“Tuan dari rasa,” dan seterusnya.
Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang Thera, Aṅgulimāla (Angulimala). Kisah kelahirannya dan bagaimana ia bisa menerima penahbisan menjadi seorang bhikkhu dapat dilihat pada Aṅgulimāla Sutta. Mulai dari saat dengan menggunakan pernyataan kebenaran ia menyelamatkan nyawa seorang wanita yang mengalami kesulitan dalam proses kelahiran, ia mendapatkan makanan derma dengan mudahnya, dan dengan terus-menerus mengembangkan pelepasan (viveka) ia pun mencapai tingkat kesucian Arahat, dan kemudian dikenal sebagai salah satu dari delapan puluh Mahathera. Kala itu, para bhikkhu memulai pembicaraan mengenai ini di dalam balai kebenaran, dengan berkata, “Āvuso, betapa suatu keajaiban luar biasa yang disebabkan oleh Yang Terberkahi, dengan damai tanpa menggunakan kekerasan apa pun, Beliau mengubah dan membuat seorang penyamun besar yang keji dan berlumuran darah, Angulimala, menjadi rendah hati: Oh, sungguh, para Buddha melakukan hal-hal yang luar biasa!” Sang Guru yang sedang duduk di dalam gandhakuṭi, dengan kekuatan telinga dewa-Nya, mendengar apa yang mereka katakan. Mengetahui bahwa kedatangan-Nya pada hari itu akan menjadi sangat membantu dan akan adanya pemaparan khotbah besar, dengan keanggunan seorang Buddha, Beliau pergi ke balai kebenaran dan setelah duduk di tempat yang telah disediakan, menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk berkumpul di sana; ketika mereka memberitahukan topik pembicaraannya, Beliau berkata, “Tidaklah luar biasa, para bhikkhu, di saat sekarang saya mengubahnya, ketika telah kucapai penerangan tertinggi. Di masa lampau ketika hidup dengan pengetahuan yang terbatas, juga kuubah dirinya menjadi yang baik,” dan setelah mengucapkan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala seorang raja yang bernama Koravya
memerintah Kota Indapatta dengan benar, di dalam Kerajaan
Kuru. Bodhisatta terlahir sebagai anak dari permaisurinya, dan
dikarenakan kegemarannya akan jus buah soma, mereka
memberinya nama Sutasoma. Ketika beranjak dewasa, ayahnya
mengirim ia ke Takkasila untuk mendapatkan pendidikan dari
seorang guru yang terkemuka. Maka setelah mengambil uang
untuk membayar gurunya, ia pun berangkat pergi. Di Kerajaan
Benares juga, Pangeran Brahmadatta, putra dari Raja Kasi,
dikirim oleh ayahnya dengan tujuan yang sama, dan berangkat
menuju tempat yang sama. Di tengah perjalanannya, untuk
beristirahat, Sutasoma duduk di sebuah papan yang terdapat
dalam suatu balai di dekat gerbang kota. Pangeran Brahmadatta
juga, datang dan duduk di papan yang sama. Setelah beruluk
salam, Sutasoma bertanya kepadanya, “Teman, Anda kelihatan
lelah dalam perjalanan. Dari manakah asalmu?” Ketika
dijawabnya, “Dari Benares,” ia kemudian menanyakan putra
siapakah dirinya itu. “Putra dari Brahmadatta.” “Dan siapakah
namamu?” “Pangeran Brahmadatta.” “Apa tujuanmu datang ke
sini?” “Untuk mendapatkan pendidikan,” jawabnya. Kemudian
Pangeran Brahmadatta berkata, “Anda juga kelihatan lelah dalam
perjalanan,” dan menanyakan hal yang sama kepadanya. Dan
Sutasoma memberitahukan kepadanya semua tentang dirinya.
Mereka berdua kemudian berpikir, “Kami berdua adalah
pangeran yang pergi untuk mendapatkan pendidikan dalam ilmu pengetahuan dari satu guru yang sama,” dan mereka pun
menjadi sahabat. Kemudian setelah memasuki kota, mereka
langsung pergi ke rumah sang guru dan memberi salam hormat
kepadanya, dan setelah memberitahukan dari mana mereka
berasal, mereka pun memberitahukan bahwa tujuan mereka
datang adalah untuk mendapatkan pendidikan. Sang guru
menerima permintaan mereka. Setelah memberikan uang untuk
pendidikan, mereka memulai pembelajaran. Bukan hanya
mereka saja, tetapi pangeran-pangeran lain yang ada di India,
sampai berjumlah seratus satu orang, mendapatkan pendidikan
dari guru yang sama. Merupakan murid yang senior, dengan
cepat Sutasoma mendapatkan kemampuan dalam mengajar,
tanpa mengunjungi yang lainnya, ia berpikir, “Ini adalah
sahabatku,” dan hanya mengunjungi Pangeran Brahmadatta.
Menjadi guru pribadinya, dengan cepat ia mengajari dirinya,
sedangkan yang lainnya secara berangsur-angsur mendapatkan
pelajaran mereka. Setelah menyelesaikan pendidikannya,
mereka berpamitan dengan sang guru, dan dengan membentuk
satu kumpulan mengikuti Sutasoma dalam perjalanan pulang.
Kemudian dengan berdiri di depan mereka, untuk membubarkan
mereka, Sutasoma berkata, “Setelah kalian menunjukkan bukti
dari pembelajaran kepada ayah kalian masing-masing, kalian
akan menjadi raja di kerajaan masing-masing. Ketika hal itu
terjadi, pastikan kalian mematuhi petunjuk dariku.” “Apa
petunjuknya itu?” “Menjalankan sila Uposatha dan berusaha
menghindari pembunuhan terhadap makhluk apa pun.” Mereka
semuanya setuju dengan hal ini. Dari kekuatannya untuk
meramal dari penampilan seseorang, Bodhisatta mengetahui bahwa bahaya besar akan muncul yang berhubungan dengan
Pangeran Benares di masa yang akan datang, dan oleh karena
itu ia membubarkan mereka dengan sebelumnya menasihati
mereka demikian. Mereka semua kemudian kembali ke kerajaan
masing-masing, dan setelah menunjukkan hasil pembelajaran
kepada ayah mereka, mereka pun naik takhta menjadi raja.
Untuk memberitahukan tentang hal ini dan juga tentang mereka
yang tetap menjalankan nasihatnya, dan sebuah hadiah, mereka
mengirimkan surat kepada Sutasoma. Ketika mengetahui hal ini,
Sang Mahasatwa membalas surat-surat mereka, dengan tetap
meminta mereka melakukannya dengan sungguh-sungguh
berkeyakinan. Salah satu dari mereka, Raja Benares, tidak
pernah memakan makanannya tanpa daging, dan untuk
menjalankan laku Uposatha, mereka akan meletakkan dagingnya
di satu sisi. Suatu hari, setelah dagingnya diletakkan demikian,
disebabkan oleh kecerobohan dari si juru masak, anjing-anjing
yang berada di dalam istana memakan daging tersebut. Ketika
tidak lagi menemukan daging itu, juru masak istana mengambil
segenggam penuh koin dan berkeliling untuk membeli daging.
Tidak berhasil untuk mendapatkan daging apa pun, ia berkata,
“Jika kusajikan makanan tanpa daging, saya pasti akan mati. Apa
yang harus kulakukan?” Tetapi setelah berpikir, “Masih ada satu
cara,” pada malam hari ia pergi ke suatu daerah pekuburan
tempat mayat-mayat dikuburkan, ia mengambil daging paha dari
seorang laki-laki yang baru saja meninggal. Ia memanggangnya
sampai matang dan menyajikannya sebagai makanan. Tak lama
setelah potongan kecil daging itu masuk ke lidah raja, kemudian
itu menyampaikan suatu sensasi ke tujuh ribu saraf perasa dan terus-menerus menimbulkan suatu guncangan di sekujur tubuh
raja. Mengapa terjadi demikian? Karena di kehidupan
lampaunya, ia pernah memakan makanan seperti ini. Dikatakan
bahwa sebagai yaksa di kehidupan lampaunya, ia memakan
sejumlah daging manusia, dan oleh sebab itulah tubuhnya
mengenali rasa tersebut. Raja kemudian berpikir, “Jika
saya tetap makan tanpa bersuara, ia tidak akan
memberitahukanku daging apa ini sebenarnya,” maka ia pun
memuntahkan sepotong daging ke lantai. Ketika juru masak itu
berkata, “Paduka, Anda dapat memakannya; tidak ada yang
salah,” raja memerintahkan semua pengawalnya untuk keluar
dan berkata, “Saya tahu daging ini tidak bermasalah, tetapi
daging apakah ini?” “Sama seperti apa Yang Mulia makan pada
hari-hari sebelumnya.” “Mengapa daging pada hari-hari
sebelumnya tidak memiliki rasa seperti ini?” “Karena hari ini
dagingnya dimasak dengan amat baik, Paduka.” “Apakah benar
kamu memasaknya sama seperti pada hari-hari sebelumnya?”
Kemudian ketika melihatnya diam membisu, raja berkata, “Jika
tidak memberitahukan yang sebenarnya, maka kamu akan mati.”
Maka ia pun meminta jaminan pengampunan terlebih dahulu dan
memberitahukan kebenarannya. Raja berkata, “Jangan
mengatakan apa-apa tentang ini. Kamu akan tetap dapat
memakan daging yang biasa kamu masak, dan, hanya untukku
sendiri, kamu harus memasak daging manusia.” “Ini adalah suatu hal yang sulit, Paduka.” “Jangan takut, tidak ada yang sulit.” “Dari
mana bisa kudapatkan daging manusia secara terus-menerus?”
“Apakah tidak ada banyak orang di dalam penjara?” Mulai saat
itu, ia pun melakukan apa yang diminta oleh raja. Lambat laun,
ketika jumlah tawanan telah amat berkurang, ia berkata, “Apa
yang harus kulakukan sekarang?” “Buanglah satu bungkusan
yang berisikan ribuan keping uang di tengah jalan besar, dan
tangkaplah siapa saja yang memungutnya sebagai seorang
pencuri dan hukum mati dirinya.” Ia pun melakukan demikian.
Lambat laun, ketika tidak ada lagi orang yang mengambil
bungkusan uang itu, ia berkata, “Apa yang harus kulakukan
sekarang?” “Di saat genderang dibunyikan pada jam malam, kota
akan dipenuhi dengan orang. Kemudian, dengan berada di celah
pada dinding rumah atau persimpangan jalan, pukullah
seseorang sampai jatuh mati dan ambillah dagingnya.” Mulai hari
itu, ia selalu kembali dengan membawa daging segar, dan di
tempat-tempat yang berbeda selalu terdapat mayat-mayat
berserakan. Ratap tangis pun terdengar, “Saya telah kehilangan
ayah, saya telah kehilangan ibu, saya telah kehilangan abang,
saya telah kehilangan adik.” Para penduduk diserang dengan
kepanikan dan berkata, “Pasti ada singa atau harimau atau
yaksa yang memakan orang-orang ini.” Ketika memeriksa mayatmayat
tersebut, mereka melihat luka seperti akibat perbuatan
manusia dan berkata, “Apakah ini berarti manusia yang
memakan daging mereka-mereka ini?” Para penduduk
berkumpul bersama di halaman istana dan menyampaikan
keluhan mereka. Raja bertanya, “Ada apa ini, Teman-temanku?”
“Paduka,” kata mereka, “ada penjahat kanibal di kota ini: Mohon Paduka memerintahkan pengawal untuk menangkapnya.”
“Bagaimana caranya saya mengetahui siapa itu orangnya?
Apakah saya harus berjalan berkeliling dan menjaga kota?” Para
penduduk berkata, “Raja tidak memiliki kepedulian (lagi)
terhadap kota. Kami akan melaporkan hal ini kepada Panglima
Tertinggi, Kāḷahatthi (Kalahatthi).” Mereka memberitahukan
masalah itu kepadanya dan berkata, “Anda harus mencari
penjahat itu.” Panglima menjawab, “Berilah waktu tujuh hari,
akan kudapatkan penjahat itu dan kuserahkan ia kepada kalian.”
Dan setelah membubarkan kumpulan orang tersebut, ia
memberikan perintah kepada para pengawalnya, dengan
berkata, “Teman-temanku, orang-orang mengatakan bahwa ada
seorang penjahat kanibal di kota ini. Siap siaga lah di beberapa
tempat yang berbeda dan kalian harus mampu menangkapnya.”
“Baik,” jawab mereka. Mulai hari itu, mereka mengelilingi seluruh
kota. Kemudian, si juru masak bersembunyi di celah sebuah
rumah dan membunuh seorang wanita, dan mulai mengisi
keranjangnya dengan daging segar. Maka para pengawal istana
seketika itu juga menangkap dan memukulinya, dan setelah
mengikat kedua tangannya di belakang, mereka berkata dengan
keras, “Kami telah menangkap penjahat kanibal itu.” Kerumunan
orang pun mengelilingi mereka. Kemudian setelah memukulinya
dengan keras dan mengikat keranjang daging itu di lehernya,
mereka membawanya ke hadapan panglima. Ketika melihatnya,
panglima berpikir, “Apakah orang ini yang memakan daging atau
apakah ia mencampurnya dengan daging yang lain dan
menjualnya, atau apakah ia membunuh orang atas perintah orang lain?” Dan untuk menanyakan masalah ini, ia
mengucapkan bait pertama berikut:
Tuan dari segala rasa, kebutuhan apa yang
mendesakmu melakukan perbuatan mengerikan ini?
Apakah untuk makanan atau untuk kekayaan, Orang
buruk yang salah arah, Anda membunuh orang-orang?
Bait-bait berikutnya diucapkan oleh mereka secara
bergantian:
Bukan untuk istri atau anak, teman, saudara, atau uang,
Bukan juga untuk diriku sendiri kubunuh wanita ini;
Tuanku yang mulia, pemimpin negeri ini,
memakan daging manusia: kulakukan perbuatan buruk
ini atas permintaannya.
Jika demikian diperintahkan untuk memuaskan nafsu
tamak dari tuanmu, maka Anda bersalah atas perbuatan
buruk ini,
Mari kita menghadap kepada raja di subuh hari,
dan kembalikan tuduhan ini kepada dirinya.
Wahai Kāḷahatthi, pemimpin baik yang patut dipuja,
akan kulakukan sesuai dengan perkataanmu,
saya akan menghadap kepada raja di subuh hari,
dan mengembalikan tuduhan ini kepada dirinya.
Maka sang panglima membaringkannya, tetap dalam
keadaan terikat, dan pada subuh hari ia berdiskusi dengan para
pemimpin pasukannya. Ketika mereka setuju dengannya, ia pun
menempatkan penjaga di segala penjuru, dan setelah demikian
menguasai kota, ia mengikatkan keranjang daging itu pada leher
si juru masak dan pergi bersamanya menuju ke istana, seluruh
kota berada dalam suatu kegemparan. Hari itu, raja telah
menyantap sarapan satu hari sebelumnya, tetapi tidak
menyantap makan malam dan menghabiskan waktunya
semalaman duduk menunggu si juru masak datang. “Hari ini
juga,” pikirnya, “tak ada juru masak yang datang, dan kudengar
ada kegemparan di kota. Ada apa gerangan?” Dan sewaktu
melihat ke luar jendela, ia melihat laki-laki itu diperlakukan
dengan cara yang telah diuraikan sebelumnya menuju ke sana,
dan dengan berpikir bahwa semuanya telah terbongkar, ia pun
berusaha mengumpulkan segala keberaniannya dan duduk di
takhtanya. Kalahatthi kemudian menghampirinya dan bertanya
kepadanya, dan raja menjawabnya.
Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:
Matahari belum terbit dan hari pun belum pagi,
ketika Kāḷa datang ke istana membawa serta juru masak,
dan dengan menghampiri raja, kata-kata berikut diucapkannya.
‘Paduka, apakah benar juru masak ini dikirim ke jalanan,
dan diperintahkan untu membunuh orang-orang agar
dapat memberikan daging kepadamu sebagai
makanan?’
’Kāḷa, benar demikian; itu dilakukan atas permintaanku:
Mengapa menyalahkannya atas perbuatan yang
dilakukan atas perintah dariku?’
Ketika mendengar ini, panglima berpikir, “Ia
mengakuinya dengan mulutnya sendiri. Oh, Makhluk keji! Selama
ini ia memakan daging manusia: akan kuhentikan ia dari
perbuatannya ini,” dan berkata, “Paduka, janganlah makan ini,
jangan memakan daging manusia.” “Kalahatthi, apa yang kamu
katakan ini? Saya tidak bisa berhenti darinya.” “Paduka, jika tidak
berhenti darinya, Anda akan menghancurkan diri sendiri dan juga
kerajaan.” “Meskipun kerajaanku hancur, tetapi saya tidak
mampu berhenti darinya.” Kemudian sang panglima, untuk
memberikan pemikiran yang lebih baik, menceritakan sebuah
kisah sebagai bentuk perumpamaan.
