MAHĀ SUTASOMA JĀTAKA

“Tuan dari rasa,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang Thera, Aṅgulimāla (Angulimala). Kisah kelahirannya dan bagaimana ia bisa menerima penahbisan menjadi seorang bhikkhu dapat dilihat pada Aṅgulimāla Sutta. Mulai dari saat dengan menggunakan pernyataan kebenaran ia menyelamatkan nyawa seorang wanita yang mengalami kesulitan dalam proses kelahiran, ia mendapatkan makanan derma dengan mudahnya, dan dengan terus-menerus mengembangkan pelepasan (viveka) ia pun mencapai tingkat kesucian Arahat, dan kemudian dikenal sebagai salah satu dari delapan puluh Mahathera. Kala itu, para bhikkhu memulai pembicaraan mengenai ini di dalam balai kebenaran, dengan berkata, “Āvuso, betapa suatu keajaiban luar biasa yang disebabkan oleh Yang Terberkahi, dengan damai tanpa menggunakan kekerasan apa pun, Beliau mengubah dan membuat seorang penyamun besar yang keji dan berlumuran darah, Angulimala, menjadi rendah hati: Oh, sungguh, para Buddha melakukan hal-hal yang luar biasa!” Sang Guru yang sedang duduk di dalam gandhakuṭi, dengan kekuatan telinga dewa-Nya, mendengar apa yang mereka katakan. Mengetahui bahwa kedatangan-Nya pada hari itu akan menjadi sangat membantu dan akan adanya pemaparan khotbah besar, dengan keanggunan seorang Buddha, Beliau pergi ke balai kebenaran dan setelah duduk di tempat yang telah disediakan, menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan dengan duduk berkumpul di sana; ketika mereka memberitahukan topik pembicaraannya, Beliau berkata, “Tidaklah luar biasa, para bhikkhu, di saat sekarang saya mengubahnya, ketika telah kucapai penerangan tertinggi. Di masa lampau ketika hidup dengan pengetahuan yang terbatas, juga kuubah dirinya menjadi yang baik,” dan setelah mengucapkan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala seorang raja yang bernama Koravya

memerintah Kota Indapatta dengan benar, di dalam Kerajaan

Kuru. Bodhisatta terlahir sebagai anak dari permaisurinya, dan

dikarenakan kegemarannya akan jus buah soma, mereka

memberinya nama Sutasoma. Ketika beranjak dewasa, ayahnya

mengirim ia ke Takkasila untuk mendapatkan pendidikan dari

seorang guru yang terkemuka. Maka setelah mengambil uang

untuk membayar gurunya, ia pun berangkat pergi. Di Kerajaan

Benares juga, Pangeran Brahmadatta, putra dari Raja Kasi,

dikirim oleh ayahnya dengan tujuan yang sama, dan berangkat

menuju tempat yang sama. Di tengah perjalanannya, untuk

beristirahat, Sutasoma duduk di sebuah papan yang terdapat

dalam suatu balai di dekat gerbang kota. Pangeran Brahmadatta

juga, datang dan duduk di papan yang sama. Setelah beruluk

salam, Sutasoma bertanya kepadanya, “Teman, Anda kelihatan

lelah dalam perjalanan. Dari manakah asalmu?” Ketika

dijawabnya, “Dari Benares,” ia kemudian menanyakan putra

siapakah dirinya itu. “Putra dari Brahmadatta.” “Dan siapakah

namamu?” “Pangeran Brahmadatta.” “Apa tujuanmu datang ke

sini?” “Untuk mendapatkan pendidikan,” jawabnya. Kemudian

Pangeran Brahmadatta berkata, “Anda juga kelihatan lelah dalam

perjalanan,” dan menanyakan hal yang sama kepadanya. Dan

Sutasoma memberitahukan kepadanya semua tentang dirinya.

Mereka berdua kemudian berpikir, “Kami berdua adalah

pangeran yang pergi untuk mendapatkan pendidikan dalam ilmu pengetahuan dari satu guru yang sama,” dan mereka pun

menjadi sahabat. Kemudian setelah memasuki kota, mereka

langsung pergi ke rumah sang guru dan memberi salam hormat

kepadanya, dan setelah memberitahukan dari mana mereka

berasal, mereka pun memberitahukan bahwa tujuan mereka

datang adalah untuk mendapatkan pendidikan. Sang guru

menerima permintaan mereka. Setelah memberikan uang untuk

pendidikan, mereka memulai pembelajaran. Bukan hanya

mereka saja, tetapi pangeran-pangeran lain yang ada di India,

sampai berjumlah seratus satu orang, mendapatkan pendidikan

dari guru yang sama. Merupakan murid yang senior, dengan

cepat Sutasoma mendapatkan kemampuan dalam mengajar,

tanpa mengunjungi yang lainnya, ia berpikir, “Ini adalah

sahabatku,” dan hanya mengunjungi Pangeran Brahmadatta.

Menjadi guru pribadinya, dengan cepat ia mengajari dirinya,

sedangkan yang lainnya secara berangsur-angsur mendapatkan

pelajaran mereka. Setelah menyelesaikan pendidikannya,

mereka berpamitan dengan sang guru, dan dengan membentuk

satu kumpulan mengikuti Sutasoma dalam perjalanan pulang.

Kemudian dengan berdiri di depan mereka, untuk membubarkan

mereka, Sutasoma berkata, “Setelah kalian menunjukkan bukti

dari pembelajaran kepada ayah kalian masing-masing, kalian

akan menjadi raja di kerajaan masing-masing. Ketika hal itu

terjadi, pastikan kalian mematuhi petunjuk dariku.” “Apa

petunjuknya itu?” “Menjalankan sila Uposatha dan berusaha

menghindari pembunuhan terhadap makhluk apa pun.” Mereka

semuanya setuju dengan hal ini. Dari kekuatannya untuk

meramal dari penampilan seseorang, Bodhisatta mengetahui bahwa bahaya besar akan muncul yang berhubungan dengan

Pangeran Benares di masa yang akan datang, dan oleh karena

itu ia membubarkan mereka dengan sebelumnya menasihati

mereka demikian. Mereka semua kemudian kembali ke kerajaan

masing-masing, dan setelah menunjukkan hasil pembelajaran

kepada ayah mereka, mereka pun naik takhta menjadi raja.

Untuk memberitahukan tentang hal ini dan juga tentang mereka

yang tetap menjalankan nasihatnya, dan sebuah hadiah, mereka

mengirimkan surat kepada Sutasoma. Ketika mengetahui hal ini,

Sang Mahasatwa membalas surat-surat mereka, dengan tetap

meminta mereka melakukannya dengan sungguh-sungguh

berkeyakinan. Salah satu dari mereka, Raja Benares, tidak

pernah memakan makanannya tanpa daging, dan untuk

menjalankan laku Uposatha, mereka akan meletakkan dagingnya

di satu sisi. Suatu hari, setelah dagingnya diletakkan demikian,

disebabkan oleh kecerobohan dari si juru masak, anjing-anjing

yang berada di dalam istana memakan daging tersebut. Ketika

tidak lagi menemukan daging itu, juru masak istana mengambil

segenggam penuh koin dan berkeliling untuk membeli daging.

Tidak berhasil untuk mendapatkan daging apa pun, ia berkata,

“Jika kusajikan makanan tanpa daging, saya pasti akan mati. Apa

yang harus kulakukan?” Tetapi setelah berpikir, “Masih ada satu

cara,” pada malam hari ia pergi ke suatu daerah pekuburan

tempat mayat-mayat dikuburkan, ia mengambil daging paha dari

seorang laki-laki yang baru saja meninggal. Ia memanggangnya

sampai matang dan menyajikannya sebagai makanan. Tak lama

setelah potongan kecil daging itu masuk ke lidah raja, kemudian

itu menyampaikan suatu sensasi ke tujuh ribu saraf perasa dan terus-menerus menimbulkan suatu guncangan di sekujur tubuh

raja. Mengapa terjadi demikian? Karena di kehidupan

lampaunya, ia pernah memakan makanan seperti ini. Dikatakan

bahwa sebagai yaksa di kehidupan lampaunya, ia memakan

sejumlah daging manusia, dan oleh sebab itulah tubuhnya

mengenali rasa tersebut. Raja kemudian berpikir, “Jika

saya tetap makan tanpa bersuara, ia tidak akan

memberitahukanku daging apa ini sebenarnya,” maka ia pun

memuntahkan sepotong daging ke lantai. Ketika juru masak itu

berkata, “Paduka, Anda dapat memakannya; tidak ada yang

salah,” raja memerintahkan semua pengawalnya untuk keluar

dan berkata, “Saya tahu daging ini tidak bermasalah, tetapi

daging apakah ini?” “Sama seperti apa Yang Mulia makan pada

hari-hari sebelumnya.” “Mengapa daging pada hari-hari

sebelumnya tidak memiliki rasa seperti ini?” “Karena hari ini

dagingnya dimasak dengan amat baik, Paduka.” “Apakah benar

kamu memasaknya sama seperti pada hari-hari sebelumnya?”

Kemudian ketika melihatnya diam membisu, raja berkata, “Jika

tidak memberitahukan yang sebenarnya, maka kamu akan mati.”

Maka ia pun meminta jaminan pengampunan terlebih dahulu dan

memberitahukan kebenarannya. Raja berkata, “Jangan

mengatakan apa-apa tentang ini. Kamu akan tetap dapat

memakan daging yang biasa kamu masak, dan, hanya untukku

sendiri, kamu harus memasak daging manusia.” “Ini adalah suatu hal yang sulit, Paduka.” “Jangan takut, tidak ada yang sulit.” “Dari

mana bisa kudapatkan daging manusia secara terus-menerus?”

“Apakah tidak ada banyak orang di dalam penjara?” Mulai saat

itu, ia pun melakukan apa yang diminta oleh raja. Lambat laun,

ketika jumlah tawanan telah amat berkurang, ia berkata, “Apa

yang harus kulakukan sekarang?” “Buanglah satu bungkusan

yang berisikan ribuan keping uang di tengah jalan besar, dan

tangkaplah siapa saja yang memungutnya sebagai seorang

pencuri dan hukum mati dirinya.” Ia pun melakukan demikian.

Lambat laun, ketika tidak ada lagi orang yang mengambil

bungkusan uang itu, ia berkata, “Apa yang harus kulakukan

sekarang?” “Di saat genderang dibunyikan pada jam malam, kota

akan dipenuhi dengan orang. Kemudian, dengan berada di celah

pada dinding rumah atau persimpangan jalan, pukullah

seseorang sampai jatuh mati dan ambillah dagingnya.” Mulai hari

itu, ia selalu kembali dengan membawa daging segar, dan di

tempat-tempat yang berbeda selalu terdapat mayat-mayat

berserakan. Ratap tangis pun terdengar, “Saya telah kehilangan

ayah, saya telah kehilangan ibu, saya telah kehilangan abang,

saya telah kehilangan adik.” Para penduduk diserang dengan

kepanikan dan berkata, “Pasti ada singa atau harimau atau

yaksa yang memakan orang-orang ini.” Ketika memeriksa mayatmayat

tersebut, mereka melihat luka seperti akibat perbuatan

manusia dan berkata, “Apakah ini berarti manusia yang

memakan daging mereka-mereka ini?” Para penduduk

berkumpul bersama di halaman istana dan menyampaikan

keluhan mereka. Raja bertanya, “Ada apa ini, Teman-temanku?”

“Paduka,” kata mereka, “ada penjahat kanibal di kota ini: Mohon Paduka memerintahkan pengawal untuk menangkapnya.”

“Bagaimana caranya saya mengetahui siapa itu orangnya?

Apakah saya harus berjalan berkeliling dan menjaga kota?” Para

penduduk berkata, “Raja tidak memiliki kepedulian (lagi)

terhadap kota. Kami akan melaporkan hal ini kepada Panglima

Tertinggi, Kāḷahatthi (Kalahatthi).” Mereka memberitahukan

masalah itu kepadanya dan berkata, “Anda harus mencari

penjahat itu.” Panglima menjawab, “Berilah waktu tujuh hari,

akan kudapatkan penjahat itu dan kuserahkan ia kepada kalian.”

Dan setelah membubarkan kumpulan orang tersebut, ia

memberikan perintah kepada para pengawalnya, dengan

berkata, “Teman-temanku, orang-orang mengatakan bahwa ada

seorang penjahat kanibal di kota ini. Siap siaga lah di beberapa

tempat yang berbeda dan kalian harus mampu menangkapnya.”

“Baik,” jawab mereka. Mulai hari itu, mereka mengelilingi seluruh

kota. Kemudian, si juru masak bersembunyi di celah sebuah

rumah dan membunuh seorang wanita, dan mulai mengisi

keranjangnya dengan daging segar. Maka para pengawal istana

seketika itu juga menangkap dan memukulinya, dan setelah

mengikat kedua tangannya di belakang, mereka berkata dengan

keras, “Kami telah menangkap penjahat kanibal itu.” Kerumunan

orang pun mengelilingi mereka. Kemudian setelah memukulinya

dengan keras dan mengikat keranjang daging itu di lehernya,

mereka membawanya ke hadapan panglima. Ketika melihatnya,

panglima berpikir, “Apakah orang ini yang memakan daging atau

apakah ia mencampurnya dengan daging yang lain dan

menjualnya, atau apakah ia membunuh orang atas perintah orang lain?” Dan untuk menanyakan masalah ini, ia

mengucapkan bait pertama berikut:

Tuan dari segala rasa, kebutuhan apa yang

mendesakmu melakukan perbuatan mengerikan ini?

Apakah untuk makanan atau untuk kekayaan, Orang

buruk yang salah arah, Anda membunuh orang-orang?

Bait-bait berikutnya diucapkan oleh mereka secara

bergantian:

Bukan untuk istri atau anak, teman, saudara, atau uang,

Bukan juga untuk diriku sendiri kubunuh wanita ini;

Tuanku yang mulia, pemimpin negeri ini,

memakan daging manusia: kulakukan perbuatan buruk

ini atas permintaannya.

Jika demikian diperintahkan untuk memuaskan nafsu

tamak dari tuanmu, maka Anda bersalah atas perbuatan

buruk ini,

Mari kita menghadap kepada raja di subuh hari,

dan kembalikan tuduhan ini kepada dirinya.

Wahai Kāḷahatthi, pemimpin baik yang patut dipuja,

akan kulakukan sesuai dengan perkataanmu,

saya akan menghadap kepada raja di subuh hari,

dan mengembalikan tuduhan ini kepada dirinya.

Maka sang panglima membaringkannya, tetap dalam

keadaan terikat, dan pada subuh hari ia berdiskusi dengan para

pemimpin pasukannya. Ketika mereka setuju dengannya, ia pun

menempatkan penjaga di segala penjuru, dan setelah demikian

menguasai kota, ia mengikatkan keranjang daging itu pada leher

si juru masak dan pergi bersamanya menuju ke istana, seluruh

kota berada dalam suatu kegemparan. Hari itu, raja telah

menyantap sarapan satu hari sebelumnya, tetapi tidak

menyantap makan malam dan menghabiskan waktunya

semalaman duduk menunggu si juru masak datang. “Hari ini

juga,” pikirnya, “tak ada juru masak yang datang, dan kudengar

ada kegemparan di kota. Ada apa gerangan?” Dan sewaktu

melihat ke luar jendela, ia melihat laki-laki itu diperlakukan

dengan cara yang telah diuraikan sebelumnya menuju ke sana,

dan dengan berpikir bahwa semuanya telah terbongkar, ia pun

berusaha mengumpulkan segala keberaniannya dan duduk di

takhtanya. Kalahatthi kemudian menghampirinya dan bertanya

kepadanya, dan raja menjawabnya.

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Matahari belum terbit dan hari pun belum pagi,

ketika Kāḷa datang ke istana membawa serta juru masak,

dan dengan menghampiri raja, kata-kata berikut diucapkannya.

‘Paduka, apakah benar juru masak ini dikirim ke jalanan,

dan diperintahkan untu membunuh orang-orang agar

dapat memberikan daging kepadamu sebagai

makanan?’

’Kāḷa, benar demikian; itu dilakukan atas permintaanku:

Mengapa menyalahkannya atas perbuatan yang

dilakukan atas perintah dariku?’

Ketika mendengar ini, panglima berpikir, “Ia

mengakuinya dengan mulutnya sendiri. Oh, Makhluk keji! Selama

ini ia memakan daging manusia: akan kuhentikan ia dari

perbuatannya ini,” dan berkata, “Paduka, janganlah makan ini,

jangan memakan daging manusia.” “Kalahatthi, apa yang kamu

katakan ini? Saya tidak bisa berhenti darinya.” “Paduka, jika tidak

berhenti darinya, Anda akan menghancurkan diri sendiri dan juga

kerajaan.” “Meskipun kerajaanku hancur, tetapi saya tidak

mampu berhenti darinya.” Kemudian sang panglima, untuk

memberikan pemikiran yang lebih baik, menceritakan sebuah

kisah sebagai bentuk perumpamaan.

Dahulu kala terdapat enam ekor ikan monster di sebuah samudra

yang mahaluas. Mereka adalah Ānanda (Ananda), Timanda,

Ajjhohāra (Ajjhohara) yang berukuran lima ratus yojana

panjangnya, Tītimīti (Titimiti), Miṅgala (Mingala), Timirapiṅgala

(Timirapingala) yang berukuran seribu yojana panjangnya.

Mereka semuanya ini pemakan lumut yang tumbuh di

bebatuan. Di antara mereka, Ananda tinggal di satu sisi dari samudra tersebut dan banyak ikan yang datang untuk

mengunjunginya. Suatu hari mereka berpikir, “Terdapat para

pemimpin di antara makhluk-makhluk berkaki dua dan makhlukmakhluk

berkaki empat, tetapi kami tidak memiliki raja

(pemimpin): kami akan menjadikan ikan ini sebagai raja kami.”

Dan karena semuanya mencapai satu kesepakatan, mereka pun

menjadikan Ananda sebagai raja mereka, dan mulai hari itu

semua ikan datang untuk memberikan hormat dan pelayanan

kepadanya. Suatu hari, Ananda sedang berada di satu gunung

dan menyantap lumut yang ada, secara tak sengaja ia memakan

seekor ikan karena mengira itu adalah lumut. Daging ikan

itu terasa lezat baginya, dan merasa ingin tahu benda apa itu

yang begitu manis, ia pun mengeluarkannya dari mulut dan

melihat potongan daging dari seekor ikan. Ia berpikir, “Karena

ketidaktahuan-ku selama ini tidak pernah kumakan makanan

jenis ini sebelumnya: setiap sore dan pagi hari ketika ikan-ikan itu

datang untuk memberikan pelayanan kepadaku, akan kumakan

satu atau dua dari mereka, karena jika kumakan mereka secara

terang-terangan, maka tak ada satu pun yang akan mendekatiku

lagi, mereka akan kabur semuanya.” Maka dengan sembunyisembunyi,

ia menyerang ikan yang berada di bagian belakang

(ketika hendak pulang) dan memakannya. Ketika jumlah mereka

lambat laun menjadi berkurang, ikan-ikan tersebut berpikir,

“Bahaya apa ini yang mengancam kami?” Kemudian seekor ikan

bijak yang berada di antara mereka berpikir, “Saya merasa tidak

puas dengan apa yang dilakukan oleh Ananda: akan kuselidiki

apa yang sebenarnya dilakukannya,” dan ketika ikan-ikan datang

untuk memberikan hormat dan pelayanan kepada Ananda, si ikan bijak itu bersembunyi pada insang Ananda. Setelah

membubarkan ikan-ikan tersebut, Ananda memakan mereka

yang berada di luar barisan di bagian belakang. Ikan bijak yang

melihatnya memberitahukan hal ini kepada yang lainnya dan

mereka melarikan diri karena panik. Sejak hari itu, dikarenakan

nafsu serakahnya akan rasa daging ikan, Ananda menolak jenis

makanan yang lainnya. Sewaktu jatuh sakit karena lapar, ia

berpikir, “Ke mana gerangan perginya mereka?” Dalam

pencariannya, ia melihat sebuah gunung dan berpikir,

“Dikarenakan rasa takut terhadap diriku, menurutku ikan-ikan itu

pasti berada di dekat gunung ini. Akan kukelilingi gunung ini dan

kucari mereka. Maka dalam pencariannya mengelilingi gunung

tersebut, ia berpikir kembali, “Jika mereka berada di tempat ini,

mereka pasti melarikan diri (sekarang),” dan sewaktu melihat

ekornya sendiri di saat berputar mengelilingi gunung tersebut, ia

berpikir, “Ikan ini berada di dekat gunung ini dan sedang

mencoba untuk menghindariku,” dalam kemarahannya, ia pun

menggigit ekornya sendiri, yang panjangnya lima puluh yojana,

yang dianggapnya sebagai seekor ikan, dan memakannya

dengan suara kunyah yang keras. Akibatnya, ia merasakan rasa

sakit dan mengalami penderitaan yang dahsyat. Mencium bau

darah, ikan-ikan pun berkumpul, dan dengan menggigit sedikit

demi sedikit bagian ekor Ananda, akhirnya sampai pada bagian

kepala. [464] Karena badannya yang begitu besar, ia tidak

mampu berbalik dan demikian menemui ajalnya. Kemudian di

sana terdapat satu tumpukan tulang belulang yang besarnya

sama dengan sebuah gunung. Para petapa (dan juga petapa

pengembara) yang sewaktu terbang di angkasa dan melihatnya, memberitahukan kepada manusia mengenai hal ini. Dan para

penduduk di seluruh India pun mengetahui akan hal ini. Sebagai

perumpamaan, Kalahatthi menceritakan kisah ini dan berkata:

Ānanda memangsa ikan dan ketika pengikutnya

melarikan diri,

dengan rakusnya ia memakan ekornya sendiri dan

mengunyahnya sampai akhirnya ia mati.

