Category Archives: riwayat hidup sariputta

Sariputta – Riwayat Hidup Sang Dhamma Senapati (2)

Kisah ini berawal dari dua desa penganut brahmanisme di India dua ribu lima ratusan tahun yang lalu, yaitu Desa Upatissa dan Desa Kolita yang berada tak jauh dari kota Rajagaha.

Sebelum Sang Buddha muncul di dunia, seorang wanita brahmana bernama Sari di desa Upatissa sedang mengandung, dan pada hari yang sama di desa Kolita seorang wanita brahmana lainnya yang bernama Moggalli juga mengandung. Dua keluarga ini bersahabat erat selama 7 generasi. Sejak hari pertama masa kehamilan mereka, seluruh anggota keluarga telah mencurahkan perhatian lebih kepada si calon ibu, dan setelah 10 bulan mengandung kedua wanita tersebut melahirkan anak laki-laki pada hari yang sama pula.

Si bayi, putra wanita brahmana Sari diberi nama Upatissa karena dia merupakan seorang putra terpandang di desa itu; dan dengan alasan yang sama pula putra Moggalli diberi nama Kolita.

Ketika kedua bocah laki-laki itu beranjak dewasa, mereka dididik dan akhirnya menguasai semua ilmu sains. Masing-masing dari mereka kemudian memiliki pengikut sebanyak 500 brahmana pemula. Ketika mereka pergi ke sungai atau taman untuk berolahraga dan rekreasi, Upatissa sering kali pergi dengan iringan 500 tandu, sedangkan Kolita dengan 500 kereta kuda.

Pada suatu ketika di Rajagaha sedang berlangsung perayaan tahunan yang disebut Festival Puncak Bukit. Tempat duduk disediakan untuk kedua pemuda itu dan mereka pun duduk bersama-sama menikmati suasana perayaan. Ketika ada yang lucu, mereka tertawa tergelak; ketika tontonannya memikat, mereka pun ikut tegang dan bergairah. Mereka lalu membayar lagi untuk pertunjukan ekstra. Dengan cara yang sama mereka menikmati festival hari kedua.

Pada hari ketiga timbul suatu insight pada batin mereka: mereka tiada lagi tertawa, tiada lagi terpesona dengan pertunjukan festival tersebut, tidak juga mereka merasa berminat untuk membayar lagi pertunjukan ekstra seperti yang telah mereka lakukan pada hari-hari sebelumnya. Timbul pemikiran yang sama pada masing-masing diri mereka:

“Apa lagi yang perlu dilihat disini? Sebelum orang-orang ini mencapai usia seratus tahun, mereka semua toh bakal mati. Mestinya apa yang harus kita lakukan sekarang adalah mencari Ajaran Pembebasan.”

Inilah pemikiran yang muncul dalam benak mereka ketika sedang duduk menyaksikan jalannya festival. Kolita kemudian berkata kepada Upatissa:

“Bagaimana menurutmu, sahabatku Upatissa? Kamu nampak tidak segembira seperti kemarin. Kamu kelihatan dalam suasana hati yang tidak puas. Apa yang ada dalam pikiranmu?”

“Sahabatku Kolita, saya melihat apa yang terjadi disini sungguh tidak membawa manfaat. Sia-sia! Saya berpikir untuk mulai mencari sebuah Ajaran tentang Pembebasan Diri. Itulah, sahabatku Kolita, apa yang sedang kupikirkan sembari duduk disini. Tapi kamu, Kolita, juga terlihat tidak puas.”

Dan Kolita menjawab:

”Sama seperti yang telah kamu ucapkan, saya juga merasakannya.”

Ketika Upatissa tahu bahwa temannya juga berkehendak sama dengannya, maka Upatissa berkata:

“Itu merupakan pemikiran yang baik dari kita. Hanya terdapat satu hal yang harus dilakukan oleh mereka yang bertekad untuk mencari Ajaran Pembebasan yaitu pergi meninggalkan rumah dan menjadi pertapa. Tetapi dibawah bimbingan siapa kita akan. Pada waktu itu, hiduplah seorang pertapa dari aliran Pengelana (Paribbajaka) di Rajagaha. Namanya Sañjaya dan dia memiliki jumlah pengikut yang lumayan besar. Mereka memutuskan untuk mendapat penahbisan dibawah Sañjaya. Upatissa dan Kolita pergi ke Rajagaha, masing-masing dengan membawa 500 brahmana pemula pengikut mereka dan kesemuanya mendapat penahbisan. Dan semenjak penahbisan mereka itulah reputasi dan dukungan terhadap Sañjaya meningkat tajam.

