatu, apa pun yang dilakukan ditiru olehnya, ia berbicara

dengan nada yang tinggi atau nada yang rendah, kadang-kadang ia berbicara dengan tidak jelas, kadang-kadang dengan jelas, ia

menarik perhatiannya dengan tarian, nyanyian, dan musik,

dengan air mata atau godaan, atau dengan dandanannya, ia

tertawa atau menatap tajam, ia menggoyang-goyang pakaiannya

atau menukar pakaian yang menutupi bagian bawahnya,

memperlihatkan atau menutupi bagian kakinya, memperlihatkan

bagian dadanya, ketiak, pusar, ia menutup kedua matanya, ia

menaikkan alis matanya, ia menggigit bibirnya, menjulurkan

lidahnya, melonggarkan atau mengencangkan pakaiannya,

melonggarkan atau mengencangkan penutup kepalanya.

Sungguh, dengan empat puluh cara ini ia berdamai kembali

dengan seorang pria.

Sungguh, Teman Punnamukha, seorang wanita yang buruk

dikenali dari dua puluh lima cara yang berbeda-beda: ia

menyukai ketidakberadaan suaminya di rumah, ia tidak menyukai

keberadaan suaminya di rumah, ia mengatakan keburukannya, ia

tidak mengatakan kebaikannya, ia bertindak untuk

merugikannya, ia tidak bertindak untuk menguntungkannya, ia

melakukan apa yang tidak harus dilakukan, ia tidak melakukan

apa yang harus dilakukan, ia mengenakan baju tidurnya (dengan

lengkap) dan tidur dengan berbaring memalingkan wajahnya ke

sisi yang berlawanan, ia membolak-balikkan badannya dari satu

sisi ke sisi yang lain, ia membuat suara ribut, ia berdesah

panjang, ia merasa menderita, ia berkali-kali pergi untuk buang

air, ia bertindak dengan tidak benar, ia memasang telinga ketika

mendengar perkataan orang asing dan mendengarkan dengan

penuh perhatian, ia menghabiskan kekayaan suaminya, ia lebih

akrab dengan orang lain, ia berkeluyuran, ia selalu bepergian, ia melakukan tindakan yang tidak senonoh, ia memiliki pemikiran

yang buruk dalam dirinya tanpa memikirkan suaminya. Sungguh,

Teman Punnamukha, dalam dua puluh lima cara ini seorang

wanita yang buruk dapat dikenali. Berikut ini adalah syairnya:

Ia gembira ketika suaminya tidak ada, ia tidak bersedih

ketika suaminya pergi, ia juga tidak gembira ketika

melihat suaminya pulang,

Tidak pernah ia mengatakan hal-hal baik untuk memuji

suaminya,

Demikian hal-hal yang menandai wanita yang buruk.

Tak patuh, ia bersekongkol untuk merugikan suaminya,

ia mengabaikan kesukaan suaminya dan melakukan hal

yang tak seharusnya dilakukan,

Ia tidur di samping suaminya dengan wajah yang

dipalingkan, mengenakan baju tidurnya,

Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita

terlihat jelas.

Tak bisa tidur, ia bolak-balik dari satu sisi ke sisi lainnya,

tak dapat diam barang sebentar pun,

ia berdesah panjang dan merintih, berpura-pura sakit

(menderita), seolah-olah seperti terpanggil oleh

panggilan alam acap kali ia bangkit dari ranjangnya

(untuk buang air),

Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita

dapat terlihat jelas.

Ia bertindak tidak benar dengan melakukan apa yang

seharusnya dihindari, ia mendengarkan perkataan orang

asing, ia berfoya-foya untuk mendapatkan cinta dari yang

lainnya,

Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita

dapat terlihat jelas.

Kekayaan yang dikumpulkan suaminya dengan jerih

payah dan kerja keras, sesuatu yang demikian sulitnya

ditimbun, dihabiskannya dengan sia-sia, ia cepat menjadi

akrab dengan tetangganya (orang lain),

Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita

dapat terlihat jelas.

Keluyuran, lihatlah bagaimana ia selalu bepergian di

jalanan, dan dengan hal-hal yang paling kasar ia

memperlakukan suaminya, tidak menghargainya:

Tidak berhenti melakukan tindakan yang tidak senonoh,

ia memiliki pemikiran yang buruk,

Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita

dapat terlihat jelas.

Sering di depan pintu rumahnya, tidak lagi

memperhatikan norma kesusilaan, dengan tanpa rasa

malu ia mempertontonkan dirinya kepada siapa saja

yang melewati rumahnya, dengan pikiran yang galau ia

melihat ke seluruh sisi,

Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita

dapat terlihat jelas.

Seperti hutan yang terbuat dari kayu, seperti aliran

sungai yang berkelok mengikuti arus, demikianlah para

wanita akan berbuat kesalahan jika mereka

mendapatkan kesempatan.

Ya, jika mendapatkan kesempatan dan, dengan

tersembunyi, wanita akan menjadi terbuang dari jalan

kebajikan:

Demikian para wanita itu adalah tidak terkendalikan jika

waktu dan tempat mengizinkan, dan bahkan dengan

seorang pelayan bungkuk akan berbuat zina jika

kekasihnya yang lainnya tidak memuaskannya.

Wanita yang melayani kesenangan semua pria tidak lah

seharusnya dipercayai oleh siapa pun,

Wanita itu selalu berubah-ubah pendiriannya (labil) dan

tidak terkendalikan nafsunya.

Wanita menyebut kesenangan sebagai sesuatu yang

pantas (didapatkan), hal mendasar dari yang paling

mendasar, menganggap semua laki-laki itu biasa, sama

halnya dengan tempat mandi.

Selanjutnya ia berkata:

Dahulu kala memerintah di Benares seorang raja yang

bernama Kaṇḍari (Kandari), seorang yang sangat tampan, dan setiap hari para dayangnya membawakan seribu kotak

wewangian, yang mana digunakan untuk menata istana dengan

rapi dan bersih, setelah membuka kotak-kotak tersebut kemudian

mereka membuat kayu bakar yang wangi dan memasak

makanannya di sana. Kala itu, raja memiliki seorang permaisuri

yang bernama Kinnarā (Kinnara), seorang wanita berparas elok,

dan pendeta kerajaan yang bernama Pañcālacaṇḍa

(Pancalacanda), seorang laki-laki yang berusia sama dengan

raja dan cendekia. Kala itu, di tembok dekat istana raja tumbuh

sebuah pohon jambu dan cabang-cabang pohonnya tumbuh

bergelantungan ke bawah melalui tembok tersebut, dan di bawah

pohon ini tinggal seorang cacat yang buruk rupa. Suatu hari,

ketika melihat keluar dari jendelanya, Ratu Kinnara melihat orang

cacat tersebut dan memiliki perasaan suka terhadap dirinya.