Budak nafsu tidak mengenal kesenangan lainnya,

Makhluk dungu yang ceroboh, begitu butanya ia

terhadap penderitaan yang datang:

Ia akan menjadi hina dan merusak anak-anak serta

sanak saudaranya,

kemudian mengubah dirinya sendiri menjadi mangsa

bagi ketamakannya yang mematikan.

Wahai raja, dengarkanlah kata-kataku ini dengan baik,

Jangan memakan daging manusia; kembalilah kepada

tujuanmu seperti sebelumnya:

Jika tidak, Anda akan berbagi nasib yang sama dengan

ikan itu suatu hari,

dan kerajaanmu akan mengalami kehancuran.

Mendengar ini, raja berkata, “Kalahatthi, saya juga

mengetahui satu contoh seperti halnya dirimu,” dan sebagai

contoh ia menceritakan sebuah kisah yang menggambarkan

keserakahannya terhadap daging manusia dan berkata:

Putra sekaligus ahli waris Sujāta menangis-nangis

meminta buah jambu,

anak itu amat bersedih karena tak mendapatkannya, ia

membaringkannya dan meninggal.

Jadi Kāḷa, saya yang telah sekian lama memakan

makanan lezat,

jika tidak lagi mendapatkan daging manusia, maka

hidupku akan hancur.

Dahulu kala, seorang tuan tanah yang bernama Sujāta

(Sujata) di Benares tinggal di dalam tamannya dan melayani lima

ratus petapa yang turun dari pegunungan Himalaya untuk

mendapatkan derma makanan. Makanan selalu dibawakan ke

rumahnya untuk mereka, tetapi para petapa tersebut kadangkadang

berkeliling untuk mendapatkan derma makanan dan

membawa pulang buah-buah jambu yang besar untuk dimakan.

Ketika mereka sedang menyantap buah-buah jambu yang

didapat, Sujata berpikir, “Hari ini adalah hari ketiga atau keempat

bagi para orang suci itu tidak datang ke tempatku, ke sini. Ke

mana gerangan perginya mereka?” Dengan menggandeng

tangan anak laki-lakinya, ia pergi ke sana di saat mereka sedang

menyantap makanan. Kala itu, seorang petapa junior

memberikan air kepada para petapa senior untuk mencuci mulut

dan sedang memakan potongan buah jambu. Sujata memberi

hormat kepada para petapa dan setelah duduk, bertanya,

“Bhante, apa yang sedang kalian makan?” “Buah jambu yang besar, Āvuso 263. Mendengar ini, anak kecil tersebut menjadi

merasa haus, maka pemimpin para petapa itu meminta petapa

yang lainnya untuk memberikan potongan kecil kepadanya. Anak

itu memakannya. Ia begitu suka dengan rasa lezatnya sehingga

terus-menerus meminta mereka untuk memberikannya lagi. Lakilaki

tersebut, yang sedang mendengarkan khotbah, berkata,

“Jangan menangis. Nanti di saat tiba di rumah, kamu akan

mendapatkannya,” demikian ia membohongi anak tersebut

karena merasa takut kalau-kalau para resi itu menjadi terganggu

dengan suara tangisnya. Maka sambil menghibur sang anak, ia

membawanya meninggalkan kumpulan orang suci tersebut dan

pulang kembali ke rumah. Mulai dari saat mereka tiba di rumah,

anak itu terus-menerus berkata dengan keras, “Berikan buah

jambu kepadaku.” Kemudian para resi berkata, “Kita sudah

tinggal di sini untuk waktu yang lama,” dan kembali ke Himalaya.

Karena tidak menemukan anak tersebut di taman, maka mereka

mengirimkan kepadanya hadiah berupa buah mangga, jambu,

nangka, pisang, dan buah-buah lainnya, yang semuanya

dicampur dengan gula bubuk. Tak lama setelah campuran buah

ini dimasukkan ke lidahnya, kemudian itu bereaksi seperti racun

yang mematikan. Selama tujuh hari, anak itu tidak (mau)

memakan makanan lainnya dan meninggal dunia. [466] Kisah ini

diceritakan oleh raja sebagai ilustrasi. Kemudian Kalahatthi

berpikir, “Raja ini telah menjadi seorang budak pecandu rasa

(daging): akan kuberitahukan kepadanya contoh-contoh lainnya,” dan berkata, “Maharaja, berhentilah dari ini.” “Tidak mungkin,”

balasnya. “Jika Anda tidak berhenti, maka lambat laun Anda

akan dikeluarkan dari keluargamu dan kekuasaanmu sebagai

raja akan dicabut.”

Dahulu kala di Kota Benares yang sama ini juga terdapat sebuah

keluarga brahmana yang selalu menjalankan lima sila. Satusatunya

anak laki-laki lahir di keluarga ini, kesayangan dan

kegembiraan dari kedua orang tuanya, ia adalah anak yang

bijaksana dan terlihat menguasai tiga Kitab Weda dengan baik.

Ia biasa pergi keluar bersama dengan kelompok anak yang

seusia dengannya. Anak-anak yang lain dalam kelompok

tersebut makan ikan, daging, dan sejenisnya serta minum

minuman keras, sedangkan ia tidak makan daging ataupun

minum minuman keras. Kemudian pikiran ini terlintas dalam diri

mereka, “Karena tidak minum minuman keras, anak ini tidak ikut

ikut membayar bagiannya: mari kita lakukan sesuatu untuk

membuatnya minum.” Jadi ketika mereka berkumpul bersama,

mereka berkata, “Teman, mari kita adakan sebuah perayaan.” Ia

berkata, “Kalian minum minuman keras, tetapi saya tidak.

Pergilah tanpa diriku.” “Teman, kami akan bawakan susu sebagai

minuman untukmu.” Ia pun menyetujuinya, dengan berkata,

“Baiklah.” Anak-anak yang jahat itu masuk ke dalam taman dan

mengikat satu minuman keras pada sebuah gelas daun dan

meletakkannya di antara daun-daun teratai. Ketika mereka mulai

minum, mereka memberikan susu kepada anak tersebut. Salah

satu dari anak yang jahat itu berkata, “Ambilkan sari bunga

teratai untuk kami,” dan setelah meminta orang membawakan itu

kepadanya, ia membuat sebuah lubang di bagian bawah gelas daun yang diletakkan di dalam teratai, kemudian meletakkan di

dalam mulutnya dan mulai mengisapnya. Anak-anak yang lain

juga melakukan hal yang sama. Anak tersebut menanyakan

minuman apa itu dan meminum minuman keras itu yang

dianggapnya sebagai sari bunga teratai. Mereka juga

memberikan kepadanya daging bakar, dan ia juga memakan ini.

Dan ketika ia telah ketagihan minuman keras, mereka

memberitahunya, “Ini bukanlah sari bunga teratai, melainkan

minuman keras.” “Selama ini,” katanya, “tak pernah kurasakan

rasa manis seperti ini. Bawakanlah kepadaku minuman keras itu

lagi!” Mereka membawakan dan memberikannya kepadanya

karena ia merasa sangat haus. [467] Kemudian ketika ia

memintanya lagi, mereka memberitahu bahwa minuman itu

sudah habis. Ia berkata, “Ayo, bawakan lagi minuman itu

kepadaku,” dan memberikan cincin stempelnya kepada mereka.

Setelah menghabiskan seharian dengan minum bersama

mereka, dalam keadaan mabuk dan mata yang berwarna merah

darah, tubuh sempoyongan dan mulut mengoceh tak karuan, ia

pulang ke rumah dan tidur. Kemudian sang ayah yang

mengetahui bahwa ia telah meminum minuman keras, setelah

pengaruh minuman keras itu hilang, berkata kepadanya,

“Anakku, Anda telah melakukan sesuatu yang amat salah

sebagai seorang anggota keluarga brahmana, dengan meminum

minuman keras: jangan pernah mengulanginya lagi.” “Ayah, apa

kesalahanku?” “Meminum minuman keras.” “Apa yang ayah

katakan ini, tidak pernah sebelumnya kurasakan sesuatu yang

amat manis seperti ini.” Brahmana itu terus-menerus memintanya

untuk berhenti meminum minuman keras. “Tak sanggup kulakukan itu,” katanya. Kemudian brahmana itu berpikir, “Jika

begini terus keadaannya, maka tradisi dari keluarga kita akan

hancur dan harta kita akan musnah,” dan ia mengulangi bait berikut:

Seorang ahli waris keluarga brahmana,

seorang anak yang rupawan,

Anda tidak boleh meminum minuman celaka

yang tidak disukai oleh para brahmana.

Dan setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia

menambahkan, “Anakku, berhentilah darinya. Jika tidak, terpaksa

kukeluarkan kamu dari rumahku dan kuusir dari kerajaanku.”

Anak laki-laki itu menjawab, “Walaupun demikian keadaannya, tetap tak sanggup kulakukan itu,” dan ia mengulangi dua bait berikut ini:

Karena, Ayah, Anda menghalangiku dari mendapatkan

rasa terbaik yang amat kuinginkan ini,

maka, untuk mendapatkannya, akan kucari ke mana pun,

betapa pun jauhnya.

Segera saya akan pergi dan tidak lagi tinggal

bersamamu,

karena sekarang tidak lagi diriku suka terlihat olehmu.

Selanjutnya ia berkata, “Saya tidak akan berhenti dari

meminum minuman keras ini: lakukan apa saja sesuka hatimu.” Kemudian brahmana tersebut berkata, “Baiklah, karena kamu

(memilih untuk) meninggalkan kami, maka kami juga akan

meninggalkanmu,” dan mengulangi bait berikut:

Kami pasti mendapatkan putra lainnya sebagai pewaris

atas harta kekayaan kami,

Pergilah, anak bandel, ke mana kami tidak lagi pernah

mendengar namamu.

Kemudian setelah membawa putranya ke pengadilan,

brahmana itu mencabut haknya sebagai ahli waris dan

mengusirnya dari rumah. Setelah kejadian ini, anak laki-laki itu

menjadi orang miskin yang malang, mengenakan pakaian usang,

dan dengan membawa mangkuk seorang pengemis di

tangannya, ia berkeliling untuk mendapatkan sedekah, yang

akhirnya meninggal, dengan bersandar pada sebuah dinding.

Dengan mempertautkan kisah ini sebagai suatu pelajaran bagi

raja, Kalahatthi berkata, “Paduka, jika Anda tetap menolak untuk

mendengarkan perkataan kami, maka mereka akan membuatmu

keluar dari kerajaan,” dan setelah berkata demikian, ia

mengucapkan bait berikut:

Maka dengarkanlah dengan baik, wahai raja manusia,

patuhilah perkataanku,

atau seperti pemuda mabuk itu, Anda akan diusir keluar

dari kerajaan.

Bahkan setelah contoh yang ditunjukkan demikian oleh

Kalahatthi, raja tetap tidak mampu berhenti dari kebiasaannya,

dan untuk mengilustrasikan kisah lainnya, ia berkata:

Siswa dari para resi yang sempurna, Sujāta, dikatakan,

berpantang makan dan minum demi cintanya terhadap

seorang bidadari kayangan.

Seperti tetesan embun pada sehelai rumput dengan air

yang ada di samudra,

demikianlah cinta manusia jika dibandingkan dengan

cinta terhadap makhluk kayangan.

Jadi Kāḷa, saya yang telah sekian lama memakan

makanan lezat,

jika tidak lagi mendapatkan daging manusia, maka

hidupku akan hancur.

Kisahnya hampir sama dengan kisah sebelumnya yang

telah diceritakan.

Dikatakan bahwa ketika melihat para petapa tersebut

tidak kembali lagi setelah selesai menyantap buah jambu besar,

Sujāta (Sujata) ini berpikir, “Saya ingin tahu mengapa mereka

tidak kembali lagi. Jika mereka telah pergi ke tempat yang

lainnya, akan kucari tahu di mana itu: atau akan kudengar khotbah yang mereka paparkan.” Maka ia pergi ke taman dan

mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh pemimpin

rombongan. Ketika matahari mulai terbenam, meskipun telah

disuruh pergi, ia berkata, “Saya akan tinggal di sini hari ini,” dan

setelah memberi hormat kepada rombongan orang suci tersebut,

ia masuk ke dalam gubuk daunnya dan berbaring. Pada malam

hari, Sakka, raja para dewa, ditemani dengan rombongan

bidadari beserta dengan pelayannya, datang untuk memberi

hormat kepada rombongan petapa suci tersebut, dan membuat

seluruh pertapaan menjadi bercahaya. Merasa ingin tahu ada

apa, Sujata bangkit dan melihat melalui satu celah dari dalam

gubuk daunnya kedatangan Sakka beserta rombongannya untuk

memberi hormat kepada rombongan resi, [469] yang ditemani

juga oleh sekelompok bidadari. Tak lama setelah melihat

mereka, kemudian dirinya pun dilanda oleh nafsu (yang

menggebu-gebu). Sakka kemudian mengambil tempat duduknya,

dan setelah mendengarkan khotbah mengenai Keyakinan,

kembali ke kediamannya. Pada keesokan harinya, tuan tanah

tersebut menjumpai para petapa suci tersebut dan bertanya,

dengan berkata, “Bhante, siapakah yang datang di malam hari

memberikan hormat kepada Anda?” “Sakka, Āvuso.” “Dan

siapakah yang duduk di sekelilingnya itu?” “Mereka adalah para

bidadari kayangan.” Setelah memberi hormat kepada

rombongan petapa tersebut, ia kembali ke rumahnya, dan sejak

saat itu, ia selalu meneriakkan kata-kata bodoh, “Berikan accharā

kepadaku.” Sanak keluarganya, yang berada di sekelilingnya, bertanya-tanya dalam hati apakah ia dirasuki oleh makhluk halus,

dan menjentikkan jari mereka. Ia berkata, “Yang kuminta

bukanlah jentikkan jari, melainkan bidadari266.” Dan ketika

mereka mendandani dan membawakan kepadanya seorang selir

dan bahkan seorang wanita penghibur, dan berkata, “Ini

bidadarinya,” ia membalas, “Ini bukanlah seorang bidadari, ini

adalah yaksa wanita,” dan kembali terus meneriakkan, “Berikan

accharā kepadaku.” Karena ia tidak memakan apa pun, akhirnya

ia pun meninggal dunia.

Setelah mendengar ini, Kalahatthi berpikir, “Raja ini telah menjadi

seorang budak pecandu rasa (daging): akan kubuat ia memiliki

pemikiran yang lebih baik.” Dan ia berkata, “Angsa-angsa emas

yang terbang tinggi di angkasa juga mati karena memakan

daging saudara mereka sendiri,” dan untuk memberikan

perumpamaan, ia mengulangi dua bait berikut:

Seperti angsa-angsa Dhataraṭṭha yang terbang di

angkasa ini, semuanya mati karena memakan makanan

dan minuman yang tidak biasa,

Demikian juga halnya dengan Anda, wahai raja manusia,

dengarkanlah baik-baik apa yang kukatakan,

Karena memakan makanan yang tidak biasa ini, maka

Anda juga akan diasingkan oleh mereka.

Dahulu kala, dikatakan ada sebanyak sembilan puluh ribu ekor

angsa bertempat tinggal di Gua Emas di Gunung Cittakūṭa.

Selama empat bulan di musim hujan mereka tidak akan keluar.

Jika mereka keluar, maka sayap mereka yang akan dipenuhi

oleh air akan membuat mereka tidak mampu terbang jauh dan

terjatuh ke laut. Oleh karenanya mereka pun tidak keluar (pada

musim hujan), tetapi ketika musim hujan baru akan tiba, mereka

akan mengumpulkan padi dari suatu danau alami untuk

memenuhi gua mereka, dan bertahan hidup dengannya. Akan

tetapi tidak lama setelah mereka masuk ke dalam gua, kemudian

seekor laba-laba uṇṇanābhi yang sebesar roda pedati akan

menjalin sarang di pintu masuk gua pada setiap bulannya, dan

jaring itu setebal tali kekang (pada sapi). Angsa-angsa ini

memberikan makanan sebanyak dua porsi kepada angsa muda

dengan beranggapan bahwa angsa muda itu akan mampu

menerobos jaring tersebut. Ketika langit terang, dengan

berada di barisan paling depan, angsa muda ini maju

menghancurkan jaring laba-laba tersebut dan angsa-angsa

lainnya dapat meloloskan diri melalui jalan yang sama. Pada

suatu ketika, terjadi musim hujan yang berlangsung selama lima

bulan, dan persediaan makanan milik angsa-angsa tersebut pun

menjadi amat kurang. Mereka berdiskusi mengenai apa yang

harus dilakukan, dan berkata, “Jika kita ingin tetap hidup, maka

kita harus memakan telur-telur (kita).” Pertama, mereka

memakan telur-telur, kemudian anak-anak angsa, dan setelah

semuanya itu habis, mereka memakan angsa-angsa yang tua. Di

akhir bulan kelima, hujan berhenti dan laba-laba itu telah

menjalin lima sarang. Karena memakan daging sanak saudara mereka sendiri, angsa-angsa itu (yang bertahan hidup) menjadi

lemah. Angsa muda yang mendapatkan makanan sebanyak dua

porsi tersebut berhasil menghancurkan empat sarang laba-laba

ketika menerobos keluar, tetapi tidak berhasil menghancurkan

yang kelima dan tersangkut di sana. Maka laba-laba itu

memotong kepalanya dan meminum darahnya. Satu per satu

dari angsa-angsa yang tersisa itu pun datang dan menerobos

sarang tersebut, dan laba-laba itu berkata, “Ada lagi angsa yang

tersangkut di tempat yang sama ini,” dan meminum darah

mereka semuanya. Pada waktu itu, dikatakan suku angsa

Dhataraṭṭha menjadi punah.

Raja masih ingin memberikan perumpamaan yang lain, tetapi

para penduduk bergejolak dan berkata, “Tuanku Panglima, apa

yang hendak Anda lakukan? Bagaimana Anda bertindak

selanjutnya setelah menangkap penjahat kanibal ini? Jika ia

tetap tidak mau berhenti memakan daging manusia, maka usirlah

ia dari kerajaannya,” dan mereka tidak memberikan kesempatan

kepada raja untuk mengucapkan bahkan sepatah kata pun.

Mendengar kata-kata dari para penduduk, raja menjadi ketakutan

dan tidak mampu berkata apa-apa lagi, dan untuk ke sekian

kalinya, panglima berkata kepadanya, “Tuan, apakah mungkin

bagimu untuk berhenti dari ini?” “Tidak mungkin,” jawabnya.

Maka sang panglima menempatkan di satu sisi semua selirnya,

putra dan putrinya, yang berhiaskan dengan segala kebesaran

mereka, dan berkata, “Tuan, lihatlah anggota dari sanak

keluargamu, kumpulan orang-orang istanamu: Berhentilah dari

memakan daging manusia.” Raja berkata, “Semuanya ini tidaklah

lebih nikmatnya dari daging manusia.” “Kalau begitu, Tuan, pergilah dari kota dan kerajaan ini.” “Kalahatthi,” katanya, “saya

tidak menginginkan kerajaanku; saya siap untuk pergi, tetapi

kabulkanlah satu permintaanku; berikanlah pedang, juru masak

itu, dan belanga kepadaku.” Maka mereka memberikan

kepadanya sebilah pedang, sebuah belanga untuk memasak

daging manusia dan sebuah keranjang, dan juru masak itu,

sebelum akhirnya mengusir mereka keluar dari kerajaan.

Dengan membawa serta juru masaknya, ia keluar dari kerajaan

dan masuk ke dalam suatu hutan, membuat tempat tinggalnya di

bawah kaki pohon beringin. Dengan tinggal di sana, ia akan

selalu berjaga di jalan yang dilalui oleh orang yang melewati

hutan tersebut, dan setelah membunuh mangsanya, ia akan

membawakan dan memberikannya kepada juru masak untuk

dimasak. Sang juru masak akan memasak dan menyajikan

kepadanya. Dengan cara demikian ini, mereka berdua menjalani

hidup. Ketika ia mendadak menghalang jalan sembari berkata

dengan keras, Inilah saya, si pemakan daging manusia!” tak

seorang pun berani melawannya dan mereka semuanya

bersujud di tanah, dan siapa saja yang disukai olehnya akan

ditariknya, digantung terbalik dan diberikan kepada juru

masaknya. Suatu hari, ia tidak mendapatkan satu orang pun di

hutan dan ketika ditanya oleh juru masaknya sewaktu kembali,

“Bagaimana ini, Tuan?” Ia menyuruhnya untuk meletakkan

belanga itu pada perapian. “Tetapi, mana dagingnya, Tuan?”

“Oh! Saya pasti akan mendapatkan daging,” balasnya. Juru

masak berpikir, “Saya pasti mati kali ini,” dan dengan gemetaran

ia membuat perapian dan meletakkan belanga itu di atasnya.

Kemudian si kanibal tersebut dengan satu sabetan pedangnya membunuh juru masak itu, memasak dan memakan dagingnya.

Sejak saat itu, ia hidup sendirian dan harus memasak

makanannya sendiri. Berita ini tersebar luas di seluruh India,

“Pembunuh kanibal membunuh orang-orang yang bepergian

(melewati daerahnya).” Pada waktu itu, seorang brahmana kaya

yang sedang berada dalam perjalanan dagang dengan

membawa lima ratus kereta, berjalan dari arah timur menuju ke

barat, dan ia berpikir, “Orang-orang mengatakan bahwa penjahat

kanibal ini membunuh orang-orang yang melewati daerahnya.

Dengan uang, akan saya lewati jalan di hutan itu.” Maka ia

memberikan uang seribu keping kepada orang-orang yang

tinggal di dekat pintu masuk ke hutan tersebut dan meminta

mereka mengiringi dirinya dalam konvoi untuk melewati hutan

dengan aman. Mereka pun mengiringinya dalam konvoi. Ia

menempatkan karavannya di bagian depan, dan setelah selesai

mandi dan meminyaki dirinya, dan mengenakan pakaian mewah,

ia duduk di satu kereta yang ditarik oleh sapi-sapi putih, dengan

diiringi oleh konvoinya, ia berjalan di bagian paling belakang.