Dalam waktu singkat kedua sahabat tersebut telah mempelajari semua ajaran Sañjaya dan mereka pun bertanya kepada dia:

“ Guru, apakah ajaranmu hanya sebatas ini, atau masih adakah ajaran yang lebih tinggi?”

Sañjaya menjawab: “Hanya sebatas inilah. Kalian telah menguasai semuanya.”

Mendengar hal ini, mereka berpikir dalam diri mereka sendiri: “Bila memang demikian, maka sia-sialah berusaha meneruskan Kehidupan Suci dibawah bimbingan dia. Kami meninggalkan rumah untuk mencari sebuah ajaran tentang pembebasan. Di bawah bimbingannya kami tidak akan menemukannya. Tapi India sangatlah luas. Bila kami pergi mengembara dari desa ke desa dan dari kota ke kota, kami pasti akhirnya akan menemukan seorang guru yang dapat menunjukkan ajaran tentang pembebasan.”

Setelah bertekad demikian, dimanapun mereka mendengar bahwa di suatu tempat terdapat pertapa-pertapa suci atau mungkin brahmana-brahmana bijaksana, mereka pergi mengunjungi para pertapa dan brahmana tersebut untuk kemudian berdiskusi dengan mereka. Namun sayangnya tidak ada seorang pertapa ataupun brahmana yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kedua sahabat itu, padahal mereka mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan pada mereka.Setelah mengembara ke seluruh daratan India, mereka kembali dan sampai di tempat dulu. Kemudian mereka saling sepakat bahwa siapapun diantara mereka yang terlebih dahulu mencapai Keadaan Tanpa Kematian haruslah memberitahukan kepada yang lain jalan menuju keadaan tersebut. Ini merupakan perjanjian persaudaraan yang lahir dari persahabatan mendalam antara kedua pemuda itu.

Beberapa waktu setelah mereka membuat perjanjian itu, Yang Tercerahkan—Sang Buddha, datang berkunjung ke Rajagaha. Saat Beliau membabarkan Khotbah Api di Puncak Gaya, Beliau teringat dengan apa yang telah dijanjikanNya sebelum mencapai Penerangan Sempurna kepada Raja Bimbisara: bahwa Beliau akan datang mengunjungi Rajagaha setelah berhasil mencapai cita-citaNya. Dengan demikian Sang Buddha pergi dari Gaya menuju Rajagaha dan sesampainya disana Beliau menerima persembahan Raja Bimbisara berupa Vihara Hutan Bambu (Veluvana) tempat Beliau kemudian berdiam selama berada di Rajagaha.

Diantara 61 Arahat yang telah diutus oleh Sang Buddha untuk menyebarluaskan kemuliaan Tiga Mustika kepada dunia, terdapat Ayasma Assaji – salah satu dari lima pertapa yang dulunya menemani Sang Buddha sebelum mencapai Penerangan Sempurna dan sekaligus merupakan kelompok murid Sang Buddha yang pertama. Ayasma Assaji kembali ke Rajagaha dari pengembaraannya dan pada suatu pagi ketika beliau pergi ber-pindapatta di kota, Upatissa yang sedang menuju kuil pertapa kelana melihatnya. Terpukau pada keagungan dan ketenangan Y.A. Assaji, Upatissa berpikir:

“Belum pernah sebelumnya saya melihat seorang bhikkhu seperti dia. Dia pastilah salah satu dari mereka yang telah menjadi Arahat, atau setidaknya berada dalam jalan menuju ke-Arahat-an. Haruskah aku menemuinya dan bertanya: ‘Di bawah bimbingan siapa Anda ditahbiskan? Siapakah Guru Anda dan Ajaran siapakah yang Anda ikuti?’”Tapi kemudian Upatissa berpikir: “Ini bukanlah saat yang tepat untuk bertanya kepada bhikkhu mulia tersebut, saat dia sedang ber-pindapatta sepanjang jalan. Lebih baik saya mengikutinya dari belakang, bersikap sopan sebagai pemohon” Dan ia pun bertindak demikian.

Setelah Ayasma Assaji selesai ber-pindapatta dan Upatissa melihat beliau melangkah hendak mencari tempat buat duduk dan bersantap, dia menyediakan tempat duduk yang dibawanya dan mempersembahkannya kepada Ayasma Assaji. Ayasma Assaji mulai menyantap makanannya. Kemudian Upatissa menyediakan air dari kantong air miliknya sendiri. Dan begitulah ia melayani Ayasma Assaji sebagaimana tugas seorang murid kepada gurunya.