Dahulu kala terdapat enam ekor ikan monster di sebuah samudra
yang mahaluas. Mereka adalah Ānanda (Ananda), Timanda,
Ajjhohāra (Ajjhohara) yang berukuran lima ratus yojana
panjangnya, Tītimīti (Titimiti), Miṅgala (Mingala), Timirapiṅgala
(Timirapingala) yang berukuran seribu yojana panjangnya.
Mereka semuanya ini pemakan lumut yang tumbuh di
bebatuan. Di antara mereka, Ananda tinggal di satu sisi dari samudra tersebut dan banyak ikan yang datang untuk
mengunjunginya. Suatu hari mereka berpikir, “Terdapat para
pemimpin di antara makhluk-makhluk berkaki dua dan makhlukmakhluk
berkaki empat, tetapi kami tidak memiliki raja
(pemimpin): kami akan menjadikan ikan ini sebagai raja kami.”
Dan karena semuanya mencapai satu kesepakatan, mereka pun
menjadikan Ananda sebagai raja mereka, dan mulai hari itu
semua ikan datang untuk memberikan hormat dan pelayanan
kepadanya. Suatu hari, Ananda sedang berada di satu gunung
dan menyantap lumut yang ada, secara tak sengaja ia memakan
seekor ikan karena mengira itu adalah lumut. Daging ikan
itu terasa lezat baginya, dan merasa ingin tahu benda apa itu
yang begitu manis, ia pun mengeluarkannya dari mulut dan
melihat potongan daging dari seekor ikan. Ia berpikir, “Karena
ketidaktahuan-ku selama ini tidak pernah kumakan makanan
jenis ini sebelumnya: setiap sore dan pagi hari ketika ikan-ikan itu
datang untuk memberikan pelayanan kepadaku, akan kumakan
satu atau dua dari mereka, karena jika kumakan mereka secara
terang-terangan, maka tak ada satu pun yang akan mendekatiku
lagi, mereka akan kabur semuanya.” Maka dengan sembunyisembunyi,
ia menyerang ikan yang berada di bagian belakang
(ketika hendak pulang) dan memakannya. Ketika jumlah mereka
lambat laun menjadi berkurang, ikan-ikan tersebut berpikir,
“Bahaya apa ini yang mengancam kami?” Kemudian seekor ikan
bijak yang berada di antara mereka berpikir, “Saya merasa tidak
puas dengan apa yang dilakukan oleh Ananda: akan kuselidiki
apa yang sebenarnya dilakukannya,” dan ketika ikan-ikan datang
untuk memberikan hormat dan pelayanan kepada Ananda, si ikan bijak itu bersembunyi pada insang Ananda. Setelah
membubarkan ikan-ikan tersebut, Ananda memakan mereka
yang berada di luar barisan di bagian belakang. Ikan bijak yang
melihatnya memberitahukan hal ini kepada yang lainnya dan
mereka melarikan diri karena panik. Sejak hari itu, dikarenakan
nafsu serakahnya akan rasa daging ikan, Ananda menolak jenis
makanan yang lainnya. Sewaktu jatuh sakit karena lapar, ia
berpikir, “Ke mana gerangan perginya mereka?” Dalam
pencariannya, ia melihat sebuah gunung dan berpikir,
“Dikarenakan rasa takut terhadap diriku, menurutku ikan-ikan itu
pasti berada di dekat gunung ini. Akan kukelilingi gunung ini dan
kucari mereka. Maka dalam pencariannya mengelilingi gunung
tersebut, ia berpikir kembali, “Jika mereka berada di tempat ini,
mereka pasti melarikan diri (sekarang),” dan sewaktu melihat
ekornya sendiri di saat berputar mengelilingi gunung tersebut, ia
berpikir, “Ikan ini berada di dekat gunung ini dan sedang
mencoba untuk menghindariku,” dalam kemarahannya, ia pun
menggigit ekornya sendiri, yang panjangnya lima puluh yojana,
yang dianggapnya sebagai seekor ikan, dan memakannya
dengan suara kunyah yang keras. Akibatnya, ia merasakan rasa
sakit dan mengalami penderitaan yang dahsyat. Mencium bau
darah, ikan-ikan pun berkumpul, dan dengan menggigit sedikit
demi sedikit bagian ekor Ananda, akhirnya sampai pada bagian
kepala. [464] Karena badannya yang begitu besar, ia tidak
mampu berbalik dan demikian menemui ajalnya. Kemudian di
sana terdapat satu tumpukan tulang belulang yang besarnya
sama dengan sebuah gunung. Para petapa (dan juga petapa
pengembara) yang sewaktu terbang di angkasa dan melihatnya, memberitahukan kepada manusia mengenai hal ini. Dan para
penduduk di seluruh India pun mengetahui akan hal ini. Sebagai
perumpamaan, Kalahatthi menceritakan kisah ini dan berkata:
Ānanda memangsa ikan dan ketika pengikutnya
melarikan diri,
dengan rakusnya ia memakan ekornya sendiri dan
mengunyahnya sampai akhirnya ia mati.
Budak nafsu tidak mengenal kesenangan lainnya,
Makhluk dungu yang ceroboh, begitu butanya ia
terhadap penderitaan yang datang:
Ia akan menjadi hina dan merusak anak-anak serta
sanak saudaranya,
kemudian mengubah dirinya sendiri menjadi mangsa
bagi ketamakannya yang mematikan.
Wahai raja, dengarkanlah kata-kataku ini dengan baik,
Jangan memakan daging manusia; kembalilah kepada
tujuanmu seperti sebelumnya:
Jika tidak, Anda akan berbagi nasib yang sama dengan
ikan itu suatu hari,
dan kerajaanmu akan mengalami kehancuran.
Mendengar ini, raja berkata, “Kalahatthi, saya juga
mengetahui satu contoh seperti halnya dirimu,” dan sebagai
contoh ia menceritakan sebuah kisah yang menggambarkan
keserakahannya terhadap daging manusia dan berkata:
Putra sekaligus ahli waris Sujāta menangis-nangis
meminta buah jambu,
anak itu amat bersedih karena tak mendapatkannya, ia
membaringkannya dan meninggal.
Jadi Kāḷa, saya yang telah sekian lama memakan
makanan lezat,
jika tidak lagi mendapatkan daging manusia, maka
hidupku akan hancur.
Dahulu kala, seorang tuan tanah yang bernama Sujāta
(Sujata) di Benares tinggal di dalam tamannya dan melayani lima
ratus petapa yang turun dari pegunungan Himalaya untuk
mendapatkan derma makanan. Makanan selalu dibawakan ke
rumahnya untuk mereka, tetapi para petapa tersebut kadangkadang
berkeliling untuk mendapatkan derma makanan dan
membawa pulang buah-buah jambu yang besar untuk dimakan.
Ketika mereka sedang menyantap buah-buah jambu yang
didapat, Sujata berpikir, “Hari ini adalah hari ketiga atau keempat
bagi para orang suci itu tidak datang ke tempatku, ke sini. Ke
mana gerangan perginya mereka?” Dengan menggandeng
tangan anak laki-lakinya, ia pergi ke sana di saat mereka sedang
menyantap makanan. Kala itu, seorang petapa junior
memberikan air kepada para petapa senior untuk mencuci mulut
dan sedang memakan potongan buah jambu. Sujata memberi
hormat kepada para petapa dan setelah duduk, bertanya,
“Bhante, apa yang sedang kalian makan?” “Buah jambu yang besar, Āvuso 263. Mendengar ini, anak kecil tersebut menjadi
merasa haus, maka pemimpin para petapa itu meminta petapa
yang lainnya untuk memberikan potongan kecil kepadanya. Anak
itu memakannya. Ia begitu suka dengan rasa lezatnya sehingga
terus-menerus meminta mereka untuk memberikannya lagi. Lakilaki
tersebut, yang sedang mendengarkan khotbah, berkata,
“Jangan menangis. Nanti di saat tiba di rumah, kamu akan
mendapatkannya,” demikian ia membohongi anak tersebut
karena merasa takut kalau-kalau para resi itu menjadi terganggu
dengan suara tangisnya. Maka sambil menghibur sang anak, ia
membawanya meninggalkan kumpulan orang suci tersebut dan
pulang kembali ke rumah. Mulai dari saat mereka tiba di rumah,
anak itu terus-menerus berkata dengan keras, “Berikan buah
jambu kepadaku.” Kemudian para resi berkata, “Kita sudah
tinggal di sini untuk waktu yang lama,” dan kembali ke Himalaya.
Karena tidak menemukan anak tersebut di taman, maka mereka
mengirimkan kepadanya hadiah berupa buah mangga, jambu,
nangka, pisang, dan buah-buah lainnya, yang semuanya
dicampur dengan gula bubuk. Tak lama setelah campuran buah
ini dimasukkan ke lidahnya, kemudian itu bereaksi seperti racun
yang mematikan. Selama tujuh hari, anak itu tidak (mau)
memakan makanan lainnya dan meninggal dunia. [466] Kisah ini
diceritakan oleh raja sebagai ilustrasi. Kemudian Kalahatthi
berpikir, “Raja ini telah menjadi seorang budak pecandu rasa
(daging): akan kuberitahukan kepadanya contoh-contoh lainnya,” dan berkata, “Maharaja, berhentilah dari ini.” “Tidak mungkin,”
balasnya. “Jika Anda tidak berhenti, maka lambat laun Anda
akan dikeluarkan dari keluargamu dan kekuasaanmu sebagai
raja akan dicabut.”
Dahulu kala di Kota Benares yang sama ini juga terdapat sebuah
keluarga brahmana yang selalu menjalankan lima sila. Satusatunya
anak laki-laki lahir di keluarga ini, kesayangan dan
kegembiraan dari kedua orang tuanya, ia adalah anak yang
bijaksana dan terlihat menguasai tiga Kitab Weda dengan baik.
Ia biasa pergi keluar bersama dengan kelompok anak yang
seusia dengannya. Anak-anak yang lain dalam kelompok
tersebut makan ikan, daging, dan sejenisnya serta minum
minuman keras, sedangkan ia tidak makan daging ataupun
minum minuman keras. Kemudian pikiran ini terlintas dalam diri
mereka, “Karena tidak minum minuman keras, anak ini tidak ikut
ikut membayar bagiannya: mari kita lakukan sesuatu untuk
membuatnya minum.” Jadi ketika mereka berkumpul bersama,
mereka berkata, “Teman, mari kita adakan sebuah perayaan.” Ia
berkata, “Kalian minum minuman keras, tetapi saya tidak.
Pergilah tanpa diriku.” “Teman, kami akan bawakan susu sebagai
minuman untukmu.” Ia pun menyetujuinya, dengan berkata,
“Baiklah.” Anak-anak yang jahat itu masuk ke dalam taman dan
mengikat satu minuman keras pada sebuah gelas daun dan
meletakkannya di antara daun-daun teratai. Ketika mereka mulai
minum, mereka memberikan susu kepada anak tersebut. Salah
satu dari anak yang jahat itu berkata, “Ambilkan sari bunga
teratai untuk kami,” dan setelah meminta orang membawakan itu
kepadanya, ia membuat sebuah lubang di bagian bawah gelas daun yang diletakkan di dalam teratai, kemudian meletakkan di
dalam mulutnya dan mulai mengisapnya. Anak-anak yang lain
juga melakukan hal yang sama. Anak tersebut menanyakan
minuman apa itu dan meminum minuman keras itu yang
dianggapnya sebagai sari bunga teratai. Mereka juga
memberikan kepadanya daging bakar, dan ia juga memakan ini.
Dan ketika ia telah ketagihan minuman keras, mereka
memberitahunya, “Ini bukanlah sari bunga teratai, melainkan
minuman keras.” “Selama ini,” katanya, “tak pernah kurasakan
rasa manis seperti ini. Bawakanlah kepadaku minuman keras itu
lagi!” Mereka membawakan dan memberikannya kepadanya
karena ia merasa sangat haus. [467] Kemudian ketika ia
memintanya lagi, mereka memberitahu bahwa minuman itu
sudah habis. Ia berkata, “Ayo, bawakan lagi minuman itu
kepadaku,” dan memberikan cincin stempelnya kepada mereka.
Setelah menghabiskan seharian dengan minum bersama
mereka, dalam keadaan mabuk dan mata yang berwarna merah
darah, tubuh sempoyongan dan mulut mengoceh tak karuan, ia
pulang ke rumah dan tidur. Kemudian sang ayah yang
mengetahui bahwa ia telah meminum minuman keras, setelah
pengaruh minuman keras itu hilang, berkata kepadanya,
“Anakku, Anda telah melakukan sesuatu yang amat salah
sebagai seorang anggota keluarga brahmana, dengan meminum
minuman keras: jangan pernah mengulanginya lagi.” “Ayah, apa
kesalahanku?” “Meminum minuman keras.” “Apa yang ayah
katakan ini, tidak pernah sebelumnya kurasakan sesuatu yang
amat manis seperti ini.” Brahmana itu terus-menerus memintanya
untuk berhenti meminum minuman keras. “Tak sanggup kulakukan itu,” katanya. Kemudian brahmana itu berpikir, “Jika
begini terus keadaannya, maka tradisi dari keluarga kita akan
hancur dan harta kita akan musnah,” dan ia mengulangi bait berikut:
Seorang ahli waris keluarga brahmana,
seorang anak yang rupawan,
Anda tidak boleh meminum minuman celaka
yang tidak disukai oleh para brahmana.
Dan setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia
menambahkan, “Anakku, berhentilah darinya. Jika tidak, terpaksa
kukeluarkan kamu dari rumahku dan kuusir dari kerajaanku.”
Anak laki-laki itu menjawab, “Walaupun demikian keadaannya, tetap tak sanggup kulakukan itu,” dan ia mengulangi dua bait berikut ini:
Karena, Ayah, Anda menghalangiku dari mendapatkan
rasa terbaik yang amat kuinginkan ini,
maka, untuk mendapatkannya, akan kucari ke mana pun,
betapa pun jauhnya.
Segera saya akan pergi dan tidak lagi tinggal
bersamamu,
karena sekarang tidak lagi diriku suka terlihat olehmu.
Selanjutnya ia berkata, “Saya tidak akan berhenti dari
meminum minuman keras ini: lakukan apa saja sesuka hatimu.” Kemudian brahmana tersebut berkata, “Baiklah, karena kamu
(memilih untuk) meninggalkan kami, maka kami juga akan
meninggalkanmu,” dan mengulangi bait berikut:
Kami pasti mendapatkan putra lainnya sebagai pewaris
atas harta kekayaan kami,
Pergilah, anak bandel, ke mana kami tidak lagi pernah
mendengar namamu.
Kemudian setelah membawa putranya ke pengadilan,
brahmana itu mencabut haknya sebagai ahli waris dan
mengusirnya dari rumah. Setelah kejadian ini, anak laki-laki itu
menjadi orang miskin yang malang, mengenakan pakaian usang,
dan dengan membawa mangkuk seorang pengemis di
tangannya, ia berkeliling untuk mendapatkan sedekah, yang
akhirnya meninggal, dengan bersandar pada sebuah dinding.
Dengan mempertautkan kisah ini sebagai suatu pelajaran bagi
raja, Kalahatthi berkata, “Paduka, jika Anda tetap menolak untuk
mendengarkan perkataan kami, maka mereka akan membuatmu
keluar dari kerajaan,” dan setelah berkata demikian, ia
mengucapkan bait berikut:
Maka dengarkanlah dengan baik, wahai raja manusia,
patuhilah perkataanku,
atau seperti pemuda mabuk itu, Anda akan diusir keluar
dari kerajaan.
Bahkan setelah contoh yang ditunjukkan demikian oleh
Kalahatthi, raja tetap tidak mampu berhenti dari kebiasaannya,
dan untuk mengilustrasikan kisah lainnya, ia berkata:
Siswa dari para resi yang sempurna, Sujāta, dikatakan,
berpantang makan dan minum demi cintanya terhadap
seorang bidadari kayangan.
Seperti tetesan embun pada sehelai rumput dengan air
yang ada di samudra,
demikianlah cinta manusia jika dibandingkan dengan
cinta terhadap makhluk kayangan.