Memanjat sebuah pohon, pemakan manusia itu sedang melihatlihat

untuk mencari mangsa. Ia tidak berselera melihat orangorang

yang berada dalam konvoi tersebut, tetapi sewaktu ia

melihat brahmana tersebut, mulutnya dipenuhi dengan air liur

karena bernafsu untuk memakannya. Ketika brahmana itu

bergerak mendekat ke arahnya, ia meneriakkan namanya,

“Inilah saya, si pemakan daging manusia,” dan dengan

mengayunkan pedangnya keluar, seperti orang yang

memasukkan pasir ke dalam mata orang-orang lainnya, ia

melompati mereka dan tak seorang pun mampu berdiri melawannya, mereka semuanya hanya mampu bersujud di

tanah. Setelah menangkap kaki brahmana itu yang sedang

duduk di keretanya, ia melemparnya di punggung, dengan posisi

kepalanya di bawah, dan memukul kepalanya dengan

menggunakan tumitnya, kemudian membawanya pergi. Orangorang

bangkit dan berteriak satu sama lain, “Teman-teman,

gerakkanlah diri kalian. Kita telah menerima uang seribu keping

dari tangan brahmana itu. Siapa di antara kita yang mengenakan

atribut sebagai seorang manusia? Mari kita semuanya, baik kuat

maupun lemah, mengejar penjahat itu sekuat tenaga.” Mereka

pun mengejarnya. Kemudian penjahat kanibal itu berhenti,

melihat ke arah belakang, dan melambatkan langkahnya ketika

melihat tidak ada orang yang mengikutinya. Tak lama kemudian,

seorang pemberani dengan amat cepat berlari menyusulnya.

Ketika melihatnya, penjahat itu melompati sebuah pagar dan

memijak tunggul pohon akasia267 yang melukainya sampai

menembus bagian atas kakinya, dan menyebabkan ia berjalan

pincang dan darah mengucur keluar dari lukanya itu. Kemudian

si pemberani yang mengejarnya itu, ketika melihat ini, berkata,

“Saya telah membuatnya terluka: ikuti saja jejaknya dari

belakang dan akan dapat kutangkap dirinya.” Mereka melihat

betapa lemahnya penjahat itu sekarang dan ikut dalam

pengejaran. Ketika melihat orang-orang terus mengejarnya,

penjahat itu melepaskan brahmana tersebut dan berusaha

menyelamatkan dirinya sendiri. Sewaktu menemukan brahmana

itu, rombongan tersebut kemudian berpikir, “Apa gunanya lagi mengejar penjahat ini?” dan berbalik arah kembali. Sedangkan si

penjahat kanibal itu terus bergerak ke tempat pohon beringinnya

dan berbaring, mengucapkan permohonan kepada dewata

penjaga pohon dengan berkata, “Dewi pohon, jika dalam waktu

tujuh hari Anda dapat menyembuhkan lukaku, akan kumandikan

batang pohonmu dengan darah segar dari seratus satu raja dari

seluruh India, dan akan kugantungkan pada pohonmu semua

organ dalam mereka, serta akan kupersembahkan lima jenis

daging yang lezat.” Pada saat itu, dikarenakan tidak memiliki apa

pun untuk dapat dimakan atau diminum, maka tubuhnya pun

mengering, dan dalam waktu tujuh hari lukanya menjadi sembuh.

Ia menyangka bahwa penyembuhan lukanya tersebut dilakukan

oleh sang dewi pohon. Dalam waktu beberapa hari saja, ia

memulihkan kembali kekuatannya dengan memakan daging

manusia, dan berpikir, “Dewi pohon ini telah menolongku. Akan

kupenuhi janjiku.” Dengan membawa serta pedangnya, ia

berangkat keluar dari bawah kaki pohon beringin, dengan tujuan

membawa kembali para raja tersebut. Waktu itu, sesosok yaksa

yang dalam kehidupan lampau adalah rekan dari penjahat

kanibal tersebut, melihatnya dan sewaktu mengetahui bahwa ia

adalah rekannya dalam kehidupan lampau, bertanya kepadanya,

“Apakah kamu mengenaliku, Teman?” “Tidak,” jawabnya.

Kemudian ia pun memberitahukan kepadanya tentang apa yang

mereka lakukan dalam kehidupan lampau, yang menyebabkan

penjahat kanibal itu mengenali dirinya dan memberikan salam

hangat kepadanya. Ketika ditanya oleh yaksa tersebut di mana ia

dilahirkan, penjahat kanibal itu memberitahukan tempat lahirnya

dan juga bagaimana ia diusir dari kerajaannya, dan di mana ia tinggal sekarang. Kemudian ia menceritakan bagaimana ia

terluka oleh tunggul pohon dan juga tentang apa yang sedang

dilakukannya untuk menebus janjinya terhadap makhluk dewata

penjaga pohon tersebut. “Saya pasti dapat melalukan hal yang

sulit ini dengan bantuanmu: mari kita melakukannya bersama,

Teman,” katanya. “Saya tidak bisa pergi bersamamu, tetapi ada

satu bantuan yang dapat kuberikan kepadamu. Saya tahu suatu

mantra yang memiliki keistimewaan dengan kata-kata yang tak

ternilai harganya. Mantra ini dapat memberikan kekuatan,

kecepatan (langkah kaki), dan kekerasan (suara). Pelajarilah

mantra ini.” Ia pun menyetujuinya dan yaksa tersebut

memberikan mantra itu kepadanya, kemudian pergi. Penjahat

kanibal itu telah menghafal mantra tersebut di luar kepala, dan

sejak saat itu ia menjadi (mampu berlari) secepat angin dan

sangat kuat. Dalam waktu tujuh hari, ia mencoba mendapatkan

seratus satu raja tersebut sewaktu mereka berada di taman atau

tempat bersenang-senang lainnya, dengan melompat muncul di

hadapan mereka secepat angin dan memberitahukan namanya,

melompat ke sana dan ke sini serta berteriak-teriak, ia membuat

mereka menjadi ketakutan. Kemudian ia menangkap kaki mereka

dan menggendong mereka dengan posisi kepala di bawah,

membawa mereka pergi secepat angin, sembari tumitnya

memukul bagian kepala mereka (sewaktu berlari). Berikutnya, ia

melubangi telapak tangan mereka dan menggantung mereka

pada pohon beringin dengan menggunakan tali. Mereka

terhuyung-huyung oleh angin karena mereka tergantung berdiri

dengan ujung jari kaki saja yang menyentuh tanah, berputarputar

seperti untaian bunga layu di dalam keranjang. Tetapi ia berpikir, “Sutasoma adalah guru pribadiku: Janganlah membuat

seluruh India menjadi habis,” dan ia tidak menangkapnya.

Dengan berpikiran untuk membuat persembahan kepada dewi

pohon, ia membuat perapian dan duduk sambil mengasah

sebuah tombak. Ketika melihat ini, dewi pohon berpikir, “Orang

ini sedang menyiapkan kurban persembahan untukku. Bukan

diriku yang menyembuhkan lukanya: Ia akan menyebabkan

terjadinya suatu pembantaian yang besar. Apa yang harus

dilakukan? Saya tidak mampu menghentikannya.” Maka ia pergi

dan memberitahukan hal ini kepada dewa-dewa Cātumahārājika

dan memohon kepada mereka untuk menghentikannya. Ketika

mereka mengatakan bahwa mereka tidak mampu melakukannya,

ia pun pergi menjumpai dewa Sakka dan memberitahukan

kepadanya mengenai semua ceritanya dan memohon kepadanya

untuk menghentikannya. Sakka berkata, “Saya tidak dapat

melakukannya, tetapi saya dapat memberitahukan kepadamu

orang yang mampu melakukannya.” Dewi pohon kemudian

bertanya, “Siapakah orangnya itu?” “Di alam dewa dan manusia,”

jawabnya, “yang mampu melakukannya, selain Sutasoma,

Pangeran Kuru, yang berada di Kota Indapatta di dalam Kerajaan

Kuru. Ia akan mampu mengatasi dan mengubah diri orang ini,

akan mampu menyelamatkan nyawa dari raja-raja tersebut, dan

menyembuhkannya dari kebiasaannya memakan daging

manusia, serta akan menghujani seluruh India dengan buah

kebenaran. Jika Anda benar-benar ingin untuk menyelamatkan

nyawa dari para raja tersebut, maka mintalah ia untuk

membawakan Sutasoma terlebih dahulu sebelum memberikan

persembahannya kepada pohon.” “Baiklah,” jawabnya dan kemudian pergi dengan cepat. Dengan menyamar sebagai

seorang petapa, ia mendatangi penjahat kanibal tersebut.

Mendengar suara langkah kaki, ia berpikir, “Apakah salah satu

raja ini melarikan diri?” Ketika mencari tahu jawabannya dan

melihat seorang petapa, ia kemudian berpikir, “Petapa adalah

(termasuk) kaum kesatria. Jika ia kutangkap, maka akan

kudapatkan seratus satu orang raja (kesatria) dan dapat

kuberikan persembahanku.” Bangkit dan dengan pedang di

tangan, ia mengejar petapa tersebut. Akan tetapi ia tidak mampu

menyusulnya meskipun telah mengejarnya sejauh tiga yojana

dan keringat telah bercucuran keluar dari tangannya. Ia berpikir,

“Biasanya saya mampu mengejar dan menangkap seekor gajah,

atau seekor kuda, atau sebuah kereta yang berjalan amat cepat.

Tetapi hari ini, meskipun saya berlari dengan segala kecepatan

yang kumiliki, tidak mampu kutangkap petapa ini yang hanya

berjalan dengan langkah yang biasa. Ada apa ini?” Kemudian

dengan berpikir, “Petapa biasanya (selalu) patuh: Jika kuminta ia

berhenti maka ia akan melakukannya, dengan demikian akan

dapat kutangkap dirinya,” dan berteriak, “Berhenti, Petapa.”

“Saya telah berhenti,” jawabnya, “Anda juga harus berhenti.”

Kemudian ia berkata, “Teman, untuk menyelamatkan nyawanya,

seorang petapa tidaklah seharusnya berkata tidak benar, tetapi

Anda melakukannya,” dan mengulangi bait berikut ini:

Meskipun kuminta untuk berhenti,

Anda tetap melaju cepat,

dan dengan berkata, ‘Saya telah berhenti,’ Anda telah

berkata tidak benar:

Ini tidak pantas; Wahai petapa, Anda pasti menganggap

pedang ini sebagai batang anak panah yang tak

berbahaya, yang dihiasi dengan bulu bangau.

Kemudian makhluk dewata itu mengucapkan dua bait berikut:

Berdiri kukuh dalam kebenaran diriku ini,

tidak mengubah nama ataupun margaku,

di alam ini penjahat tidak hidup lama,

segera mereka akan berakhir di alam neraka.

Jadilah berani dan tangkap serta bawa Sutasoma ke

tempat ini,

dan dengan mempersembahkan dirinya, Anda akan

mendapatkan tempat di alam surga.

Setelah mengucapkan kata-kata demikian, dewi pohon

tersebut membuka samarannya sebagai seorang petapa dan

kemudian berdiri dalam wujud aslinya, bersinar terang di

angkasa layaknya matahari. Mendengar apa yang dikatakannya

dan melihat wujud aslinya, penjahat kanibal itu menanyakannya

siapa dirinya. Dan ketika dijawabnya bahwa ia adalah makhluk

dewata penjaga pohon itu, penjahat kanibal tersebut bersukacita dan dalam dirinya ia berpikir, “Telah kutemukan dewata

pelindungku,” kemudian berkata, “Wahai dewi pohon, jangan

menjadi khawatir atas masalah Sutasoma, silakan Anda

masuk saja kembali ke dalam pohon.” Makhluk dewata itu pun, di

hadapan penjahat kanibal tersebut, masuk ke dalam pohon. Kala

itu, matahari terbenam dan bulan muncul keluar. Penjahat ini ahli

dalam ilmu pengetahuan dan ilmu perbintangan, setelah melihat

ke langit, ia berpikir, “Besok adalah gugusan bintang Phussa;

Sutasoma akan pergi ke taman untuk mandi dan semua

penghuni di seluruh India akan ikut bersama untuk menjaganya

sejauh tiga yojana di sekelilingnya. Pada penggal awal malam

hari, sebelum pengawal-pengawalnya berada di posisi mereka,

saya akan pergi ke taman Migācira dan turun ke kolam, berdiri di

di sana dengan daun teratai menutupi kepalaku. Dikarenakan

kebesarannya yang mulia, ikan-ikan, kura-kura dan hewan

lainnya pergi menjauh darinya dan berenang di tepian. Apa yang

menjadi penyebab dari semua kejayaannya ini? Dikarenakan

perbuatan baiknya di masa lampau: Di masa kehidupan Buddha

Kassapa, ia memulai pemberian susu secara teratur. Disebabkan

oleh perbuatan ini, ia menjadi orang yang sangat kuat. Ia juga

membangunkan sebuah balai perapian bagi anggota sangha,

untuk menghilangkan rasa dingin, ia yang menyediakan api, kayu

bakar, dan kapak untuk membelah kayu. Disebabkan oleh

perbuatan ini, ia menjadi orang yang terkemuka.

—Kembali ke keadaan sekarang, ia telah berada di dalam taman. Sewaktu hari

masih subuh, para penjaga mulai berjaga di sekeliling taman

sampai sejauh tiga yojana. Dan setelah selesai menyantap

sarapan, Raja Sutasoma menunggangi seekor gajah yang bersenjata lengkap dan berangkat keluar dari kota, dikawal oleh

empat kelompok pengawal. Kala itu, seorang brahmana yang

bernama Nanda dari Takkasila yang membawa bersamanya

empat bait kalimat, yang masing-masing bait seharga seratus

keping uang, tiba di kota setelah melewati perjalanan sejauh

seratus dua puluh yojana, dan tinggal di suatu daerah pedesaan.

Di saat matahari terbit, ketika hendak memasuki kota, ia melihat

raja berangkat keluar dari gerbang timur, dan dengan

mengangkat tangannya naik ke atas, ia kemudian berseru,

“Semoga Paduka berjaya.” Karena melihat dari tempat yang jauh

ketika sedang menunggang, raja (hanya) melihat tangan

brahmana yang diangkat tersebut. Setelah menghampirinya, ia

mengucapkan bait berikut:

Lahir di alam apa dan mengapa Anda datang,

wahai brahmana,

jika ini dikatakan, maka hari ini akan kukabulkan

permohonanmu, apa pun itu.

Kemudian brahmana itu menjawabnya:

Empat bait, Raja yang perkasa, bagimu adalah sama

dalamnya seperti samudra,

kubawakan ke sini untukmu; dengarkanlah baik-baik,

mereka mengungkapkan rahasia-rahasia yang berharga

paling tinggi.

“Maharaja,” katanya, “keempat bait kalimat ini diajarkan

oleh Buddha Kassapa, dan bernilai seratus keping uang setiap baitnya. Setelah mendengar bahwa Anda kaya dalam ilmu

pengetahuan, saya pun datang ke sini untuk mengajarimu.” Raja

menjadi amat gembira dan berkata, “Guru, ini adalah suatu hal

yang amat bagus, tetapi tidaklah mungkin bagiku untuk berbalik

arah (sekarang). Karena hari ini adalah hari gugusan bintang

Phussa, maka hari ini merupakan hari untuk memandikan

kepalaku: Di saat kembali nanti, pasti akan kudengarkan itu

darimu. Janganlah menjadi kesal terhadap diriku.” Setelah

mengucapkan kata-kata ini, ia memberikan perintah kepada para

pejabat kerajaannya, dengan berkata, “Pergilah kalian ke rumah

seorang brahmana ini dan siapkan sebuah tempat duduk dan

susun tempat makan yang telah dihias,” dan ia pun melanjutkan

perjalanannya menuju ke taman. Taman ini dikelilingi oleh

dinding yang tingginya mencapai delapan belas hasta dan

dikawal oleh gajah-gajah yang saling bergandengan. Kemudian

juga terdapat kuda, kereta, dan para pemanah serta pasukan

(pengawal) berjalan kaki—itu terlihat seperti sebuah samudra

yang kacau setelah para pasukan tersebut diberangkatkan ke

sana. Setelah menanggalkan segala perhiasannya yang berat,

dicukur, dan diberi sabun, raja pun mandi di dalam kolam teratai

tersebut. Setelah keluar dari dalam air, ia berdiri dengan

mengenakan pakaian mandi, dan mereka membawakan untaian

wewangian bunga untuk menghias dirinya. Penjahat kanibal

tersebut berpikir, “Jika ia (telah) berpakaian lengkap, maka ia

akan menjadi suatu beban yang berat. Akan kutangkap ia selagi

masih ringan untuk dibawa.” Maka dengan berteriak,

melompat, dan memutar pedang di atas kepalanya secepat kilat,

ia menyerukan namanya, “Inilah saya, si pemakan daging makan manusia,” ia meletakkan jari tangannya pada dahinya dan

keluar dari dalam air. Segera setelah mereka mendengar

seruannya, para penunggang gajah dengan gajah-gajah mereka,

para penunggang kuda dengan kuda-kuda mereka, dan para

pengemudi kereta dengan kereta-kereta mereka, para pemanah

dengan panah-panah mereka, dan para pasukan berjalan kaki

dengan senjata-senjata mereka letakkan di bawah perut dan

berlutut di tanah. Penjahat kanibal itu menangkap Sutasoma,

dengan memegangnya dalam keadaan berdiri. Terhadap rajaraja

lain yang ditangkapnya, ia menangkap bagian kaki dan

menggantung bagian kepala mereka di bawah, membawa

mereka pergi dengan bagian tumit yang selalu memukul bagian

kepala mereka. Akan tetapi, terhadap Bodhisatta, ia menunduk

ke bawah, mengangkatnya dan menempatkannya di bagian

pundak. Merasa akan menjadi suatu perjalanan yang berputarputar

jika melewati gerbang, ia pun melompati pagar dinding

yang tingginya delapan belas hasta yang berada di depannya,

kemudian memijak bagian kepala gajah-gajah yang memberikan

jejak, menaklukkan mereka seperti halnya menaklukkan puncakpuncak

gunung. Berikutnya, ia memijak bagian punggung kuda—

mereka bergerak secepat angin dan memiliki harga yang tak

ternilai—dan membuat mereka berbaring di tanah. Kemudian

ketika memijak kereta-kereta perang, ia menjadi seperti sesuatu

yang berputar di bagian atas dengan suara dengung atau seperti

sesuatu yang menghancurkan dedaunan pohon phalaka atau

pohon beringin, dan dalam satu letusan ia pun melewati jarak tiga yojana. Merasa ingin tahu apakah ada orang yang

mengikutinya untuk menyelamatkan Sutasoma, ia melihat (ke

belakang). Melihat tidak ada siapa pun, ia memelankan

langkahnya. Setelah memperhatikan tetesan air (keringat) yang

jatuh mengenai dirinya dari rambut Sutasoma, ia berpikir, “Tidak

ada manusia yang hidup bebas dari rasa takut terhadap

kematian: Sutasoma juga demikian halnya, menangis

disebabkan oleh rasa takut ini,” dan berkata:

Orang yang ahli dalam ilmu pengetahuan, yang di dalam

dirinya timbul pemikiran-pemikiran yang hebat,

orang-orang yang demikian terpelajar dan bijak tidak

pernah menangis;

Semuanya dapat dijadikan sebagai tempat bernaung dan

tempat tinggal,

Orang bijak dapat menghalau penderitaan yang demikian.

Apakah dikarenakan sanak saudaramu, istrimu, anakmu,

atau mungkin dikarenakan dirimu sendiri,

kerajaanmu, harta kekayaanmu—

Apa, Sutasoma, yang menjadi penyebab keluarnya

tetesan air mata ini?

Raja agung Kuru, jawabanmu ingin kami ketahui.

Sutasoma berkata:

Tidak, tidak ada tetesan air mata yang kucucurkan

karena diriku sendiri,

tidak juga karena istri atau anakku, kerajaanku ataupun

kekayaanku.

Selalu kulatih kehidupan seorang bijak nan suci,

saya menangis karena suatu janji yang belum kupenuhi.

Tadinya telah kujanjikan sesuatu kepada seorang

brahmana,

selalu diriku memerintah kerajaan dengan benar;

Janji yang telah kubuat itu ingin kupenuhi dahulu,

kemudian kembali kepadamu, kehormatanku

terselamatkan.

Penjahat kanibal itu berkata:

Saya tidak percaya jika ada orang yang terbebas dari

jerat maut, kemudian dengan senang hati akan kembali

untuk menyerahkan diri kepada musuhnya;

Demikian juga dirimu nantinya bertindak, jika

kubebaskan untuk pergi.

[480] Jika terlepas dari cengkeraman si pemakan daging

manusia, Anda akan kembali ke istanamu,

dipenuhi dengan segala keinginan, segala kesenangan

dalam hidup dikembalikan kepadamu;

Alasan apa yang dapat membuatmu kembali kepadaku?

Mendengar ini, Sang Mahasatwa, seperti seekor singa

tanpa rasa takut, berkata:

Jika bersalah, seseorang akan lebih memilih kematian

daripada kehidupan yang dipenuhi noda;

Jika ia, untuk menyelamatkan nyawanya, berkata dusta,

maka itu tidak akan pernah melindunginya dari

mendapatkan penderitaan di alam menyedihkan.

Angin mungkin dapat memindahkan gunung,

Matahari dan bulan mungkin dapat jatuh dari langit,

Tuan, aliran air mungkin dapat mengalir ke atas,

tetapi saya pasti tidak akan berkata dusta.