Pada malam harinya, setelah menyenangkan raja dengan

daya tariknya, segera sesudah raja tertidur, Kinnara bangkit

secara perlahan dari ranjang. Dengan meletakkan berbagai jenis

makanan lezat dalam sebuah wadah emas dan meletakkannya di

bagian pinggul, Kinnara keluar dari jendelanya dan turun dengan

menggunakan kain yang dijadikan sebagai tali, kemudian

melompat ke cabang pohon jambu dan turun sampai ke bawah.

Ia kemudian memberikan makanan tersebut kepada si cacat dan

bersenang-senang dengannya, sesudah itu kembali ke dalam

istana dengan menggunakan cara yang sama sewaktu ia turun

ke bawah. Setelah mandi membersihkan dirinya dengan

wewangian, ia pun berbaring di sisi raja. Dengan cara ini, ia

terus-menerus berbuat zina dengan si cacat dan raja sama sekali

tidak mengetahui tentang hal ini. Suatu hari setelah berkeliling kota dan hendak masuk ke dalam istana, raja melihat orang

cacat ini, sebuah penampakan yang patut dikasihani, sedang

berbaring di bawah rindangnya pohon jambu, dan berkata

kepada pendeta kerajaannya, “Lihatlah manusia berwujud peta

ini.” “Ya, Paduka?” “Apakah mungkin, Teman, ada wanita yang

tergerak karena nafsunya mendekati sesosok makhluk yang

demikian menjijikkan ini?” Ketika mendengar apa yang dikatakan

oleh raja ini, si cacat, yang dipenuhi dengan rasa angkuh,

berpikir, “Apa yang dikatakan oleh raja ini? Menurutku, ia pasti

sama sekali tidak mengetahui tentang kedatangan ratu ke

tempatku.” Dan dengan merangkapkan kedua tangannya di

depan dada, ia berkata, “Wahai Tuan, dewa pohon ini, selain

dirimu tidak ada lagi orang lain yang mengetahui tentang hal ini.”

Pendeta kerajaan yang memperhatikan gerak-geriknya berpikir,

“Pastinya permaisuri raja turun ke tempat ini dengan bantuan dari

pohon ini dan melakukan sesuatu yang buruk dengan orang

cacat ini.” Maka ia berkata kepada raja, “Paduka, pada malam

hari ketika Anda bersentuhan dengan badan ratu, apa yang Anda

rasakan?” “Tidak ada yang istimewa,” jawabnya, “tetapi pada

penggal tengah malam hari badannya terasa dingin.” “Baiklah,

Paduka, apa pun masalahnya yang dihadapi oleh wanita-wanita

yang lain, tetapi Ratu Kinnara telah melakukan sesuatu yang

buruk dengannya.” “Apa yang Anda katakan ini, Teman? Apakah

seorang wanita yang demikian rupawan mau bersenang-senang

dengan makhluk menjijikkan ini?” “Kalau begitu, buktikan saja.”

“Baiklah,” jawab raja. Setelah makan malam, raja tidur bersama

dengan ratu untuk menguji dirinya. Di saat tiba waktunya untuk

tertidur, raja pun berpura-pura tertidur pulas, dan ratu melakukan hal yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Dengan mengikuti

langkah kakinya, raja kemudian berdiri di bawah pohon jambu itu.

Si cacat menjadi marah terhadap ratu dan berkata, “Anda telat

sekali datangnya hari ini,” kemudian dengan tangannya memukul

anting-anting yang ada di (salah satu) telinganya. Maka ratu

berkata, “Jangan marah, Tuanku; saya harus menunggu sampai

raja tertidur pulas,” dan setelah berkata demikian, ratu pun

melakukan kewajiban seperti layaknya seorang istri di dalam

tempat tinggal tersebut. Di saat ia memukulnya, anting-anting

yang memiliki bentuk kepala seekor singa, terlepas dari

telinganya dan jatuh di kaki raja. Kemudian raja berpikir, “Ini akan

menjadi benda yang amat berguna bagiku,” dan membawanya

pergi. Setelah berbuat zina dengan kekasihnya, ratu kembali ke

istana dengan cara yang sama seperti sebelumnya dan

kemudian berbaring di sisi raja. Raja kemudian tidak

memperbolehkan ratu pergi dan keesokan harinya memberikan

perintah, dengan berkata, “Panggil Ratu Kinnara untuk datang

kemari, dengan mengenakan segala perhiasan yang telah

kuberikan padanya.” Ratu berkata, “Hiasan permata kepala

singa-ku ada di tempat pandai emas,” dan menolak untuk

datang. Ketika pesan disampaikan untuk kedua kalinya, ratu

datang dengan hanya mengenakan satu hiasan anting-anting.

[439] Raja bertanya, “Di mana anting-antingmu?” “Ada di tempat

pandai emas.” Raja memanggil si pandai emas dan berkata,

“Mengapa Anda tidak memberikan anting-anting itu kepada

ratu?” “Anting-anting itu tidak ada pada saya, Paduka.” Raja

menjadi murka dan berkata, “Wanita rendah, wanita buruk,

pandai emas ini adalah laki-laki yang sama seperti diriku,” dan setelah berkata demikian, raja melempar anting-anting tersebut

di bawah hadapannya dan berkata kepada pendeta kerajaannya,

“Teman, perkataanmu benar: bawa ia pergi dan penggal

kepalanya.” Maka sang pendeta kerajaan pun membawanya,

tetapi mengamankannya di sebuah ruangan tertentu di dalam

istana, kemudian datang menjumpai raja kembali dan berkata,

“Paduka, janganlah marah dengan Ratu Kinnara: semua wanita

itu sama. Jika Anda hendak melihat betapa buruknya wanita itu,

akan saya tunjukkan keburukan dan tipu daya mereka. Ayo, mari

kita pergi ke desa dalam samaran.” Raja menyetujuinya dan,

setelah mengalihkan kerajaan kepada ibunya, berangkat

melakukan perjalanan bersama dengan pendeta kerajaannya.