Jadi Kāḷa, saya yang telah sekian lama memakan
makanan lezat,
jika tidak lagi mendapatkan daging manusia, maka
hidupku akan hancur.
Kisahnya hampir sama dengan kisah sebelumnya yang
telah diceritakan.
Dikatakan bahwa ketika melihat para petapa tersebut
tidak kembali lagi setelah selesai menyantap buah jambu besar,
Sujāta (Sujata) ini berpikir, “Saya ingin tahu mengapa mereka
tidak kembali lagi. Jika mereka telah pergi ke tempat yang
lainnya, akan kucari tahu di mana itu: atau akan kudengar khotbah yang mereka paparkan.” Maka ia pergi ke taman dan
mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh pemimpin
rombongan. Ketika matahari mulai terbenam, meskipun telah
disuruh pergi, ia berkata, “Saya akan tinggal di sini hari ini,” dan
setelah memberi hormat kepada rombongan orang suci tersebut,
ia masuk ke dalam gubuk daunnya dan berbaring. Pada malam
hari, Sakka, raja para dewa, ditemani dengan rombongan
bidadari beserta dengan pelayannya, datang untuk memberi
hormat kepada rombongan petapa suci tersebut, dan membuat
seluruh pertapaan menjadi bercahaya. Merasa ingin tahu ada
apa, Sujata bangkit dan melihat melalui satu celah dari dalam
gubuk daunnya kedatangan Sakka beserta rombongannya untuk
memberi hormat kepada rombongan resi, [469] yang ditemani
juga oleh sekelompok bidadari. Tak lama setelah melihat
mereka, kemudian dirinya pun dilanda oleh nafsu (yang
menggebu-gebu). Sakka kemudian mengambil tempat duduknya,
dan setelah mendengarkan khotbah mengenai Keyakinan,
kembali ke kediamannya. Pada keesokan harinya, tuan tanah
tersebut menjumpai para petapa suci tersebut dan bertanya,
dengan berkata, “Bhante, siapakah yang datang di malam hari
memberikan hormat kepada Anda?” “Sakka, Āvuso.” “Dan
siapakah yang duduk di sekelilingnya itu?” “Mereka adalah para
bidadari kayangan.” Setelah memberi hormat kepada
rombongan petapa tersebut, ia kembali ke rumahnya, dan sejak
saat itu, ia selalu meneriakkan kata-kata bodoh, “Berikan accharā
kepadaku.” Sanak keluarganya, yang berada di sekelilingnya, bertanya-tanya dalam hati apakah ia dirasuki oleh makhluk halus,
dan menjentikkan jari mereka. Ia berkata, “Yang kuminta
bukanlah jentikkan jari, melainkan bidadari266.” Dan ketika
mereka mendandani dan membawakan kepadanya seorang selir
dan bahkan seorang wanita penghibur, dan berkata, “Ini
bidadarinya,” ia membalas, “Ini bukanlah seorang bidadari, ini
adalah yaksa wanita,” dan kembali terus meneriakkan, “Berikan
accharā kepadaku.” Karena ia tidak memakan apa pun, akhirnya
ia pun meninggal dunia.
Setelah mendengar ini, Kalahatthi berpikir, “Raja ini telah menjadi
seorang budak pecandu rasa (daging): akan kubuat ia memiliki
pemikiran yang lebih baik.” Dan ia berkata, “Angsa-angsa emas
yang terbang tinggi di angkasa juga mati karena memakan
daging saudara mereka sendiri,” dan untuk memberikan
perumpamaan, ia mengulangi dua bait berikut:
Seperti angsa-angsa Dhataraṭṭha yang terbang di
angkasa ini, semuanya mati karena memakan makanan
dan minuman yang tidak biasa,
Demikian juga halnya dengan Anda, wahai raja manusia,
dengarkanlah baik-baik apa yang kukatakan,
Karena memakan makanan yang tidak biasa ini, maka
Anda juga akan diasingkan oleh mereka.
Dahulu kala, dikatakan ada sebanyak sembilan puluh ribu ekor
angsa bertempat tinggal di Gua Emas di Gunung Cittakūṭa.
Selama empat bulan di musim hujan mereka tidak akan keluar.
Jika mereka keluar, maka sayap mereka yang akan dipenuhi
oleh air akan membuat mereka tidak mampu terbang jauh dan
terjatuh ke laut. Oleh karenanya mereka pun tidak keluar (pada
musim hujan), tetapi ketika musim hujan baru akan tiba, mereka
akan mengumpulkan padi dari suatu danau alami untuk
memenuhi gua mereka, dan bertahan hidup dengannya. Akan
tetapi tidak lama setelah mereka masuk ke dalam gua, kemudian
seekor laba-laba uṇṇanābhi yang sebesar roda pedati akan
menjalin sarang di pintu masuk gua pada setiap bulannya, dan
jaring itu setebal tali kekang (pada sapi). Angsa-angsa ini
memberikan makanan sebanyak dua porsi kepada angsa muda
dengan beranggapan bahwa angsa muda itu akan mampu
menerobos jaring tersebut. Ketika langit terang, dengan
berada di barisan paling depan, angsa muda ini maju
menghancurkan jaring laba-laba tersebut dan angsa-angsa
lainnya dapat meloloskan diri melalui jalan yang sama. Pada
suatu ketika, terjadi musim hujan yang berlangsung selama lima
bulan, dan persediaan makanan milik angsa-angsa tersebut pun
menjadi amat kurang. Mereka berdiskusi mengenai apa yang
harus dilakukan, dan berkata, “Jika kita ingin tetap hidup, maka
kita harus memakan telur-telur (kita).” Pertama, mereka
memakan telur-telur, kemudian anak-anak angsa, dan setelah
semuanya itu habis, mereka memakan angsa-angsa yang tua. Di
akhir bulan kelima, hujan berhenti dan laba-laba itu telah
menjalin lima sarang. Karena memakan daging sanak saudara mereka sendiri, angsa-angsa itu (yang bertahan hidup) menjadi
lemah. Angsa muda yang mendapatkan makanan sebanyak dua
porsi tersebut berhasil menghancurkan empat sarang laba-laba
ketika menerobos keluar, tetapi tidak berhasil menghancurkan
yang kelima dan tersangkut di sana. Maka laba-laba itu
memotong kepalanya dan meminum darahnya. Satu per satu
dari angsa-angsa yang tersisa itu pun datang dan menerobos
sarang tersebut, dan laba-laba itu berkata, “Ada lagi angsa yang
tersangkut di tempat yang sama ini,” dan meminum darah
mereka semuanya. Pada waktu itu, dikatakan suku angsa
Dhataraṭṭha menjadi punah.
Raja masih ingin memberikan perumpamaan yang lain, tetapi
para penduduk bergejolak dan berkata, “Tuanku Panglima, apa
yang hendak Anda lakukan? Bagaimana Anda bertindak
selanjutnya setelah menangkap penjahat kanibal ini? Jika ia
tetap tidak mau berhenti memakan daging manusia, maka usirlah
ia dari kerajaannya,” dan mereka tidak memberikan kesempatan
kepada raja untuk mengucapkan bahkan sepatah kata pun.
Mendengar kata-kata dari para penduduk, raja menjadi ketakutan
dan tidak mampu berkata apa-apa lagi, dan untuk ke sekian
kalinya, panglima berkata kepadanya, “Tuan, apakah mungkin
bagimu untuk berhenti dari ini?” “Tidak mungkin,” jawabnya.
Maka sang panglima menempatkan di satu sisi semua selirnya,
putra dan putrinya, yang berhiaskan dengan segala kebesaran
mereka, dan berkata, “Tuan, lihatlah anggota dari sanak
keluargamu, kumpulan orang-orang istanamu: Berhentilah dari
memakan daging manusia.” Raja berkata, “Semuanya ini tidaklah
lebih nikmatnya dari daging manusia.” “Kalau begitu, Tuan, pergilah dari kota dan kerajaan ini.” “Kalahatthi,” katanya, “saya
tidak menginginkan kerajaanku; saya siap untuk pergi, tetapi
kabulkanlah satu permintaanku; berikanlah pedang, juru masak
itu, dan belanga kepadaku.” Maka mereka memberikan
kepadanya sebilah pedang, sebuah belanga untuk memasak
daging manusia dan sebuah keranjang, dan juru masak itu,
sebelum akhirnya mengusir mereka keluar dari kerajaan.
Dengan membawa serta juru masaknya, ia keluar dari kerajaan
dan masuk ke dalam suatu hutan, membuat tempat tinggalnya di
bawah kaki pohon beringin. Dengan tinggal di sana, ia akan
selalu berjaga di jalan yang dilalui oleh orang yang melewati
hutan tersebut, dan setelah membunuh mangsanya, ia akan
membawakan dan memberikannya kepada juru masak untuk
dimasak. Sang juru masak akan memasak dan menyajikan
kepadanya. Dengan cara demikian ini, mereka berdua menjalani
hidup. Ketika ia mendadak menghalang jalan sembari berkata
dengan keras, Inilah saya, si pemakan daging manusia!” tak
seorang pun berani melawannya dan mereka semuanya
bersujud di tanah, dan siapa saja yang disukai olehnya akan
ditariknya, digantung terbalik dan diberikan kepada juru
masaknya. Suatu hari, ia tidak mendapatkan satu orang pun di
hutan dan ketika ditanya oleh juru masaknya sewaktu kembali,
“Bagaimana ini, Tuan?” Ia menyuruhnya untuk meletakkan
belanga itu pada perapian. “Tetapi, mana dagingnya, Tuan?”
“Oh! Saya pasti akan mendapatkan daging,” balasnya. Juru
masak berpikir, “Saya pasti mati kali ini,” dan dengan gemetaran
ia membuat perapian dan meletakkan belanga itu di atasnya.
Kemudian si kanibal tersebut dengan satu sabetan pedangnya membunuh juru masak itu, memasak dan memakan dagingnya.
Sejak saat itu, ia hidup sendirian dan harus memasak
makanannya sendiri. Berita ini tersebar luas di seluruh India,
“Pembunuh kanibal membunuh orang-orang yang bepergian
(melewati daerahnya).” Pada waktu itu, seorang brahmana kaya
yang sedang berada dalam perjalanan dagang dengan
membawa lima ratus kereta, berjalan dari arah timur menuju ke
barat, dan ia berpikir, “Orang-orang mengatakan bahwa penjahat
kanibal ini membunuh orang-orang yang melewati daerahnya.
Dengan uang, akan saya lewati jalan di hutan itu.” Maka ia
memberikan uang seribu keping kepada orang-orang yang
tinggal di dekat pintu masuk ke hutan tersebut dan meminta
mereka mengiringi dirinya dalam konvoi untuk melewati hutan
dengan aman. Mereka pun mengiringinya dalam konvoi. Ia
menempatkan karavannya di bagian depan, dan setelah selesai
mandi dan meminyaki dirinya, dan mengenakan pakaian mewah,
ia duduk di satu kereta yang ditarik oleh sapi-sapi putih, dengan
diiringi oleh konvoinya, ia berjalan di bagian paling belakang.
Memanjat sebuah pohon, pemakan manusia itu sedang melihatlihat
untuk mencari mangsa. Ia tidak berselera melihat orangorang
yang berada dalam konvoi tersebut, tetapi sewaktu ia
melihat brahmana tersebut, mulutnya dipenuhi dengan air liur
karena bernafsu untuk memakannya. Ketika brahmana itu
bergerak mendekat ke arahnya, ia meneriakkan namanya,
“Inilah saya, si pemakan daging manusia,” dan dengan
mengayunkan pedangnya keluar, seperti orang yang
memasukkan pasir ke dalam mata orang-orang lainnya, ia
melompati mereka dan tak seorang pun mampu berdiri melawannya, mereka semuanya hanya mampu bersujud di
tanah. Setelah menangkap kaki brahmana itu yang sedang
duduk di keretanya, ia melemparnya di punggung, dengan posisi
kepalanya di bawah, dan memukul kepalanya dengan
menggunakan tumitnya, kemudian membawanya pergi. Orangorang
bangkit dan berteriak satu sama lain, “Teman-teman,
gerakkanlah diri kalian. Kita telah menerima uang seribu keping
dari tangan brahmana itu. Siapa di antara kita yang mengenakan
atribut sebagai seorang manusia? Mari kita semuanya, baik kuat
maupun lemah, mengejar penjahat itu sekuat tenaga.” Mereka
pun mengejarnya. Kemudian penjahat kanibal itu berhenti,
melihat ke arah belakang, dan melambatkan langkahnya ketika
melihat tidak ada orang yang mengikutinya. Tak lama kemudian,
seorang pemberani dengan amat cepat berlari menyusulnya.
Ketika melihatnya, penjahat itu melompati sebuah pagar dan
memijak tunggul pohon akasia267 yang melukainya sampai
menembus bagian atas kakinya, dan menyebabkan ia berjalan
pincang dan darah mengucur keluar dari lukanya itu. Kemudian
si pemberani yang mengejarnya itu, ketika melihat ini, berkata,
“Saya telah membuatnya terluka: ikuti saja jejaknya dari
belakang dan akan dapat kutangkap dirinya.” Mereka melihat
betapa lemahnya penjahat itu sekarang dan ikut dalam
pengejaran. Ketika melihat orang-orang terus mengejarnya,
penjahat itu melepaskan brahmana tersebut dan berusaha
menyelamatkan dirinya sendiri. Sewaktu menemukan brahmana
itu, rombongan tersebut kemudian berpikir, “Apa gunanya lagi mengejar penjahat ini?” dan berbalik arah kembali. Sedangkan si
penjahat kanibal itu terus bergerak ke tempat pohon beringinnya
dan berbaring, mengucapkan permohonan kepada dewata
penjaga pohon dengan berkata, “Dewi pohon, jika dalam waktu
tujuh hari Anda dapat menyembuhkan lukaku, akan kumandikan
batang pohonmu dengan darah segar dari seratus satu raja dari
seluruh India, dan akan kugantungkan pada pohonmu semua
organ dalam mereka, serta akan kupersembahkan lima jenis
daging yang lezat.” Pada saat itu, dikarenakan tidak memiliki apa
pun untuk dapat dimakan atau diminum, maka tubuhnya pun
mengering, dan dalam waktu tujuh hari lukanya menjadi sembuh.
Ia menyangka bahwa penyembuhan lukanya tersebut dilakukan
oleh sang dewi pohon. Dalam waktu beberapa hari saja, ia
memulihkan kembali kekuatannya dengan memakan daging
manusia, dan berpikir, “Dewi pohon ini telah menolongku. Akan
kupenuhi janjiku.” Dengan membawa serta pedangnya, ia
berangkat keluar dari bawah kaki pohon beringin, dengan tujuan
membawa kembali para raja tersebut. Waktu itu, sesosok yaksa
yang dalam kehidupan lampau adalah rekan dari penjahat
kanibal tersebut, melihatnya dan sewaktu mengetahui bahwa ia
adalah rekannya dalam kehidupan lampau, bertanya kepadanya,
“Apakah kamu mengenaliku, Teman?” “Tidak,” jawabnya.
Kemudian ia pun memberitahukan kepadanya tentang apa yang
mereka lakukan dalam kehidupan lampau, yang menyebabkan
penjahat kanibal itu mengenali dirinya dan memberikan salam
hangat kepadanya. Ketika ditanya oleh yaksa tersebut di mana ia
dilahirkan, penjahat kanibal itu memberitahukan tempat lahirnya
dan juga bagaimana ia diusir dari kerajaannya, dan di mana ia tinggal sekarang. Kemudian ia menceritakan bagaimana ia
terluka oleh tunggul pohon dan juga tentang apa yang sedang
dilakukannya untuk menebus janjinya terhadap makhluk dewata
penjaga pohon tersebut. “Saya pasti dapat melalukan hal yang
sulit ini dengan bantuanmu: mari kita melakukannya bersama,
Teman,” katanya. “Saya tidak bisa pergi bersamamu, tetapi ada
satu bantuan yang dapat kuberikan kepadamu. Saya tahu suatu
mantra yang memiliki keistimewaan dengan kata-kata yang tak
ternilai harganya. Mantra ini dapat memberikan kekuatan,
kecepatan (langkah kaki), dan kekerasan (suara). Pelajarilah
mantra ini.” Ia pun menyetujuinya dan yaksa tersebut
memberikan mantra itu kepadanya, kemudian pergi. Penjahat
kanibal itu telah menghafal mantra tersebut di luar kepala, dan
sejak saat itu ia menjadi (mampu berlari) secepat angin dan
sangat kuat. Dalam waktu tujuh hari, ia mencoba mendapatkan
seratus satu raja tersebut sewaktu mereka berada di taman atau
tempat bersenang-senang lainnya, dengan melompat muncul di
hadapan mereka secepat angin dan memberitahukan namanya,
melompat ke sana dan ke sini serta berteriak-teriak, ia membuat
mereka menjadi ketakutan. Kemudian ia menangkap kaki mereka
dan menggendong mereka dengan posisi kepala di bawah,
membawa mereka pergi secepat angin, sembari tumitnya
memukul bagian kepala mereka (sewaktu berlari). Berikutnya, ia
melubangi telapak tangan mereka dan menggantung mereka
pada pohon beringin dengan menggunakan tali. Mereka
terhuyung-huyung oleh angin karena mereka tergantung berdiri
dengan ujung jari kaki saja yang menyentuh tanah, berputarputar
seperti untaian bunga layu di dalam keranjang. Tetapi ia berpikir, “Sutasoma adalah guru pribadiku: Janganlah membuat
seluruh India menjadi habis,” dan ia tidak menangkapnya.