Meskipun ia berkata demikian, penjahat kanibal itu tetap

tidak memercayainya. Maka Bodhisatta, dengan berpikiran, “Ia

tidak memercayaiku; Dengan satu sumpah, akan kubuat ia

percaya padaku,” dan berkata, “Teman kanibal, turunkanlah

saya dari punggungmu, saya akan mengambil satu sumpah dan

membuatmu memercayaiku.” Setelah mengucapkan kata-kata

ini, ia diturunkan oleh penjahat kanibal tersebut ke tanah. Untuk

mengambil sumpah itu, ia berkata:

Dengan menyentuh pedang dan tombak ini,

kunyatakan sumpahku kepadamu,

Lepaskanlah aku dan, setelah hutangku lunas,

kehormatanku terselamatkan, akan kembali kepadamu.

Kemudian penjahat kanibal itu berpikir, “Sutasoma ini

membuat satu sumpah yang bila dilanggar akan menerima balasan yang setimpal dengan yang melanggar aturan para

kesatria. Apa lagi yang saya inginkan darinya? Baiklah, saya juga

adalah seorang kesatria; Akan kuambil darah dari tanganku

sendiri dan kupersembahkan kepada dewi pohon. Orang ini

adalah seorang pengecut.” Dan ia berkata:

Kata-kata itu diucapkan layaknya ditujukan kepada

seorang brahmana,

setiap saat di dalam kerajaanmu memerintah

dengan benar,

sumpahmu itu kuminta untuk dipenuhi,

setelah kehormatanmu terselamatkan, akan kembali

kepadaku.

Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Teman, jangan

khawatir. Setelah kudengarkan empat bait yang masingmasingnya

berharga senilai seratus keping uang dan kuberikan

persembahan kepada sang pengkhotbah kebenaran, saya akan

kembali kepadamu di hari menjelang fajar.” Dan ia mengucapkan bait berikut:

Kata-kata itu diucapkan layaknya ditujukan kepada

seorang brahmana,

setiap saat di dalam kerajaanku memerintah

dengan benar,

sumpahku itu kepadamu akan kupenuhi

setelah kehormatanku terselamatkan, akan kembali

kepadamu.

Kemudian penjahat kanibal itu berkata, “Anda telah

membuat satu sumpah yang bila dilanggar akan menerima

balasan yang setimpal dengan yang melanggar aturan para

kesatria. Pastikan Anda bertindak sesuai dengan itu.” “Teman

kanibal,” katanya, “Anda telah mengenalku sejak kecil: tidak

pernah sebelumnya diriku berkata dusta, dan sekarang di saat

diriku telah duduk di singgasana dan mengetahui yang benar dan

yang salah, mengapa saya harus berkata dusta? Percayalah

padaku, akan kusediakan diriku sebagai persembahan bagi

dirimu.” Setelah berhasil dibujuk untuk memercayainya, ia

berkata, “Baiklah, Paduka, Anda boleh pergi. Jika Anda tidak

kembali, maka tidak akan ada persembahan dan makhluk

dewata itu tidak akan menerimanya tanpa adanya dirimu: jangan

menimbulkan rintangan dalam persembahanku,” dan

melepaskan Sang Mahasatwa untuk pergi. Seperti bulan yang

lepas dari cengkeraman Rāhu dan dengan kekuataan seekor

gajah muda, dengan cepat ia tiba di kota. Sebelumnya, para

pasukannya berpikir, “Raja Sutasoma adalah orang yang bijak

dan pengkhotbah kebenaran yang handal. Jika ia dapat

berbincang dengannya, maka ia akan mengubah penjahat

kanibal itu, dan akan kembali seperti gajah yang meloloskan diri

dari mulut singa.” Dan dengan berpikir, “Orang-orang akan

mengecam kami dan berkata, ‘Setelah menyerahkan rajamu

kepada penjahat kanibal, kalian masih berani kembali kepada

kami?” mereka pun menetap (sementara) di luar gerbang kota.

Ketika mereka melihat raja datang dari kejauhan, mereka pergi

menyambutnya dan beruluk salam kepadanya, kemudian bertanya, “Apakah Anda tidak terluka oleh penjahat kanibal itu,

Paduka?” “Penjahat kanibal itu,” balasnya, “melakukan sesuatu

yang lebih sulit daripada yang dilakukan oleh orang tuaku.

Karena meskipun ia adalah makhluk yang demikian buas dan

kejam, tetapi ia melepaskanku pergi setelah mendengar

pemaparan kebenaranku.” Kemudian mereka mendandani raja

dan menaikkannya ke atas punggung gajah, mengawalnya

masuk kembali ke dalam kota. Ketika melihatnya, orang-orang

bersukacita. Dikarenakan keinginannya untuk mendengarkan

pemaparan khotbah (kebenaran), ia pun tidak mengunjungi

orang tuanya (terlebih dahulu) dengan berpikiran, “Akan

kukunjungi mereka lain kali,” ia pun masuk ke dalam istananya

dan duduk di atas takhtanya. Kemudian ia memanggil sang

brahmana dan memberi perintah kepada pengawalnya untuk

membersihkan dirinya. Setelah rambut dan janggutnya dipotong

dan dirapikan, setelah ia mandi dan menggunakan wewangian,

serta setelah ia mengenakan pakaian yang terang, mereka

membawanya menghadap kepada raja. Dan ketika brahmana itu

datang menghadap, Sutasoma pergi mandi dan memerintahkan

agar makanan yang disajikan kepadanya agar diberikan kepada

sang brahmana. Setelah brahmana itu selesai makan, ia pun

memakannya (sisa). Kemudian ia memberikan tempat duduk

yang agung kepada brahmana tersebut, dan untuk memberikan

penghormatan kepadanya ia memberikan persembahan berupa

untaian wewangian bunga dan sejenisnya. Setelah duduk di

tempat yang lebih rendah, ia memohon kepadanya dengan

berkata, “Guru, kami telah siap mendengar bait-bait (syair) yang

Anda bawakan kepada kami.”

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Terbebas dari cengkeraman makhluk kanibal kejam,

ia pergi menemui teman brahmananya dan berseru,

‘Kami ingin mendengar bait-bait kalimat yang masingmasing

berharga senilai seratus keping uang,

demi kebaikan kami semua jika Anda bersedia mengajar.’

Setelah Bodhisatta mengucapkan permohonannya,

brahmana tersebut, setelah membersihkan tangannya dengan

wewangian, mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas dengan

kedua tangannya dan berkata: “Baiklah, Paduka, dengarkanlah

empat syair-ku ini, yang masing-masing berharga senilai seratus

keping uang. Syair-syair ini diajarkan oleh Buddha Kassapa,

penghancur nafsu, penghancur kesombongan diri dan keburukan

sejenisnya dan memberikan pelepasan akan nafsu (keinginan)

dan berhentinya keadaan pikiran, bahkan pencapaian keadaan

nibbana, pelenyapan nafsu, pemutusan proses kelahiran yang

berulang-ulang, dan pencabutan kemelakatan,” dan setelah

mengucapkan kata-kata ini, ia mengulangi syair-syair berikut:

Binalah hubungan dengan orang-orang yang baik,

jangan membina hubungan dengan orang-orang yang

tidak baik, maka kedamaian akan mendatangimu.

Bertemanlah dengan orang-orang yang bijaksana,

mengenal hanya orang-orang demikian,

dari orang bijaksana mempelajari pengetahuan dan kian

hari tumbuh kian baik.

Seperti hiasan pada kereta kerajaan yang luntur dan

pudar, demikian juga halnya dengan tubuh kita yang

akan menua dan menderita pembusukan.

Akan tetapi, kebenaran dari orang bijak akan tetap dan

tidak akan usang,

Orang-orang baik memberitahukan ini kepada mereka

yang baik sejak dahulu.

Langit membentang luas di atas, bumi membentang

luas di bawah,

dan daratan di seberang lautan luas terlihat amat jauh,

tetapi masih lebih hebat dari semuanya ini dan lebih luas

dalam jangkauannya yaitu ajaran mengenai kebaikan

atau keburukan yang dipaparkan oleh orang bijaksana

nan suci.

Demikianlah sang brahmana mengajarkan keempat

syair tersebut, yang masing-masing berharga senilai seratus

keping uang, sama seperti bagaimana ia diajar oleh Buddha

Kassapa, dan kemudian diam. Sang Mahasatwa bersukacita

setelah mendengar pemaparannya dan berkata, “Perjalananku

kembali ke sini tidaklah sia-sia,” dan dengan berpikir, “Syair-syair

ini bukanlah hanya kata-kata dari seorang siswa atau dari seorang petapa suci atau hasil karya dari seorang penyair,

melainkan adalah kata-kata yang diucapkan oleh Yang

Mahatahu; Saya bertanya-tanya berapa harga dari mereka ini.

Meskipun memberikan seluruh dunia yang terbentang sampai ke

alam brahma, mengisinya dengan tujuh batu permata berharga,

seseorang pun belum sanggup memberikan balasan yang

setimpal atas syair-syair ini. Pastinya, saya dapat memberikan

kepadanya kekuasaan atas Kota Indapatta yang melingkupi

wilayah seluas tujuh yojana di dalam Kerajaan Kuru, yang

terbentang seluas tiga yojana. Tidak diragukan lagi, pasti ini

adalah buah dari jasa-jasa kebajikannya yang menyebabkan ia

menjadi seorang raja.” Tetapi ketika hendak menyerahkan

kepadanya kekuasaan yang dimilikinya yang dapat menentukan

kehidupan seseorang dari penampilan luarnya, raja tidak

mendapatkan persetujuan darinya. Kemudian raja menawarkan

kepadanya jabatan sebagai Panglima Tertinggi dan juga jabatan

sejenisnya, tetapi juga ia tidak mendapatkan persetujuan darinya,

bahkan sebagai seorang kepala suatu perkampungan sekalipun.

Berikutnya, memikirkan tentang kepemilikan harta kekayaannya,

ia memulai menawarkan uang sejumlah seratus juta sampai

akhirnya pada jumlah uang empat ribu keping. Dengan berpikiran

untuk memberikan kepadanya jumlah yang demikian, ia

mempersembahkan kepadanya empat kantong yang masingmasing

berisikan uang seribu keping, dan ia bertanya

kepadanya, “Guru, ketika Anda mengajarkan syair-syair kepada

raja-raja yang lain, berapa yang Anda dapatkan?” “Seratus

keping untuk tiap syair.” Sang Mahasatwa berkata, “Guru, Anda

tidak memedulikan harga dari barang yang tak ternilai, yang Anda bawa berkeliling ini. Mulai sekarang, biarlah mereka

menjadi seharga seribu keping (tiap syair),” setelah berkata

demikian, ia mengulangi bait berikut:

Bukanlah ratusan nilai syair-syair ini, melainkan ribuan.

Oleh karenanya, Brahmana, ambillah empat ribu keping

ini dan kembalilah dengan membawa mereka.

Kemudian ia mempersembahkan kepadanya sebuah

kereta dan memberi perintah kepada pengawalpengawalnya,

dengan berkata, “Bawa brahmana ini kembali

dengan selamat ke tempat tinggalnya,” dan kemudian

memintanya pergi. Kala itu, suara tepuk tangan yang keras

terdengar dan seruan, “Bagus, bagus! Raja Sutasoma benarbenar

menghargai syair-syair ini, dengan memberikan seribu

keping uang atas barang yang sebelumnya dihargai seratus

keping.” Orang tua raja yang mendengar suara ribut itu

menanyakan apa yang terjadi, dan menjadi marah dengan Sang

Mahasatwa ketika mengetahui kejadian yang sebenarnya,

dikarenakan ketamakan mereka. Setelah memulangkan

brahmana tersebut, ia pergi menjumpai orang tuanya dan berdiri

memberi hormat kepada mereka. Kemudian ayahnya berkata,

“Putraku, Anda telah lolos dari tangan seseorang yang disebutsebut

sebagai penjahat kejam,” dan tidak mengungkapkan

kebahagiaan atas pertemuan ia dengan anaknya, dikarenakan

ketamakannya terhadap uang, ia bertanya, “Apakah benar yang

mereka katakan bahwa Anda memberikan empat ribu keping

uang karena telah mendengarkan empat bait kalimat?” Dan ketika diakui oleh anaknya bahwa hal itu adalah benar adanya,

ayahnya mengulangi bait berikut:

Syair mungkin saja berharga senilai delapan puluh

setiap baitnya,

bahkan juga mungkin berharga senilai seratus keping.

Akan tetapi, Sutasoma, tidak pernah kuketahui satu bait

syair yang berharga senilai seribu keping uang.

Kemudian Sang Mahasatwa, untuk membuatnya dapat

melihat segala hal dengan lebih terbuka, berkata, “Ayah,

bukanlah peningkatan dalam harta kekayaan yang kuinginkan,

melainkan peningkatan dalam pengetahuan,” dan ia

mengucapkan bait-bait berikut:

Peningkatan dalam ilmu pengetahuan amat kuinginkan

dan juga persahabatan dengan orang-orang yang baik;

tidak ada sungai yang mampu membanjiri lautan,

demikianlah diriku yang masih merasa kurang akan katakata

(yang mengandung) kebenaran.

Seperti api yang terus berkobar, tidak puas dengan kayu

dan rerumputan,

seperti samudra, yang meskipun diberi makan oleh aliran

air sungai, terus-menerus meminta lagi,

demikianlah orang bijak, raja para kesatria,

tetap tidak puas untuk mendengarkan kata-kata

kebenaran

Jika dari mulut pembantuku sendiri kudengar syair-syair

yang mengandung kebenaran,

maka kata-katanya itu akan kuterima dengan penuh

hormat, karena diriku masih merasa kurang akan katakata

kebenaran.

Setelah berkata demikian, ia menambahkan, “Janganlah

menyalahkan diriku hanya karena masalah uang. Saya kembali

kemari setelah sebelumnya bersumpah untuk kembali lagi

setelah selesai mendengarkan kebenaran. Karena sekarang

telah kulakukan itu, maka sudah saatnya saya kembali ke tempat

penjahat kanibal tersebut. Ambil alihlah kekuasaan ini,” dan

mengucapkan bait berikut ini:

Kerajaan ini beserta dengan segala kekayaannya

adalah milikmu,

segala hiasan kota, kegembiraan dan kesenangan

berlimpah ruah.

Mengapa menyalahkanku, jika dari kesenangan indriawi

diriku (hendak) bebas dan menemui ajal di tangan

makhluk kanibal tersebut?

Pada saat itu, hati dari ayah sang raja tersebut menjadi

panas di dalam, dan ia berkata, “Apa, Sutasoma, yang kamu

katakan ini? Akan kudatangi dengan empat kelompok pengawal

dan kutangkap penjahat itu,” dan ia mengulangi bait berikut:

Bala tentara datang untuk pertahanan kita,

Sebagian menunggang gajah, sebagian mengendarai

kereta, sebagian menunggang kuda dengan busur, dan

sebagian lagi berjalan kaki—

Dengan Panglima sebagai pemimpin, mari kita bunuh

musuh kita.

Kemudian ayah dan ibunya, dengan air mata yang

berlinang, memohon kepadanya, dengan berkata, “Jangan pergi,

Anakku. Tidak, Anda tidak boleh pergi,” dan sebanyak enam

belas ribu gadis penari beserta sisa rombongannya meratap dan

berkata, “Ke mana Anda hendak pergi dengan meninggalkan

kami yang tak berdaya di sini?” dan tak seorang pun di seluruh

pelosok kota mampu menahan perasaan mereka, dan mereka

berkata, “Ia telah datang kembali setelah sebelumnya membuat

satu sumpah kepada makhluk kanibal itu, dan sekarang [487]

karena telah selesai mendengarkan empat syair yang masingmasing

berharga senilai seratus keping dan telah memberikan

penghormatan selayaknya kepada seorang pengkhotbah

kebenaran serta telah berpamitan kepada orang tuanya, ia akan

kembali ke tempat penjahat itu, sekali lagi,” dan seluruh kota

menjadi gempar. Ketika mendengar apa yang dikatakan oleh

orang tuanya, ia kemudian mengulangi bait berikut:

Perbuatan dari musuh kita, si pemakan daging manusia,

itu amat baik, membolehkanku pergi setelah menangkapku.

Mengingat perbuatannya yang baik itu,

bagaimana mungkin kulanggar sumpahku sendiri?

Untuk menghibur orang tuanya, ia kemudian berkata,

“Ayah dan Ibu, janganlah mencemaskan diriku. Saya telah

melakukan perbuatan yang baik, dan penguasaan terhadap

keinginan dari enam indra bukanlah hal yang sulit,” dan

setelah berpamitan dengan orang tuanya, ia memberikan

wejangan kepada orang-orang dan kemudian berangkat.

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Berpamitan dengan kedua orang tuanya, dengan nasihat

bijak ia menasihati para penduduk dan pejabat kerajaan,

Kemudian tidak berniat untuk tidak memenuhi

sumpahnya, ia kembali lagi ke tempat makhluk kanibal.

Kemudian penjahat kanibal itu berpikir, “Jika temanku,

Sutasoma, hendak kembali, maka biarlah ia kembali. Kalau tidak,

biarlah dewi pohon itu melakukan apa pun yang

diinginkannya, dan akan kubunuh para kesatria ini untuk

membuat suatu persembahan dengan lima jenis daging yang

lezat.” Maka ia pun membuat satu tumpukan kayu bakar dan

mulai menyalakan api, dengan berpikiran untuk menunggu

sampai baranya menjadi panas. Ketika ia sedang duduk dan

mengasah tombak (tusuk), Sutasoma datang. Melihat Sutasoma

datang kembali, ia menjadi gembira dan bertanya, dengan

berkata, “Teman, apakah Anda telah pergi dan melakukan apa yang harus dilakukan?” Sang Mahasatwa berkata, “Ya,

Maharaja, telah kudengar syair-syair dari brahmana itu yang

diajarkan oleh Buddha Kassapa, dan telah kuberikan

penghormatan yang selayaknya kepada pengkhotbah

kebenaran. Sekarang saya telah kembali, setelah selesai

melakukan apa yang harus dilakukan.” Untuk menggambarkan

permasalahan ini, ia mengulangi bait berikut:

Suatu hari kujanjikan sesuatu kepada seorang

brahmana, di saat diriku memerintah dengan benar di

dalam kerajaanku,

dan sekarang setelah kupenuhi sumpahku itu,

kehormatanku terselamatkan, saya datang kembali.

Bunuh dan persembahkanlah diriku kepada

dewi pohonmu,

atau untuk memuaskan nafsumu akan daging manusia.

Mendengar ini, penjahat kanibal itu berpikir, “Raja ini

tidak memiliki rasa takut; ia berbicara layaknya semua rasa takut

dirinya terhadap kematian telah lenyap. Saya ingin tahu dari

mana datangnya kekuatan ini. Tidak mungkin yang lainnya lagi,

tadi ia mengatakan, ‘Telah kudengar syair-syair yang diajarkan

oleh Buddha Kassapa.’ Kekuatan luar biasa ini pastinya berasal

dari syair-syair itu. Akan kuminta ia mengucapkan syair-syair

tersebut untuk kudengar, dan dengan demikian diriku juga akan

terbebas dari segala rasa takut.” Dan dengan menetapkan tekad

demikian, ia mengulangi bait berikut:

Api masih membara: meskipun agak sedikit tertunda,

tetapi saya tidak akan berhenti dari memakan mangsaku.

Daging yang dipanggang di atas bara api akan matang

dengan enak;

Mari beritahukan bait yang berharga seratus keping itu.

Mendengar ini, Sang Mahasatwa berpikir,

“Penjahat kanibal ini adalah orang yang berada di jalan yang

salah: Akan kukecam ia dan dengan kata-kata akan kubuat ia

menjadi malu,” dan ia berkata:

Anda adalah manusia yang keji,

terjatuh dari singgasana dikarenakan nafsu indriawi;

Syair-syair ini memberitahukan kebenaran kepadaku,

bagaimana yang benar bergabung dengan yang salah?

Bagi seorang penjahat keji, yang tangannya terjerumus

dalam limbah darah,

dari mana datangnya kebenaran atau kebaikan?

Apa gunanya ilmu pengetahuan?

Ketika dikecam dengan kata-kata ini, penjahat kanibal itu

tidak marah. Mengapa demikian? Hal ini terjadi dikarenakan

kekuatan cinta kasih (metta) yang luar biasa dari Sang

Mahasatwa. Maka ia berkata, “Apakah hanya saya, Teman

Sutasoma, orang yang tidak benar?” dan mengulangi bait berikut:

Manusia yang memburu hewan

untuk dijadikan makanan,

dan manusia yang membunuh manusia

untuk dijadikan makanan,

kedua jenis orang ini akan dihitung sama besar

kesalahannya setelah kematian:

Mengapa hanya diriku sendiri yang disalahkan

karena kekejaman?

Mendengar ini, Sang Mahasatwa, untuk membantah

pandangan salahnya, mengulangi bait berikut:

Oleh kaum kesatria diketahui ada lima mangsa berkuku

lima yang boleh disantap;

Oh, Paduka, menyantap yang tak boleh disantap,

karena itu Anda bertentangan dengan kebenaran

(Dhamma).

Ketika mendapatkan kecaman ini dan melihat tidak

adanya cara untuk membantah lagi, ia mencoba untuk

menyembunyikan perbuatan buruknya dan mengulangi bait

berikut:

Bebas dari pemakan daging manusia, Anda pulang

kembali ke istana, penuh dengan kesenangan.

Kemudian kembali lagi kepada seorang musuh untuk

memberikan nyawamu?

Anda adalah seorang yang ahli dalam pengetahuan!

Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Teman, seseorang

seperti diriku ini seharusnya ahli dalam pengetahuan (kaum

kesatria). Saya mengetahuinya dengan baik, tetapi tidak

mendasarkan perbuatanku padanya,” dan ia mengucapkan bait berikut:

Yang terdapat di dalam ajaran kaum kesatria membuat

orang berakhir di alam neraka.