Setelah berjalan sejauh satu yojana dan sedang duduk di jalan

besar, seorang laki-laki kaya yang sedang menyelenggarakan

perayaan pernikahan untuk putranya, mendudukkan sang

mempelai wanita di dalam sebuah tandu tertutup dan

menemaninya beserta dengan rombongan besar. Melihat ini,

pendeta kerajaan berkata, “Jika Anda mau, Anda dapat membuat

wanita ini berzina denganmu.” “Apa yang Anda katakan ini,

Teman? Dengan rombongan sebesar ini, hal itu tidaklah mungkin

terjadi.” “Baiklah kalau begitu, Paduka, lihatlah ini.” Dan setelah

berjalan ke depan, ia membuat sebuah layar berbentuk tenda

tidak jauh dari jalan besar tersebut dan, setelah menempatkan

raja di dalamnya, ia duduk di samping jalan, sembari meratap

tangis. Kemudian laki-laki tersebut sewaktu melihat dirinya,

bertanya, “Teman, mengapa Anda menangis?” “Istriku,”

jawabnya, “sedang mengandung dan saya membawanya dalam

perjalanan pulang ke rumahnya. Di tengah perjalanan, rasa sakit mendera dirinya dan saat ini ia lagi bermasalah di dalam layar

itu, ia tidak memiliki seorang wanita yang mendampinginya dan

saya tidak bisa masuk mendampinginya di sana. Saya tidak tahu

apa yang akan terjadi.” “Ia harus memiliki teman, seorang wanita,

bersama dengannya di dalam sana: berhentilah menangis, ada

banyak wanita di sini, salah satu dari mereka akan pergi

menemaninya.” “Baiklah kalau begitu, mintalah wanita ini untuk

menemaninya; itu juga akan menjadi suatu petanda yang baik

bagi wanita tersebut.” Laki-laki itu berpikir, “Apa yang

dikatakannya itu benar: itu akan menjadi hal yang

menguntungkan bagi menantuku ini. Ia nantinya akan dilimpahi

dengan banyak putra dan putri,” dan ia pun membawanya ke

sana. Setelah masuk ke dalam layar itu, ia jatuh cinta kepada

raja pada pandangan pertama dan melakukan perzinaan

dengannya, dan raja memberikan cincin stempel miliknya kepada

wanita itu. Setelah perbuatan (buruk) itu dilakukan dan ia

melangkah keluar dari tenda itu, mereka bertanya kepadanya, “Ia

melahirkan seorang putra atau putri?” “Seorang putra, berwarna

keemasan?” Kemudian laki-laki itu membawanya pergi

melanjutkan perjalanan mereka. Sang pendeta menghampiri raja

dan berkata, “Paduka, Anda telah melihat sendiri, bahkan

seorang gadis muda bersifat demikian buruk. Berapa banyak lagi

wanita lain yang sama seperti dirinya? Paduka, apakah Anda

memberikan sesuatu kepadanya?” “Ya, kuberikan padanya cincin

stempelku.” “Tidak akan kubiarkan ia memilikinya.” Dan dengan

segera, ia menyusul rombongan tersebut. Ketika mereka

bertanya, “Ada apa ini?” ia menjawab, “Wanita ini membawa

pergi sebuah cincin yang diletakkan oleh istriku di bawah bantalnya: kembalikan cincin itu, Nona.” [440] Sewaktu

mengembalikannya, ia menggores tangan brahmana itu, sambil

berkata, “Ambillah ini, Perampok.” Demikianlah brahmana

tersebut dengan beberapa cara menunjukkan kepada raja bahwa

banyak wanita yang melakukan kesalahan akan perbuatan

buruk, dan berkata, “Yang ini cukup sampai di sini; sekarang mari

kita pergi ke tempat yang lainnya.” Raja menjelajahi seluruh

India, dan mereka berkata, “Semua wanita sama saja. Apalah

artinya mereka bagiku? Mari kita kembali.” Maka mereka pun

langsung pulang kembali ke Benares. Pendeta kerajaan itu

berkata, “Demikianlah adanya, Paduka, para wanita itu; sifat

mereka memang buruk. Ampunilah Ratu Kinnara.” Atas

permohonan pendeta kerajaannya, raja mengampuninya, tetapi

ia mengeluarkannya dari istana. Setelah mengeluarkannya dari

istana, raja memilih permaisuri yang lainnya, mengusir orang

cacat tersebut, memberi perintah kepada pengawalnya untuk

menebang cabang pohon jambu itu. Pada masa itu, Kunala

adalah Pancalacanda. Maka ketika menceritakan kisah yang

telah dilihat dengan mata kepalanya sendiri ini, sebagai

gambaran ia mengucapkan bait berikut:

Banyak yang ditunjukkan dari kisah Kaṇḍari dan Kinnarā;

semua wanita tidak menemukan kesenangan di dalam

rumah milik mereka.

Demikian seorang istri meninggalkan suaminya

meskipun ia kuat dan bertenaga, dan berbuat zina

dengan laki-laki lain, sekalipun ia adalah seorang cacat

yang buruk rupa.

Kisah yang berikutnya:

Dahulu kala seorang Raja Benares yang bernama Baka

memerintah kerajaannya dengan benar (sesuai dengan

kebenaran/Dhamma). Kala itu, seorang lelaki miskin yang tinggal

di sebelah timur gerbang Kota Benares memiliki seorang putri

yang bernama Pañcapāpā 244 (Pancapapa). Dikatakan bahwa

dalam kehidupan lampaunya sebagai putri dari seorang lelaki

miskin, ia bekerja mengaduk tanah liat (campuran semen, pasir,

kapur, dan air) untuk menghaluskan dinding batu. Waktu itu

seorang Pacceka Buddha berpikir, “Di manakah bisa kudapatkan

tanah liat untuk membuat dinding gua ini menjadi kelihatan rapi

dan bersih? Mungkin bisa kudapatkan di Benares.” Maka setelah

mengenakan jubah dan membawa serta patta di tangannya,

beliau pergi ke kota dan berdiri tidak jauh dari tempat wanita ini

berada. Ia menjadi marah dan berpikir, sembari melihat ke

arahnya, “Dalam pikirannya yang buruk, ia meminta tanah liat

sebagai derma, sama seperti makanan derma.” Pacceka Buddha

tetap berdiri di sana tak bergerak. Ketika melihat beliau tetap

berdiri di sana tak bergerak, ia pun tergerak dan kemudian

berkata, sembari melihat ke arahnya kembali, “Petapa, Anda

tidak memiliki tanah liat,” dan ia mengambil satu bongkah besar

dan meletakkannya di dalam patta. Dengan tanah liat tersebut,

beliau membuat guanya kelihatan rapi. Sebagai hasil dari

pemberian derma berupa tanah liat tersebut, seluruh badan

wanita ini menjadi sangat lembut. Akan tetapi, sebagai hasil dari

wajahnya yang menunjukkan kemarahan, maka tangan, kaki, mulut, mata dan telinganya menjadi buruk rupa. Dan demikian

orang-orang mengenalnya dengan nama Pañcapāpā (Lima Cela).

Suatu hari, Raja Benares berkeliling kota di malam hari

dan sampai di tempat wanita ini. Ia sedang bermain dengan

gadis-gadis desa lainnya, dan secara tak sengaja ia memegang

tangan raja, yang tak dikenalinya. Sebagai akibat dari

sentuhannya tersebut, raja kehilangan kendali, seakan-akan

seperti digetarkan oleh sentuhan surgawi dan terbakar oleh

nafsu, dan menggenggam tangannya, meskipun ia buruk rupa,

bertanya putri siapakah dirinya itu. Ketika ia menjawab, “Putri

dari penghuni rumah itu,” dan mengetahui bahwa ia belum

menikah, raja berkata, “Saya akan menjadi suamimu: pergi dan

mintalah persetujuan dari orang tuamu.” Ia pun pergi menjumpai

kedua orang tuanya dan berkata, “Seorang lelaki anu ingin

menikahiku.” Ketika mereka setuju, sambil berkata, “Pastinya ia

adalah seorang yang miskin, seorang makhluk yang

menyedihkan jika ia menginginkan orang seperti dirimu,” segera

ia menemuinya kembali dan mengatakan kepadanya bahwa

orang tuanya telah setuju. Maka raja pun tinggal bersama

dengannya di rumah itu, dan pulang kembali ke istananya di pagi

hari. Mulai dari hari itu, raja terus-menerus datang ke sana dalam

samarannya dan tidak berminat lagi untuk melirik wanita lain.