Sesudah mereka saling mengucapkan salam dengan sopan, Upatissa berkata: “Tuan, pembawaan Anda luar biasa. Wajah Anda bersih dan terang sekali. Di bawah bimbingan siapakah Anda menjalankan kehidupan suci sebagai seorang pertapa? Siapakah guru Anda dan Ajaran apakah yang Anda ikuti?”

Ayasma Assaji menjawab: “Saudara, dengan menjalankan kehidupan suci ini saya mengabdi kepada seorang pertapa agung dari suku Sakya, yang telah pergi meninggalkan kaumnya untuk menjadi bhikkhu. Di bawah bimbinganNyalah saya berlindung. Pertapa Agung itu guruku dan AjaranNyalah yang saya ikuti.”

“Apakah yang diajarkan oleh Guru Anda, apa yang beliau nyatakan?”

Mendapat pertanyaan seperti itu, Ayasma Assaji berpikir dalam hati: “Pertapa kelana ini sedang menguji Jalan Sang Buddha. Aku akan menunjukan padanya betapa mulia jalan ini.” Jadi beliau berkata: “Saya seorang pendatang baru, Saudara. Belum lama saya ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu sehingga saya tidak dapat menjelaskan Ajaran mulia ini secara terperinci kepadamu.”

Sang Pengelana itu pun membalas: “Saya bernama Upatissa, Saudara. Tolong beritahukan Ajaran itu pada saya semampu Anda, baik itu banyak ataupun sedikit. Biarlah menjadi tugas saya untuk memahami makna yang terkandung didalamnya, dengan ratusan atau bahkan ribuan cara.”

Dan dia menambahkan:

“Entah itu banyak ataupun sedikit yang dapat Anda beritahukan, Walau hanya garis besarnya, katakanlah padaku! Untuk mengetahui inti sari Ajaran adalah satu-satunya hasrat saya; Kata-kata lain tidak dapat membantu apa-apa.”

Menanggapi hal itu, Ayasma Assaji kemudian mengucapkan syair berikut ini:

“Dari semua hal yang timbul karena suatu ‘sebab’,

‘Sebabnya’ telah diberitahukan oleh Tathagata;

Dan juga lenyapnya mereka, itu juga yang Dia ajarkan,

Inilah Ajaran Sang Pertapa Agung.”

Mendengar dua kalimat pertama, Upatissa seketika memasuki jalan seorang pemasuk arus; dan sampai akhir dua kalimat terakhir dia telah berhasil menjadi seorang Sotapañña— pemenang arus.

Ketika dia menjadi seorang pemenang arus dan sebelum dia mencapai tingkat kesucian yang lebih tinggi, dia berpikir: “Disinilah makna pembebasan dapat ditemukan!” Kemudian dia berkata kepada Ayasma Assaji: “Tidak perlu lagi Anda memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang Dhamma ini, Ayasma. Ini sudah cukup bagiku. Dimanakah Guru kita berdiam?”

“Di Vihara Hutan Bambu, pengembara.”

“Bila demikian, silakan Anda melanjutkan perjalanan Anda, Ayasma. Saya mempunyai seorang sahabat yang dengannya kami telah saling berjanji, siapa yang terlebih dahulu berhasil untuk mencapai Keadaan Terbebaskan, harus memberitahukan yang lain. Saya musti memberitahukannya dan bersama-sama kami akan mengikuti jalan yang Anda tapaki dan menemui Sang Guru.” Upatissa kemudian bersujud dibawah kaki Ayasma Assaji, memberi hormat dan mengantar kepergian Sang Sesepuh, sebelum akhirnya pulang menuju taman tempat berkumpulnya para Pertapa Kelana.

Kolita melihat Upatissa datang mendekat dan berpikir: “Hari ini penampilan sahabatku sedikit berubah. Pastilah dia telah menemukan Keadaan Tanpa Kematian.”

Dan ketika dia bertanya kepada Upatissa tentang hal itu, Upatissa menjawab: “Benar, Sahabatku, Keadaan Tanpa Kematian telah ditemukan!” Dan dia mengulangi syair yang telah didengarnya kepada Kolita. Di akhir syair, Kolita memperoleh hasil seorang pemasuk arus dan dia bertanya:

“Dimana, Saudaraku, tempat Sang Guru berdiam?”

“Aku diberitahu oleh guru kita, Ayasma Assaji, bahwa Beliau berdiam di Vihara Hutan Bambu.”

“Bila demikian, mari kita pergi Upatissa, dan menemui Sang Guru,” ujar Kolita.