Oleh karenanya tidak kusukai ajaran kaum kesatria dan

kembali lagi ke tempatmu ini, memenuhi sumpahku:

Jadikanlah diriku sebagai persembahanmu, atau

makanan untukmu.

Penjahat kanibal itu berkata:

Tempat tinggal dalam istana megah, tanah yang luas,

kuda dan ternak lainnya,

wewangian, kain yang mahal, dan banyak selir,

Semuanya ini Anda miliki tanpa harus membayar—

Hal baik apa yang Anda dapatkan dari (menjaga)

kebenaran?

Bodhisatta berkata:

Dari segalanya kebaikan yang dapat kunikmati di dunia,

tak ada yang lebih baik daripada kebaikan dari

kebenaran:

Para petapa dan brahmana yang selalu bertindak

dengan benar, terbebas dari lingkaran kelahiran dan

kematian, menuju ke sisi yang lebih jauh ke depan.

Demikian Sang Mahasatwa memaparkan kepadanya

akan kebaikan dari kebenaran. Kemudian sewaktu melihat

wajahnya yang amat cerah seperti bunga teratai yang mekar

sempurna atau seperti terangnya bulan purnama, penjahat

kanibal itu berpikir, “Sutasoma ini melihatku mempersiapkan

tumpukan kayu bakar dan mengasah tombak, tetapi ia tidak

menunjukkan rasa takut sedikitpun. Apakah mungkin ini

disebabkan oleh syair-syair yang masing-masing berharga senilai

seratus keping atau apakah ini disebabkan oleh suatu

kebenaran? Akan kutanyakan padanya.” Dan dalam bentuk

pertanyaan, ia mengulangi bait berikut:

Bebas dari pemakan daging manusia, Anda pulang

kembali ke istana, penuh dengan kesenangan.

Kemudian kembali lagi kepada seorang musuh untuk

memberikan nyawamu?

Pastinya Anda tidak mengetahui apa itu rasa takut

terhadap kematian, bebas dari nafsu keinginan,

menepati sumpahmu.

Untuk menjawabnya, Sang Mahasatwa berkata:

Dikarenakan telah kulakukan kebajikan yang tak

terhitung jumlahnya,

telah kuberikan persembahan yang berlimpah ruah,

maka telah jelas pula jalan yang akan kutempuh di

kehidupan berikutnya:

Ia yang berjalan di dalam kebenaran tidak akan takut

terhadap kematian.

Dikarenakan telah kulakukan kebajikan yang tak

terhitung jumlahnya,

telah kuberikan persembahan yang berlimpah ruah,

maka tanpa sesal akan kutempuh jalan ke alam surga,

oleh karenanya, jadikanlah diriku sebagai

persembahanmu atau makanan untukmu.

Orang tuaku telah kubahagiakan dengan perawatan

yang baik,

pemerintahanku mendapatkan pujian sebagai

pemerintahan yang adil (benar),

maka telah jelas pula jalan yang akan kutempuh di

kehidupan berikutnya:

Ia yang berjalan di dalam kebenaran tidak akan takut

akan kematian.

Orang tuaku telah kubahagiakan dengan perawatan

yang baik,

pemerintahanku mendapatkan pujian sebagai

pemerintahan yang adil (benar),

maka tanpa sesal akan kutempuh jalan ke alam surga,

oleh karenanya, jadikanlah diriku sebagai

persembahanmu atau makanan untukmu.

Telah kulakukan perbuatan yang selayaknya dilakukan

terhadap sanak keluarga dan teman-teman,

pemerintahanku adil dan mendapatkan pujian,

maka tanpa sesal akan kutempuh jalan ke alam surga,

oleh karenanya, jadikanlah diriku sebagai

persembahanmu atau makanan untukmu.

Telah kuberikan derma yang demikian banyak,

telah kupuaskan para petapa dan brahmana dengan

dana (makanan),

maka telah jelas pula jalan yang akan kutempuh di

kehidupan berikutnya:

Ia yang berjalan di dalam kebenaran tidak akan takut

terhadap kematian.

Telah kuberikan derma yang demikian banyak,

telah kupuaskan para petapa dan brahmana dengan

dana (makanan),

maka tanpa sesal akan kutempuh jalan ke alam surga,

oleh karenanya, jadikanlah diriku sebagai

persembahanmu atau makanan untukmu.

Ketika mendengar ini, penjahat kanibal tersebut

berpikir, “Raja Sutasoma ini adalah orang yang bajik dan

berpengetahuan: jika kumakan dagingnya, maka kepalaku akan

terbelah menjadi tujuh bagian, atau bumi akan terbuka lebar dan

menelanku ke dalamnya,” dan dalam rasa takutnya, ia berkata,

“Teman, Anda bukanlah jenis orang yang harus kumakan,” dan

mengulangi bait berikut:

Ia harus meminum secangkir racun, atau

menghadapi ular ganas yang murka, atau

kepalanya akan terbelah menjadi tujuh bagian,

bila berani memakan seseorang yang tak berkata dusta.

Demikian ia berkata kepada Sang Mahasatwa, dengan

menambahkan, “Anda itu, terlihat seolah-olah, seperti racun yang

mematikan; siapa yang berani memakan dagingmu?” dan

dikarenakan ingin mendengar syair-syair tersebut, ia pun

memohon kepadanya untuk memberitahukan itu kepadanya.

Ketika permohonannya ditolak oleh Sang Mahasatwa disebabkan

oleh rasa hormat yang selayaknya terhadap hal-hal yang suci,

dengan dasar alasan bahwa ia bukanlah penerima yang tepat

atas syair yang demikian, ia berkata, “Di seluruh India tidak ada

orang bijak seperti ia, karena ketika ia kubebaskan dari

cengkeramanku, ia pulang dan mendengarkan syair-syair ini.

Setelah memberikan hormat yang selayaknya kepada sang

pengkhotbah kebenaran, ia kemudian kembali lagi, dengan

kematian yang tertulis jelas di kepalanya. Syair-syair ini pastilah

memiliki kebaikan yang luar biasa,” dan masih dengan dipenuhi oleh keinginan untuk (dapat) mendengar syair-syair tersebut, ia

memohon kembali kepada Sang Mahasatwa dan mengulangi bait berikut:

Sesudah mendengar kebenaran itu, orang-orang segera

dapat membedakan yang baik dan yang buruk;

Jika saya dapat mendengarnya, maka hatiku dapat diisi

dengan kebahagiaan dalam kebenaran.

Kemudian Sang Mahasatwa berpikir, “Penjahat kanibal

ini sekarang berhasrat untuk mendengar: akan kupaparkan syairsyair

tersebut kepadanya,” dan berkata, “Baiklah, Teman,

dengarkanlah baik-baik.” Demikianlah, setelah mendapatkan

perhatiannya, ia melantunkan syair-syair tersebut sama seperti

bagaimana mereka diajarkan kepadanya oleh Brahmana Nanda,

para dewa di enam alam kesenangan indriawi berseru [494], dan

para bidadari bertepuk tangan menandakan persetujuan, dan

Sang Mahasatwa demikian memaparkan kebenaran tersebut

kepada si penjahat kanibal:

Binalah hubungan dengan orang-orang yang baik,

jangan membina hubungan dengan orang-orang yang

tidak baik, maka kedamaian akan mendatangimu.275

Disebabkan karena syair-syair tersebut disampaikan oleh

Sang Mahasatwa dengan begitu baik dan ditambah dengan kenyataan bahwa ia adalah seorang yang bijak, maka penjahat

kanibal itu berpikir, “Syair-syair ini, terdengar seolah-olah, seperti

kata-kata dari Buddha Yang Mahatahu,” dan seluruh tubuhnya

didera oleh lima jenis kegiuran (batin), dan ia merasakan

perasaan lembut terhadap Bodhisatta dan menganggapnya

seperti seorang ayah yang siap untuk memberikan kepadanya

payung putih kerajaan. Dan ia berpikir, “Tidak kulihat adanya

persembahan berupa emas kuning untuk diberikan kepada

Sutasoma. Akan tetapi, akan kukabulkan satu permintaan untuk

setiap baitnya,” dan ia mengucapkan bait berikut:

Penuh dengan arti dan dengan suara yang jelas,

kata-kata manismu terdengar oleh telingaku,

demikian tergiurnya batinku, sehingga dengan senang

akan kukabulkan empat permintaan darimu.

Kemudian Sang Mahasatwa memarahinya dan berkata,

“Permintaan apa yang dapat Anda tawarkan kepadaku

sebenarnya?” dan ia mengulangi bait berikut:

Seorang makhluk yang tak mengetahui keadaan batin,

yang baik atau yang buruk, tak mengetahui alam neraka,

budak dari nafsu keinginan, bagaimana seorang makhluk

sepertimu mengerti akan mengabulkan permintaan untuk orang?

Andaikata saya mengatakan ‘Kabulkanlah permintaanku

ini,’ kemudian akan Anda tarik kembali perkataanmu,

Orang bijak manakah yang telah mengetahui ini (dan

hendak) menerima risiko pertengkaran yang cukup jelas?

Kemudian penjahat kanibal itu berkata, “Ia tidak

memercayaiku; Akan kubuat agar ia memiliki kepercayaan

kepada diriku,” dan ia mengulangi bait berikut:

Tak seorang pun boleh mengatakan akan mengabulkan

suatu permintaan,

kemudian menarik balik perkataannya itu:

Teman, katakanlah tanpa rasa takut permintaan-permintaanmu itu;

Akan kukabulkan itu untukmu, meskipun harus

kehilangan nyawa.

Kemudian Sang Mahasatwa berpikir, “Ia telah berkata

layaknya seorang pemberani dan akan melakukan apa yang

kuminta; Akan kuterima penawarannya ini. Tetapi, jika sebagai

permintaan pertama kuminta ia untuk berhenti memakan daging

manusia, ia pasti akan menjadi amat terganggu. Saya akan

meminta permintaan lainnya di tiga permintaan pertama, dan

baru setelah semua itu akan kupinta yang terakhir ini,” dan

berkata:

Ia yang bersahabat dengan orang yang berperilaku baik

akan selalu setuju dengan perbuatan baik,

juga seorang baik pastinya saling menyenangkan sesama:

Saya ingin melihatmu hidup dalam keadaan demikian

selama beratus-ratus tahun:

Inilah permintaan pertamaku dari seluruh permintaan

yang ingin dikabulkan.

Ketika mendengar ini, penjahat kanibal tersebut,

“Meskipun telah kusebabkan ia kehilangan kerajaannya, tetapi

sekarang ia malah meminta sesuatu agar saya hidup panjang

umur, seorang penjahat besar yang (ketagihan) memakan daging

manusia dan (pernah) berniat buruk terhadap dirinya. Ah, ia

adalah penolongku yang baik.” Dan ia merasa amat gembira,

tidak mengetahui bahwa permintaan ini dipilih untuk mengalihkan

dirinya. Untuk mengabulkan permintaan itu, ia mengucapkan bait berikut:

Ia yang bersahabat dengan orang yang berperilaku baik

akan selalu setuju dengan perbuatan baik,

juga seorang baik pastinya saling menyenangkan

sesama:

Anda ingin melihatku hidup dalam keadaan demikian

selama beratus-ratus tahun:

Dengan senang hati kukabulkan permintaan pertamamu.

Kemudian Bodhisatta berkata:

Para kesatria yang berada dalam tawananmu,

yang di kerajaan mereka diberkati sebagai raja,

para pemimpin di atas bumi ini tidak boleh Anda makan:

Inilah permintaanku yang kedua.

Demikianlah dalam memilih permintaan kedua ia

meminta agar nyawa seratus raja tersebut diselamatkan. Dan

untuk mengabulkan permintaannya ini, ia berkata:

Para kesatria yang berada dalam tawananku,

yang di kerajaan mereka diberkati sebagai raja,

para pemimpin di atas bumi tidak akan kumakan:

Dengan senang hati kukabulkan permintaan keduamu.

Apakah para raja itu mendengar apa yang mereka

bicarakan? Mereka tidak mendengarnya. Sewaktu penjahat

kanibal itu menyalakan api, dikarenakan takut pohon tersebut

terluka oleh asap dan apinya, ia mundur dari pohon tersebut,

dan Sang Mahasatwa duduk di antara perapian dan pohon

tersebut ketika berbicara dengannya. Oleh karenanya, para

raja tersebut tidak mendengar semua yang mereka bicarakan,

melainkan sebagian saja. Mereka kemudian saling menghibur,

dengan berkata, “Jangan takut, sekarang Sutasoma akan

mengubah si pemakan daging manusia,” dan pada saat ini

Sang Mahasatwa mengucapkan bait berikut:

Anda menawan sekitar seratus orang raja,

semuanya dalam keadaan terikat dan meratap,

kembalikan mereka ke kerajaan mereka masing-masing:

Inilah permintaanku yang ketiga.

Demikianlah dalam memilih permintaannya yang ketiga

ia meminta pengembalian (kekuasaan) para kesatria ini ke

kerajaan mereka masing-masing. Mengapa memilih permintaan

ini? Karena andaikan penjahat kanibal itu tidak memakan daging

mereka, dikarenakan takut pembalasan dari mereka, ia mungkin

saja menjadikan mereka sebagai budak dan membuat mereka

tinggal di dalam hutan, atau mungkin membunuh mereka dan

meninggalkan mayat mereka, atau mungkin juga membawa

mereka ke daerah perbatasan dan menjual mereka sebagai

budak. Oleh sebab itulah, ia memilih permintaan berupa

pengembalian mereka ke kerajaan masing-masing. Untuk

mengabulkan permintaannya ini, penjahat kanibal itu

mengucapkan bait berikut:

Saya menawan sekitar seratus orang raja,

semuanya dalam keadaan terikat dan meratap,

akan kukembalikan semuanya ke kerajaan mereka

masing-masing:

Dengan senang hati kukabulkan permintaan ketigamu.

Sekarang, untuk mengatakan permintaannya yang

keempat, Bodhisatta mengucapkan bait berikut:

Duniamu ini kacau balau dan dipenuhi dengan ketakutan

orang-orang bersembunyi di dalam gua (lubang) jika

melihat dirimu.

Berhentilah memakan daging manusia, wahai raja:

Inilah permintaanku yang keempat.

Setelah demikian ia berkata, penjahat kanibal itu

bertepuk tangan dan berkata, sambil tertawa, “Teman Sutasoma,

apa yang Anda katakan ini? Bagaimana mungkin kukabulkan

permintaan ini? Jika Anda masih ingin meminta sesuatu, pilihlah

yang lainnya,” dan ia mengucapkan bait berikut:

Begitu lezatnya makanan ini terasa bagi diriku;

Dikarenakan inilah diriku bersembunyi di dalam hutan.

Bagaimana mungkin dari kesenangan yang demikian

diriku berpantang?

Untuk permintaanmu yang keempat, pilihlah yang lain.

Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Karena Anda

menyukai daging manusia, Anda mengatakan, ‘Saya tidak bisa

berpantang darinya.’ Sesungguhnya, ia yang melakukan

perbuatan buruk karena itu menyenangkan adalah orang yang

dungu,” dan ia mengulangi bait berikut:

Seorang raja sepertimu tidak seharusnya mengikuti

kesenangan,

tidak juga mengorbankan diri demi kesenangan,

dapatkanlah kehidupan dalam maknanya yang tertinggi,

hadiah terbaik, dan kebahagiaan di kehidupan

mendatang akan didapatkan karena perbuatan baik.

Ketika kata-kata ini selesai diucapkan oleh Sang

Mahasatwa, penjahat kanibal tersebut dirundung oleh rasa takut, dan berpikir, “Saya tidak bisa menolak permintaan dari

Sutasoma, tidak juga bisa berpantang makan daging manusia.

Apa yang harus kulakukan?” dan dengan berlinang air

mata, ia mengulangi bait berikut:

Saya menyukai daging manusia: Anda tentu tahu,

Sutasoma agung, demikianlah adanya.

Dari makanan ini, tidak pernah diriku dapat berpantang.

Pikirkanlah permintaan yang lain dan pilihlah itu.

Kemudian Bodhisatta berkata:

Ia yang mengikuti kesenangan,

bahkan juga mengorbankan diri demi kesenangan,

maka gelas (berisi) racun akan diteguknya seperti

seorang pemabuk,

dan di kehidupan berikutnya penderitaan tiada akhir

sudah pasti menunggu dirinya.

Ia yang tidak mengikuti kesenangan,

menunaikan kewajibannya dengan usaha keras,

maka gelas (berisi) penawar akan diteguknya seperti

seorang pesakit,

dan di kehidupan berikutnya kebahagiaan sudah pasti

menunggu dirinya.

Setelah ia berkata demikian, penjahat kanibal tersebut

mengulangi bait berikut, sembari meratap tangis:

Lima kesenangan yang muncul dari indra,

orang tua dan semuanya kutinggalkan,

dikarenakan alasan ini saya tinggal di dalam hutan;

Bagaimana mungkin bisa kukabulkan permintaanmu ini?

Kemudian Sang Mahasatwa mengucapkan bait berikut:

Orang bijak tidak pernah mengucapkan kata-kata dusta,

selalu menepati janji mereka adalah (ciri) orang baik:

’Katakanlah permintaanmu, Teman,’ ini yang Anda

katakan kepadaku;

Dan sekarang apa yang Anda katakan bertentangan

dengannya.

Sekali lagi, masih dalam keadaan meratap tangis,

penjahat kanibal itu mengucapkan bait berikut:

Kerugian, ditambah dengan malu dan aib,

keburukan, kejahatan dan kebejatan,

semuanya ini kutimbulkan demi memakan daging

manusia:

Bagaimana mungkin bisa kukabulkan permintaanmu ini?

Kemudian Sang Mahasatwa berkata:

Tak ada seorang pun yang seharusnya boleh menarik

kembali janji yang telah diucapkannya, mengabulkan

semua permintaan:

‘Teman, katakanlah tanpa rasa takut permintaan-permintaanmu itu;

Akan kukabulkan itu untukmu, meskipun harus

kehilangan nyawa.’

Setelah demikian menunjukkan kembali bait yang pernah

diucapkan oleh si penjahat kanibal, dan untuk mendesaknya

dengan usaha mengabulkan permintaan tersebut, ia

mengucapkan bait berikut:

Orang baik akan meninggalkan kehidupan, tetapi

kebenaran tidak, selalu tepati janji mereka;

Jika Anda telah berjanji, wahai raja, mengabulkan

satu permintaan,

maka sempurnakanlah perbuatan yang Anda mulai itu

dengan menyelesaikannya.

Orang memberikan harta kekayaan untuk

menyelamatkan dirinya,

orang mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan

kehidupannya.

Kekayaan, diri, kehidupan dan segalanya akan musnah,

kebenaran dan buah darinya yang akan tersisa.

Demikian Sang Mahasatwa dengan cara ini mengajarkan

kebenaran kepada penjahat kanibal tersebut, dan kemudian

untuk menjelaskannya, ia mengucapkan bait berikut:

Orang yang membuktikan perkataan yang diucapkannya,

—semua orang baik yang akan menghilangkan segala

keraguannya—

membuktikan dirinya sebagai tempat bernaung, tempat

bertumpu, dan tempat beristirahat;

Kasih dari orang-orang suci untuk dirinya takkan habis.

Setelah mengucapkan bait ini, ia berkata, “Teman

kanibal, tidaklah pantas bagimu untuk melampaui kata-kata dari

seorang Guru yang demikian baik, dan juga diriku, ketika Anda

masih muda, adalah gurumu dan mengajarimu banyak hal, dan

sekarang dengan gaya layaknya seorang Buddha, telah

kuperdengarkan untukmu syair-syair yang masing-masing

berharga senilai seratus keping. Oleh sebab itu, Anda harus

mematuhi perkataanku.” Ketika mendengar ini, penjahat kanibal

tersebut berpikir, “Sutasoma adalah guruku dan seorang yang

terpelajar, dan saya yang mengatakan akan mengabulkan

permintaannya. Apa yang kulakukan (ini)? Kematian adalah

suatu hal yang pasti dalam kehidupan setiap manusia. Saya tidak

akan lagi memakan daging manusia, akan kukabulkan

permintaannya,” dan berlinangan dengan air mata, ia pun bangkit

dan bersujud di kaki Sutasoma. Untuk mengabulkan

permintaannya, ia mengulangi bait berikut:

Manis dan enak terasa makanan ini olehku,

Dikarenakan alasan ini, saya tinggal di dalam hutan;

Tetapi jika Anda (tetap) memintaku untuk melakukan

perbuatan ini,

maka permintaan ini akan kukabulkan untukmu,

Temanku juga rajaku.

Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Bagus sekali,

Teman. Bagi seorang yang dengan ketat menjalankan latihan

moralitas (sila), bahkan kematian juga merupakan suatu

permintaan. Telah terkabulkan permintaanku kepadamu. Mulai

hari ini, Anda harus berjalan di jalan para ariya, dan oleh

karenanya saya memohon sesuatu kepadamu: jika Anda

memiliki cinta kasih terhadap diriku (dalam persahabatan), maka

jalankanlah, Paduka, lima latihan moralitas.” “Baik,” jawabnya,

“ajarkanlah kepadaku, Teman, lima latihan moralitas itu.” “Kalau

begitu, belajarlah dariku, Paduka.” Maka ia memberi

penghormatan kepada Sang Mahasatwa dengan bersujud pada

lima tumpuan276 dan duduk di satu sisi, kemudian Sang

Mahasatwa pun mengajarkan lima sila kepadanya. Kala itu, para

makhluk dewata yang berada di bumi berkumpul bersama dan

berkata, “Tak ada orang lain lagi, mulai dari penghuni Alam

Neraka Avīci sampai kepada penghuni alam tanpa bentuk,

dengan cinta kasih mampu membuat penjahat kanibal ini

berhenti memakan daging manusia, selain Sang Mahasatwa. Oh,

suatu keajaiban luar biasa dilakukan oleh Sutasoma,” dan mereka bertepuk tangan, membuat hutan itu menggemakan

suara-suara mereka yang keras. Mendengar suara (ribut) ini,

para dewa di Alam Cātumahārājika juga melakukan hal yang

sama, dan sampai akhirnya kegemparan ini bahkan sampai ke

alam brahma. Para raja yang tergantung di pohon juga

mendengar suara ribut tanda persetujuan ini dari para makhluk

dewata, dan dewi pohon tersebut dengan berdiri di dalam

kediamannya mengeluarkan suara tanda persetujuan juga. Jadi,

suara dari para makhluk dewata terdengar, tetapi bentuk mereka

tidak terlihat. Ketika mendengar suara ribut dari para makhluk

dewata tersebut, berpikir, “Dikarenakan Sutasoma, nyawa kita

terselamatkan: Sutasoma telah melakukan suatu keajaiban

dengan mengubah si pemakan daging manusia,” dan mereka

melantunkan puji-pujian terhadap Bodhisatta. Setelah bersujud di

kaki Sang Mahasatwa, penjahat kanibal itu berdiri di satu sisi.