Suatu hari, ayah wanita tersebut terserang penyakit disentri.

Obat untuk penyakitnya ini adalah bubur beras yang dimasak

dengan susu, mentega (gi), madu, dan gula. Dikarenakan kemiskinan, mereka tidak mampu mendapatkan semuanya ini.

Kemudian sang ibu bertanya kepada putrinya, “Anakku, apakah

suamimu bisa mendapatkan sedikit bubur susu?” “Bu, suamiku

itu lebih miskin dibandingkan dengan kita,” jawabnya, “walaupun

demikian, saya akan menanyakannya: Jangan khawatir.” Setelah

berkata demikian, kira-kira mendekati saat waktunya bagi sang

suami pulang ke rumah, ia duduk dengan wajah murung. Ketika

datang, raja menanyakan mengapa ia begitu sedih, dan sewaktu

mendengar permasalahannya, berkata, “Istriku, dari mana bisa

kudapatkan obat yang demikian?” Dan ia berpikir, “Tak bisa

terus-menerus saya datang ke sini dengan cara seperti ini;

Sudah seharusnya kupertimbangkan resiko dari pulang-pergi ke

suatu tempat. Akan tetapi, jika kubawa ia ke istana, tanpa

memedulikan sentuhannya yang demikian lembut, orang-orang

akan menertawakanku dan berkata, ‘Raja kita kembali dengan

membawa serta sesosok yaksa wanita.’ Tetapi, jika kubuat

seluruh kota mengenal sentuhan-nya, maka dapat kuatasi semua

cercaan atas diriku itu.” Maka ia berkata kepadanya, “Istriku,

janganlah bersusah hati: akan kubawakan bubur susu untuk

ayahmu,” setelah berkata demikian dan bersenang-senang

dengannya, ia kembali ke istananya. Keesokan harinya ia

meminta orang istananya untuk memasakkan bubur susu seperti

yang diberitahukan kepadanya, dan, dengan menggunakan

dedaunan, membuat dua keranjang. Ia meletakkan bubur susu

itu di salah satu keranjang dan meletakkan mahkota permata di

keranjang yang satunya lagi, kemudian mengikat kedua

keranjang tersebut. Di malam harinya ia datang dan berkata,

“Istriku, kita ini adalah orang yang miskin: saya mendapatkan ini dengan amat susah payah. Katakanlah (seperti ini) kepada

ayahmu, ‘Hari ini makanlah bubur susu dari keranjang ini dan

besok baru makan dari keranjang yang satunya lagi.’ ” Ia pun

melakukan seperti apa yang diminta suaminya itu. Maka setelah

menyantap bagian yang amat sedikit dari bubur susu itu karena

tiada selera makan, sang ayah memberikan sisanya kepada

istrinya dan juga putrinya. Mereka bertiga merasa sangat

bahagia, bungkusan yang berisikan mahkota permata itu

disimpan mereka untuk kebutuhan pada keesokan harinya.

Sekembalinya ke istana, raja mencuci mukanya dan kemudian

berkata, “Ambilkan mahkotaku.” Ketika mereka membalas, “Kami

tidak menemukannya,” ia berkata, “Cari di seluruh penjuru kota.”

Mereka pun mencarinya, tetapi tidak dapat menemukannya.

“Baiklah kalau begitu,” kata raja, “cari di rumah-rumah orang

miskin di pinggiran kota, dimulai dengan mencari di keranjang

daun tempat makanan. Mereka kemudian mencari dan

menemukan mahkota permata itu di rumah ini, dan dengan

berkata, “Ayah dan ibu dari wanita ini adalah pencuri,” mereka

mengikat dan membawanya ke hadapan raja. Kemudian ayah

dari wanita itu berkata, “Paduka, kami bukan pencuri. Seorang

laki-laki anu yang memberikan permata ini kepada kami.” “Siapa

itu?” tanyanya. “Menantu kami,” jawabnya. Ketika ditanya di

manakah ia berada, ayah wanita itu berkata, “Putriku yang

mengetahuinya.” Kemudian ia berbicara dengan putrinya.

“Anakku,” katanya, “Anda yang mengetahui jati diri suamimu.”

“Saya tidak tahu.” “Jika itu benar, maka habislah kita.” “Ayah, ia

hanya pulang di saat hari telah gelap dan pergi di saat hari belum

terang, jadi saya tidak mengetahui penampilannya. Akan tetapi, saya dapat mengenalinya melalui sentuhan tangannya.” Ayahnya

memberitahukan ini kepada pejabat kerajaan dan mereka

memberitahukannya kepada raja. Berpura-pura tidak mengetahui

permasalahannya, raja berkata, “Baiklah, masukkan wanita di

dalam sebuah layar tenda dan buat sebuah lubang di layarnya

sebesar kepalan tangan, kemudian kumpulkan semua penduduk,

dan dapatkan pencuri itu dengan memeriksa sentuhan

tangannya.” Para pejabat kerajaan melakukan seperti apa yang

diperintahkan. Ketika pergi ke tempat wanita itu berada dan

melihatnya, orang-orang diliputi dengan rasa jijik dan berkata,

“Wanita ini kelihatan seperti sesosok pisaca,” dan dikarenakan

rasa jijik tersebut, mereka enggan untuk menyentuhnya. Tetapi

kemudian pengawal kerajaan membawa dan memasukkannya ke

dalam layar tenda di halaman istana dan mengumpulkan semua

penduduk. Sewaktu menyentuh tangan setiap orang yang

datang, dengan tanggannya yang dijulurkan keluar, ia berkata,

“Bukan ini orangnya.” Orang-orang menjadi sangat terpikat

dengan sentuhan surgawi dari wanita tersebut sehingga mereka

enggan untuk membubarkan diri. Mereka berpikir, “Jika ia harus

dihukum, meskipun harus dipukul dengan kayu, kami akan

bersedia untuk menerima semuanya demi dirinya, dan akan

membawanya pulang sebagai seorang istri.” Kemudian para

pengawal raja memukuli mereka dan mengusir mereka. Dan

mereka semuanya, yang dimulai dari wakil raja, menjadi

bertingkah seperti layaknya orang tidak waras. Raja kemudian

berkata, “Apakah mungkin saya adalah orangnya?” dan

menjulurkan tangannya ke depan. Ketika menyentuh tangannya,

wanita itu berteriak dengan keras, “Saya telah menemukan pencurinya. Raja bertanya kepada para pejabat kerajaannya, “Di

saat tangan kalian bersentuhan dengan wanita ini, apa yang

kalian rasakan?” Mereka memberitahukan raja yang sebenarnya.