Dengan berpikiran untuk membuat persembahan kepada dewi
pohon, ia membuat perapian dan duduk sambil mengasah
sebuah tombak. Ketika melihat ini, dewi pohon berpikir, “Orang
ini sedang menyiapkan kurban persembahan untukku. Bukan
diriku yang menyembuhkan lukanya: Ia akan menyebabkan
terjadinya suatu pembantaian yang besar. Apa yang harus
dilakukan? Saya tidak mampu menghentikannya.” Maka ia pergi
dan memberitahukan hal ini kepada dewa-dewa Cātumahārājika
dan memohon kepada mereka untuk menghentikannya. Ketika
mereka mengatakan bahwa mereka tidak mampu melakukannya,
ia pun pergi menjumpai dewa Sakka dan memberitahukan
kepadanya mengenai semua ceritanya dan memohon kepadanya
untuk menghentikannya. Sakka berkata, “Saya tidak dapat
melakukannya, tetapi saya dapat memberitahukan kepadamu
orang yang mampu melakukannya.” Dewi pohon kemudian
bertanya, “Siapakah orangnya itu?” “Di alam dewa dan manusia,”
jawabnya, “yang mampu melakukannya, selain Sutasoma,
Pangeran Kuru, yang berada di Kota Indapatta di dalam Kerajaan
Kuru. Ia akan mampu mengatasi dan mengubah diri orang ini,
akan mampu menyelamatkan nyawa dari raja-raja tersebut, dan
menyembuhkannya dari kebiasaannya memakan daging
manusia, serta akan menghujani seluruh India dengan buah
kebenaran. Jika Anda benar-benar ingin untuk menyelamatkan
nyawa dari para raja tersebut, maka mintalah ia untuk
membawakan Sutasoma terlebih dahulu sebelum memberikan
persembahannya kepada pohon.” “Baiklah,” jawabnya dan kemudian pergi dengan cepat. Dengan menyamar sebagai
seorang petapa, ia mendatangi penjahat kanibal tersebut.
Mendengar suara langkah kaki, ia berpikir, “Apakah salah satu
raja ini melarikan diri?” Ketika mencari tahu jawabannya dan
melihat seorang petapa, ia kemudian berpikir, “Petapa adalah
(termasuk) kaum kesatria. Jika ia kutangkap, maka akan
kudapatkan seratus satu orang raja (kesatria) dan dapat
kuberikan persembahanku.” Bangkit dan dengan pedang di
tangan, ia mengejar petapa tersebut. Akan tetapi ia tidak mampu
menyusulnya meskipun telah mengejarnya sejauh tiga yojana
dan keringat telah bercucuran keluar dari tangannya. Ia berpikir,
“Biasanya saya mampu mengejar dan menangkap seekor gajah,
atau seekor kuda, atau sebuah kereta yang berjalan amat cepat.
Tetapi hari ini, meskipun saya berlari dengan segala kecepatan
yang kumiliki, tidak mampu kutangkap petapa ini yang hanya
berjalan dengan langkah yang biasa. Ada apa ini?” Kemudian
dengan berpikir, “Petapa biasanya (selalu) patuh: Jika kuminta ia
berhenti maka ia akan melakukannya, dengan demikian akan
dapat kutangkap dirinya,” dan berteriak, “Berhenti, Petapa.”
“Saya telah berhenti,” jawabnya, “Anda juga harus berhenti.”
Kemudian ia berkata, “Teman, untuk menyelamatkan nyawanya,
seorang petapa tidaklah seharusnya berkata tidak benar, tetapi
Anda melakukannya,” dan mengulangi bait berikut ini:
Meskipun kuminta untuk berhenti,
Anda tetap melaju cepat,
dan dengan berkata, ‘Saya telah berhenti,’ Anda telah
berkata tidak benar:
Ini tidak pantas; Wahai petapa, Anda pasti menganggap
pedang ini sebagai batang anak panah yang tak
berbahaya, yang dihiasi dengan bulu bangau.
Kemudian makhluk dewata itu mengucapkan dua bait berikut:
Berdiri kukuh dalam kebenaran diriku ini,
tidak mengubah nama ataupun margaku,
di alam ini penjahat tidak hidup lama,
segera mereka akan berakhir di alam neraka.
Jadilah berani dan tangkap serta bawa Sutasoma ke
tempat ini,
dan dengan mempersembahkan dirinya, Anda akan
mendapatkan tempat di alam surga.
Setelah mengucapkan kata-kata demikian, dewi pohon
tersebut membuka samarannya sebagai seorang petapa dan
kemudian berdiri dalam wujud aslinya, bersinar terang di
angkasa layaknya matahari. Mendengar apa yang dikatakannya
dan melihat wujud aslinya, penjahat kanibal itu menanyakannya
siapa dirinya. Dan ketika dijawabnya bahwa ia adalah makhluk
dewata penjaga pohon itu, penjahat kanibal tersebut bersukacita dan dalam dirinya ia berpikir, “Telah kutemukan dewata
pelindungku,” kemudian berkata, “Wahai dewi pohon, jangan
menjadi khawatir atas masalah Sutasoma, silakan Anda
masuk saja kembali ke dalam pohon.” Makhluk dewata itu pun, di
hadapan penjahat kanibal tersebut, masuk ke dalam pohon. Kala
itu, matahari terbenam dan bulan muncul keluar. Penjahat ini ahli
dalam ilmu pengetahuan dan ilmu perbintangan, setelah melihat
ke langit, ia berpikir, “Besok adalah gugusan bintang Phussa;
Sutasoma akan pergi ke taman untuk mandi dan semua
penghuni di seluruh India akan ikut bersama untuk menjaganya
sejauh tiga yojana di sekelilingnya. Pada penggal awal malam
hari, sebelum pengawal-pengawalnya berada di posisi mereka,
saya akan pergi ke taman Migācira dan turun ke kolam, berdiri di
di sana dengan daun teratai menutupi kepalaku. Dikarenakan
kebesarannya yang mulia, ikan-ikan, kura-kura dan hewan
lainnya pergi menjauh darinya dan berenang di tepian. Apa yang
menjadi penyebab dari semua kejayaannya ini? Dikarenakan
perbuatan baiknya di masa lampau: Di masa kehidupan Buddha
Kassapa, ia memulai pemberian susu secara teratur. Disebabkan
oleh perbuatan ini, ia menjadi orang yang sangat kuat. Ia juga
membangunkan sebuah balai perapian bagi anggota sangha,
untuk menghilangkan rasa dingin, ia yang menyediakan api, kayu
bakar, dan kapak untuk membelah kayu. Disebabkan oleh
perbuatan ini, ia menjadi orang yang terkemuka.
—Kembali ke keadaan sekarang, ia telah berada di dalam taman. Sewaktu hari
masih subuh, para penjaga mulai berjaga di sekeliling taman
sampai sejauh tiga yojana. Dan setelah selesai menyantap
sarapan, Raja Sutasoma menunggangi seekor gajah yang bersenjata lengkap dan berangkat keluar dari kota, dikawal oleh
empat kelompok pengawal. Kala itu, seorang brahmana yang
bernama Nanda dari Takkasila yang membawa bersamanya
empat bait kalimat, yang masing-masing bait seharga seratus
keping uang, tiba di kota setelah melewati perjalanan sejauh
seratus dua puluh yojana, dan tinggal di suatu daerah pedesaan.
Di saat matahari terbit, ketika hendak memasuki kota, ia melihat
raja berangkat keluar dari gerbang timur, dan dengan
mengangkat tangannya naik ke atas, ia kemudian berseru,
“Semoga Paduka berjaya.” Karena melihat dari tempat yang jauh
ketika sedang menunggang, raja (hanya) melihat tangan
brahmana yang diangkat tersebut. Setelah menghampirinya, ia
mengucapkan bait berikut:
Lahir di alam apa dan mengapa Anda datang,
wahai brahmana,
jika ini dikatakan, maka hari ini akan kukabulkan
permohonanmu, apa pun itu.
Kemudian brahmana itu menjawabnya:
Empat bait, Raja yang perkasa, bagimu adalah sama
dalamnya seperti samudra,
kubawakan ke sini untukmu; dengarkanlah baik-baik,
mereka mengungkapkan rahasia-rahasia yang berharga
paling tinggi.
“Maharaja,” katanya, “keempat bait kalimat ini diajarkan
oleh Buddha Kassapa, dan bernilai seratus keping uang setiap baitnya. Setelah mendengar bahwa Anda kaya dalam ilmu
pengetahuan, saya pun datang ke sini untuk mengajarimu.” Raja
menjadi amat gembira dan berkata, “Guru, ini adalah suatu hal
yang amat bagus, tetapi tidaklah mungkin bagiku untuk berbalik
arah (sekarang). Karena hari ini adalah hari gugusan bintang
Phussa, maka hari ini merupakan hari untuk memandikan
kepalaku: Di saat kembali nanti, pasti akan kudengarkan itu
darimu. Janganlah menjadi kesal terhadap diriku.” Setelah
mengucapkan kata-kata ini, ia memberikan perintah kepada para
pejabat kerajaannya, dengan berkata, “Pergilah kalian ke rumah
seorang brahmana ini dan siapkan sebuah tempat duduk dan
susun tempat makan yang telah dihias,” dan ia pun melanjutkan
perjalanannya menuju ke taman. Taman ini dikelilingi oleh
dinding yang tingginya mencapai delapan belas hasta dan
dikawal oleh gajah-gajah yang saling bergandengan. Kemudian
juga terdapat kuda, kereta, dan para pemanah serta pasukan
(pengawal) berjalan kaki—itu terlihat seperti sebuah samudra
yang kacau setelah para pasukan tersebut diberangkatkan ke
sana. Setelah menanggalkan segala perhiasannya yang berat,
dicukur, dan diberi sabun, raja pun mandi di dalam kolam teratai
tersebut. Setelah keluar dari dalam air, ia berdiri dengan
mengenakan pakaian mandi, dan mereka membawakan untaian
wewangian bunga untuk menghias dirinya. Penjahat kanibal
tersebut berpikir, “Jika ia (telah) berpakaian lengkap, maka ia
akan menjadi suatu beban yang berat. Akan kutangkap ia selagi
masih ringan untuk dibawa.” Maka dengan berteriak,
melompat, dan memutar pedang di atas kepalanya secepat kilat,
ia menyerukan namanya, “Inilah saya, si pemakan daging makan manusia,” ia meletakkan jari tangannya pada dahinya dan
keluar dari dalam air. Segera setelah mereka mendengar
seruannya, para penunggang gajah dengan gajah-gajah mereka,
para penunggang kuda dengan kuda-kuda mereka, dan para
pengemudi kereta dengan kereta-kereta mereka, para pemanah
dengan panah-panah mereka, dan para pasukan berjalan kaki
dengan senjata-senjata mereka letakkan di bawah perut dan
berlutut di tanah. Penjahat kanibal itu menangkap Sutasoma,
dengan memegangnya dalam keadaan berdiri. Terhadap rajaraja
lain yang ditangkapnya, ia menangkap bagian kaki dan
menggantung bagian kepala mereka di bawah, membawa
mereka pergi dengan bagian tumit yang selalu memukul bagian
kepala mereka. Akan tetapi, terhadap Bodhisatta, ia menunduk
ke bawah, mengangkatnya dan menempatkannya di bagian
pundak. Merasa akan menjadi suatu perjalanan yang berputarputar
jika melewati gerbang, ia pun melompati pagar dinding
yang tingginya delapan belas hasta yang berada di depannya,
kemudian memijak bagian kepala gajah-gajah yang memberikan
jejak, menaklukkan mereka seperti halnya menaklukkan puncakpuncak
gunung. Berikutnya, ia memijak bagian punggung kuda—
mereka bergerak secepat angin dan memiliki harga yang tak
ternilai—dan membuat mereka berbaring di tanah. Kemudian
ketika memijak kereta-kereta perang, ia menjadi seperti sesuatu
yang berputar di bagian atas dengan suara dengung atau seperti
sesuatu yang menghancurkan dedaunan pohon phalaka atau
pohon beringin, dan dalam satu letusan ia pun melewati jarak tiga yojana. Merasa ingin tahu apakah ada orang yang
mengikutinya untuk menyelamatkan Sutasoma, ia melihat (ke
belakang). Melihat tidak ada siapa pun, ia memelankan
langkahnya. Setelah memperhatikan tetesan air (keringat) yang
jatuh mengenai dirinya dari rambut Sutasoma, ia berpikir, “Tidak
ada manusia yang hidup bebas dari rasa takut terhadap
kematian: Sutasoma juga demikian halnya, menangis
disebabkan oleh rasa takut ini,” dan berkata:
Orang yang ahli dalam ilmu pengetahuan, yang di dalam
dirinya timbul pemikiran-pemikiran yang hebat,
orang-orang yang demikian terpelajar dan bijak tidak
pernah menangis;
Semuanya dapat dijadikan sebagai tempat bernaung dan
tempat tinggal,
Orang bijak dapat menghalau penderitaan yang demikian.
Apakah dikarenakan sanak saudaramu, istrimu, anakmu,
atau mungkin dikarenakan dirimu sendiri,
kerajaanmu, harta kekayaanmu—
Apa, Sutasoma, yang menjadi penyebab keluarnya
tetesan air mata ini?
Raja agung Kuru, jawabanmu ingin kami ketahui.
Sutasoma berkata:
Tidak, tidak ada tetesan air mata yang kucucurkan
karena diriku sendiri,
tidak juga karena istri atau anakku, kerajaanku ataupun
kekayaanku.
Selalu kulatih kehidupan seorang bijak nan suci,
saya menangis karena suatu janji yang belum kupenuhi.
Tadinya telah kujanjikan sesuatu kepada seorang
brahmana,
selalu diriku memerintah kerajaan dengan benar;
Janji yang telah kubuat itu ingin kupenuhi dahulu,
kemudian kembali kepadamu, kehormatanku
terselamatkan.
Penjahat kanibal itu berkata:
Saya tidak percaya jika ada orang yang terbebas dari
jerat maut, kemudian dengan senang hati akan kembali
untuk menyerahkan diri kepada musuhnya;
Demikian juga dirimu nantinya bertindak, jika
kubebaskan untuk pergi.
[480] Jika terlepas dari cengkeraman si pemakan daging
manusia, Anda akan kembali ke istanamu,
dipenuhi dengan segala keinginan, segala kesenangan
dalam hidup dikembalikan kepadamu;
Alasan apa yang dapat membuatmu kembali kepadaku?
Mendengar ini, Sang Mahasatwa, seperti seekor singa
tanpa rasa takut, berkata:
Jika bersalah, seseorang akan lebih memilih kematian
daripada kehidupan yang dipenuhi noda;
Jika ia, untuk menyelamatkan nyawanya, berkata dusta,
maka itu tidak akan pernah melindunginya dari
mendapatkan penderitaan di alam menyedihkan.
Angin mungkin dapat memindahkan gunung,
Matahari dan bulan mungkin dapat jatuh dari langit,
Tuan, aliran air mungkin dapat mengalir ke atas,
tetapi saya pasti tidak akan berkata dusta.
Meskipun ia berkata demikian, penjahat kanibal itu tetap
tidak memercayainya. Maka Bodhisatta, dengan berpikiran, “Ia
tidak memercayaiku; Dengan satu sumpah, akan kubuat ia
percaya padaku,” dan berkata, “Teman kanibal, turunkanlah
saya dari punggungmu, saya akan mengambil satu sumpah dan
membuatmu memercayaiku.” Setelah mengucapkan kata-kata
ini, ia diturunkan oleh penjahat kanibal tersebut ke tanah. Untuk
mengambil sumpah itu, ia berkata:
Dengan menyentuh pedang dan tombak ini,
kunyatakan sumpahku kepadamu,
Lepaskanlah aku dan, setelah hutangku lunas,
kehormatanku terselamatkan, akan kembali kepadamu.