Tetapi Sariputta adalah seseorang yang selalu penuh rasa hormat kepada guru-gurunya, dan dia berkata kepada sahabatnya: “Yang harus kita lakukan pertama, Saudaraku, adalah pergi ke tempat guru kita, Pertapa Kelana Sañjaya dan mengatakan padanya bahwa kita telah menemukan Keadaan Tanpa Kematian. Bila dia dapat memahami Dhamma ini, dia akan menembus Kebenaran. Dan bahkan bila dia tidak mampu memahaminya, biarlah dia datang bersama dengan kita untuk menemui Sang Bhagava dan mendengar Ajaran Sang Buddha. Dengan demikian dia mungkin akan mencapai Kesucian.”

Demikianlah kedua pemuda itu pergi menemui Sañjaya dan berkata: “Oh, guru kami! Apa yang sedang Anda lakukan! Seorang Buddha telah muncul di dunia! AjaranNya begitu mulia dan dalam tindakan benar hiduplah perkumpulan bhikkhu-bhikkhuNya. Mari kita pergi dan melihat Sang Guru Pemilik Sepuluh Kekuatan!”

“Apa yang sedang kamu katakan, anakku?” Sañjaya berseru. Menolak pergi bersama kedua muridnya dia mencoba berbicara kepada mereka tentang keuntungan serta popularitas yang dapat mereka nikmati bila mereka mau berbagi tempat dengannya, sebagai seorang guru.

Tapi kedua pemuda itu berkata: “Oh, kami sendiri tidak risau untuk terus menjadi seorang murid! Tapi Anda, O guru, Anda harus memutuskan untuk pergi atau tidak bersama kami!”

Sañjaya kemudian berpikir: “Mereka memang sudah tahu banyak, mereka tidak akan mendengar apa yang aku katakan.” Dan menyadari hal tersebut, dia membalas: “Kalian boleh pergi, tapi aku tidak.”

“Mengapa tidak, guru?”

“Aku seorang guru dari sekian banyak murid! Jika aku kembali menjadi seorang murid, hal itu bagaikan memaksakan setangki besar penuh air diubah menjadi kendi kecil. Sekarang aku tidak bisa lagi menjalani hidup sebagai seorang murid.”

“Jangan berpikiran seperti itu, O guru!” mereka memaksa.

“Biarlah demikian, anakku. Kalian boleh pergi, tapi aku tidak.”

“Oh guru! Saat dimana seorang Buddha muncul di dunia, orang berduyun-duyun datang kepadanya dan memberikan penghormatan sambil membawa dupa dan bunga. Kami juga akan pergi menemuiNya. Dan kemudian apa yang akan terjadi padamu?”

Mendengar hal itu, Sañjaya membalas: “Bagaimana menurut kalian, murid-muridku: manakah yang lebih banyak: orang bodoh di dunia ini, atau orang bijaksana?”

“Orang bodoh lebih banyak, guru, sedangkan orang bijaksana hanya sedikit.”

“Bila memang demikian, temanku, maka biarlah mereka yang bijaksana pergi ke tempat Sang Pertapa Agung Gotama, dan biarlah mereka yang bodoh datang kepadaku, si dungu ini. Kalian boleh pergi sekarang, tapi aku tidak akan.”

Maka kedua pemuda itu pergi sambil berkata: “Anda akan menyadari kesalahan yang Anda perbuat, O guru!” Dan setelah mereka pergi terjadi perpecahan diantara murid-murid Sañjaya menyebabkan kuilnya hampir kosong. Melihat kuilnya menjadi kosong, Sañjaya muntah darah. Belakangan dua ratus lima puluh diantaranya kembali ke tempat Sañjaya. Bersama dengan sisa dua ratus lima puluh pertapa lainnya dan ditambah pengikut mereka sendiri, kedua sahabat itu sampai di Vihara Hutan Bambu.

Disana Sang Buddha duduk diantara empat penjuru6 sedang membabarkan Dhamma, dan ketika Yang Terbekahi melihat kedatangan kedua pemuda itu Beliau berkata kepada bhikkhu-bhikkhuNya:

“Inilah dua orang sahabat baik, Upatissa dan Kolita, mereka adalah pendatang baru dan akan menjadi dua siswaku yang cemerlang.”

Datang mendekat, teman-teman baru itu memberi hormat kepada Sang Buddha dan duduk di salah satu sisi. Ketika mereka duduk di salah satu sisi, mereka berkata kepada Sang Buddha:

“Bolehkah kami, O Sang Bhagava, bergabung ditahbiskan menjadi bhikkhu di bawah perlindungan Anda Yang Tercerahkan. Bolehkah kami memperoleh penahbisan penuh?!”