Maka raja berkata, “Inilah sebabnya kubawa ia ke rumahku. Jika

mereka sama sekali tidak mengetahui tentang sentuhannya itu,

pastilah mereka mencela diriku. Dan sekarang karena kalian

telah mengetahui yang sebenarnya dari diriku, katakanlah di

rumah siapakah wanita ini pantas untuk tinggal sebagai seorang

istri.” Mereka menjawab, “Di rumahmu, Paduka.” Maka dengan

upacara pemercikkan, raja mengangkatnya sebagai permaisuri,

dan melimpahkan kekuasaan yang besar kepada ayah dan

ibunya. Sejak saat itu, raja tidak pernah menanyakan pertanyaan

apa pun mengenai jati dirinya, juga tidak melirik wanita yang

lainnya lagi. Selir-selir raja yang lainnya kemudian merasa ingin

mencari tahu misteri di balik diri permaisuri.

Pada suatu hari, dalam mimpinya permaisuri melihat dirinya

menjadi permaisuri dari dua orang raja, dan ia memberitahukan

mimpinya tersebut kepada raja. Kemudian raja memanggil

beberapa ahli tafsir mimpi dan bertanya, “Apa arti dari mimpi

demikian yang dilihat oleh permaisuri?” Kala itu, para ahli tafsir

mimpi tersebut telah menerima suap dari selir-selir raja, dan

berkata, “Peristiwa ratu duduk di atas punggung seekor gajah

yang berbadan putih terang itu menandakan kematianmu, dan

peristiwa ratu menyentuh bulan di saat menunggangi gajah

tersebut menandakan ia akan membawa seorang raja musuh

untuk melawanmu, Paduka.” “Kalau begitu, apa yang harus

dilakukan?” kata raja. “Anda tidak boleh membunuhnya, Paduka.

Letakkan ia di dalam sebuah perahu dan biarkan ia mengalir mengikuti arus sungai.” Di malam hari, raja meletakkan

permaisuri di dalam sebuah perahu, bersama dengan makanan,

pakaian, perhiasan, dan mendorongnya berjalan mengikuti arus.

Ketika berada di dalam perahu yang berjalan mengikuti arus, ia

bertemu dengan Raja Pāvāriya (Pavariya) di saat sedang

bermain-main di sungai. Ketika melihat perahu tersebut, sang

panglima raja berkata, “Perahu itu adalah milikku.” Sedangkan

raja berkata, “Barang di dalamnya adalah milikku,” ketika perahu

tersebut sampai ke tempat mereka berada dan mereka melihat

wanita tersebut, raja berkata, “Siapakah Anda, yang terlihat

seperti sesosok pisaca?” Sembari tersenyum, ia menjawab

bahwa ia adalah permaisuri Raja Baka, dan menceritakan

semuanya, juga mengatakan bahwa ia dikenal di seluruh India

dengan panggilan Pancapapa. Kemudian dengan menarik

tangannya, raja membantunya keluar dari perahu. Tak lama

setelah menarik tangannya, kemudian raja diliputi dengan nafsu

karena sentuhannya itu. Dan meskipun selir-selir raja

mengatakan bahwa ia tidaklah pantas disebut sebagai seorang

wanita, tetapi raja (berpikiran lain) mengangkatnya sebagai

permaisuri, raja amat menyayanginya, sama seperti menyayangi

dirinya sendiri. Mendengar apa yang terjadi, Raja Baka berkata,

“Tidak akan kubiarkan ia menjadikan wanita itu sebagai

permaisurinya,” setelah mengumpulkan pasukannya, ia

memimpin mereka sampai di satu sisi di seberang sungai dan

mengirimkan pesan yang mengatakan bahwa Pavariya harus

mengembalikan istrinya atau (jika tidak) mereka akan bertempur.

Saingan Raja Baka ini siap untuk bertempur, tetapi para

penasihat dari kedua raja berkata, “Tidak ada yang perlu mati demi seorang wanita. Dari kenyataan bahwa suami pertama

wanita itu adalah Raja Baka, maka ia adalah miliknya. Akan

tetapi, dari kenyataan bahwa wanita itu diselamatkan dari perahu

oleh Raja Pavariya, maka ia adalah miliknya. Oleh karena itu,

biarlah ia berada selama tujuh hari di rumah yang satu dan

kemudian di rumah yang satunya lagi.” Atas pertimbangan itu,

mereka memberitahukan pandangan ini kepada kedua raja, dan

mereka pun merasa amat bahagia, mereka masing-masing

membangun tempat tinggal di kedua tepi sungai yang

berseberangan dan tinggal di sana. Wanita tersebut menerima

jabatan sebagai permaisuri ganda dari kedua raja, dan mereka

amat tergila-gila kepadanya. Maka selama tujuh hari ia tinggal di

rumah salah satu raja, dan tujuh hari berikutnya dengan perahu

menyeberangi sungai ia pergi ke rumah raja yang satunya lagi,

dan di tengah perjalanannya itu ia berzina dengan tukang perahu

yang mengemudikan perahunya, seorang nelayan tua yang

bungkuk. Pada masa itu, Kunala, si raja burung, adalah

Raja Baka, dan ia meceritakan kejadian ini seperti sesuatu yang

dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Untuk menggambarkan

kisah ini, ia mengulangi bait berikut:

Meskipun telah menjadi istri dari Pāvāriya,

dan juga istri dari Baka,

(Dua raja yang nafsunya terkenal tidak ada habisnya)

ia tetap berzina dengan budak dari suaminya;

Dengan makhluk buruk apa yang tidak di-zina-inya?

Kisah yang berikutnya:

Suatu ketika istri Brahmadatta yang bernama Piṅgiyānī

(Pingiyani), ketika melihat keluar dari jendelanya, melihat tukang

kuda kerajaan. Setelah raja tertidur di malam hari, ia turun ke

bawah melalui jendela kamar dan berbuat zina dengan tukang

kuda tersebut, kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Setelah

membersihkan badan, memakai wewangian, ia kemudian tidur

berbaring di sisi raja. Suatu hari raja berpikir, “Mengapa badan

ratu selalu terasa dingin di tengah malam: Akan kucari tahu

masalah ini.” Maka suatu malam ia pura-pura tertidur, dan

kemudian bangun mengikuti ratu. Ia melihatnya melakukan

persetubuhan dengan seorang tukang kuda. Raja kemudian

kembali ke kamarnya, dan begitu halnya dengan ratu, setelah

melakukan perbuatan buruk itu, kembali ke kamar dan tidur.