Kemudian penjahat kanibal itu berpikir, “Sutasoma ini
membuat satu sumpah yang bila dilanggar akan menerima balasan yang setimpal dengan yang melanggar aturan para
kesatria. Apa lagi yang saya inginkan darinya? Baiklah, saya juga
adalah seorang kesatria; Akan kuambil darah dari tanganku
sendiri dan kupersembahkan kepada dewi pohon. Orang ini
adalah seorang pengecut.” Dan ia berkata:
Kata-kata itu diucapkan layaknya ditujukan kepada
seorang brahmana,
setiap saat di dalam kerajaanmu memerintah
dengan benar,
sumpahmu itu kuminta untuk dipenuhi,
setelah kehormatanmu terselamatkan, akan kembali
kepadaku.
Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Teman, jangan
khawatir. Setelah kudengarkan empat bait yang masingmasingnya
berharga senilai seratus keping uang dan kuberikan
persembahan kepada sang pengkhotbah kebenaran, saya akan
kembali kepadamu di hari menjelang fajar.” Dan ia mengucapkan bait berikut:
Kata-kata itu diucapkan layaknya ditujukan kepada
seorang brahmana,
setiap saat di dalam kerajaanku memerintah
dengan benar,
sumpahku itu kepadamu akan kupenuhi
setelah kehormatanku terselamatkan, akan kembali
kepadamu.
Kemudian penjahat kanibal itu berkata, “Anda telah
membuat satu sumpah yang bila dilanggar akan menerima
balasan yang setimpal dengan yang melanggar aturan para
kesatria. Pastikan Anda bertindak sesuai dengan itu.” “Teman
kanibal,” katanya, “Anda telah mengenalku sejak kecil: tidak
pernah sebelumnya diriku berkata dusta, dan sekarang di saat
diriku telah duduk di singgasana dan mengetahui yang benar dan
yang salah, mengapa saya harus berkata dusta? Percayalah
padaku, akan kusediakan diriku sebagai persembahan bagi
dirimu.” Setelah berhasil dibujuk untuk memercayainya, ia
berkata, “Baiklah, Paduka, Anda boleh pergi. Jika Anda tidak
kembali, maka tidak akan ada persembahan dan makhluk
dewata itu tidak akan menerimanya tanpa adanya dirimu: jangan
menimbulkan rintangan dalam persembahanku,” dan
melepaskan Sang Mahasatwa untuk pergi. Seperti bulan yang
lepas dari cengkeraman Rāhu dan dengan kekuataan seekor
gajah muda, dengan cepat ia tiba di kota. Sebelumnya, para
pasukannya berpikir, “Raja Sutasoma adalah orang yang bijak
dan pengkhotbah kebenaran yang handal. Jika ia dapat
berbincang dengannya, maka ia akan mengubah penjahat
kanibal itu, dan akan kembali seperti gajah yang meloloskan diri
dari mulut singa.” Dan dengan berpikir, “Orang-orang akan
mengecam kami dan berkata, ‘Setelah menyerahkan rajamu
kepada penjahat kanibal, kalian masih berani kembali kepada
kami?” mereka pun menetap (sementara) di luar gerbang kota.
Ketika mereka melihat raja datang dari kejauhan, mereka pergi
menyambutnya dan beruluk salam kepadanya, kemudian bertanya, “Apakah Anda tidak terluka oleh penjahat kanibal itu,
Paduka?” “Penjahat kanibal itu,” balasnya, “melakukan sesuatu
yang lebih sulit daripada yang dilakukan oleh orang tuaku.
Karena meskipun ia adalah makhluk yang demikian buas dan
kejam, tetapi ia melepaskanku pergi setelah mendengar
pemaparan kebenaranku.” Kemudian mereka mendandani raja
dan menaikkannya ke atas punggung gajah, mengawalnya
masuk kembali ke dalam kota. Ketika melihatnya, orang-orang
bersukacita. Dikarenakan keinginannya untuk mendengarkan
pemaparan khotbah (kebenaran), ia pun tidak mengunjungi
orang tuanya (terlebih dahulu) dengan berpikiran, “Akan
kukunjungi mereka lain kali,” ia pun masuk ke dalam istananya
dan duduk di atas takhtanya. Kemudian ia memanggil sang
brahmana dan memberi perintah kepada pengawalnya untuk
membersihkan dirinya. Setelah rambut dan janggutnya dipotong
dan dirapikan, setelah ia mandi dan menggunakan wewangian,
serta setelah ia mengenakan pakaian yang terang, mereka
membawanya menghadap kepada raja. Dan ketika brahmana itu
datang menghadap, Sutasoma pergi mandi dan memerintahkan
agar makanan yang disajikan kepadanya agar diberikan kepada
sang brahmana. Setelah brahmana itu selesai makan, ia pun
memakannya (sisa). Kemudian ia memberikan tempat duduk
yang agung kepada brahmana tersebut, dan untuk memberikan
penghormatan kepadanya ia memberikan persembahan berupa
untaian wewangian bunga dan sejenisnya. Setelah duduk di
tempat yang lebih rendah, ia memohon kepadanya dengan
berkata, “Guru, kami telah siap mendengar bait-bait (syair) yang
Anda bawakan kepada kami.”
Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:
Terbebas dari cengkeraman makhluk kanibal kejam,
ia pergi menemui teman brahmananya dan berseru,
‘Kami ingin mendengar bait-bait kalimat yang masingmasing
berharga senilai seratus keping uang,
demi kebaikan kami semua jika Anda bersedia mengajar.’
Setelah Bodhisatta mengucapkan permohonannya,
brahmana tersebut, setelah membersihkan tangannya dengan
wewangian, mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas dengan
kedua tangannya dan berkata: “Baiklah, Paduka, dengarkanlah
empat syair-ku ini, yang masing-masing berharga senilai seratus
keping uang. Syair-syair ini diajarkan oleh Buddha Kassapa,
penghancur nafsu, penghancur kesombongan diri dan keburukan
sejenisnya dan memberikan pelepasan akan nafsu (keinginan)
dan berhentinya keadaan pikiran, bahkan pencapaian keadaan
nibbana, pelenyapan nafsu, pemutusan proses kelahiran yang
berulang-ulang, dan pencabutan kemelakatan,” dan setelah
mengucapkan kata-kata ini, ia mengulangi syair-syair berikut:
Binalah hubungan dengan orang-orang yang baik,
jangan membina hubungan dengan orang-orang yang
tidak baik, maka kedamaian akan mendatangimu.
Bertemanlah dengan orang-orang yang bijaksana,
mengenal hanya orang-orang demikian,
dari orang bijaksana mempelajari pengetahuan dan kian
hari tumbuh kian baik.
Seperti hiasan pada kereta kerajaan yang luntur dan
pudar, demikian juga halnya dengan tubuh kita yang
akan menua dan menderita pembusukan.
Akan tetapi, kebenaran dari orang bijak akan tetap dan
tidak akan usang,
Orang-orang baik memberitahukan ini kepada mereka
yang baik sejak dahulu.
Langit membentang luas di atas, bumi membentang
luas di bawah,
dan daratan di seberang lautan luas terlihat amat jauh,
tetapi masih lebih hebat dari semuanya ini dan lebih luas
dalam jangkauannya yaitu ajaran mengenai kebaikan
atau keburukan yang dipaparkan oleh orang bijaksana
nan suci.
Demikianlah sang brahmana mengajarkan keempat
syair tersebut, yang masing-masing berharga senilai seratus
keping uang, sama seperti bagaimana ia diajar oleh Buddha
Kassapa, dan kemudian diam. Sang Mahasatwa bersukacita
setelah mendengar pemaparannya dan berkata, “Perjalananku
kembali ke sini tidaklah sia-sia,” dan dengan berpikir, “Syair-syair
ini bukanlah hanya kata-kata dari seorang siswa atau dari seorang petapa suci atau hasil karya dari seorang penyair,
melainkan adalah kata-kata yang diucapkan oleh Yang
Mahatahu; Saya bertanya-tanya berapa harga dari mereka ini.
Meskipun memberikan seluruh dunia yang terbentang sampai ke
alam brahma, mengisinya dengan tujuh batu permata berharga,
seseorang pun belum sanggup memberikan balasan yang
setimpal atas syair-syair ini. Pastinya, saya dapat memberikan
kepadanya kekuasaan atas Kota Indapatta yang melingkupi
wilayah seluas tujuh yojana di dalam Kerajaan Kuru, yang
terbentang seluas tiga yojana. Tidak diragukan lagi, pasti ini
adalah buah dari jasa-jasa kebajikannya yang menyebabkan ia
menjadi seorang raja.” Tetapi ketika hendak menyerahkan
kepadanya kekuasaan yang dimilikinya yang dapat menentukan
kehidupan seseorang dari penampilan luarnya, raja tidak
mendapatkan persetujuan darinya. Kemudian raja menawarkan
kepadanya jabatan sebagai Panglima Tertinggi dan juga jabatan
sejenisnya, tetapi juga ia tidak mendapatkan persetujuan darinya,
bahkan sebagai seorang kepala suatu perkampungan sekalipun.
Berikutnya, memikirkan tentang kepemilikan harta kekayaannya,
ia memulai menawarkan uang sejumlah seratus juta sampai
akhirnya pada jumlah uang empat ribu keping. Dengan berpikiran
untuk memberikan kepadanya jumlah yang demikian, ia
mempersembahkan kepadanya empat kantong yang masingmasing
berisikan uang seribu keping, dan ia bertanya
kepadanya, “Guru, ketika Anda mengajarkan syair-syair kepada
raja-raja yang lain, berapa yang Anda dapatkan?” “Seratus
keping untuk tiap syair.” Sang Mahasatwa berkata, “Guru, Anda
tidak memedulikan harga dari barang yang tak ternilai, yang Anda bawa berkeliling ini. Mulai sekarang, biarlah mereka
menjadi seharga seribu keping (tiap syair),” setelah berkata
demikian, ia mengulangi bait berikut:
Bukanlah ratusan nilai syair-syair ini, melainkan ribuan.
Oleh karenanya, Brahmana, ambillah empat ribu keping
ini dan kembalilah dengan membawa mereka.
Kemudian ia mempersembahkan kepadanya sebuah
kereta dan memberi perintah kepada pengawalpengawalnya,
dengan berkata, “Bawa brahmana ini kembali
dengan selamat ke tempat tinggalnya,” dan kemudian
memintanya pergi. Kala itu, suara tepuk tangan yang keras
terdengar dan seruan, “Bagus, bagus! Raja Sutasoma benarbenar
menghargai syair-syair ini, dengan memberikan seribu
keping uang atas barang yang sebelumnya dihargai seratus
keping.” Orang tua raja yang mendengar suara ribut itu
menanyakan apa yang terjadi, dan menjadi marah dengan Sang
Mahasatwa ketika mengetahui kejadian yang sebenarnya,
dikarenakan ketamakan mereka. Setelah memulangkan
brahmana tersebut, ia pergi menjumpai orang tuanya dan berdiri
memberi hormat kepada mereka. Kemudian ayahnya berkata,
“Putraku, Anda telah lolos dari tangan seseorang yang disebutsebut
sebagai penjahat kejam,” dan tidak mengungkapkan
kebahagiaan atas pertemuan ia dengan anaknya, dikarenakan
ketamakannya terhadap uang, ia bertanya, “Apakah benar yang
mereka katakan bahwa Anda memberikan empat ribu keping
uang karena telah mendengarkan empat bait kalimat?” Dan ketika diakui oleh anaknya bahwa hal itu adalah benar adanya,
ayahnya mengulangi bait berikut:
Syair mungkin saja berharga senilai delapan puluh
setiap baitnya,
bahkan juga mungkin berharga senilai seratus keping.
Akan tetapi, Sutasoma, tidak pernah kuketahui satu bait
syair yang berharga senilai seribu keping uang.
Kemudian Sang Mahasatwa, untuk membuatnya dapat
melihat segala hal dengan lebih terbuka, berkata, “Ayah,
bukanlah peningkatan dalam harta kekayaan yang kuinginkan,
melainkan peningkatan dalam pengetahuan,” dan ia
mengucapkan bait-bait berikut:
Peningkatan dalam ilmu pengetahuan amat kuinginkan
dan juga persahabatan dengan orang-orang yang baik;
tidak ada sungai yang mampu membanjiri lautan,
demikianlah diriku yang masih merasa kurang akan katakata
(yang mengandung) kebenaran.
Seperti api yang terus berkobar, tidak puas dengan kayu
dan rerumputan,
seperti samudra, yang meskipun diberi makan oleh aliran
air sungai, terus-menerus meminta lagi,
demikianlah orang bijak, raja para kesatria,
tetap tidak puas untuk mendengarkan kata-kata
kebenaran
Jika dari mulut pembantuku sendiri kudengar syair-syair
yang mengandung kebenaran,
maka kata-katanya itu akan kuterima dengan penuh
hormat, karena diriku masih merasa kurang akan katakata
kebenaran.
Setelah berkata demikian, ia menambahkan, “Janganlah
menyalahkan diriku hanya karena masalah uang. Saya kembali
kemari setelah sebelumnya bersumpah untuk kembali lagi
setelah selesai mendengarkan kebenaran. Karena sekarang
telah kulakukan itu, maka sudah saatnya saya kembali ke tempat
penjahat kanibal tersebut. Ambil alihlah kekuasaan ini,” dan
mengucapkan bait berikut ini:
Kerajaan ini beserta dengan segala kekayaannya
adalah milikmu,
segala hiasan kota, kegembiraan dan kesenangan
berlimpah ruah.
Mengapa menyalahkanku, jika dari kesenangan indriawi
diriku (hendak) bebas dan menemui ajal di tangan
makhluk kanibal tersebut?
Pada saat itu, hati dari ayah sang raja tersebut menjadi
panas di dalam, dan ia berkata, “Apa, Sutasoma, yang kamu
katakan ini? Akan kudatangi dengan empat kelompok pengawal
dan kutangkap penjahat itu,” dan ia mengulangi bait berikut:
Bala tentara datang untuk pertahanan kita,
Sebagian menunggang gajah, sebagian mengendarai
kereta, sebagian menunggang kuda dengan busur, dan
sebagian lagi berjalan kaki—
Dengan Panglima sebagai pemimpin, mari kita bunuh
musuh kita.
Kemudian ayah dan ibunya, dengan air mata yang
berlinang, memohon kepadanya, dengan berkata, “Jangan pergi,
Anakku. Tidak, Anda tidak boleh pergi,” dan sebanyak enam
belas ribu gadis penari beserta sisa rombongannya meratap dan
berkata, “Ke mana Anda hendak pergi dengan meninggalkan
kami yang tak berdaya di sini?” dan tak seorang pun di seluruh
pelosok kota mampu menahan perasaan mereka, dan mereka
berkata, “Ia telah datang kembali setelah sebelumnya membuat
satu sumpah kepada makhluk kanibal itu, dan sekarang [487]
karena telah selesai mendengarkan empat syair yang masingmasing
berharga senilai seratus keping dan telah memberikan
penghormatan selayaknya kepada seorang pengkhotbah
kebenaran serta telah berpamitan kepada orang tuanya, ia akan
kembali ke tempat penjahat itu, sekali lagi,” dan seluruh kota
menjadi gempar. Ketika mendengar apa yang dikatakan oleh
orang tuanya, ia kemudian mengulangi bait berikut:
Perbuatan dari musuh kita, si pemakan daging manusia,
itu amat baik, membolehkanku pergi setelah menangkapku.
Mengingat perbuatannya yang baik itu,
bagaimana mungkin kulanggar sumpahku sendiri?
Untuk menghibur orang tuanya, ia kemudian berkata,
“Ayah dan Ibu, janganlah mencemaskan diriku. Saya telah
melakukan perbuatan yang baik, dan penguasaan terhadap
keinginan dari enam indra bukanlah hal yang sulit,” dan
setelah berpamitan dengan orang tuanya, ia memberikan
wejangan kepada orang-orang dan kemudian berangkat.
Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:
Berpamitan dengan kedua orang tuanya, dengan nasihat
bijak ia menasihati para penduduk dan pejabat kerajaan,
Kemudian tidak berniat untuk tidak memenuhi
sumpahnya, ia kembali lagi ke tempat makhluk kanibal.