Kemudian Sang Mahasatwa berkata kepadanya, “Teman,

bebaskanlah raja-raja kesatria itu.” Ia berpikir, “Saya adalah

musuh raja-raja kesatria itu. Jika kubebaskan, mereka akan

berkata, ‘Tangkap ia, ia adalah musuh kita,’ dan akan melakukan

sesuatu yang buruk terhadap diriku. Akan tetapi, meskipun harus

kehilangan nyawa, saya tidak boleh melanggar sila yang telah

kuambil dari Sutasoma. Saya akan pergi bersama dengannya

dan melepaskan raja-raja kesatria itu, dan dengan jalan ini akan

kudapatkan keselamatan.” Kemudian membungkuk memberi

hormat kepada Bodhisatta, ia berkata, “Sutasoma, mari kita pergi

bersama untuk membebaskan raja-raja kesatria itu,” dan ia

mengulangi bait berikut:

Guru sekaligus temanku adalah dirimu,

telah kupenuhi semua permintaanmu:

Sebagai balasannya, Anda lakukan apa yang kuminta

mari kita segera pergi dan bebaskan para raja ini.

Kemudian Bodhisatta berkata kepadanya:

Guru sekaligus temanmu adalah diriku,

telah kamu penuhi semua permintaanku:

Saya juga akan melakukan apa yang kamu minta,

mari kita segera pergi dan bebaskan para raja ini.

Setelah berada di dekat mereka, Bodhisatta berkata:

Terikat di pohon ini, air mata kalian berlinangan

karena penjahat kanibal telah melakukan perbuatan

buruk kepada kalian,

meskipun demikian, kami ingin kalian berjanji,

jangan pernah melukai raja ini.

Kemudian mereka membalas:

Terikat di pohon ini dan air mata berlinangan,

kami membenci penjahat kanibal ini yang telah

melakukan perbuatan buruk kepada kami,

meskipun demikian, kami semua berjanji,

tidak pernah melukainya jika kami dibebaskan.

Kemudian Bodhisatta berkata, “Baiklah, berikanlah

janji ini kepadaku,” dan mengulangi bait berikut:

Seperti orang tua yang menyayangi anak-anaknya

memberikan kasih sayang nan lembut,

demikianlah jadikan ia sebagai seorang ayah

dan kalian, sebagai anak-anaknya, mengasihinya.

Dengan menyetujui akan janji ini, mereka juga

mengulangi bait berikut:

Seperti orang tua yang menyayangi anak-anaknya

memberikan kasih sayang nan lembut,

demikianlah ia kami jadikan sebagai seorang ayah

dan, sebagai anak-anaknya, mengasihinya.

Demikian Sang Mahasatwa membuat mereka berjanji,

dan memanggil si pemakan daging manusia itu dengan berkata,

“Datanglah ke sini dan bebaskan raja-raja kesatria ini.” Ia

mengambil pedangnya dan memotong ikatan dari salah seorang

raja kesatria tersebut. Dikarenakan sudah tujuh hari raja ini tidak

makan dan didera dengan rasa sakit, maka tak lama setelah

ikatannya dipotong, kemudian ia terjatuh ke tanah. Melihat

kejadian ini, Sang Mahasatwa tergerak oleh cinta kasihnya dan

berkata, “Teman, jangan memotong ikatan mereka seperti ini,”

dan dengan memegang erat seorang raja kesatria lainnya

dengan kedua tangannya, ia mengangkatnya sampai ke bagian

dadanya dan berkata, “Sekarang potonglah ikatannya.” Maka penjahat kanibal itu pun memotong ikatan tersebut dengan

pedangnya. Kemudian Sang Mahasatwa, yang diberkahi dengan

kekuatan yang besar, menopangnya di bagian dada,

menurunkannya dengan perlahan seolah-olah ia adalah anaknya

sendiri, dan membaringkannya di tanah. Dengan cara yang

demikian ia membaringkan mereka semua di tanah. Setelah

membersihkan luka-luka mereka, dengan lembut ia melepaskan

tali ikatan dari tangan-tangan mereka, seolah-olah tali yang

dilepaskan dari telinga seorang anak kecil, kemudian

melancarkan kembali darah yang membeku, ia membuat lukaluka

itu menjadi tidak berbahaya. Dan ia berkata kepada

penjahat kanibal tersebut, “Teman, haluskanlah beberapa kulit

kayu pohon pada batu dan bawakanlah itu kepadaku.” Setelah itu

dilakukannya, ia melakukan pernyataan kebenaran dan

menggosokannya pada telapak tangan mereka, dan seketika itu

juga luka-luka mereka menjadi sembuh. Penjahat kanibal itu

membawa beras sekam dan memasaknya sebagai obat [505],

dan mereka berdua memberikan obat itu kepada seratus raja

kesatria. Demikian mereka semua dirawat, dan matahari pun

kala itu terbenam. Keesokan harinya, pada pagi, siang dan

malam hari mereka masih memberikan mereka minum air beras,

tetapi pada hari ketiga dan berikutnya sampai sembuh, mereka

memberikan bubur susu. Kemudian Sang Mahasatwa

menanyakan apakah mereka sudah cukup kuat untuk dapat

pulang kembali, dan ketika mereka menjawab mereka sanggup

melakukannya, ia berkata, “Temanku pemakan daging manusia,

mari kita pulang kembali ke kerajaan kita masing-masing.”

Tetapi, dengan meratap, ia bersujud di kaki Sang Mahasatwa dan berkata, “Teman, Anda saja yang bawa raja-raja kesatria ini

dan pulang kembali. Sedangkan, saya akan tetap tinggal di sini,

bertahan hidup dengan memakan buah-buahan dan akarakaran.”

“Apa yang akan Anda lakukan di sini, Teman?

Kerajaanmu adalah tempat yang menyenangkan: pergi dan

pimpinlah kembali Benares.” “Teman, apa yang Anda katakan

ini? Adalah hal yang tidak mungkin bagiku untuk kembali ke

sana: semua penduduk di sana adalah musuhku. Mereka akan

mengecamku dan mengatakan, ‘Orang ini memakan ibuku, atau

ayahku; tangkap penjahat ini,’ dan dengan bebatuan, mereka

akan merenggut nyawaku. Jika tetap kukuh dalam lima latihan

moralitas, saya tidak dapat membunuh siapa pun, tidak juga

bahkan untuk menyelamatkan nyawaku. Saya tidak akan pergi.

Sebagai akibat dari perbuatanku yang berhenti memakan daging

manusia, berapa lama waktu yang kumiliki untuk bertahan hidup?

Dan sekarang saya tidak akan berjumpa lagi denganmu,” dan ia

menangis, sambil berkata, “Pergilah.” Sang Mahasatwa

mengusap punggungnya dan berkata, “Teman, namaku adalah

Sutasoma: telah kuubah dirimu, seorang makhluk yang

sedemikian buruknya. Jika Anda menanyakan apa yang harus

dilakukan di Benares, saya akan mengembalikan kekuasaan

kepadamu, atau (kalau tidak berhasil) kerajaanku akan kubagi

dua dan kuberikan setengahnya kepadamu.” “Di dalam

kerajaanmu juga saya memiliki musuh,” balasnya. Sutasoma

berpikir, “Dengan mematuhi perkataanku, orang ini telah

melakukan satu tugas yang amat sulit: Dengan suatu cara harus

kukembalikan kejayaan dirinya yang dahulu,” dan untuk menggoda dirinya, ia melantunkan pujian akan kejayaan

kerajaannya dan berkata:

Daging hewan dan segala jenis burung

pernah Anda nikmati,

dimasakkan oleh para juru masak yang ahli,

hidangan yang benar-benar lezat,

Meninggalkan kesenangan demikian seperti apa yang

dirasakan oleh (Dewa) Indra, dalam menikmati

ambrosia—

Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam

hutan ini sendirian?

Para wanita kaum kesatria dengan pinggang ramping,

pakaian yang luar biasa,

yang biasanya mengelilingimu, sekumpulan gadis,

seperti halnya (Dewa) Indra, di antara para bidadarinya,

melangkah dalam kebahagiaan—

Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?

Di atas ranjang megah, wahai raja, pernah Anda berbaring,

dengan sedemikian banyak seprai menumpuk, mengelilingimu,

bantal merah di bawah kepalamu dan kain yang putih nan bersih—

Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?

Pernah, acap kali di malam hari terdengar suara tabuhan genderang,

dan suara-suara yang bukan suara manusia juga dapat terdengar,

musik dan lagu selalu dalam satu kesatuan, membuat suasana hati tetap gembira—

Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?

Anda pernah memiliki sebuah taman tempat tumbuhnya beragam jenis bunga,

Migācira, dikenal dengan demikian namanya, sebagai taman dan juga kota,

di sana terdapat kuda-kuda, gajah-gajah, dan kereta-kereta dalam jumlah besar—

Mengapa Anda meninggalkannya, bersusah di dalam hutan ini sendirian?

Sang Mahasatwa berpikir, “Mungkin orang ini,

dengan mengingat kembali kesenangan-kesenangan yang

dinikmatinya dahulu kala, akan menjadi ingin untuk pergi

bersamaku,” dan demikian ia menggodanya, pertama dengan makanan, kedua dengan nafsu, ketiga dengan ranjang, keempat

dengan nyanyian, tarian dan musik, kelima dengan

mengingatkannya akan taman dan kota—dengan semua

pemikiran ini ia menggodanya, dan berkata, “Mari, Paduka, saya

akan pergi bersamamu ke Benares dan mengembalikan

kedudukan raja kepadamu, dan setelah itu saya akan kembali ke

kerajaanku sendiri; tetapi jika kita gagal mendapatkan kembali

kekuasaanmu di Kerajaan Benares, saya akan memberikan

kepadamu setengah dari kerajaanku. Apalah gunanya tinggal di

dalam hutan? Lakukan saja seperti apa yang kukatakan.” Setelah

mendengar perkataannya, penjahat kanibal itu menjadi ingin

pergi bersama dengannya dan berpikir, “Sutasoma menginginkan

kebaikan untuk diriku dan ia adalah seorang yang penuh cinta

kasih. Pertama ia membuat diriku kukuh dalam kebajikan, dan

sekarang ia mengatakan akan mengembalikan kejayaan diriku

seperti sediakala, ia pasti mampu melakukannya. Saya harus

pergi bersamanya. Apalah gunanya tinggal di dalam hutan?” Dan

dengan perasaan sukacita, ia ingin melantunkan pujian terhadap

Sutasoma dikarenakan jasa kebajikannya, dan ia berkata,

“Teman Sutasoma, tidak ada hal lain yang lebih baik daripada

bersahabat dengan seorang teman yang baik, tidak ada hal lain

yang lebih buruk daripada bersahabat dengan seorang teman

yang buruk,” dan mengulangi bait-bait berikut:

Seperti bulan yang makin redup dari hari ke hari setelah

pertengahan bulan,

demikianlah persahabatan dengan orang yang buruk,

wahai raja, membuahkan penderitaan seperti

pembusukan;

Demikian saya bersahabat dengan juru masak itu, orang

yang hina dari yang paling hina, melakukan perbuatan

buruk, yang memastikan diriku masuk ke alam neraka.

Seperti bulan yang makin terang dari hari ke hari

sebelum pertengahan bulan,

demikianlah persahabatan dengan orang baik, wahai

raja, tidak akan membuahkan penderitaan seperti pembusukan:

Demikian saya bersahabat denganmu, Anda tahu itu,

melakukan kebajikan, yang membawa diriku ke alam

surga, yang menyenangkan.

Seperti banjir besar yang melanda daratan kering akan

reda secara perlahan, bersifat sementara,

demikianlah persahabatan dengan orang yang buruk,

wahai raja, seperti air di daratan, suatu hal yang lambat

laun akan menghilang.

Seperti banjir besar yang melanda lautan

akan bertahan lama,

demikianlah persahabatan dengan orang yang baik,

wahai raja, seperti air di lautan,

suatu hal yang bertahan lama.

Tidaklah singkat persahabatan dengan orang yang baik,

selama hidup, persahabatan demikian bertahan,

sedangkan persahabatan dengan orang yang buruk

segera berakhir,

dari jalan kebajikan, orang-orang yang buruk tersesat.

Demikian dalam tujuh bait kalimat, penjahat kanibal itu

melantunkan pujian terhadap Sang Mahasatwa. Sang

Mahasatwa kemudian membawanya beserta dengan para raja

kesatria tersebut pergi ke suatu desa perbatasan, dan para

penduduk yang melihat Sang Mahasatwa pergi ke kota dan

melaporkannya. Kemudian para menteri raja datang beserta

dengan satu pasukan dan mengawal Sang Mahasatwa, dengan

kawalan rombongan ini ia tiba di Kerajaan Benares. Di tengah

perjalanan ke sana, penduduk kota membawakan hadiah dan

mengikuti rombongannya, dan oleh karenanya terdapat

sekelompok besar orang yang tiba di Benares bersama

dengannya. Pada waktu itu, putra dari penjahat kanibal itu

menjadi raja dan Kalahatthi masih tetap menjabat sebagai

panglima. Orang-orang di kota melaporkan ini kepada raja

dengan berkata, “Paduka, dikatakan bahwa Sutasoma telah

mengubah si penjahat kanibal dan sekarang telah tiba di sini

bersama dengannya. Kita tidak akan memperbolehkan ia masuk

ke kota,” dan dengan segera mereka menutup gerbang kota,

berdiri dengan lengan di dalam tangan mereka. Ketika

mengetahui gerbang kota ditutup, Sang Mahasatwa

meninggalkan penjahat kanibal dan seratus raja kesatria tersebut, pergi bersama sebagian menteri dan berseru, “Saya

adalah Raja Sutasoma, buka pintu gerbangnya,” dan para

pengawal kerajaan pergi memberitahukan ini kepada raja. Raja

memerintahkan untuk segera membuka pintu gerbangnya, dan

Sang Mahasatwa pun masuk ke dalam kota. Raja dan kalahatthi

keluar untk menjumpainya dan membawanya naik ke

istana. Setelah duduk di tempat duduk yang mewah, Sang

Mahasatwa memanggil istri dari penjahat kanibal dan juga

rombongan menterinya, kemudian bertanya kepada Kalahatthi,

“Mengapa, Kalahatthi, Anda tidak memperbolehkan raja untuk

masuk ke dalam kota?” Ia menjawab, “Ia adalah seorang yang

jahat. Di saat ia memerintah sebagai raja di kota ini, ia memakan

banyak manusia dan melakukan apa yang tidak seharusnya

dilakukan oleh kaum kesatria, dan menggemparkan seluruh

India: itulah alasannya mengapa kami bertindak demikian.”

“Jangan beranggapan,” balasnya, “bahwa ia akan bertindak

seperti itu lagi sekarang. Saya telah mengubah dirinya dan

mengukuhkan dirinya dalam sila. Bahkan untuk menyelamatkan

dirinya sendiri, ia tidak akan melukai orang lain. Kalian tidak

berada dalam bahaya: janganlah bertindak seperti ini.

Sesungguhnya, anak harus merawat orang tua: mereka yang

membahagiakan orang tuanya akan terlahir di alam surga,

sedangkan mereka yang tidak membahagiakan orang tuanya

akan terlahir di alam neraka.” Demikian ia menasihati putra raja,

yang duduk di sampingnya di tempat duduk yang rendah.

Kemudian ia mengajari panglima dengan berkata, “Kalahatthi,

Anda adalah seorang teman sekaligus pengikut raja, dan

mendapatkan kekuasaan yang besar dikarenakan olehnya; Anda juga harus bertindak mendukung raja.” Dan untuk menasihati

ratu, ia berkata, “Wahai ratu, Anda berasal dari keturunan

bangsawan dan dari tangannya Anda mendapatkan posisi

sebagai permaisuri, dan mendapatkan banyak putra dan putri

darinya; Anda juga harus bertindak mendukung raja,” dan

sebagai puncaknya dalam mengajarkan kebenaran ini, ia berkata:

Tidak ada raja yang seharusnya bertindak melampaui

batas terhadap ia yang tak terkalahkan,

Tidak ada teman yang mendapatkan teman yang lebih

baik melalui tindak pengkhianatan;

Wanita yang takut berdiri membela suaminya bukanlah

seorang istri sejati,

dan mereka juga bukan anak-anak yang berbakti, yang

tidak merawat ayahnya di masa tua.

Tidak ada balai yang tidak memiliki seorang bijak

di dalamnya,

Tidak ada orang bijak yang tidak menyebarkan

kebenaran di mana pun ia berada.

Orang bijak adalah mereka yang telah mengenyahkan

nafsu (kemelekatan), kebencian, dan kedunguan,

serta tidak pernah tidak mengajarkan kebenaran di mana

pun ia berada.

Orang bijak di antara orang-orang dungu, jika membisu,

tidak ada yang tahu ia adalah orang bijak,

(jika) ia berbicara, maka seluruh alam mengenalnya

sebagai seorang guru.

Ajarkan, terangkan kebenaran, dan kibarkan (tinggi)

bendera para orang suci,

lambang dari orang suci adalah ucapan yang

bermanfaat, dan kebenaran adalah bendera yang

mereka kibarkan.

Setelah mendengar pemaparan kebenaran ini, raja

dan panglima bersukacita dan berkata, “Mari kita pergi dan

jemput raja kembali ke sini,” dan setelah membuat pengumuman

di kota dengan tabuhan genderang, mereka memanggil keluar

semua penduduk dan berkata, “Jangan takut lagi; mereka

memberitahukan kami bahwa raja telah menjadi orang yang

kukuh dalam kebenaran: mari kita pergi membawanya kembali

ke tempat ini.” Maka dengan satu rombongan yang amat besar,

dengan Sang Mahasatwa sebagai pemimpin rombongan, mereka

pun pergi dan memberi salam hormat kepada raja. Mereka

memanggilkan tukang pangkas untuknya; ketika rambut dan

janggutnya telah dirapikan, ketika ia telah selesai mandi dan

mengenakan pakaian yang mewah, mereka mendudukkannya di

satu tumpukan batu permata, melakukan upacara pemercikan

dan kemudian membawanya masuk ke dalam kota. Raja

pemakan daging manusia itu memberikan penghormatan yang

besar kepada para raja kesatria dan Sang Mahasatwa. Terdapat suatu kegemparan yang besar di seluruh India yang mengatakan

bahwa Sutasoma, raja manusia, telah mengubah seorang

penjahat kanibal dan mengembalikan kekuasaannya sebagai raja

di kerajaannya. Penduduk Kota Indapatta mengirim pesan,

meminta raja mereka untuk pulang kembali. Sang Mahasatwa

tinggal di sana selama satu bulan dan demikian menasihati raja,

“Teman, kami akan pergi. Pastikan Anda tidak lalai dalam

kebajikan, bangunlah lima balai distribusi dana di gerbang kota

dan satu balai di pintu istanamu, dan jalankanlah sepuluh

kualitas seorang raja, serta lindungilah diri dari jalan-jalan

perbuatan buruk.” Bala tentara dari seratus kota kerajaan

berkumpul bersama dan dengan kawalan rombongan ini ia

berangkat meninggalkan Benares. Pemakan daging manusia

tersebut ikut pergi mengantarnya, dan berhenti di pertengahan

perjalanan. Sang Mahasatwa memberikan kuda kepada mereka

yang tidak memiliki kuda dan sebagainya, kemudian meminta

mereka untuk pergi membubarkan diri. Mereka semua saling

bersitabik beruluk salam, dan setelah saling memberikan salam

dan berpelukan, mereka masing-masing kembali kepada

rakyatnya. Sang Mahasatwa juga, tiba dengan keagungan yang

mulia di Indapatta, masuk ke dalam kota, yang telah dihias oleh

para penduduknya menjadi seolah-olah seperti kota para dewa.

Setelah memberi hormat kepada orang tuanya dan menyatakan

kegembiraannya berjumpa kembali dengan mereka, ia pun naik

ke menara istana. Ketika ia memerintah dengan benar di

kerajaannya, terlintas pikiran ini di benaknya, “Makhluk dewata

penjaga pohon itu sudah sangat membantuku; akan kupastikan

ia mendapatkan persembahan yang setimpal.” Maka ia meminta pengawalnya untuk membuat satu danau yang besar di dekat

pohon beringin itu dan memindahkan banyak keluarga untuk

membangun sebuah perkampungan di sana. Perkampungan itu

kemudian tumbuh berkembang menjadi sebuah tempat yang

besar dengan delapan ribu tempat jualan. Dan dimulai dari batas

terjauh yang dijangkau cabang pohonnya, ia menaikkan tanah

tempat akar pohonnya berada dan mengelilinginya dengan

sebuah anjungan yang dilindungi dengan panah dan gerbang;

demikianlah makhluk dewata penjaga pohon itu disenangkannya.