Keesokan harinya, di hadapan para pejabat kerajaannya, raja

memanggil ratu dan membeberkan perbuatan buruknya, dengan

berkata, “Semua wanita itu sama, para pelaku perbuatan buruk.”

Dan raja mengampuninya, yang sebenarnya pantas menerima

hukuman mati, penjara, mutilasi, dengan mencabut jabatannya

sebagai permaisuri dan menjadikan yang lain sebagai

penggantinya. Pada masa itu, Kunala adalah Brahmadata, dan

itulah sebabnya ia menceritakan kisah ini seperti sesuatu yang

telah dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Untuk

menggambarkannya, ia mengulangi bait berikut:

Piṅgiyānī cantik disukai oleh Brahmadatta,

Penguasa yang menaklukkan segala,

meskipun demikian berzina dengan budak suaminya,

dan kehilangan segalanya atas perzinaannya dengan

tukang kuda.

Setelah memberitahukan perbuatan buruk dari

wanita dalam kisah-kisah masa lampau, kemudian dengan cara

yang lain, masih membicarakan perbuatan salah mereka, ia berkata:

Wanita adalah makhluk yang labil, tidak tahu berterima

kasih, pengkhianat,

Jika tidak dirasuki, tak seorang laki-laki pun berkenan

untuk memberikan kepercayaan.

Tidak peduli dengan kewajiban atau memiliki rasa terima

kasih, tidak acuh dengan kasih sayang orang tua atau

ikatan persaudaraan,

Melanggar peraturan yang benar, mereka memainkan

peranannya tanpa rasa malu, mengikuti keinginan hati,

adalah tindakan mereka.

Tak peduli berapa lama mereka telah tinggal

bersamanya dan betapa cintanya pun ia kepada mereka,

betapa pun lembut dan sayangnya ia kepada mereka,

Di waktu susah dan bermasalah, mereka akan dan pasti

meninggalkannya,

Tidak akan pernah lagi kupercayakan bagianku kepada

mereka, para wanita.

Sering dijumpai pikiran wanita itu seperti kera yang

penuh tipu daya, atau seperti tempat teduh yang dibuat

oleh pohon yang tinggi atau besar,

Betapa labil juga tujuan yang tertanam di dada mereka,

seperti roda kereta yang selalu berputar tiada henti.

Kapan saja dengan pandangannya mereka melihat

sekitar dan mencari cara untuk memerangkap laki-laki

kaya, menjadikannya sebagai mangsa,

Mereka menjebak dengan perkataan lembut nan halus

orang-orang dungu itu, seperti tukang kuda Kamboja

menangkap kuda yang paling liar dengan menggunakan

rerumputan.

Tetapi ketika melihat situasi sekitar tidak memungkinkan

mereka untuk berhasil mendapatkan hartanya dan

menjadikannya sebagai mangsa,

maka mereka akan mengusirnya pergi, seperti

seseorang yang telah tiba di pantai yang paling jauh dan

memotong tali perahunya.

Mereka mendekapnya erat seperti kobaran api yang

ganas mematikan, menghanyutkannya seperti arus banjir

yang amat cepat;

Mereka akrab dengan laki-laki yang mereka benci, sama

akrabnya seperti dengan laki-laki yang mereka suka,

seperti sebuah kapal yang menyusuri pantai yang dekat

dan yang jauh.

Mereka bukan milik satu atau dua orang saja, tetapi

mereka seperti toko yang terbuka,

Seseorang akan seperti mampu menangkap angin

dengan jaring bila ia telah berada di bawah kuasa wanita

Seperti sungai, jalan, atau tempat minum246, aula atau

penginapan, wanita itu demikian bebasnya, tiada

batasan untuk memeriksa perbuatan buruknya.

Mereka seperti ular hitam, lapar seperti kobaran api,

seperti ternak yang memilih rumput terbaik, mereka

menginginkan kekasih yang kaya.

Dari gajah, ular hitam, dan dari api yang memangsa gi,

Dari laki-laki yang berambisi menjadi raja, dan dari

wanita kita terbebas.

Semuanya ini yang selalu awas akan diperlakukan

sebagai musuhnya yang paling mematikan, sangat sulit

mengetahui sifat asli mereka.

Wanita yang sangat pintar atau yang berparas elok, yang

paling banyak dicari oleh para lelaki—semua ini

seharusnya dihindari:

istri orang lain dan wanita yang mencari seorang laki-laki

kaya sebagai teman,

wanita-wanita demikian, lima tipe semuanya, tidak

seharusnya didekati oleh seseorang.

Ketika ia telah selesai berkata demikian, orangorang

bertepuk tangan, seraya berkata, “Bagus, bagus sekali!”

Dan setelah memberitahukan keburukan wanita dalam beberapa

kisah, ia pun kemudian diam. Ketika mendengar dirinya, Ānanda

(Ananda), si raja burung hering, berkata, “Temanku, Kunala,

dengan kekuatan pengetahuanku akan kuberitahukan juga

mengenai keburukan wanita,” dan ia pun mulai berbicara kepada

mereka. Yang Terberkahi, dengan perumpamaan, berkata:

“Kemudian, Ananda, si raja burung hering, setelah mendengar

bagian permulaan, pertengahan, dan akhir dari apa yang

dikatakan oleh Kunala, mengucapkan bait-bait berikut:

Meskipun seorang laki-laki di dunia ini memiliki

segalanya yang bersinar keemasan, memberikan hatinya

kepada wanita yang amat dikasihinya,

Tetapi jika muncul kesempatan, wanita itu akan tidak lagi

menghormatinya—

Waspadalah, jika tidak, Anda akan jatuh ke dalam

cengkeraman makhluk buruk itu.

Seorang laki-laki mungkin saja terlihat perkasa, tak ada

cacat, mungkin juga sangat menawan hati dan penuh

kasih sayang terhadap pasangannya,

(tetapi) di waktu susah dan bermasalah, mereka akan

dan pasti meninggalkannya,

Tidak akan pernah lagi kupercayakan bagianku kepada

mereka, para wanita.

Janganlah percaya karena berpikiran, ‘saya yakin ia

menyukaiku,’

Janganlah juga percaya karena air matanya selalu

menetes keluar;

Mereka akrab dengan laki-laki yang mereka benci, sama

akrabnya seperti dengan laki-laki yang mereka suka,

seperti sebuah kapal yang menyusuri pantai yang dekat

dan yang jauh.

Jangan percaya dengan sampah yang berserakan

dengan dedaunan dan ranting-ranting usang247,

Jangan percaya dengan teman (yang telah) lama,

barangkali sekarang ia telah menjadi seorang musuh.

Jangan percaya dengan seorang raja karena berpikiran,

‘Dahulu, ia adalah temanku,’

Jangan percaya dengan seorang wanita meskipun ia

telah melahirkan sepuluh anak untukmu.