Dan Sang Buddha berkata: “Datanglah, O bhikkhu! Ajaran Dhamma begitu mulia. Sekarang jalanilah Kehidupan Suci demi mengakhiri penderitaan!” Demikianlah mereka mendapatkan penahbisan dari Sang Buddha.

Kemudian Sang Bhagava meneruskan khotbahnya sambil mempertimbangkan karakter masing-masing pendengarnya; dan kesemuanya kecuali dua siswa utama Beliau, mencapai tingkat kesucian tertinggi—Arahat. Kedua siswa utama Sang Buddha belum mencapai tiga tingkat kesucian diatasnya. Alasannya adalah mengenai perihal “kebijaksanaan yang tumbuh dari pahala sebagai seorang siswa” (savakaparami-ñana) yang masih harus mereka kembangkan.

Upatissa menerima nama penahbisan Sariputta, sedangkan Kolita menerima nama Maha Moggallana.

Pada suatu ketika Y.A. Maha Moggallana berdiam di suatu desa di Magadha bernama Kallavala, desa dimana dia biasa ber-pindapatta. Pada hari ketujuh sejak penahbisannya, dia sedang bermeditasi. Saat itu kelelahan dan kemalasan menguasai dirinya. Tapi berkat dorongan Sang Buddha, dia berhasil melenyapkan kelelahannya dan pada saat mendengarkan Sang Buddha menguraikan topik meditasi tentang elemen-elemen (dhatu-kammatthana), Moggallana akhirnya berhasil menuntaskan tugas memenangkan tiga tingkat kesucian dan mencapai puncak kesempurnaan latihan seorang siswa (savaka-parami).

Y.A. Sariputta tetap tinggal bersama Sang Buddha di sebuah gua yang disebut Gua Naungan Babi Hutan (Sukarakhata-lena) sambil ber-pindapatta di kota Rajagaha. Setengah bulan setelah masa penahbisan Y.A. Sariputta, Sang Buddha memberikan sebuah wejangan Dhamma tentang pemahaman perasaan kepada kemenakan Y.A. Sariputta, yaitu Dighanakha si pertapa pengembara. Y.A. Sariputta berdiri di belakang Sang Buddha, mengipasi beliau.

Selagi menyimak jalannya khotbah Sang Buddha, tatkala berbagi kudapan yang disiapkan bagi yang lain, pada waktu itulah Y. A. Sariputta berhasil mencapai puncak ‘pengetahuan menguasai kesempurnaan latihan seorang siswa dan mencapai ke-Arahat-an bersamaan dengan dicapai 4 pengetahuan analitis (patisambhida-ñana)’. Sedangkan kemenakannya, di akhir khotbah, berhasil memperoleh hasil seorang Pemasuk Arus.

Sekarang kita dapat mempertanyakan: Apakah Y.A. Sariputta kurang memiliki kebijaksanaan yang cukup untuk memahami Dhamma? Mengapa dia mencapai kesempurnaan seorang siswa lebih lambat daripada Y.A. Maha Moggallana? Jawabannya adalah karena besarnya keagungan persiapan yang dibutuhkan baginya. Ketika seorang miskin hendak pergi ke suatu tempat, mereka bisa langsung berangkat begitu saja. Tetapi bilamana para raja hendak berpergian, butuh lebih banyak persiapan yang diperlukan; misalnya: harus menyiapkan gajah-gajah dan kereta-kereta kuda dan lain sebagainya. Begitulah alasannya.

Pada hari yang sama ketika bayang-bayang senja telah menyelimuti langit, Sang Buddha mengumpulkan murid-muridNya dan memberikan berkat kepada kedua sahabat yaitu Sariputta dan Moggallana sebagai Siswa Utama. Pada saat itu, ada beberapa bhikkhu yang merasa tidak puas dan berbicara diantara mereka sendiri:

“Sang Bhagava seharusnya memberikan posisi Siswa Utama kepada mereka yang tergolong kelompok siswa yang pertama kali menyatakan perlindungan pada Sang Bhagava, yaitu kelompok lima bhikkhu pertama. Jika tidak, maka seharusnya diberikan kepada kelompok 250 bhikkhu yang dipimpin oleh Yasa, atau kepada kelompok Bhadavaggiya, atau mungkin kepada tiga Kassapa bersaudara. Namun dengan melewati para Sesepuh, Sang Bhagava memberikan posisi tersebut kepada mereka yang penahbisannya tergolong paling akhir diantara lainnya.”