Kemudian penjahat kanibal itu berpikir, “Jika temanku,
Sutasoma, hendak kembali, maka biarlah ia kembali. Kalau tidak,
biarlah dewi pohon itu melakukan apa pun yang
diinginkannya, dan akan kubunuh para kesatria ini untuk
membuat suatu persembahan dengan lima jenis daging yang
lezat.” Maka ia pun membuat satu tumpukan kayu bakar dan
mulai menyalakan api, dengan berpikiran untuk menunggu
sampai baranya menjadi panas. Ketika ia sedang duduk dan
mengasah tombak (tusuk), Sutasoma datang. Melihat Sutasoma
datang kembali, ia menjadi gembira dan bertanya, dengan
berkata, “Teman, apakah Anda telah pergi dan melakukan apa yang harus dilakukan?” Sang Mahasatwa berkata, “Ya,
Maharaja, telah kudengar syair-syair dari brahmana itu yang
diajarkan oleh Buddha Kassapa, dan telah kuberikan
penghormatan yang selayaknya kepada pengkhotbah
kebenaran. Sekarang saya telah kembali, setelah selesai
melakukan apa yang harus dilakukan.” Untuk menggambarkan
permasalahan ini, ia mengulangi bait berikut:
Suatu hari kujanjikan sesuatu kepada seorang
brahmana, di saat diriku memerintah dengan benar di
dalam kerajaanku,
dan sekarang setelah kupenuhi sumpahku itu,
kehormatanku terselamatkan, saya datang kembali.
Bunuh dan persembahkanlah diriku kepada
dewi pohonmu,
atau untuk memuaskan nafsumu akan daging manusia.
Mendengar ini, penjahat kanibal itu berpikir, “Raja ini
tidak memiliki rasa takut; ia berbicara layaknya semua rasa takut
dirinya terhadap kematian telah lenyap. Saya ingin tahu dari
mana datangnya kekuatan ini. Tidak mungkin yang lainnya lagi,
tadi ia mengatakan, ‘Telah kudengar syair-syair yang diajarkan
oleh Buddha Kassapa.’ Kekuatan luar biasa ini pastinya berasal
dari syair-syair itu. Akan kuminta ia mengucapkan syair-syair
tersebut untuk kudengar, dan dengan demikian diriku juga akan
terbebas dari segala rasa takut.” Dan dengan menetapkan tekad
demikian, ia mengulangi bait berikut:
Api masih membara: meskipun agak sedikit tertunda,
tetapi saya tidak akan berhenti dari memakan mangsaku.
Daging yang dipanggang di atas bara api akan matang
dengan enak;
Mari beritahukan bait yang berharga seratus keping itu.
Mendengar ini, Sang Mahasatwa berpikir,
“Penjahat kanibal ini adalah orang yang berada di jalan yang
salah: Akan kukecam ia dan dengan kata-kata akan kubuat ia
menjadi malu,” dan ia berkata:
Anda adalah manusia yang keji,
terjatuh dari singgasana dikarenakan nafsu indriawi;
Syair-syair ini memberitahukan kebenaran kepadaku,
bagaimana yang benar bergabung dengan yang salah?
Bagi seorang penjahat keji, yang tangannya terjerumus
dalam limbah darah,
dari mana datangnya kebenaran atau kebaikan?
Apa gunanya ilmu pengetahuan?
Ketika dikecam dengan kata-kata ini, penjahat kanibal itu
tidak marah. Mengapa demikian? Hal ini terjadi dikarenakan
kekuatan cinta kasih (metta) yang luar biasa dari Sang
Mahasatwa. Maka ia berkata, “Apakah hanya saya, Teman
Sutasoma, orang yang tidak benar?” dan mengulangi bait berikut:
Manusia yang memburu hewan
untuk dijadikan makanan,
dan manusia yang membunuh manusia
untuk dijadikan makanan,
kedua jenis orang ini akan dihitung sama besar
kesalahannya setelah kematian:
Mengapa hanya diriku sendiri yang disalahkan
karena kekejaman?
Mendengar ini, Sang Mahasatwa, untuk membantah
pandangan salahnya, mengulangi bait berikut:
Oleh kaum kesatria diketahui ada lima mangsa berkuku
lima yang boleh disantap;
Oh, Paduka, menyantap yang tak boleh disantap,
karena itu Anda bertentangan dengan kebenaran
(Dhamma).
Ketika mendapatkan kecaman ini dan melihat tidak
adanya cara untuk membantah lagi, ia mencoba untuk
menyembunyikan perbuatan buruknya dan mengulangi bait
berikut:
Bebas dari pemakan daging manusia, Anda pulang
kembali ke istana, penuh dengan kesenangan.
Kemudian kembali lagi kepada seorang musuh untuk
memberikan nyawamu?
Anda adalah seorang yang ahli dalam pengetahuan!
Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Teman, seseorang
seperti diriku ini seharusnya ahli dalam pengetahuan (kaum
kesatria). Saya mengetahuinya dengan baik, tetapi tidak
mendasarkan perbuatanku padanya,” dan ia mengucapkan bait berikut:
Yang terdapat di dalam ajaran kaum kesatria membuat
orang berakhir di alam neraka.
Oleh karenanya tidak kusukai ajaran kaum kesatria dan
kembali lagi ke tempatmu ini, memenuhi sumpahku:
Jadikanlah diriku sebagai persembahanmu, atau
makanan untukmu.
Penjahat kanibal itu berkata:
Tempat tinggal dalam istana megah, tanah yang luas,
kuda dan ternak lainnya,
wewangian, kain yang mahal, dan banyak selir,
Semuanya ini Anda miliki tanpa harus membayar—
Hal baik apa yang Anda dapatkan dari (menjaga)
kebenaran?
Bodhisatta berkata:
Dari segalanya kebaikan yang dapat kunikmati di dunia,
tak ada yang lebih baik daripada kebaikan dari
kebenaran:
Para petapa dan brahmana yang selalu bertindak
dengan benar, terbebas dari lingkaran kelahiran dan
kematian, menuju ke sisi yang lebih jauh ke depan.
Demikian Sang Mahasatwa memaparkan kepadanya
akan kebaikan dari kebenaran. Kemudian sewaktu melihat
wajahnya yang amat cerah seperti bunga teratai yang mekar
sempurna atau seperti terangnya bulan purnama, penjahat
kanibal itu berpikir, “Sutasoma ini melihatku mempersiapkan
tumpukan kayu bakar dan mengasah tombak, tetapi ia tidak
menunjukkan rasa takut sedikitpun. Apakah mungkin ini
disebabkan oleh syair-syair yang masing-masing berharga senilai
seratus keping atau apakah ini disebabkan oleh suatu
kebenaran? Akan kutanyakan padanya.” Dan dalam bentuk
pertanyaan, ia mengulangi bait berikut:
Bebas dari pemakan daging manusia, Anda pulang
kembali ke istana, penuh dengan kesenangan.
Kemudian kembali lagi kepada seorang musuh untuk
memberikan nyawamu?
Pastinya Anda tidak mengetahui apa itu rasa takut
terhadap kematian, bebas dari nafsu keinginan,
menepati sumpahmu.
Untuk menjawabnya, Sang Mahasatwa berkata:
Dikarenakan telah kulakukan kebajikan yang tak
terhitung jumlahnya,
telah kuberikan persembahan yang berlimpah ruah,
maka telah jelas pula jalan yang akan kutempuh di
kehidupan berikutnya:
Ia yang berjalan di dalam kebenaran tidak akan takut
terhadap kematian.
Dikarenakan telah kulakukan kebajikan yang tak
terhitung jumlahnya,
telah kuberikan persembahan yang berlimpah ruah,
maka tanpa sesal akan kutempuh jalan ke alam surga,
oleh karenanya, jadikanlah diriku sebagai
persembahanmu atau makanan untukmu.
Orang tuaku telah kubahagiakan dengan perawatan
yang baik,
pemerintahanku mendapatkan pujian sebagai
pemerintahan yang adil (benar),
maka telah jelas pula jalan yang akan kutempuh di
kehidupan berikutnya:
Ia yang berjalan di dalam kebenaran tidak akan takut
akan kematian.
Orang tuaku telah kubahagiakan dengan perawatan
yang baik,
pemerintahanku mendapatkan pujian sebagai
pemerintahan yang adil (benar),
maka tanpa sesal akan kutempuh jalan ke alam surga,
oleh karenanya, jadikanlah diriku sebagai
persembahanmu atau makanan untukmu.
Telah kulakukan perbuatan yang selayaknya dilakukan
terhadap sanak keluarga dan teman-teman,
pemerintahanku adil dan mendapatkan pujian,
maka tanpa sesal akan kutempuh jalan ke alam surga,
oleh karenanya, jadikanlah diriku sebagai
persembahanmu atau makanan untukmu.
Telah kuberikan derma yang demikian banyak,
telah kupuaskan para petapa dan brahmana dengan
dana (makanan),
maka telah jelas pula jalan yang akan kutempuh di
kehidupan berikutnya:
Ia yang berjalan di dalam kebenaran tidak akan takut
terhadap kematian.
Telah kuberikan derma yang demikian banyak,
telah kupuaskan para petapa dan brahmana dengan
dana (makanan),
maka tanpa sesal akan kutempuh jalan ke alam surga,
oleh karenanya, jadikanlah diriku sebagai
persembahanmu atau makanan untukmu.
Ketika mendengar ini, penjahat kanibal tersebut
berpikir, “Raja Sutasoma ini adalah orang yang bajik dan
berpengetahuan: jika kumakan dagingnya, maka kepalaku akan
terbelah menjadi tujuh bagian, atau bumi akan terbuka lebar dan
menelanku ke dalamnya,” dan dalam rasa takutnya, ia berkata,
“Teman, Anda bukanlah jenis orang yang harus kumakan,” dan
mengulangi bait berikut:
Ia harus meminum secangkir racun, atau
menghadapi ular ganas yang murka, atau
kepalanya akan terbelah menjadi tujuh bagian,
bila berani memakan seseorang yang tak berkata dusta.
Demikian ia berkata kepada Sang Mahasatwa, dengan
menambahkan, “Anda itu, terlihat seolah-olah, seperti racun yang
mematikan; siapa yang berani memakan dagingmu?” dan
dikarenakan ingin mendengar syair-syair tersebut, ia pun
memohon kepadanya untuk memberitahukan itu kepadanya.
Ketika permohonannya ditolak oleh Sang Mahasatwa disebabkan
oleh rasa hormat yang selayaknya terhadap hal-hal yang suci,
dengan dasar alasan bahwa ia bukanlah penerima yang tepat
atas syair yang demikian, ia berkata, “Di seluruh India tidak ada
orang bijak seperti ia, karena ketika ia kubebaskan dari
cengkeramanku, ia pulang dan mendengarkan syair-syair ini.
Setelah memberikan hormat yang selayaknya kepada sang
pengkhotbah kebenaran, ia kemudian kembali lagi, dengan
kematian yang tertulis jelas di kepalanya. Syair-syair ini pastilah
memiliki kebaikan yang luar biasa,” dan masih dengan dipenuhi oleh keinginan untuk (dapat) mendengar syair-syair tersebut, ia
memohon kembali kepada Sang Mahasatwa dan mengulangi bait berikut:
Sesudah mendengar kebenaran itu, orang-orang segera
dapat membedakan yang baik dan yang buruk;
Jika saya dapat mendengarnya, maka hatiku dapat diisi
dengan kebahagiaan dalam kebenaran.
Kemudian Sang Mahasatwa berpikir, “Penjahat kanibal
ini sekarang berhasrat untuk mendengar: akan kupaparkan syairsyair
tersebut kepadanya,” dan berkata, “Baiklah, Teman,
dengarkanlah baik-baik.” Demikianlah, setelah mendapatkan
perhatiannya, ia melantunkan syair-syair tersebut sama seperti
bagaimana mereka diajarkan kepadanya oleh Brahmana Nanda,
para dewa di enam alam kesenangan indriawi berseru [494], dan
para bidadari bertepuk tangan menandakan persetujuan, dan
Sang Mahasatwa demikian memaparkan kebenaran tersebut
kepada si penjahat kanibal:
Binalah hubungan dengan orang-orang yang baik,
jangan membina hubungan dengan orang-orang yang
tidak baik, maka kedamaian akan mendatangimu.275
Disebabkan karena syair-syair tersebut disampaikan oleh
Sang Mahasatwa dengan begitu baik dan ditambah dengan kenyataan bahwa ia adalah seorang yang bijak, maka penjahat
kanibal itu berpikir, “Syair-syair ini, terdengar seolah-olah, seperti
kata-kata dari Buddha Yang Mahatahu,” dan seluruh tubuhnya
didera oleh lima jenis kegiuran (batin), dan ia merasakan
perasaan lembut terhadap Bodhisatta dan menganggapnya
seperti seorang ayah yang siap untuk memberikan kepadanya
payung putih kerajaan. Dan ia berpikir, “Tidak kulihat adanya
persembahan berupa emas kuning untuk diberikan kepada
Sutasoma. Akan tetapi, akan kukabulkan satu permintaan untuk
setiap baitnya,” dan ia mengucapkan bait berikut:
Penuh dengan arti dan dengan suara yang jelas,
kata-kata manismu terdengar oleh telingaku,
demikian tergiurnya batinku, sehingga dengan senang
akan kukabulkan empat permintaan darimu.
Kemudian Sang Mahasatwa memarahinya dan berkata,
“Permintaan apa yang dapat Anda tawarkan kepadaku
sebenarnya?” dan ia mengulangi bait berikut:
Seorang makhluk yang tak mengetahui keadaan batin,
yang baik atau yang buruk, tak mengetahui alam neraka,
budak dari nafsu keinginan, bagaimana seorang makhluk
sepertimu mengerti akan mengabulkan permintaan untuk orang?
Andaikata saya mengatakan ‘Kabulkanlah permintaanku
ini,’ kemudian akan Anda tarik kembali perkataanmu,
Orang bijak manakah yang telah mengetahui ini (dan
hendak) menerima risiko pertengkaran yang cukup jelas?
Kemudian penjahat kanibal itu berkata, “Ia tidak
memercayaiku; Akan kubuat agar ia memiliki kepercayaan
kepada diriku,” dan ia mengulangi bait berikut:
Tak seorang pun boleh mengatakan akan mengabulkan
suatu permintaan,
kemudian menarik balik perkataannya itu:
Teman, katakanlah tanpa rasa takut permintaan-permintaanmu itu;
Akan kukabulkan itu untukmu, meskipun harus
kehilangan nyawa.
Kemudian Sang Mahasatwa berpikir, “Ia telah berkata
layaknya seorang pemberani dan akan melakukan apa yang
kuminta; Akan kuterima penawarannya ini. Tetapi, jika sebagai
permintaan pertama kuminta ia untuk berhenti memakan daging
manusia, ia pasti akan menjadi amat terganggu. Saya akan
meminta permintaan lainnya di tiga permintaan pertama, dan
baru setelah semua itu akan kupinta yang terakhir ini,” dan
berkata:
Ia yang bersahabat dengan orang yang berperilaku baik
akan selalu setuju dengan perbuatan baik,
juga seorang baik pastinya saling menyenangkan sesama:
Saya ingin melihatmu hidup dalam keadaan demikian
selama beratus-ratus tahun:
Inilah permintaan pertamaku dari seluruh permintaan
yang ingin dikabulkan.
Ketika mendengar ini, penjahat kanibal tersebut,
“Meskipun telah kusebabkan ia kehilangan kerajaannya, tetapi
sekarang ia malah meminta sesuatu agar saya hidup panjang
umur, seorang penjahat besar yang (ketagihan) memakan daging
manusia dan (pernah) berniat buruk terhadap dirinya. Ah, ia
adalah penolongku yang baik.” Dan ia merasa amat gembira,
tidak mengetahui bahwa permintaan ini dipilih untuk mengalihkan
dirinya. Untuk mengabulkan permintaan itu, ia mengucapkan bait berikut:
Ia yang bersahabat dengan orang yang berperilaku baik
akan selalu setuju dengan perbuatan baik,
juga seorang baik pastinya saling menyenangkan
sesama:
Anda ingin melihatku hidup dalam keadaan demikian
selama beratus-ratus tahun:
Dengan senang hati kukabulkan permintaan pertamamu.
Kemudian Bodhisatta berkata:
Para kesatria yang berada dalam tawananmu,
yang di kerajaan mereka diberkati sebagai raja,
para pemimpin di atas bumi ini tidak boleh Anda makan:
Inilah permintaanku yang kedua.
Demikianlah dalam memilih permintaan kedua ia
meminta agar nyawa seratus raja tersebut diselamatkan. Dan
untuk mengabulkan permintaannya ini, ia berkata:
Para kesatria yang berada dalam tawananku,
yang di kerajaan mereka diberkati sebagai raja,
para pemimpin di atas bumi tidak akan kumakan:
Dengan senang hati kukabulkan permintaan keduamu.