Wanita itu semuanya adalah pencari kesenangan dan

memiliki nafsu yang tidak terkendali, pelanggar hukum

moral (sila): kepada mereka tidak seharusnya Anda

letakkan kepercayaan.

Seorang istri bisa saja berpura-pura menunjukkan cinta

yang tanpa batas di hadapan suaminya;

Jangan percaya kepadanya: wanita itu sama seperti

pelabuhan.

Siap untuk mencincang atau membunuh, mereka

menyusut tanpa alasan,

dan setelah memotong-motong tubuhmu, mereka bahkan

akan meminum darahmu:

Janganlah jatuh cinta kepada mereka, makhluk-makhluk

dengan nafsu rendah,

Nafsu tak terkendali dan sama seperti tempat berlabuh di

Sungai Gangga.

Dalam ucapan, mereka tidak membuat perbedaan antara

yang benar dan yang salah,

seperti ternak yang memilih rumput terbaik, mereka

menginginkan kekasih yang kaya.

Sebagian laki-laki dipikatnya dengan tatapan dan

senyuman, laki-laki yang lain dipikatnya dengan cara

berjalan, sebagian lagi yang lain dengan samaran yang

aneh, dan yang lainnya dengan ucapan manis.

Tidak jujur, galak, dan berhati batu, ucapan mereka

semanis gula,

Tidak ada yang mereka tidak tahu

untuk menipu suami yang mereka nikahi.

Semua wanita itu menjijikkan,

tak ada batasan bagi rasa malu mereka,

mereka itu emosional dan tidak takut,

dapat melahap seperti api.

Wanita tidaklah dibentuk demikian: menyukai lelaki ini

dan tidak menyukai lelaki itu,

tetapi mereka akrab dengan laki-laki yang mereka benci,

sama akrabnya seperti dengan laki-laki yang mereka

suka, seperti sebuah kapal yang menyusuri pantai yang

dekat dan yang jauh.

Ini bukanlah sebuah permasalahan mengenai cinta atau

benci yang kita lihat dalam wanita,

Mereka mendekap seorang laki-laki demi emas, seperti

parasit bagi sebatang pohon.

Seorang tukang kremasi jenazah atau tukang bersih

tempat sembahyang dari bunga-bunga layu,

seorang tukang kuda, tukang gajah, atau tukang ternak,

wanita akan lari kepada mereka, meskipun status

mereka yang rendah, demi uang.

Seorang bangsawan akan mereka tinggalkan

jika ia jatuh miskin;

Seorang candala, jika kaya, mereka akan dengan segera

menempel kepadanya, seperti bau busuk pada bangkai.”

Demikianlah Ananda, si raja burung hering, dengan

pengetahuannya sendiri, memaparkan tentang keburukan

wanita, dan kemudian diam. Nārada (Narada) juga, setelah

mendengar apa yang mereka berdua katakan, dengan

pengetahuan yang dimilikinya, mengatakan tentang keburukan

wanita. Untuk menggambarkan ini, Sang Guru berkata,

“Kemudian Narada, setelah mendengar bagian permulaan,

pertengahan dan akhir dari apa yang dikatakan oleh Ananda, si

raja burung hering, mengucapkan bait-bait berikut:

Ada empat hal yang tidak pernah dapat dipuaskan—

dengarkan perkataanku dengan baik—

Samudra, raja, brahmana, wanita, inilah keempat hal tersebut.

Semua aliran sungai yang mengalir ke rumah mereka

tidak akan pernah membuat samudra penuh (puas),

meskipun semuanya telah bercampur, tetapi masih saja

ada yang kurang.

Seorang brahmana mempelajari Weda-nya dan tradisi

keluarganya secara turun temurun,

tetapi ia masih saja merasa kurang dalam hal ilmu

pengetahuan dan selalu menginginkan lebih dan lebih banyak lagi.

Dengan penaklukan, seorang raja menguasai suatu

daerah, beserta dengan pegunungannya, lautannya dan semuanya,

harta kekayaan yang tak ada habisnya yang terdapat di

dalamnya dikatakan sebagai miliknya sendiri,

Meskipun demikian, ia tetap melirik daerah lain di luar

samudra, karena ini semua dianggapnya terlalu kecil.

Seorang wanita mungkin saja memiliki delapan suami,

yang menuruti keinginannya,

mereka semuanya adalah para pahlawan yang berani,

memenuhi kewajiban kasih sayang mereka dengan baik,

Meskipun demikian, ia masih memberikan cintanya

kepada suami yang kesembilan, karena ia tetap merasa

ada sesuatu yang kurang.

Wanita melahap mangsanya seperti kobaran api,

Wanita menghanyutkan segalanya seperti arus banjir,

Wanita seperti hama, mereka juga seperti duri,

Wanita akan pergi meninggalkan, demi uang.

Laki-laki yang membiarkan pikirannya mengembara

memikirkan wanita cantik, (diibaratkan) seperti orang

yang menangkap angin dengan jaring, atau seperti orang

yang mengeringkan air laut tanpa bantuan yang lain,

bertepuk sebelah tangan.

Dengan wanita-wanita yang pintar, kebenaran adalah hal

yang langka untuk dapat ditemukan,

Jalan mereka sama kompleksnya dengan jalan ikan-ikan

yang ada di laut.

Ucapannya lembut, sulit dipuaskan, susah dipenuhi

seperti sungai,

Ke bawah—ke bawah mereka terus tenggelam: ia, yang

mengetahui wanita, seharusnya membebaskan diri dari

mereka.

Pengkhianat yang menggoda, mereka membujuk orang

suci untuk melakukan perbuatan buruk,

Ke bawah—ke bawah mereka terus tenggelam: ia, yang

mengetahui wanita, seharusnya membebaskan diri dari

mereka.

Siapa saja akan mereka layani demi harta dan nafsu,

Mereka akan melahap lelaki, seperti minyak yang

membakar habis sampah dengan kobaran apinya.”

Ketika Narada telah demikian memaparkan keburukan

dari wanita, sekali lagi Sang Mahasatwa menggambarkan sifat

buruk mereka dengan perumpamaan yang khusus.

Untuk menunjukkan ini, Sang Guru berkata,

“Demikianlah Kunala, setelah mengetahui bagian permulaan, pertengahan, dan akhir dari apa yang dikatakan oleh Narada,

mengulangi bait-bait berikut ini:

Seorang bijak mungkin berani untuk berbincang dengan

sesosok pisaca yang bersenjatakan pedang yang telah

diasah tajam,

ia juga mungkin berani untuk bertarung

dengan seekor ular.

Namun demikian, ia tidak terlalu berani untuk

berbincang berdua dengan seorang wanita.

Kekuatan pria dilemahkan oleh daya pikat wanita,

dengan ucapan, senyuman, tarian dan nyanyian, bahkan

hanya dengan tangan mereka:

Hati yang labil mereka serang, seperti gerombolan

raksasa (wanita) yang menyerang para saudagar di

dalam istana mereka.