Sang Buddha menanyakan tentang apa yang dibicarakan oleh kelompok bhikkhu tersebut. Ketika Beliau dijawab, Beliau lalu berkata:

“Aku tidak pilih kasih, akan tetapi sekedar memberikan sesuai dengan aspirasi mereka masing-masing. Ketika, sebagai gambaran untuk kalian ketahui, Kondañña—Yang Telah Mengerti— dalam kehidupan sebelumnya memberikan dana makanan sembilan kali selama masa panen. Dia tidak bercita-cita untuk menjadi Siswa Utama, aspirasinya adalah untuk menjadi yang paling pertama kali mencapai tingkat kesucian tertinggi—Arahat. Dan jadilah demikian. Tapi ketika Sariputta dan Moggallana pada suatu masa berabad-abad lalu, pada masa hidup Buddha Anomadassi, terlahir sebagai seorang brahmana muda Sarada dan tuan tanah Sirivaddhaka. Mereka membuat suatu tekad untuk menjadi Siswa Utama. Inilah, O bhikkhu, aspirasi yang dicita-citakan oleh anak-anakKu tersebut di masa lampau. Karena itulah aku memberikan apa yang menjadi aspirasi mereka, dan bukan melakukannya sekedar oleh pilih kasih (preferensi).”

Kisah tentang awal mula perjalanan hidup Y.A. Sariputta ini diambil dari uraian Angutara Nikaya, kelompok Etas-agga, dan dengan beberapa cerita diambil dari dalam versi yang juga paralel di Dhammapada. Dalam uraian tersebut beberapa pembawaan dari karakter Y.A. Sariputta sudah terlihat dengan jelas. Kapasitasnya akan persahabatan yang mendalam dan lestari telah terlihat sejak dia masih menjadi umat awam, sebagai seorang pemuda yang tumbuh dan dibesarkan dalam kemewahan dan kenikmatan, dan tetap bertahan hingga tatkala ia meninggalkan kehidupan duniawi. Saat menerima pengetahuan Dhamma untuk pertama kalinya, dan sebelum melangkah lebih lanjut, pikiran pertamanya ditujukan kepada Kolita sahabat baiknya dan sumpah yang telah mereka ucapkan bersama. Ketajaman intelektualnya terlihat dalam ketangkasannya untuk seketika memahami inti sari Ajaran Buddha sekedar dari beberapa kalimat pendek sederhana. Dan yang lebih unik, dia menggabungkan kemampuan intelektualnya dengan kerendahan hati serta sifat baiknya yang dipancarkan ketika memberikan penghargaan dan penghormatan kepada siapapun, bahkan kepada Sañjaya ‘yang tersesat’, yang pernah mengajarkannya beberapa hal yang bermanfaat. Tidaklah mengherankan juga bila kemudian di sepanjang hidupnya Y.A. Sariputta terus menunjukkan penghormatan kepada Y.A. Assaji yang telah memperkenalkannya dengan Ajaran Buddha. Kita dapat menemukannya dalam uraian Nava Sutta (Sutta Nipata) dan juga dalam uraian syair Dhammapada 392; bahwa dimanapun Y.A. Sariputta menetap di vihara yang sama dengan Y.A Assaji, beliau selalu memberikan penghormatan kepadanya segera setelah menghormat Sang Buddha. Selama melakukan penghormatan ini, dia berpikir:

“Y.A. Assaji adalah guru pertamaku. Oleh dialah aku mengenal Jalan ke-Buddha-an.” Dan ketika Ayasma Assaji tinggal di vihara lain, Y.A. Sariputta selalu menghormat ke arah dimana Ayasma Assaji menetap. Beliau melakukannya dengan cara lima titik menyentuh bumi (kepala, kedua tangan, dan kedua kaki) dan bersikap anjali.

Akan tetapi hal ini menyebabkan salah pengertian. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain melihatnya melakukan hal ini mereka berkata:

“Setelah menjadi seorang Siswa Utama, Sariputta tetap menyembah makhluk surgawi! Bahkan hingga hari ini dia tampaknya belum dapat meninggalkan pandangan brahmanismenya!”

Mendengar ucapan-ucapan seperti itu, Sang Buddha berkata: “Bukan demikian para bhikkhu. Sariputta tidak menyembah makhluk surgawi. Dia menghormati seseorang yang telah mempertemukannya dengan Dhamma. Kepadanyalah dia menghormat, menyembah dan memuja sebagai gurunya. Sariputta adalah seseorang yang memberikan penghormatan tulus kepada gurunya.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan Nava Sutta13 kepada para bhikkhu yang sedang berkumpul, yang diawali dengan syair berikut:

“Seperti para dewa memberikan penghormatan kepada Indra,

Demikian pula hendaknya seseorang memberikan penghormatan kepada dia

Yang telah mempertemukannya dengan Dhamma.”