Dikarenakan perkampungan itu dibangun di tempat penjahat

kanibal itu dijinakkan, tempat itu berkembang menjadi Kota

Kammāsadamma. Dan semua raja tersebut, dengan mengikuti

nasihat dari Sang Mahasatwa, melakukan kebajikan seperti

memberikan derma dan sebagainya, terlahir di alam surga.

Sang Mahasatwa mengakhiri uraian Dhamma-Nya di sini dan berkata, “Bukan hanya kali ini, Para Bhikkhu, saya mengubah Aṅgulimāla, tetapi juga di masa lampau dirinya diubah olehku,” dan mempertautkan kisah kelahiran ini, “Pada masa itu, raja pemakan daging manusia itu adalah Aṅgulimāla, Kāḷahatthi adalah Sāriputta, Brahmana Nanda adalah Ānanda, dewi pohon adalah Kassapa, Sakka adalah Anuruddha, raja-raja kesatria adalah para pengikut Buddha, ayah dan ibu dari raja adalah anggota dari kehidupan maharaja, dan Raja Sutasoma adalah diriku sendiri.”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 5

 

 

Tagged , ,

KUṆĀLA JĀTAKA

“Berikut ini adalah kisahnya dan ketenaran darinya.”

Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di dekat Danau Kuṇāla, tentang lima ratus bhikkhu yang dilanda rasa tak puas. Berikut ini adalah urutan kejadiannya. Kaum Sākiya dan Koliyā (Sakya dan Koliya) memiliki Sungai Rohiṇī yang mengalir di antara Kota Kapilavatthu dan Koliya, dibatasi oleh satu bendungan, yang airnya digunakan oleh mereka untuk mengolah lahan tanaman. Di bulan Jeṭṭhamūla ketika tanaman mulai layu dan menunduk, para pekerja dari kedua kota berkumpul bersama. Kemudian penduduk Koliya berkata, “Jika air sungai ini digunakan untuk mengairi kedua tempat, maka airnya tidak akan cukup. Akan tetapi, panen kami akan berhasil dengan pengairan yang diarahkan ke tempat kami saja: karena itu, berikanlah air sungai ini kepada kami.” Penduduk Kapilavatthu berkata, “Di saat kalian mengisi lumbung-lumbung dengan hasil panen, kami tidak bisa datang ke depan pintu kalian dengan membawa koin tembaga, permata, emas, dan keranjang serta karung di tangan kami. Panen kami juga akan berhasil dengan pengairan yang diarahkan ke tempat kami saja; karena itu, berikanlah air sungai ini kepada kami.” “Kami tidak akan memberikannya,” jawab mereka. “Begitu juga halnya dengan kami,” jawab penduduk Kapilavatthu. Di saat situasi menjadi makin memanas, salah satu dari mereka bangkit dan memukul yang lainnya, dan orang itu kemudian memukul orang berikutnya, dan demikian terjadi baku hantam di antara mereka, serta ditambah dengan saling mencaci kedua kaum kesatria, mereka menambah kericuhan yang telah ada. Para pekerja dari kaum Koliya berkata, “Enyahlah kalian, orang-orang Kapilavatthu, orang-orang yang menyerupai anjing, serigala, dan hewan liar lainnya, yang tinggal Bersama dengan saudari-saudari mereka. Apalah yang dapat dilakukan oleh gajah, kuda, tameng dan tombak mereka kepada kami?”

Para pekerja dari kaum Sakya berkata, “Tidak, kalian lah, para penderita kusta, yang pergi bersama dengan anak-anak kalian, orang-orang egois yang jahat, seperti makhluk yang berjalan sejajar dengan tanah (hewan) yang tinggal di pohon bidara (kola). Apalah yang dapat dilakukan oleh gajah, kuda, tameng dan tombak mereka kepada kami?” Mereka pergi mengadu kepada para pejabat yang berwenang menangani masalah seperti ini, dan para pejabat ini melaporkannya kepada para kesatria dari kaum mereka. Kemudian kaum Sakya berkata, “Kita akan tunjukkan kepada mereka betapa kuat dan perkasanya orang-orang yang tinggal bersama dengan saudari-saudari mereka ini,” dan mereka pun berangkat, siap untuk berperang. Dan kaum Koliya berkata, “Kita akan tunjukkan kepada mereka betapa kuat dan perkasanya mereka yang tinggal di pohon bidara,” dan mereka pun berangkat, siap untuk berperang. Akan tetapi, ada beberapa guru lain yang menceritakan kisah ini demikian, “Ketika para pembantu dari kaum Sakiya dan Koliya pergi ke sungai untuk mengambil air, dan duduk sambal berbincang-bincang setelah meletakkan gelung bantal yang mereka bawa di kepala, seorang wanita mengambil gelung bantal milik wanita yang lain karena menganggap itu adalah miliknya sendiri; oleh karenanya, pertengkaran pun terjadi, masing-masing dari kaum mereka menyatakan bahwa itu adalah milik mereka, kemudian berangsur-angsur sampai kepada para penduduk dari kedua kota, para budak, pekerja, pelayan, kepala kampung, pemimpin, pejabat dan wakil raja, mereka semuanya berangkat, siap untuk berperang. Versi yang pertama lebih banyak ditemukan dalam kitab-kitab komentar dan juga lebih dapat diterima daripada versi yang kedua.

Kala itu hari menjelang malam, ketika mereka bersiap

untuk berperang. Pada waktu itu, Yang Terberkahi sedang

berada di Sāvatthi, dan ketika sedang meninjau keadaan dunia,

Beliau melihat kedua kaum ini yang berangkat, siap untuk

berperang. Ketika melihat ini, Beliau ingin mengetahui apakah

jika Beliau pergi ke sana, maka perseteruan akan reda atau

tidak, dan Beliau memutuskan seraya berpikir, “Saya akan pergi

ke sana, dan untuk memadamkan perseteruan ini, saya akan

menceritakan tiga kisah kelahiran, dan setelahnya, perseteruan

akan reda. Kemudian setelah menceritakan dua kisah kelahiran

lagi, untuk memberitahukan tentang berkah dari kerukunan, saya

akan mengkhotbahkan Attadaṇḍa Sutta224 kepada mereka. Dan

setelah mendengar khotbah-Ku ini, orang-orang dari kedua kota

tersebut masing-masing akan memberikan dua ratus lima puluh

pemuda kepadaku, dan saya akan menahbis mereka menjadi

bhikkhu, dan akan terbentuk suatu kumpulan yang banyak.”

Setelah memutuskan demikian dan merapikan pakaian, Beliau

pergi ke Sāvatthi untuk berpindapata.

Sekembalinya dari berpindapata dan

setelah menyantap makanan, pada sore hari

Beliau keluar dari gandhakuṭi dan tanpa mengatakan apa pun

kepada siapa pun, Beliau mengambil patta dan jubah-Nya, pergi

sendirian ke tempat tersebut, kemudian duduk bersila di udara di

antara kedua kubu yang berseteru itu. Melihat adanya suatu

kesempatan untuk mengejutkan mereka, untuk membuat

kegelapan, Beliau duduk di sana mengeluarkan sinar (biru

gelap)225 dari rambut-Nya. Ketika mereka semua meresah, Beliau

menunjukkan diri-Nya dan mengeluarkan enam sinar seorang

Buddha. Orang-orang Kapilavatthu, yang melihat Yang

Terberkahi, berpikir, “Sang Guru, Saudara kami yang mulia, telah

datang. Apakah mungkin Beliau telah mengetahui keburukan

kami dalam peperangan ini? Karena Sang Guru telah datang,

tidaklah mungkin kami melucuti senjata dari pihak lawan,”

dan mereka membuang senjata-senjata dari tangan mereka, dan

berkata, “Biarlah kaum Koliya membunuh atau menangkap

kami.” Orang-orang dari kaum Koliya juga memikirkan dan

melakukan hal yang sama. Kemudian Yang Terberkahi turun dan

duduk di tempat duduk Buddha yang luar biasa, terletak di

tempat yang memukau pada hamparan pasir, dan Beliau

mengeluarkan sinar kejayaan tiada tara dari seorang Buddha.

Para kesatria juga memberikan hormat kepada Beliau dan

mengambil tempat untuk duduk. Kemudian Sang Guru, meskipun

Beliau sudah mengetahui jawabannya dengan amat baik,

bertanya, “Mengapa Anda sekalian datang ke sini, para

Maharaja?” “Bhante,” jawab mereka, “kami datang ke sini bukanlah untuk melihat sungai ini ataupun untuk bersenangsenang,

melainkan untuk berperang.” “Mengenai apakah

pertengkarannya ini?” “Mengenai masalah air.” “Berapakah nilai

dari air, Maharaja?” “Sangat kecil, Bhante.” “Berapakah nilai dari

bumi ini?” “Tak ternilai.” “Berapakah nilai dari kaum kesatria?”

“Mereka juga sama, tak ternilai.” “Jadi mengapa disebabkan oleh

air yang sangat kecil nilainya, Anda sekalian hendak saling

menghancurkan kaum kesatria yang tak ternilai, Maharaja?

Sesungguhnya, tidaklah ada suatu akhir yang bahagia dari

perseteruan; di masa lampau dikarenakan suatu perseteruan di

antara dewa pohon dan singa hitam, terbentuklah suatu dendam

yang sampai pada kurun waktu sekarang ini,” dan setelah

mengatakan ini, Beliau menceritakan kepada mereka tentang

kisah Phandana-Jātaka. Kemudian Beliau berkata,

“Seharusnya tidaklah ada para pengikut yang membabi buta

seperti ini: Di masa lampau, sekelompok hewan berkaki empat

yang panjangnya mencapai tiga yojana, di daerah pegunungan

Himalaya, saling mengikuti satu sama lain menuruti perkataan

dari seekor kelinci untuk terjun ke samudra yang luas. Oleh

karena itu, tidak seharusnyalah kelompok pasukan yang

membabi buta ada saat ini,” setelah berkata demikian, Beliau

menceritakan kisah Daddabha-Jātaka. Lebih lanjut, Beliau

berkata kembali, “Kadang kala si lemah melihat kekurangan dari

si kuat, dan kadang kala pula si kuat melihat kekurangan dari si

lemah; di masa lampau, pada suatu ketika, seekor burung puyuh

dan seekor burung (gagak) membunuh seekor gajah,” dan Beliau menceritakan kisah Laṭukika-Jātaka. Demikianlah untuk

memadamkan perseteruan itu, Beliau menceritakan tiga kisah

kelahiran, dan untuk menjelaskan tentang berkah dari kerukunan,

Beliau menceritakan dua kisah kelahiran yang lainnya lagi.

“Dalam suatu keadaan, semua orang hidup dalam kerukunan, tak

seorang pun dapat menemukan celah untuk menyerang,” dan

Beliau menceritakan kisah Rukkhadhamma-Jātaka. Beliau

juga menambahkan, “Terhadap mereka yang hidup dalam

kerukunan, tak seorang pun dapat menemukan celah untuk

menyerang. Akan tetapi, ketika mereka ini terpecah satu sama

lain, di masa lampau, seorang pemburu menyebabkan

kehancuran mereka dan pergi sesudahnya. Sesungguhnya,

tidaklah ada suatu akhir yang bahagia dari perseteruan,” dan

setelah berkata demikian, Beliau menceritakan kisah Vaṭṭaka-

Jātaka. Setelah menceritakan lima kisah kelahiran ini, Beliau

mengakhirinya dengan mengkhotbahkan Attadaṇḍa Sutta.

Setelah menjadi orang yang berkeyakinan, para kesatria itu

berkata, “Seandainya Guru tidak datang tadi, kami pasti telah

saling membunuh dan menimbulkan terjadinya banjir darah.

Berkat Sang Guru-lah, kami masih hidup sekarang. Seandainya

Guru menjalankan kehidupan sebagai manusia biasa (awam),

maka daerah kekuasaan berupa empat pulau besar (benua)

ditambah dengan dua ribu pulau kecil lainnya akan jatuh ke

tangan-Nya dan Beliau pasti memiliki lebih dari seribu orang putra, serta dikelilingi oleh kelompok-kelompok kesatria. Akan

tetapi, Beliau meninggalkan semua kejayaan ini dan melepaskan

keduniawian mencapai pencerahan. Baiklah, sekarang

biarlah Beliau juga dikelilingi oleh pengikut berupa kelompok

kesatria.” Maka masing-masing kaum kesatria tersebut

memberikan kepada-Nya dua ratus lima puluh orang kesatria.

Setelah menahbiskan mereka, Beliau pergi ke Mahavana. Mulai

dari keesokan harinya, dengan ditemani oleh mereka, Beliau

pergi berpindapata di kedua kota tersebut, kadang kala di

Kapilavatthu dan kadang kala di Koliya, dan orang-orang dari

kedua kota memberikan kehormatan yang besar kepada-Nya. Di

antara mereka-mereka ini yang ditahbiskan bukan karena

keinginan mereka tidak menunjukkan hormat kepada Sang Guru

dan muncul rasa tidak puas dalam diri mereka. Dan para istri

menambah rasa tidak puas suami mereka dengan mengirimkan

pesan-pesan anu. Dengan memindai permasalahan ini, Yang

Terberkahi mengetahui betapa tidak puasnya diri mereka itu dan

berpikir, “Bhikkhu-bhikkhu ini, meskipun tinggal bersama dengan

seorang Buddha seperti diriku ini, masih merasa tidak puas.

Saya ingin tahu khotbah apakah yang cocok untuk mereka ini,”

Beliau kemudian memikirkan tentang uraian Dhamma mengenai

Kuṇāla. Kemudian gagasan ini muncul dalam dirinya, “Akan

kubawa bhikkhu-bhikkhu ini ke daerah pegunungan Himalaya

dan setelah memaparkan keburukan para wanita (istri) dengan

uraian mengenai Kuṇāla dan menghilangkan rasa tidak puas

mereka, akan kubuat mereka kukuh berada dalam Jalan

Sotapanna.” Maka pada pagi harinya, sambil membawa serta

patta dan jubah, Beliau pergi berpindapata ke Kapilavatthu. Setelah kembali dan menyantap makanan serta melakukan apa

yang seharusnya dilakukan, Beliau memanggil lima ratus bhikkhu

ini dan bertanya, “Apakah daerah pegunungan Himalaya yang

demikian menyenangkan pernah terlihat oleh kalian

sebelumnya?” Mereka menjawab, “Belum, Bhante.” “Maukah

kalian melakukan perjalanan ke daerah pegunungan Himalaya?”

“Bhante, kami tidak memiliki kekuatan gaib; bagaimana bisa kami

pergi ke sana?” “Andai kata ada seseorang yang membawa

kalian pergi bersamanya, maukah kalian ikut serta?” “Ya,

Bhante.” Dengan kekuatan gaib, Sang Guru membawa mereka

terbang bersama-Nya di angkasa dan tiba di daerah pegunungan

Himalaya, dan dengan berdiri di angkasa, Beliau menunjukkan

kepada mereka hamparan luas pegunungan Himalaya berupa

beragam jenis gunung, Gunung Emas, Gunung Perak, Gunung

Vermiliun, Gunung Hitam, Gunung Dataran Tinggi, Gunung

Kristal; lima sungai yang besar; tujuh danau, Kaṇṇamuṇḍa,

Rathakāra, Sīhapapāta, Chaddanta, Tiyaggaḷa, Anotatta, Kuṇāla.

Himalaya adalah suatu daerah pegunungan yang amat luas, lima

ratus yojana panjangnya dan tiga ribu yojana lebarnya. Bagian

yang menyenangkan darinya ini ditunjukkan oleh Beliau dengan

kekuatan gaib-Nya, berikut dengan taman yang ada di sana,

kelompok-kelompok hewan berkaki empat, singa, harimau, gajah

dan sebagainya—berbagai tempat hiburan lainnya, pohon-pohon

yang berbunga dan berbuah, kelompok berbagai jenis burung, tanaman air dan darat,—di sebelah timur Himalaya terdapat

dataran emas, dan di sebelah barat adalah Dataran Vermiliun.

Pertama kalinya melihat daerah-daerah yang amat

menyenangkan ini, para bhikkhu tersebut tidak lagi memiliki

nafsu keinginan (untuk kembali) kepada mantan istri-istri mereka.

Kemudian Sang Guru bersama dengan para bhikkhu ini

turun dari angkasa di sebelah barat Himalaya pada satu dataran

bebatuan yang panjangnya tujuh puluh yojana, di dataran merah

yang panjangnya tiga yojana, di bawah pohon sala yang

menutupi area seluas enam puluh yojana dan berusia satu kalpa.

Sang Guru, yang dikelilingi oleh para bhikkhu ini, mengeluarkan

enam sinar (warna), seperti menembus masuk ke kedalaman

samudra dan bersinar seperti matahari, kemudian duduk dan

berkata demikian kepada para bhikkhu ini dengan nada suara

yang manis: “Para Bhikkhu, tanyakanlah padaku mengenai

ketakjuban yang belum pernah kalian lihat sebelumnya di

Himalaya ini.” Kala itu dua ekor burung tekukur yang berwarna

cerah menggigit sebatang kayu di kedua ujungnya, dan di bagian

tengah terdapat raja mereka, kemudian delapan ekor burung

tekukur lainnya berada di bagian depan dan delapan ekor di

bagian belakang, delapan ekor di sebelah kanan dan delapan

ekor di sebelah kiri, delapan ekor lagi di bagian atas dan delapan

ekor di bagian bawah, dalam keadaan demikian melindungi raja

mereka itu, terbang di angkasa. Melihat kawanan burung ini, para

bhikkhu tersebut bertanya kepada Sang Guru, “Apakah arti dari

burung-burung ini?” “Para Bhikkhu,” Beliau menjawab, “ini adalah

tradisi lama dari keluarga kami, sebuah tradisi yang dibuat

olehku; di masa lampau, dalam keadaan demikianlah mereka mengawal diriku. Saat seperti ini di masa lampau terdapat

kawanan burung yang berjumlah besar, sebanyak tiga ribu lima

ratus ekor burung betina yang mengelilingi diriku. Karena

berangsur-angsur berkurang, jumlah kawanan burung ini menjadi

seperti yang dapat kalian lihat sekarang ini.” “Di hutan jenis

apakah mereka menjadi pengikutmu, Bhante?” Kemudian Sang

Guru berkata, “Baik, simaklah ini, Para Bhikkhu,” dan sembari

mengingat kembali, Beliau menceritakan sebuah kisah masa

lampau dan demikian ini mengajar mereka.

Demikianlah kisahnya dan yang kudengar: suatu daerah

yang dari tanahnya menghidupi berbagai jenis tanaman,

berbagai jenis bunga; didatangi oleh gajah, banteng, kerbau, sapi

(yak), antelop berbintik, badak, rusa, singa, harimau, macan

kumbang, beruang, serigala, hiena, berang-berang, antelop

kadalī, kucing yang bertelinga panjang seperti telinga kelinci;

dihuni oleh kawanan-kawanan berbagai jenis gajah; kerap

dikunjungi oleh berbagai jenis rusa; dan dihuni pula oleh para

yaksa berwajah kuda, dan makhluk sejenisnya; terhampar luas

dengan belukar pepohonan yang puncak-puncaknya berbunga,

berbatang kuat dan berdiri kokoh, tak ada yang kuncup, yang

menggemakan suara kicauan ratusan burung yang semuanya

bersukacita, burung elang laut, burung belibis, burung hering

berparuh gajah, burung merak, burung kuau, dan beragam burung tekukur India; ditutupi dan dihiasi oleh ratusan zat

mineral, collyrium, arsenik, orpiment, vermiliun, emas dan

perak—di hutan yang demikian inilah hidup burung Kuṇāla

(Kunala): ia begitu elok dan memiliki bulu-bulu yang

berwarna terang. Burung Kunala ini memiliki tiga ribu lima ratus

burung betina yang melayaninya. Kemudian dua ekor burung

menggigit ujung sebatang kayu, mendudukkan Kunala di bagian

tengah, terbang di angkasa, karena takut rasa lelah dalam

perjalanan jauh dapat membuatnya bergerak dari posisinya dan

terjatuh maka lima ratus ekor burung terbang di bagian bawah,

dengan pemikiran, “Seandainya Kunala terjatuh dari

tenggerannya, kami dapat menahannya dengan sayap kami.”

Lima ratus ekor burung lainnya terbang di bagian atas, karena

takut panas dapat membuat Kunala gosong. Lima ratus ekor

burung masing-masing terbang di kedua sisinya untuk

menghalangi dingin atau panas, sampah atau debu, angin atau

embun, agar tidak mengenai dirinya. Lima ratus ekor burung

terbang di bagian depan, kalau-kalau ada penggembala sapi,

penggembala kambing, pemotong rumput, atau pengumpul kayu

atau pekerja di hutan, memukul Kunala dengan kayu atau

pecahan kayu, dengan kepalan tangan atau gumpalan tanah,

dengan tongkat atau pedang atau batu, atau kalau-kalau Kunala

akan bertabrakan dengan ranting-ranting pohon atau pepohonan,

atau dengan tiang atau batu (karang), atau dengan burung lain

yang kuat. Lima ratus ekor burung terbang di bagian belakang,

melayaninya dengan kata-kata lembut, baik, memikat nan manis dengan suara merdu, kalau-kalau Kunala bosan duduk di tempat

tenggernya. Lima ratus ekor burung terbang ke sana dan ke sini,

membawa beragam jenis buah dari pohon-pohon yang berbeda,

kalau-kalau ia merasa lapar. Kemudian burung-burung tersebut

mengiringi Kunala dari satu taman ke taman yang lain, dari satu

hutan ke hutan yang lain, dari satu sungai ke sungai yang lain,

dari satu puncak gunung ke puncak gunung yang lain, dari satu

hutan mangga ke hutan mangga yang lain, dari satu hutan jambu

ke hutan jambu yang lain, dari satu hutan sukun ke hutan sukun

yang lain, dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa yang lain.