Ketagihan minuman keras dan daging, seseorang akan

sia-sia saja berusaha untuk menghilangkan selera atau

mengendalikan nafsu mereka,

seperti monster lautan, mereka akan menyapu habis

seluruh kekayaannya, ke dalam mulut mereka.

Lima alam kesenangan indriawi mereka miliki sebagai

tempat tinggal,

tak ada yang mampu mengendalikan keangkuhan

mereka yang tinggi:

Seperti semua sungai yang pada akhirnya bertemu di

samudra, demikianlah jiwa-jiwa yang tak awas menjadi

mangsa bagi para wanita.

Laki-laki yang mencari kesenangan dalam diri para

wanita ini, karena tergerak oleh ketamakan dan nafsu

indriawi,

Orang yang terbakar dengan nafsu yang kuat itu akan

mereka habisi, seperti minyak yang dituang ke api.

Jika mengetahui seseorang itu kaya,

mereka akan mendekatinya,

dan kemudian mereka akan

membawa pergi harta dan semuanya,

Mereka melingkarkan kedua tangan di kepala laki-laki

yang terbakar dengan nafsu itu, seperti tanaman

merambat yang bergantung pada pohon (sala) di hutan.

Seperti buah vimba, berbibir merah, begitu terang

dan senangnya, mereka mengeluarkan beragam jalan

untuk menghadapi manusia,

kadang menyerang dalam tawa, kadang dalam

senyuman, seperti Saṁvara, sang raja yang memiliki

banyak tipu muslihat.

Meskipun para wanita diberikan perhiasan emas dan

permata yang berlimpah,

meskipun diterima dengan baik oleh sanak keluarga dan

saudara dari suami,

meskipun dijaga dengan ketat oleh suami-suami mereka,

mereka tetap berbuat buruk (zina), seperti dikirim masuk

ke dalam mulut sang setan.

Seorang laki-laki yang terkemuka dan bijaksana,

mulia dan terhormat di mata semua orang,

tetapi dengan jatuh ke dalam kekuasaan wanita tidak

akan bersinar lagi, seperti pudarnya cahaya bulan

(gerhana bulan) oleh Rāhu.

Dendam yang dilampiaskan oleh seorang musuh yang

sedang murka kepada musuhnya,

seperti yang ditunjukkan oleh raja lalim kepada korbankorbannya,

bahkan hal yang lebih buruk dari ini dapat mendera

semuanya yang dikarenakan nafsu terjatuh ke dalam

kekuasaan wanita.

Meskipun diancam dengan badan yang dilukai atau

rambut yang dipotong, dicambuk, dipukul, atau ditendang,

tetapi wanita itu tetap pergi mencari kaum candala untuk

bersenang-senang dengan mereka, seperti lalat pada bangkai.

Wanita-wanita yang bersinar di jalan atau di istana, di

perkotaan atau di pedesaan,

seorang laki-laki dengan pandangan terang, jika ia ingin

mendapatkan kebahagiaan, akan menghindari

perangkap yang disiapkan oleh Namuci254.

Ia yang tidak mempraktikkan manfaat baik dari sila

seorang petapa,

ia mempraktikkan apa yang disebut dengan hal-hal yang

buruk dan rendah, orang dungu,

akan menukar alam surga menjadi alam neraka, seperti

orang yang menukar permata tak bernoda dengan

permata bernoda.

Ia akan menjadi orang yang hina baik di kehidupan ini

maupun di kehidupan berikutnya,

dan, bila masih tetap tergoda oleh wanita yang buruk, ia

akan terus-menerus jatuh karena kecerobohannya,

seperti keledai jahat yang berlari dengan kereta.

Ia dapat terlahir di alam neraka Simbali dengan duri-duri

yang tajam nan runcing,

dapat juga ia terlahir di neraka Patāpana,

atau di alam binatang,

terlihat pula ia menderita terlahir di alam peta.

Di alam dewa bergembira ria dan bersenang-senang

di Nandana,

di alam manusia mendapat kekuasaan sebagai raja,

jika orang demikian juga tersesat karena wanita, maka

jiwa-jiwa ceroboh itu harus melewati alam menyedihkan.

Tidak sulit untuk mencapai kebahagiaan di alam dewa,

demikian juga untuk mendapatkan kekuasaan di alam

manusia,

begitu pula dengan bidadari-bidadari di alam kayangan

keemasan mereka,

semuanya ini dapat dicapai oleh ia yang telah

melenyapkan nafsu (kesenangan) dalam dirinya.

Melewati alam kesenangan indriawi dengan hidup yang

baru di alam bentuk,

kemudian dengan kekuatan yang didapatkan di sana,

terlahir kembali di alam yang dihuni oleh mereka yang

telah terbebas dari nafsu,

semuanya ini dapat dicapai oleh ia yang telah

melenyapkan nafsu (kesenangan) dalam dirinya.

Kebahagiaan yang melampaui segala rasa,

tak tergoyahkan, tak terkondisi, tanpa akhir,

yaitu nibbana, dapat dicapai oleh ia yang telah

melenyapkan nafsu (kesenangan) dalam dirinya.

Demikian Sang Mahasatwa menyampaikan uraian-

Nya setelah memaparkan tentang pencapaian Mahanibbana.

Para kinnara, ular naga dan hewan lainnya yang berada di sana,

serta para dewa yang berdiri di angkasa, bertepuk tangan

sembari berkata, “Bagus sekali, diucapkan dengan gaya seperti

seorang Buddha.” Ananda, si raja burung hering, Narada, sang

brahmana suci, Punnamukha, si raja burung tekukur, dengan

pengikutnya masing-masing kembali ke kediaman mereka, dan

begitu pula halnya dengan Sang Mahasatwa yang kemudian

kembali ke kediamannya. Akan tetapi, mereka tetap datang

kembali dan mendengar nasihat yang diberikan Sang

Mahasatwa, sehingga dengan melakukan hal demikian, terlahir di

alam surga.

Sang Guru mengakhiri uraian-Nya sampai di sini, dan

untuk mempertautkan kisah kelahiran ini, Beliau mengulangi bait

terakhir berikut:

Udāyi adalah si burung tekukur, Ānanda adalah si

burung hering, Nārada adalah Sāriputta,

dan aku adalah Kuṇāla.

Para bhikkhu ini, yang sewaktu datang dibawa dengan kekuatan dari Sang Guru, kemudian kembali dengan menggunakan kekuatan mereka sendiri. Dan Sang Guru memaparkan kepada mereka di dalam Mahavana cara mencapai kebahagiaan, dan saat itu juga mereka mencapai tingkat kesucian Arahat, (yang menyebabkan) munculnya kumpulan besar makhluk dewata, sehingga Yang Terberkahi memaparkan kepada mereka semua Mahāsamaya Sutta (Khotbah yang dibabarkan kepada satu kumpulan besar).

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 5

 

 

Tagged ,