Contoh lain dari sikap penghormatan tulus Y.A. Sariputta diceritakan dalam kisah Radha Thera. Uraian syair Dhammapada 76 ini mengisahkan bahwa pada suatu ketika di Savatthi seorang brahmana miskin tinggal di sebuah vihara. Ia melakukan beberapa pelayanan seperti menyiangi, menyapu, dan semacamnya; sedangkan para bhikkhu membalasnya dengan cara menyediakan makanan.

Tidak ada seorang bhikkhu pun yang bersedia menahbiskannya. Suatu hari, ketika Sang Buddha sedang mengamati dunia, Beliau melihat brahmana itu mempunyai kesempatan untuk mencapai tingkat kesucian Arahat. Sang Buddha kemudian menanyakan kepada pesamuan bhikkhu: apakah ada diantara mereka yang mengingat telah menerima kebaikan yang dilakukan brahmana miskin tersebut. Y.A. Sariputta berkata bahwa dia mengingat satu peristiwa, ketika dia pergi ber-pindapatta di Rajagaha, brahmana miskin ini telah memberikannya sesendok penuh nasi yang dia pinta bagi dirinya sendiri. Sang Bhagava kemudian bertanya apakah

Sariputta bersedia menahbiskannya, dan akhirnya dia diberi nama Radha. Y.A. Sariputta kemudian membimbing bhikkhu itu secara terus-menerus sedangkan Radha selalu mengikuti arahan Y.A. Sariputta dengan sungguh-sungguh tanpa kekesalan. Dan dengan hidup berdasarkan nasehat Y.A. Sariputta, Radha akhirnya berhasil mencapai tingkat kesucian tertinggi dalam waktu yang singkat.

Kali ini para bhikkhu memuji sikap tahu berterimakasih Y.A. Sariputta yang begitu tulus dan berkata bahwa mereka yang dengan tulus bersedia menjalankan nasehat akan memperoleh murid-murid yang akan pula melakukan hal sama pula. Mengulas kejadian ini, Sang Buddha berkata bahwa tidak hanya itu, tapi juga dahulunya Sariputta telah menunjukkan rasa tahu berterimakasih dan mengingat setiap hal baik yang pernah diberikan kepadanya.

Sehubungan dengan hal ini, Sang Buddha menceritakan Alinacitta Jataka, kisah tentang seekor gajah yang tahu rasa terima kasih.

–to be continued–

Sumber:

Sariputta – Riwayat Hidup Sang Dhamma Senapati

Insight Vidyasena Production

Tagged ,

Sariputta – Riwayat Hidup Sang Dhamma Senapati (1)

Prolog

Di hampir semua vihara yang ada di Sri Lanka, Anda akan menjumpai dua patung bhikkhu di kedua sisi rupang Sang Buddha. Jubahnya terjurai pada salah satu bahu mereka dan berdiri dalam sikap menghormat dengan kedua tangan ber-anjali. Sering pula terdapat sedikit bunga-bunga di kaki kedua patung itu— yang ditabur oleh beberapa umat yang saleh.

Jika Anda bertanya patung siapakah mereka, Anda akan diberitahu bahwa mereka adalah dua Siswa Utama Sang Buddha, yaitu Arahat Sariputta dan Arahat Maha Moggallana. Patung tersebut berdiri dalam posisi sama sebagaimana dahulu ketika mereka melayani Sang Buddha. Sariputta di sebelah kanan, sedangkan Maha Moggallana di sebelah kiriNya.

Ketika stupa besar Sanchi dibuka pada pertengahan abad ke-20, sebuah ruang relik ditemukan beserta dengan dua kotak batu didalamnya. Kotak yang berada di sebelah utara berisi relik Arahat Maha Moggallana, sedangkan kotak lainnya yang berada di sisi selatan berisi relik Arahat Sariputta. Demikianlah relik-relik itu berada disana: ketika abad-abad terus bergulir dan sejarah selama dua ribuan tahun lebih sudah mementaskan drama tentang ketidakpermanenan dalam kehidupan manusia. Kekaisaran Romawi bangkit dan runtuh, kejayaan Yunani Kuno kini tinggal kenangan masa lampau, agama-agama baru muncul dan menorehkan namanya—acapkali dengan darah dan api— pada muka bumi yang terus berubah, untuk kemudian akhirnya cuma bersisa campur dengan legenda-legenda Thebes dan Babylon. Dan, secara bertahap gelombang dunia perniagaan telah menggeser pusat-pusat peradaban dari belahan bumi Timur ke Barat, sementara generasi-generasi yang tidak pernah mendengar Ajaran Buddha pun lahir dan kemudian meninggal.