Apakah para raja itu mendengar apa yang mereka
bicarakan? Mereka tidak mendengarnya. Sewaktu penjahat
kanibal itu menyalakan api, dikarenakan takut pohon tersebut
terluka oleh asap dan apinya, ia mundur dari pohon tersebut,
dan Sang Mahasatwa duduk di antara perapian dan pohon
tersebut ketika berbicara dengannya. Oleh karenanya, para
raja tersebut tidak mendengar semua yang mereka bicarakan,
melainkan sebagian saja. Mereka kemudian saling menghibur,
dengan berkata, “Jangan takut, sekarang Sutasoma akan
mengubah si pemakan daging manusia,” dan pada saat ini
Sang Mahasatwa mengucapkan bait berikut:
Anda menawan sekitar seratus orang raja,
semuanya dalam keadaan terikat dan meratap,
kembalikan mereka ke kerajaan mereka masing-masing:
Inilah permintaanku yang ketiga.
Demikianlah dalam memilih permintaannya yang ketiga
ia meminta pengembalian (kekuasaan) para kesatria ini ke
kerajaan mereka masing-masing. Mengapa memilih permintaan
ini? Karena andaikan penjahat kanibal itu tidak memakan daging
mereka, dikarenakan takut pembalasan dari mereka, ia mungkin
saja menjadikan mereka sebagai budak dan membuat mereka
tinggal di dalam hutan, atau mungkin membunuh mereka dan
meninggalkan mayat mereka, atau mungkin juga membawa
mereka ke daerah perbatasan dan menjual mereka sebagai
budak. Oleh sebab itulah, ia memilih permintaan berupa
pengembalian mereka ke kerajaan masing-masing. Untuk
mengabulkan permintaannya ini, penjahat kanibal itu
mengucapkan bait berikut:
Saya menawan sekitar seratus orang raja,
semuanya dalam keadaan terikat dan meratap,
akan kukembalikan semuanya ke kerajaan mereka
masing-masing:
Dengan senang hati kukabulkan permintaan ketigamu.
Sekarang, untuk mengatakan permintaannya yang
keempat, Bodhisatta mengucapkan bait berikut:
Duniamu ini kacau balau dan dipenuhi dengan ketakutan
orang-orang bersembunyi di dalam gua (lubang) jika
melihat dirimu.
Berhentilah memakan daging manusia, wahai raja:
Inilah permintaanku yang keempat.
Setelah demikian ia berkata, penjahat kanibal itu
bertepuk tangan dan berkata, sambil tertawa, “Teman Sutasoma,
apa yang Anda katakan ini? Bagaimana mungkin kukabulkan
permintaan ini? Jika Anda masih ingin meminta sesuatu, pilihlah
yang lainnya,” dan ia mengucapkan bait berikut:
Begitu lezatnya makanan ini terasa bagi diriku;
Dikarenakan inilah diriku bersembunyi di dalam hutan.
Bagaimana mungkin dari kesenangan yang demikian
diriku berpantang?
Untuk permintaanmu yang keempat, pilihlah yang lain.
Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Karena Anda
menyukai daging manusia, Anda mengatakan, ‘Saya tidak bisa
berpantang darinya.’ Sesungguhnya, ia yang melakukan
perbuatan buruk karena itu menyenangkan adalah orang yang
dungu,” dan ia mengulangi bait berikut:
Seorang raja sepertimu tidak seharusnya mengikuti
kesenangan,
tidak juga mengorbankan diri demi kesenangan,
dapatkanlah kehidupan dalam maknanya yang tertinggi,
hadiah terbaik, dan kebahagiaan di kehidupan
mendatang akan didapatkan karena perbuatan baik.
Ketika kata-kata ini selesai diucapkan oleh Sang
Mahasatwa, penjahat kanibal tersebut dirundung oleh rasa takut, dan berpikir, “Saya tidak bisa menolak permintaan dari
Sutasoma, tidak juga bisa berpantang makan daging manusia.
Apa yang harus kulakukan?” dan dengan berlinang air
mata, ia mengulangi bait berikut:
Saya menyukai daging manusia: Anda tentu tahu,
Sutasoma agung, demikianlah adanya.
Dari makanan ini, tidak pernah diriku dapat berpantang.
Pikirkanlah permintaan yang lain dan pilihlah itu.
Kemudian Bodhisatta berkata:
Ia yang mengikuti kesenangan,
bahkan juga mengorbankan diri demi kesenangan,
maka gelas (berisi) racun akan diteguknya seperti
seorang pemabuk,
dan di kehidupan berikutnya penderitaan tiada akhir
sudah pasti menunggu dirinya.
Ia yang tidak mengikuti kesenangan,
menunaikan kewajibannya dengan usaha keras,
maka gelas (berisi) penawar akan diteguknya seperti
seorang pesakit,
dan di kehidupan berikutnya kebahagiaan sudah pasti
menunggu dirinya.
Setelah ia berkata demikian, penjahat kanibal tersebut
mengulangi bait berikut, sembari meratap tangis:
Lima kesenangan yang muncul dari indra,
orang tua dan semuanya kutinggalkan,
dikarenakan alasan ini saya tinggal di dalam hutan;
Bagaimana mungkin bisa kukabulkan permintaanmu ini?
Kemudian Sang Mahasatwa mengucapkan bait berikut:
Orang bijak tidak pernah mengucapkan kata-kata dusta,
selalu menepati janji mereka adalah (ciri) orang baik:
’Katakanlah permintaanmu, Teman,’ ini yang Anda
katakan kepadaku;
Dan sekarang apa yang Anda katakan bertentangan
dengannya.
Sekali lagi, masih dalam keadaan meratap tangis,
penjahat kanibal itu mengucapkan bait berikut:
Kerugian, ditambah dengan malu dan aib,
keburukan, kejahatan dan kebejatan,
semuanya ini kutimbulkan demi memakan daging
manusia:
Bagaimana mungkin bisa kukabulkan permintaanmu ini?
Kemudian Sang Mahasatwa berkata:
Tak ada seorang pun yang seharusnya boleh menarik
kembali janji yang telah diucapkannya, mengabulkan
semua permintaan:
‘Teman, katakanlah tanpa rasa takut permintaan-permintaanmu itu;
Akan kukabulkan itu untukmu, meskipun harus
kehilangan nyawa.’
Setelah demikian menunjukkan kembali bait yang pernah
diucapkan oleh si penjahat kanibal, dan untuk mendesaknya
dengan usaha mengabulkan permintaan tersebut, ia
mengucapkan bait berikut:
Orang baik akan meninggalkan kehidupan, tetapi
kebenaran tidak, selalu tepati janji mereka;
Jika Anda telah berjanji, wahai raja, mengabulkan
satu permintaan,
maka sempurnakanlah perbuatan yang Anda mulai itu
dengan menyelesaikannya.
Orang memberikan harta kekayaan untuk
menyelamatkan dirinya,
orang mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan
kehidupannya.
Kekayaan, diri, kehidupan dan segalanya akan musnah,
kebenaran dan buah darinya yang akan tersisa.
Demikian Sang Mahasatwa dengan cara ini mengajarkan
kebenaran kepada penjahat kanibal tersebut, dan kemudian
untuk menjelaskannya, ia mengucapkan bait berikut:
Orang yang membuktikan perkataan yang diucapkannya,
—semua orang baik yang akan menghilangkan segala
keraguannya—
membuktikan dirinya sebagai tempat bernaung, tempat
bertumpu, dan tempat beristirahat;
Kasih dari orang-orang suci untuk dirinya takkan habis.
Setelah mengucapkan bait ini, ia berkata, “Teman
kanibal, tidaklah pantas bagimu untuk melampaui kata-kata dari
seorang Guru yang demikian baik, dan juga diriku, ketika Anda
masih muda, adalah gurumu dan mengajarimu banyak hal, dan
sekarang dengan gaya layaknya seorang Buddha, telah
kuperdengarkan untukmu syair-syair yang masing-masing
berharga senilai seratus keping. Oleh sebab itu, Anda harus
mematuhi perkataanku.” Ketika mendengar ini, penjahat kanibal
tersebut berpikir, “Sutasoma adalah guruku dan seorang yang
terpelajar, dan saya yang mengatakan akan mengabulkan
permintaannya. Apa yang kulakukan (ini)? Kematian adalah
suatu hal yang pasti dalam kehidupan setiap manusia. Saya tidak
akan lagi memakan daging manusia, akan kukabulkan
permintaannya,” dan berlinangan dengan air mata, ia pun bangkit
dan bersujud di kaki Sutasoma. Untuk mengabulkan
permintaannya, ia mengulangi bait berikut:
Manis dan enak terasa makanan ini olehku,
Dikarenakan alasan ini, saya tinggal di dalam hutan;
Tetapi jika Anda (tetap) memintaku untuk melakukan
perbuatan ini,
maka permintaan ini akan kukabulkan untukmu,
Temanku juga rajaku.
Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Bagus sekali,
Teman. Bagi seorang yang dengan ketat menjalankan latihan
moralitas (sila), bahkan kematian juga merupakan suatu
permintaan. Telah terkabulkan permintaanku kepadamu. Mulai
hari ini, Anda harus berjalan di jalan para ariya, dan oleh
karenanya saya memohon sesuatu kepadamu: jika Anda
memiliki cinta kasih terhadap diriku (dalam persahabatan), maka
jalankanlah, Paduka, lima latihan moralitas.” “Baik,” jawabnya,
“ajarkanlah kepadaku, Teman, lima latihan moralitas itu.” “Kalau
begitu, belajarlah dariku, Paduka.” Maka ia memberi
penghormatan kepada Sang Mahasatwa dengan bersujud pada
lima tumpuan276 dan duduk di satu sisi, kemudian Sang
Mahasatwa pun mengajarkan lima sila kepadanya. Kala itu, para
makhluk dewata yang berada di bumi berkumpul bersama dan
berkata, “Tak ada orang lain lagi, mulai dari penghuni Alam
Neraka Avīci sampai kepada penghuni alam tanpa bentuk,
dengan cinta kasih mampu membuat penjahat kanibal ini
berhenti memakan daging manusia, selain Sang Mahasatwa. Oh,
suatu keajaiban luar biasa dilakukan oleh Sutasoma,” dan mereka bertepuk tangan, membuat hutan itu menggemakan
suara-suara mereka yang keras. Mendengar suara (ribut) ini,
para dewa di Alam Cātumahārājika juga melakukan hal yang
sama, dan sampai akhirnya kegemparan ini bahkan sampai ke
alam brahma. Para raja yang tergantung di pohon juga
mendengar suara ribut tanda persetujuan ini dari para makhluk
dewata, dan dewi pohon tersebut dengan berdiri di dalam
kediamannya mengeluarkan suara tanda persetujuan juga. Jadi,
suara dari para makhluk dewata terdengar, tetapi bentuk mereka
tidak terlihat. Ketika mendengar suara ribut dari para makhluk
dewata tersebut, berpikir, “Dikarenakan Sutasoma, nyawa kita
terselamatkan: Sutasoma telah melakukan suatu keajaiban
dengan mengubah si pemakan daging manusia,” dan mereka
melantunkan puji-pujian terhadap Bodhisatta. Setelah bersujud di
kaki Sang Mahasatwa, penjahat kanibal itu berdiri di satu sisi.
Kemudian Sang Mahasatwa berkata kepadanya, “Teman,
bebaskanlah raja-raja kesatria itu.” Ia berpikir, “Saya adalah
musuh raja-raja kesatria itu. Jika kubebaskan, mereka akan
berkata, ‘Tangkap ia, ia adalah musuh kita,’ dan akan melakukan
sesuatu yang buruk terhadap diriku. Akan tetapi, meskipun harus
kehilangan nyawa, saya tidak boleh melanggar sila yang telah
kuambil dari Sutasoma. Saya akan pergi bersama dengannya
dan melepaskan raja-raja kesatria itu, dan dengan jalan ini akan
kudapatkan keselamatan.” Kemudian membungkuk memberi
hormat kepada Bodhisatta, ia berkata, “Sutasoma, mari kita pergi
bersama untuk membebaskan raja-raja kesatria itu,” dan ia
mengulangi bait berikut:
Guru sekaligus temanku adalah dirimu,
telah kupenuhi semua permintaanmu:
Sebagai balasannya, Anda lakukan apa yang kuminta
mari kita segera pergi dan bebaskan para raja ini.
Kemudian Bodhisatta berkata kepadanya:
Guru sekaligus temanmu adalah diriku,
telah kamu penuhi semua permintaanku:
Saya juga akan melakukan apa yang kamu minta,
mari kita segera pergi dan bebaskan para raja ini.
Setelah berada di dekat mereka, Bodhisatta berkata:
Terikat di pohon ini, air mata kalian berlinangan
karena penjahat kanibal telah melakukan perbuatan
buruk kepada kalian,
meskipun demikian, kami ingin kalian berjanji,
jangan pernah melukai raja ini.
Kemudian mereka membalas:
Terikat di pohon ini dan air mata berlinangan,
kami membenci penjahat kanibal ini yang telah
melakukan perbuatan buruk kepada kami,
meskipun demikian, kami semua berjanji,
tidak pernah melukainya jika kami dibebaskan.
Kemudian Bodhisatta berkata, “Baiklah, berikanlah
janji ini kepadaku,” dan mengulangi bait berikut:
Seperti orang tua yang menyayangi anak-anaknya
memberikan kasih sayang nan lembut,
demikianlah jadikan ia sebagai seorang ayah
dan kalian, sebagai anak-anaknya, mengasihinya.
Dengan menyetujui akan janji ini, mereka juga
mengulangi bait berikut:
Seperti orang tua yang menyayangi anak-anaknya
memberikan kasih sayang nan lembut,
demikianlah ia kami jadikan sebagai seorang ayah
dan, sebagai anak-anaknya, mengasihinya.
Demikian Sang Mahasatwa membuat mereka berjanji,
dan memanggil si pemakan daging manusia itu dengan berkata,
“Datanglah ke sini dan bebaskan raja-raja kesatria ini.” Ia
mengambil pedangnya dan memotong ikatan dari salah seorang
raja kesatria tersebut. Dikarenakan sudah tujuh hari raja ini tidak
makan dan didera dengan rasa sakit, maka tak lama setelah
ikatannya dipotong, kemudian ia terjatuh ke tanah. Melihat
kejadian ini, Sang Mahasatwa tergerak oleh cinta kasihnya dan
berkata, “Teman, jangan memotong ikatan mereka seperti ini,”
dan dengan memegang erat seorang raja kesatria lainnya
dengan kedua tangannya, ia mengangkatnya sampai ke bagian
dadanya dan berkata, “Sekarang potonglah ikatannya.” Maka penjahat kanibal itu pun memotong ikatan tersebut dengan
pedangnya. Kemudian Sang Mahasatwa, yang diberkahi dengan
kekuatan yang besar, menopangnya di bagian dada,
menurunkannya dengan perlahan seolah-olah ia adalah anaknya
sendiri, dan membaringkannya di tanah. Dengan cara yang
demikian ia membaringkan mereka semua di tanah. Setelah
membersihkan luka-luka mereka, dengan lembut ia melepaskan
tali ikatan dari tangan-tangan mereka, seolah-olah tali yang
dilepaskan dari telinga seorang anak kecil, kemudian
melancarkan kembali darah yang membeku, ia membuat lukaluka
itu menjadi tidak berbahaya. Dan ia berkata kepada
penjahat kanibal tersebut, “Teman, haluskanlah beberapa kulit
kayu pohon pada batu dan bawakanlah itu kepadaku.” Setelah itu
dilakukannya, ia melakukan pernyataan kebenaran dan
menggosokannya pada telapak tangan mereka, dan seketika itu
juga luka-luka mereka menjadi sembuh. Penjahat kanibal itu
membawa beras sekam dan memasaknya sebagai obat [505],
dan mereka berdua memberikan obat itu kepada seratus raja
kesatria. Demikian mereka semua dirawat, dan matahari pun
kala itu terbenam. Keesokan harinya, pada pagi, siang dan
malam hari mereka masih memberikan mereka minum air beras,
tetapi pada hari ketiga dan berikutnya sampai sembuh, mereka
memberikan bubur susu. Kemudian Sang Mahasatwa
menanyakan apakah mereka sudah cukup kuat untuk dapat
pulang kembali, dan ketika mereka menjawab mereka sanggup
melakukannya, ia berkata, “Temanku pemakan daging manusia,
mari kita pulang kembali ke kerajaan kita masing-masing.”