Walau selama itu pula relik kedua orang suci tersebut terbaring tak terusik, terlupakan justru di tanah tempat mereka dilahirkan, namun kenangan tentang mereka tetap erat diingat dimanapun ajaran Sang Buddha menyebar. Kisah kehidupan mereka pun diwariskan dari generasi ke generasi. Mulanya dengan kata-kata dari mulut ke mulut, dan belakangan kemudian dituliskan pada lembar-lembar Kitab Tripitaka Buddhis—kitab paling tebal dan sekaligus paling detail dari semua kitab agama-agama yang ada di dunia.

Selain Sang Buddha sendiri, kedua Siswa Utama inilah yang menerima penghormatan tertinggi dari umat Buddha di negeri-negeri Theravada. Nama mereka tak dapat dipisahkan dari sejarah Buddhisme, sama halnya seperti Sang Buddha sendiri. Walau mungkin saja selama kurun waktu yang panjang ini terdapat kisah-kisah yang telah disisipkan dalam kehidupan suci mereka, ini merupakan suatu hal yang wajar sebagai konsekuensi dari bakti serta penghormatan yang ditujukan kepada mereka.

Dan penghormatan tinggi itu dapat dibenarkan sepenuhnya. Karena tidak banyak guru-guru agama yang telah dilayani dengan sangat erat oleh murid langsungnya sebagaimana yang dilakukan oleh kedua siswa tersebut kepada Sang Buddha. Dalam buku ini Anda akan membaca kisah salah satu dari dua Siswa Utama Sang Buddha, yaitu Arahat Sariputta; yang berada pada urutan kedua setelah Sang Buddha dalam hal kedalaman dan jangkauan pemahamannya dan dalam hal keahliannya mengajarkan Ajaran Pembebasan.

Dalam Kitab Suci Tripitaka tidak terdapat uraian tersendiri tentang riwayat hidup Sariputta, akan tetapi alur kehidupannya dapat ditemukan dalam penggalan-penggalan dari berbagai macam peristiwa, yang terpencar dalam kitab-kitab suci Buddhis serta ulasan-ulasannya. Beberapa naskah menguraikan secara panjang lebar tak hanya sekedar sebagai hal yang kebetulan, karena kisah hidup Sariputta memang terkait begitu erat dengan kehidupan suci Sang Buddha dimana Sariputta memainkan peranan penting; dan bahkan dalam beberapa kesempatan Sariputta sendirilah yang mengambil alih peran kepemimpinan—entah itu sebagai pembimbing dan tauladan yang terlatih, sebagai teman yang baik dan penuh perhatian, sebagai pelindung kesejahteraan para bhikkhu binaannya, maupun sebagai penjaga Ajaran Sang Buddha yang setia.

Peranan inilah yang membuatnya dijuluki sebagai Dhamma-Senapati—Sang Panglima Dhamma— dan sebagaimana dia yang biasanya, yakni seorang manusia unggul dalam hal kesabaran dan kesetiaan, kesederhanaan dan kelurusan pikiran, ucapan dan perbuatan jasmani, seorang manusia yang memperlakukan kebaikan sebagai hal yang penting untuk diingat dengan penghargaan sepanjang kehidupan berlangsung. Bahkan di antara para Arahat1, Sariputta bersinar bagai bulan purnama di tengah langit malam yang penuh bintang.

Dialah manusia—yang dalam tingkat intelektualitas dan keluhuran budinya, seorang siswa sejati Sang Buddha yang kisahnya telah diwariskan— demi memberi manfaat sepenuhnya bagi potensi pencapaian kita, dikisahkan dalam lembar-lembar berikut.

Bila para pembaca yang terhormat dapat menemukan kualitas-kualitas manusia sempurna dari tulisan yang tidak sempurna ini, kualitas dimana seseorang mampu terbebas sepenuhnya dan mendaki ke tingkatan tertinggi yang dapat dicapai manusia; tentang bagaimana beliau bertindak, berucap dan membawakan dirinya kepada pengikutnya; dan apabila kiranya bacaan ini bisa memberikan Anda suatu kekuatan dan keyakinan tentang sejauh mana kualitas yang dapat dicapai seorang manusia, maka barulah karya ini dapat dikatakan sebagai bermanfaat, – sepadanlah sudah.

–be continued–

Sumber:

Sariputta – Riwayat Hidup Sang Dhamma Senapati (1)

Insight Vidyasena Production

Tagged ,