Tetapi, dengan meratap, ia bersujud di kaki Sang Mahasatwa dan berkata, “Teman, Anda saja yang bawa raja-raja kesatria ini
dan pulang kembali. Sedangkan, saya akan tetap tinggal di sini,
bertahan hidup dengan memakan buah-buahan dan akarakaran.”
“Apa yang akan Anda lakukan di sini, Teman?
Kerajaanmu adalah tempat yang menyenangkan: pergi dan
pimpinlah kembali Benares.” “Teman, apa yang Anda katakan
ini? Adalah hal yang tidak mungkin bagiku untuk kembali ke
sana: semua penduduk di sana adalah musuhku. Mereka akan
mengecamku dan mengatakan, ‘Orang ini memakan ibuku, atau
ayahku; tangkap penjahat ini,’ dan dengan bebatuan, mereka
akan merenggut nyawaku. Jika tetap kukuh dalam lima latihan
moralitas, saya tidak dapat membunuh siapa pun, tidak juga
bahkan untuk menyelamatkan nyawaku. Saya tidak akan pergi.
Sebagai akibat dari perbuatanku yang berhenti memakan daging
manusia, berapa lama waktu yang kumiliki untuk bertahan hidup?
Dan sekarang saya tidak akan berjumpa lagi denganmu,” dan ia
menangis, sambil berkata, “Pergilah.” Sang Mahasatwa
mengusap punggungnya dan berkata, “Teman, namaku adalah
Sutasoma: telah kuubah dirimu, seorang makhluk yang
sedemikian buruknya. Jika Anda menanyakan apa yang harus
dilakukan di Benares, saya akan mengembalikan kekuasaan
kepadamu, atau (kalau tidak berhasil) kerajaanku akan kubagi
dua dan kuberikan setengahnya kepadamu.” “Di dalam
kerajaanmu juga saya memiliki musuh,” balasnya. Sutasoma
berpikir, “Dengan mematuhi perkataanku, orang ini telah
melakukan satu tugas yang amat sulit: Dengan suatu cara harus
kukembalikan kejayaan dirinya yang dahulu,” dan untuk menggoda dirinya, ia melantunkan pujian akan kejayaan
kerajaannya dan berkata:
Daging hewan dan segala jenis burung
pernah Anda nikmati,
dimasakkan oleh para juru masak yang ahli,
hidangan yang benar-benar lezat,
Meninggalkan kesenangan demikian seperti apa yang
dirasakan oleh (Dewa) Indra, dalam menikmati
ambrosia—
Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam
hutan ini sendirian?
Para wanita kaum kesatria dengan pinggang ramping,
pakaian yang luar biasa,
yang biasanya mengelilingimu, sekumpulan gadis,
seperti halnya (Dewa) Indra, di antara para bidadarinya,
melangkah dalam kebahagiaan—
Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?
Di atas ranjang megah, wahai raja, pernah Anda berbaring,
dengan sedemikian banyak seprai menumpuk, mengelilingimu,
bantal merah di bawah kepalamu dan kain yang putih nan bersih—
Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?
Pernah, acap kali di malam hari terdengar suara tabuhan genderang,
dan suara-suara yang bukan suara manusia juga dapat terdengar,
musik dan lagu selalu dalam satu kesatuan, membuat suasana hati tetap gembira—
Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?
Anda pernah memiliki sebuah taman tempat tumbuhnya beragam jenis bunga,
Migācira, dikenal dengan demikian namanya, sebagai taman dan juga kota,
di sana terdapat kuda-kuda, gajah-gajah, dan kereta-kereta dalam jumlah besar—
Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?
Sang Mahasatwa berpikir, “Mungkin orang ini,
dengan mengingat kembali kesenangan-kesenangan yang
dinikmatinya dahulu kala, akan menjadi ingin untuk pergi
bersamaku,” dan demikian ia menggodanya, pertama dengan makanan, kedua dengan nafsu, ketiga dengan ranjang, keempat
dengan nyanyian, tarian dan musik, kelima dengan
mengingatkannya akan taman dan kota—dengan semua
pemikiran ini ia menggodanya, dan berkata, “Mari, Paduka, saya
akan pergi bersamamu ke Benares dan mengembalikan
kedudukan raja kepadamu, dan setelah itu saya akan kembali ke
kerajaanku sendiri; tetapi jika kita gagal mendapatkan kembali
kekuasaanmu di Kerajaan Benares, saya akan memberikan
kepadamu setengah dari kerajaanku. Apalah gunanya tinggal di
dalam hutan? Lakukan saja seperti apa yang kukatakan.” Setelah
mendengar perkataannya, penjahat kanibal itu menjadi ingin
pergi bersama dengannya dan berpikir, “Sutasoma menginginkan
kebaikan untuk diriku dan ia adalah seorang yang penuh cinta
kasih. Pertama ia membuat diriku kukuh dalam kebajikan, dan
sekarang ia mengatakan akan mengembalikan kejayaan diriku
seperti sediakala, ia pasti mampu melakukannya. Saya harus
pergi bersamanya. Apalah gunanya tinggal di dalam hutan?” Dan
dengan perasaan sukacita, ia ingin melantunkan pujian terhadap
Sutasoma dikarenakan jasa kebajikannya, dan ia berkata,
“Teman Sutasoma, tidak ada hal lain yang lebih baik daripada
bersahabat dengan seorang teman yang baik, tidak ada hal lain
yang lebih buruk daripada bersahabat dengan seorang teman
yang buruk,” dan mengulangi bait-bait berikut:
Seperti bulan yang makin redup dari hari ke hari setelah
pertengahan bulan,
demikianlah persahabatan dengan orang yang buruk,
wahai raja, membuahkan penderitaan seperti
pembusukan;
Demikian saya bersahabat dengan juru masak itu, orang
yang hina dari yang paling hina, melakukan perbuatan
buruk, yang memastikan diriku masuk ke alam neraka.
Seperti bulan yang makin terang dari hari ke hari
sebelum pertengahan bulan,
demikianlah persahabatan dengan orang baik, wahai
raja, tidak akan membuahkan penderitaan seperti pembusukan:
Demikian saya bersahabat denganmu, Anda tahu itu,
melakukan kebajikan, yang membawa diriku ke alam
surga, yang menyenangkan.
Seperti banjir besar yang melanda daratan kering akan
reda secara perlahan, bersifat sementara,
demikianlah persahabatan dengan orang yang buruk,
wahai raja, seperti air di daratan, suatu hal yang lambat
laun akan menghilang.
Seperti banjir besar yang melanda lautan
akan bertahan lama,
demikianlah persahabatan dengan orang yang baik,
wahai raja, seperti air di lautan,
suatu hal yang bertahan lama.
Tidaklah singkat persahabatan dengan orang yang baik,
selama hidup, persahabatan demikian bertahan,
sedangkan persahabatan dengan orang yang buruk
segera berakhir,
dari jalan kebajikan, orang-orang yang buruk tersesat.
Demikian dalam tujuh bait kalimat, penjahat kanibal itu
melantunkan pujian terhadap Sang Mahasatwa. Sang
Mahasatwa kemudian membawanya beserta dengan para raja
kesatria tersebut pergi ke suatu desa perbatasan, dan para
penduduk yang melihat Sang Mahasatwa pergi ke kota dan
melaporkannya. Kemudian para menteri raja datang beserta
dengan satu pasukan dan mengawal Sang Mahasatwa, dengan
kawalan rombongan ini ia tiba di Kerajaan Benares. Di tengah
perjalanan ke sana, penduduk kota membawakan hadiah dan
mengikuti rombongannya, dan oleh karenanya terdapat
sekelompok besar orang yang tiba di Benares bersama
dengannya. Pada waktu itu, putra dari penjahat kanibal itu
menjadi raja dan Kalahatthi masih tetap menjabat sebagai
panglima. Orang-orang di kota melaporkan ini kepada raja
dengan berkata, “Paduka, dikatakan bahwa Sutasoma telah
mengubah si penjahat kanibal dan sekarang telah tiba di sini
bersama dengannya. Kita tidak akan memperbolehkan ia masuk
ke kota,” dan dengan segera mereka menutup gerbang kota,
berdiri dengan lengan di dalam tangan mereka. Ketika
mengetahui gerbang kota ditutup, Sang Mahasatwa
meninggalkan penjahat kanibal dan seratus raja kesatria tersebut, pergi bersama sebagian menteri dan berseru, “Saya
adalah Raja Sutasoma, buka pintu gerbangnya,” dan para
pengawal kerajaan pergi memberitahukan ini kepada raja. Raja
memerintahkan untuk segera membuka pintu gerbangnya, dan
Sang Mahasatwa pun masuk ke dalam kota. Raja dan kalahatthi
keluar untk menjumpainya dan membawanya naik ke
istana. Setelah duduk di tempat duduk yang mewah, Sang
Mahasatwa memanggil istri dari penjahat kanibal dan juga
rombongan menterinya, kemudian bertanya kepada Kalahatthi,
“Mengapa, Kalahatthi, Anda tidak memperbolehkan raja untuk
masuk ke dalam kota?” Ia menjawab, “Ia adalah seorang yang
jahat. Di saat ia memerintah sebagai raja di kota ini, ia memakan
banyak manusia dan melakukan apa yang tidak seharusnya
dilakukan oleh kaum kesatria, dan menggemparkan seluruh
India: itulah alasannya mengapa kami bertindak demikian.”
“Jangan beranggapan,” balasnya, “bahwa ia akan bertindak
seperti itu lagi sekarang. Saya telah mengubah dirinya dan
mengukuhkan dirinya dalam sila. Bahkan untuk menyelamatkan
dirinya sendiri, ia tidak akan melukai orang lain. Kalian tidak
berada dalam bahaya: janganlah bertindak seperti ini.
Sesungguhnya, anak harus merawat orang tua: mereka yang
membahagiakan orang tuanya akan terlahir di alam surga,
sedangkan mereka yang tidak membahagiakan orang tuanya
akan terlahir di alam neraka.” Demikian ia menasihati putra raja,
yang duduk di sampingnya di tempat duduk yang rendah.
Kemudian ia mengajari panglima dengan berkata, “Kalahatthi,
Anda adalah seorang teman sekaligus pengikut raja, dan
mendapatkan kekuasaan yang besar dikarenakan olehnya; Anda juga harus bertindak mendukung raja.” Dan untuk menasihati
ratu, ia berkata, “Wahai ratu, Anda berasal dari keturunan
bangsawan dan dari tangannya Anda mendapatkan posisi
sebagai permaisuri, dan mendapatkan banyak putra dan putri
darinya; Anda juga harus bertindak mendukung raja,” dan
sebagai puncaknya dalam mengajarkan kebenaran ini, ia berkata:
Tidak ada raja yang seharusnya bertindak melampaui
batas terhadap ia yang tak terkalahkan,
Tidak ada teman yang mendapatkan teman yang lebih
baik melalui tindak pengkhianatan;
Wanita yang takut berdiri membela suaminya bukanlah
seorang istri sejati,
dan mereka juga bukan anak-anak yang berbakti, yang
tidak merawat ayahnya di masa tua.
Tidak ada balai yang tidak memiliki seorang bijak
di dalamnya,
Tidak ada orang bijak yang tidak menyebarkan
kebenaran di mana pun ia berada.
Orang bijak adalah mereka yang telah mengenyahkan
nafsu (kemelekatan), kebencian, dan kedunguan,
serta tidak pernah tidak mengajarkan kebenaran di mana
pun ia berada.
Orang bijak di antara orang-orang dungu, jika membisu,
tidak ada yang tahu ia adalah orang bijak,
(jika) ia berbicara, maka seluruh alam mengenalnya
sebagai seorang guru.
Ajarkan, terangkan kebenaran, dan kibarkan (tinggi)
bendera para orang suci,
lambang dari orang suci adalah ucapan yang
bermanfaat, dan kebenaran adalah bendera yang
mereka kibarkan.
Setelah mendengar pemaparan kebenaran ini, raja
dan panglima bersukacita dan berkata, “Mari kita pergi dan
jemput raja kembali ke sini,” dan setelah membuat pengumuman
di kota dengan tabuhan genderang, mereka memanggil keluar
semua penduduk dan berkata, “Jangan takut lagi; mereka
memberitahukan kami bahwa raja telah menjadi orang yang
kukuh dalam kebenaran: mari kita pergi membawanya kembali
ke tempat ini.” Maka dengan satu rombongan yang amat besar,
dengan Sang Mahasatwa sebagai pemimpin rombongan, mereka
pun pergi dan memberi salam hormat kepada raja. Mereka
memanggilkan tukang pangkas untuknya; ketika rambut dan
janggutnya telah dirapikan, ketika ia telah selesai mandi dan
mengenakan pakaian yang mewah, mereka mendudukkannya di
satu tumpukan batu permata, melakukan upacara pemercikan
dan kemudian membawanya masuk ke dalam kota. Raja
pemakan daging manusia itu memberikan penghormatan yang
besar kepada para raja kesatria dan Sang Mahasatwa. Terdapat suatu kegemparan yang besar di seluruh India yang mengatakan
bahwa Sutasoma, raja manusia, telah mengubah seorang
penjahat kanibal dan mengembalikan kekuasaannya sebagai raja
di kerajaannya. Penduduk Kota Indapatta mengirim pesan,
meminta raja mereka untuk pulang kembali. Sang Mahasatwa
tinggal di sana selama satu bulan dan demikian menasihati raja,
“Teman, kami akan pergi. Pastikan Anda tidak lalai dalam
kebajikan, bangunlah lima balai distribusi dana di gerbang kota
dan satu balai di pintu istanamu, dan jalankanlah sepuluh
kualitas seorang raja, serta lindungilah diri dari jalan-jalan
perbuatan buruk.” Bala tentara dari seratus kota kerajaan
berkumpul bersama dan dengan kawalan rombongan ini ia
berangkat meninggalkan Benares. Pemakan daging manusia
tersebut ikut pergi mengantarnya, dan berhenti di pertengahan
perjalanan. Sang Mahasatwa memberikan kuda kepada mereka
yang tidak memiliki kuda dan sebagainya, kemudian meminta
mereka untuk pergi membubarkan diri. Mereka semua saling
bersitabik beruluk salam, dan setelah saling memberikan salam
dan berpelukan, mereka masing-masing kembali kepada
rakyatnya. Sang Mahasatwa juga, tiba dengan keagungan yang
mulia di Indapatta, masuk ke dalam kota, yang telah dihias oleh
para penduduknya menjadi seolah-olah seperti kota para dewa.
Setelah memberi hormat kepada orang tuanya dan menyatakan
kegembiraannya berjumpa kembali dengan mereka, ia pun naik
ke menara istana. Ketika ia memerintah dengan benar di
kerajaannya, terlintas pikiran ini di benaknya, “Makhluk dewata
penjaga pohon itu sudah sangat membantuku; akan kupastikan
ia mendapatkan persembahan yang setimpal.” Maka ia meminta pengawalnya untuk membuat satu danau yang besar di dekat
pohon beringin itu dan memindahkan banyak keluarga untuk
membangun sebuah perkampungan di sana. Perkampungan itu
kemudian tumbuh berkembang menjadi sebuah tempat yang
besar dengan delapan ribu tempat jualan. Dan dimulai dari batas
terjauh yang dijangkau cabang pohonnya, ia menaikkan tanah
tempat akar pohonnya berada dan mengelilinginya dengan
sebuah anjungan yang dilindungi dengan panah dan gerbang;
demikianlah makhluk dewata penjaga pohon itu disenangkannya.
Dikarenakan perkampungan itu dibangun di tempat penjahat
kanibal itu dijinakkan, tempat itu berkembang menjadi Kota
Kammāsadamma. Dan semua raja tersebut, dengan mengikuti
nasihat dari Sang Mahasatwa, melakukan kebajikan seperti
memberikan derma dan sebagainya, terlahir di alam surga.
Sang Mahasatwa mengakhiri uraian Dhamma-Nya di sini dan berkata, “Bukan hanya kali ini, Para Bhikkhu, saya mengubah Aṅgulimāla, tetapi juga di masa lampau dirinya diubah olehku,” dan mempertautkan kisah kelahiran ini, “Pada masa itu, raja pemakan daging manusia itu adalah Aṅgulimāla, Kāḷahatthi adalah Sāriputta, Brahmana Nanda adalah Ānanda, dewi pohon adalah Kassapa, Sakka adalah Anuruddha, raja-raja kesatria adalah para pengikut Buddha, ayah dan ibu dari raja adalah anggota dari kehidupan maharaja, dan Raja Sutasoma adalah diriku sendiri.”
*****
Sumber: ITC, Jataka Vol. 5