Tetapi Kunala yang setiap hari diiringi oleh burung-burung ini

mencela mereka demikian: “Enyahlah kalian, makhlukmakhluk

rendah, binasalah kalian, makhluk-makhluk penipu,

pencuri, yang tak berkesadaran, yang selalu berubah-ubah, yang

tidak tahu berterima kasih, pergi seperti angin yang terbang ke

tempat mana pun.”

Setelah mengucapkan kata-kata ini, Sang Guru

berkata, “Para Bhikkhu, bahkan sewaktu terlahir sebagai hewan,

saya mengetahui dengan sangat baik mengenai rasa tak tahu

berterima kasih, tipu muslihat, kekejaman dan keburukan dari

wanita, dan pada waktu itu saya dapat berada jauh dari pengaruh

mereka dan mengendalikan mereka,” dan ketika dengan

perkataan ini dapat menghilangkan rasa tidak puas (dalam batin)

bhikkhu-bhikkhu tersebut, Sang Guru pun diam sejenak. Kala itu,

dua ekor burung tekukur hitam datang ke tempat tersebut,

membawa pemimpin mereka di tengah sebatang kayu, tempat

terdapat empat ekor burung lainnya di masing-masing sisinya.

Ketika melihat mereka ini, para bhikkhu bertanya kepada Sang Guru mengenai mereka, dan Beliau berkata, “Di masa lampau,

Para Bhikkhu, saya memiliki teman, seekor burung tekukur, yang

bernama Puṇṇamukha (Punnamukha), dan demikian tradisi dari

keluarganya,” dan untuk menjawab pertanyaan para bhikkhu itu,

sama seperti sebelumnya, Beliau berkata:

Di sebelah timur dari pegunungan Himalaya, rajanya

para gunung, terdapat aliran-aliran air jernih yang bersumber di

lereng-lereng gunung landai nan lembut; di suatu tempat yang

berbau harum, memukau, cerah, indah dengan bunga-bunga

teratai yang bermekaran, teratai biru, teratai putih, teratai

berdaun seratus, bunga lili putih, dan pohon surgawi, di

suatu daerah yang ditumbuhi dan dihiasi oleh berbagai jenis

pohon, tanaman dan belukar yang bermekaran, diramaikan

oleh suara-suara dari burung angsa, itik, angsa, dijadikan tempat

tinggal oleh kelompok-kelompok petapa yang memiliki kekuatan

gaib, dihuni oleh para makhluk dewata, yaksa, raksasa, asura,

gandhabba, kinnara, dan ular naga—demikian indahnyalah hutan

tempat burung tekukur Puṇṇamukha (Punnamukha) itu

bertempat tinggal. Ia memiliki suara yang amat merdu, matanya

seperti mata seseorang yang selalu dirundung oleh kegembiraan,

terdapat tiga ribu lima ratus burung betina yang mengikutinya,

dua ekor burung menggigit sebatang kayu di kedua ujungnya,

memberikan tempat duduk kepada rajanya di bagian tengah,

mendudukkan Punnamukha di bagian tengah, terbang di

angkasa, karena takut rasa lelah dalam perjalanan jauh dapat membuatnya bergerak dari posisinya…dan seterusnya.

Punnamukha, yang dikawal oleh burung-burung ini setiap

harinya, memuji mereka dengan berkata, “Bagus sekali, Saudarisaudariku,

perbuatan kalian ini menjadikan kalian berstatus

tinggi, dengan pelayanan yang diberikan kepada raja kalian.”

Kemudian Punnamukha terbang mendekati tempat Kunala

berada, dan ketika burung-burung yang melayani Kunala

melihatnya, mereka terbang menghampiri Punnamukha ketika

masih berada di satu kejauhan dan demikian menyapanya,

“Teman Punnamukha, Kunala ini adalah burung yang galak dan

kasar. Mungkin dengan bantuanmu, kami nantinya bisa

mendapatkan perkataan yang baik darinya.” “Semoga saja

demikian, Saudari-saudari,” jawabnya. Setelah berkata demikian,

ia menghampiri Kunala, dan sesudah beruluk salam, dengan

penuh hormat ia duduk di satu sisi dan menyapa Kunala

demikian: “Mengapa Anda, Teman Kunala, bersikap demikian

kasar terhadap burung-burung betina yang berstatus tinggi ini, di

saat mereka demikian baiknya bertingkah laku kepadamu.

Teman Kunala, selayaknya kita bahkan harus berbicara dengan

baik kepada wanita yang berkata kasar, apalagi kepada mereka

yang baik.” Setelah ia berkata demikian, Kunala demikian

mengecamnya, “Enyahlah, makhluk rendah, binasalah, siapa

saja yang menyerupai dirimu, yang mengikuti perkataan dari

wanita.” Karena dicela demikian, Punnamukha pun kembali.

Tak lama kemudian, penyakit yang parah menyerang

Punnamukha, penderitaan yang luar biasa menderanya,

membuat dirinya dekat dengan maut. Kemudian pemikiran ini

muncul di dalam diri burung-burung yang melayani dirinya:

“Burung ini sedang sakit parah; Mungkin ia tidak akan sembuh

lagi.” Maka dengan meninggalkan dirinya sendirian, mereka

terbang menghampiri tempat Kunala berada. Kunala melihat

mereka dari kejauhan, dan menegur mereka demikian, “Di

manakah, makhluk-makhluk rendah, raja kalian?” “Teman

Kunala,” kata mereka, “Punnamukha sedang sakit parah.

Mungkin ia tidak akan sembuh lagi.” Ketika mereka berkata

demikian, Kunala mengecam mereka dengan berkata, “Enyahlah

kalian, makhluk-makhluk rendah, binasalah kalian, makhluk-makhluk

penipu, pencuri, yang tak berkesadaran, yang selalu

berubah-ubah, yang tidak tahu berterima kasih, pergi seperti

angin yang terbang ke tempat mana pun.” Setelah berkata

demikian, ia terbang ke tempat Punnamukha berada dan

menyapanya, “Hai, Teman Punnamukha.” “Hai, Teman Kunala,”

balasnya. Kemudian Kunala membantu Punnamukha untuk

bangkit dengan sayap dan paruhnya, memberikannya berbagai

jenis obat untuk diminum, sehingga penyakitnya pun sembuh.

Dan ketika Punnamukha menjadi sehat kembali, burungburung

betina tersebut kembali lagi (ke sisinya), dan Kunala tetap

memberikan buah-buahan kepada Punnamukha untuk dimakan

selama beberapa hari, dan ketika kekuatannya pulih kembali, ia

berkata, “Teman, sekarang Anda sudah sembuh; tinggallah

bersama dengan para pelayanmu, dan saya akan kembali ke

kediamanku.” Kemudian Punnamukha berkata kepadanya,

“Mereka ini terbang meninggalkan diriku di saat sakit. Saya tidak

memerlukan mereka yang tidak bisa diandalkan ini.” Mendengar

ini, Sang Mahasatwa berkata, “Baik, Teman, saya akan memberitahukan kepadamu mengenai keburukan dari wanita,” dan ia membawa Punnamukha ke Lembah Merah di lereng

pegunungan Himalaya, duduk di batu arsenik merah di bawah

kaki pohon sala, yang panjangnya tujuh yojana. Sedangkan

Punnamukha beserta dengan pengikutnya duduk di satu sisi. Di

seluruh Himalaya terdengar suara dewa, “Hari ini, Kunala si raja

burung, dengan duduk di batu arsenik merah, dengan gaya

seperti seorang Buddha, akan memberikan khotbah kebenaran.

Dengarkanlah dirinya.” Secara berturut-turut suara ini

terdengar sampai kepada para dewa di keenam alam

kāmāvacara, yang kemudian berkumpul bersama: berikut juga

dengan banyak peri (kinnara) di dalam hutan, ular naga, burung

garuda, dan burung hering. Kala itu, Ānanda, raja burung hering,

dengan pengikut berupa sepuluh ribu ekor burung hering lainnya,

berdiam di puncak Gunung Burung Hering. Dan ketika

mendengar kabar tersebut, ia berpikir, “Saya akan

mendengarkan khotbah kebenaran itu,” dan kemudian datang

beserta dengan para pengikutnya dan duduk di satu sisi. Begitu

juga halnya dengan Nārada, petapa yang memiliki lima

kemampuan batin luar biasa, yang tinggal di daerah pegunungan

Himalaya bersama dengan pengikutnya berupa sepuluh ribu

petapa, ketika mendengar suara ini, berpikir, “Temanku, Kunala,

dikatakan akan memaparkan tentang keburukan dari wanita;

Saya juga harus ikut mendengarkan khotbahnya,” dan dengan

ditemani oleh seribu orang petapa, dengan kemampuan

batinnya, ia datang ke sana dan duduk di satu sisi. Selalu ada

banyak jumlah dari mereka yang berkumpul untuk

mendengarkan ajaran dari (para) Buddha. Kemudian Sang

Mahasatwa, dengan kemampuannya melihat kembali kelahiran-kelahiran masa lampau, membuat Punnamukha menjadi saksi,

mempertautkan satu keadaan yang terlihat di kehidupan

sebelumnya, yang berhubungan dengan keburukan dari wanita.

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Demikian Kunala menyapa Punnamukha, yang baru saja bangkit

dari ranjang kematian, “Teman Punnamukha, telah kulihat

Kaṇhā, ia yang memiliki dua orang ayah236 dan lima orang

suami, dan yang juga memberikan cintanya kepada orang

keenam, yaitu seorang cacat yang tak berkepala.

Berikut ini terdapat syairnya:

Dikatakan pada satu kisah lampau, Kaṇhā,

seorang wanita menikah dengan lima orang pangeran,

masih merasa tidak puas, ia mencari lagi yang lain,

dan dengan seorang pelayan bungkuk, ia mainkan peran

seorang pelacur.

“Teman Punnamukha, telah kulihat kasus seorang

petapa wanita yang bernama Saccatapāvī, yang tinggal di suatu

daerah pekuburan dan berpantang hingga setiap makanan

kelima, ia berbuat zina dengan seorang pandai emas. Telah

kulihat juga, Teman Punnamukha, kasus dari Kākāti, istri dari

Venateyya, yang tinggal di tengah samudra, dan meskipun dalam

keadaan demikian berbuat zina dengan Naṭakuvera. Telah kulihat, Teman Punnamukha, Kuraṅgavī, yang meskipun

jatuh cinta kepada Eḷakamāra, tetapi berzina dengan

Chaḷaṅgakumāra dan Dhanantevāsī. Ini juga telah kuketahui,

bagaimana ibu Brahmadatta yang meninggalkan Raja Kosala,

berzina dengan Pañcālacaṇḍa. Wanita-wanita ini dan wanita

lainnya melakukan kesalahan buruk, dan seseorang tak

seharusnya menaruh kepercayaan kepada wanita atau tak

seharusnya menyanjung mereka. Seperti bumi yang adil kepada

seluruh dunia, memberikan kekayaan kepada semuanya,

memberikan tempat tinggal kepada orang dari segala tipe dan

kondisi (baik maupun buruk sama saja), terus bertahan, tak

guncang, tak goyah, demikianlah seharusnya kita bersikap

terhadap para wanita (yang buruk). Seseorang tak selayaknya

memercayai mereka.

Seperti singa yang hidup dari daging segar dan darah,

dengan lima cakar melahap makanannya;

Dalam penderitaan orang lain mereka mendapatkan

kesenangan terbesar—demikianlah para wanita itu.

Wahai semua makhluk, waspadalah terhadap mereka.

Sesungguhnya, Teman Punnamukha, makhluk-makhluk

ini tidak lebih dari pelacur, orang berkasta rendah, dan orang

yang selalu bepergian, mereka tidak demikian seperti para

pembunuh—maksudku para pelacur, orang berkasta rendah dan

orang yang selalu bepergian ini. Mereka seperti para perampok dengan rambut kepang, seperti minuman beracun, seperti para

saudagar yang melantunkan pujian atas diri mereka sendiri,

bengkok seperti tanduk rusa, lidah bercabang seperti lidah ular,

seperti sebuah lubang yang tersamarkan, tidak pernah puas

seperti gua di bawah tanah (neraka), sukar dipuaskan seperti

raksasa wanita, seperti Yama yang mengambil segalanya,

mereka melahap segalanya seperti kobaran api, menghanyutkan

segala yang ada di depannya seperti sungai, seperti angin yang

pergi ke mana pun ia berhembus, tak pandang bulu seperti

Gunung Neru, yang sepanjang tahun berbuah seperti pohon

bisa.” Berikut ini adalah syairnya:

Seperti minuman beracun atau seperti para perampok,

bengkok seperti tanduk rusa, lidah bercabang seperti

lidah ular, seperti saudagar yang membual,

Bahaya seperti lubang yang tersamarkan, tidak pernah

puas seperti neraka, tamak seperti raksasa atau seperti

Dewa Kematian yang mengambil segalanya.

Melahap segalanya seperti kobaran api, kuat seperti

angin atau air, seperti puncak emas Gunung Neru yang

tidak membedakan baik dan buruk,

merugikan seperti pohon bisa, mereka menyebabkan

kehancuran dalam rumah tangga, penghambur kekayaan

dan segala benda yang berharga.

Dahulu kala, dikatakan bahwa Brahmadatta, Raja Kāsi

(Kasi) dengan bala tentaranya menyerang Kerajaan Kosala,

membunuh rajanya dan membawa ratunya, yang sedang

mengandung, ke Benares dan menjadikannya sebagai

permaisuri. Seiring berjalannya waktu, ratu tersebut pun

melahirkan seorang putri, dan karena raja tidak memiliki putra

maupun putri dari keturunannya sendiri, ia merasa sangat

gembira dan berkata, “Ratu, mintalah satu anugerah dariku.” Ia

menerima anugerah itu dan menyimpannya. Waktu itu, mereka

memberinya nama Kaṇhā (Kanha). Ketika putrinya ini dewasa,

ratu berkata demikian kepadanya, “Putriku, dahulu ayahmu

memintaku untuk memohon satu anugerah darinya, yang

kemudian kuterima dan kusimpan. Sekarang pilihlah anugerah

apa saja yang Anda inginkan.” Dikarenakan nafsunya yang

berlebihan dan dengan tak memedulikan lagi rasa malu dan

segan untuk berbuat buruknya, ia berkata kepada ibunya, “Tidak

ada kekurangan bagi diriku; mintalah ayah menyelenggarakan

suatu sayembara untuk memilih seorang suami bagiku.” Sang ibu

kemudian mengulangi ini kepada raja. Raja berkata, “Biarlah ia

mendapatkan apa yang diinginkannya,” dan raja memerintahkan

untuk mengadakan suatu sayembara untuk memilih seorang

suami. Di halaman istana, kerumunan laki-laki berkumpul

bersama, berdandankan segala kebesaran mereka. Kanha, yang

membawa satu keranjang bunga di tangannya, melihat keluar

dari jendela atas, tidak menyukai satu dari mereka semua.

Kemudian Ajjuna, Nakula, Bhīmasena (Bhimasena), Yudhiṭṭhila

(Yudhittila), Sahadeva, keturunan dari keluarga Pāṇḍu (Pandu),

kelima putra dari Raja Pandu ini, setelah mendapatkan pendidikan dalam segala cabang ilmu pengetahuan di Takkasila

dari seorang guru yang terkemuka, yang sedang mengembara

untuk menguasai kebudayaan-kebudayaan setempat, tiba di

Benares, dan ketika mendengar adanya kegaduhan di kota dan

untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan mereka mengenai

gerangan apakah kegaduhan itu terjadi, mereka berlima datang

dan duduk di satu baris, dengan penampilan layaknya patungpatung

emas. Ketika melihat mereka berdiri di depan, Kanha

jatuh cinta kepada mereka berlima semua dan melemparkan

untaian bunga ke kepala mereka dan berkata, “Ibu, saya pilih

kelima laki-laki ini.” Ratu memberitahukan ini kepada raja.

Karena telah berjanji mengabulkan pilihan anugerahnya, raja

tidak mengatakan, “Anda tidak boleh melakukan ini,” tetapi hanya

merasa amat gusar. Ketika menanyakan asal muasal mereka

dan putra siapakah mereka, dan mengetahui bahwa mereka

adalah anak-anak dari Raja Pandu, ia pun memberikan hormat

kepada mereka dan menikahkan putrinya kepada mereka. Dan

dengan kekuatan nafsunya, Kanha mendapatkan cinta dari

kelima pangeran ini dalam istana tujuh tingkatnya. Kala itu,

Kanha memiliki seorang pelayan cacat yang bungkuk, dan

setelah mendapatkan cinta dari kelima pangeran tersebut

dengan kekuatan nafsunya, di saat mereka pergi dari istana,

serasa mendapatkan kesempatan dan terbakar oleh nafsu,

Kanha berbuat zina dengan pelayan bungkuk itu, dan berkata

demikian kepadanya, “Tidak ada orang lain yang mengasihiku

seperti dirimu; akan kubunuh pangeran-pangeran ini dan

membuat kakimu berlumuran darah yang dikeluarkan dari mulut

mereka.” Dan ketika ia bersama dengan pangeran sulung dari kelima bersaudara tersebut, ia akan berkata, “Anda-lah yang

paling mengasihiku dibandingkan dengan keempat saudaramu.

Demi dirimu, akan kukorbankan nyawaku sendiri. Setelah ayahku

meninggal, takhta kerajaan akan kuberikan kepadamu seorang

diri.” Tetapi ketika ia bersama dengan yang lainnya, ia juga akan

mengatakan hal yang sama. Mereka merasa amat senang

dengan dirinya dan masing-masing berpikir, “Ia menyukai diriku

dan oleh karenanya, ia akan memberikan kekuasaan atas

kerajaan ini kepadaku.” Suatu hari ketika ia sakit, mereka semua

berkumpul di sisinya, satu orang mengelus-elus bagian kepala,

dan yang lainnya masing-masing pada bagian kaki dan tangan,

sedangkan pelayan bungkuk tersebut duduk di kedua kakinya.

Kepada Ajjuna, pangeran tertua yang mengelus kepalanya,

Kanha membuat suatu tanda yang mengisyaratkan, “Tidak ada

yang lebih mengasihiku dibandingkan dirimu: seumur hidupku

akan kuberikan nyawaku ini untukmu dan sepeninggal ayahku

akan kuberikan kerajaan ini kepadamu,” dan demikianlah Kanha

mendapatkan hatinya. Kepada yang lainnya juga, Kanha

membuat tanda yang mengisyaratkan hal yang sama pula.

Kepada pelayan bungkuknya, ia membuat tanda dengan

lidahnya yang mengisyaratkan, “Hanya dirimulah yang

mengasihiku. Saya hidup hanya demi dirimu.” Disebabkan oleh

apa yang telah dikatakan kepada mereka sebelumnya, maka

mereka semua mengerti arti dari tanda itu. Akan tetapi, ketika

melihat gerakan tangan, kaki ataupun lidahnya, Pangeran Ajjuna

berpikir, “Seperti halnya dengan diriku dan juga diri yang

lainnya, dengan tanda ini pastinya ada isyarat yang diberikan dan

tidak diragukan lagi pasti ia memiliki hubungan istimewa dengan orang bungkuk ini,” maka dengan membawa saudarasaudaranya

beranjak keluar, ia bertanya, “Apakah tadi kalian

melihat wanita yang bersuami lima itu membuat tanda dengan

kepalanya kepadaku?” “Ya, kami melihatnya.” “Apakah kalian

mengetahui arti dari isyarat itu?” “Kami tidak tahu.” “Arti dari

isyarat itu adalah anu: Apakah kalian mengetahui arti dari isyarat

yang diberikan kepada kalian dengan gerakan tangan dan kaki?”

“Ya, kami mengetahuinya.” “Dengan cara yang sama pula, ia

memberikan isyarat itu kepadaku. Apakah kalian mengetahui arti

dari isyarat yang diberikan kepada si bungkuk dengan gerakan

lidahnya?” “Kami tidak tahu.” Kemudian ia memberitahukan

mereka, “Ia telah berbuat zina dengannya.” Dan ketika mereka

tidak memercayai dirinya, ia memanggil si bungkuk dan

menanyakan kepadanya, dan si bungkuk memberitahukan

semuanya kepada dirinya. Ketika mereka mendengar apa yang

dikatakan oleh si bungkuk, perasaan cinta mereka kepada Kanha

seketika itu juga hilang. “Ah! benar-benar,” kata mereka, “wanita

adalah makhluk yang keji dan licik. Tanpa memedulikan laki-laki

seperti kita, yang berstatus tinggi dan berlimpahkan kekayaan, ia

berbuat zina dengan seorang yang berstatus rendah, menjijikkan,

bungkuk seperti ini. Orang bijak manakah yang dapat

menemukan kebahagiaan dengan menikahi wanita yang tak tahu

malu dan keji seperti ini?” Setelah mencela wanita demikian,

kelima pangeran tersebut berpikir, “Kami sudah bosan dengan

kehidupan rumah tangga,” dan hidup mengasingkan diri di

daerah Himalaya. Setelah melaksanakan meditasi pendahuluan

Kasiṇa, setelah meninggal, mereka menuai hasil sesuai dengan

perbuatan mereka masing-masing. Pada waktu itu, Kunala adalah Ajjuna, dan atas alasan ini lah dalam memaparkan segala

sesuatu yang telah dialaminya sendiri, ia memulai kisah-kisah

tersebut dengan kata, “Telah kulihat…” Untuk menghubungkan

hal-hal lain yang telah dialaminya di masa lampau, ia juga

menggunakan kata-kata yang sama, dan berikut ini adalah

penjelasan atas kisah-kisah (kejadian) yang disebutkan di awal.

Dahulu kala, dikatakan seorang petapa wanita putih yang

bernama Saccatapāvī (Saccatapavi) tinggal di sebuah gubuk

yang berada di suatu daerah pekuburan dekat Benares. Ketika

tinggal di sana, dari lima kali makanan ia selalu berpantang

makan empat kali, dan ketenarannya tersebar luas di seluruh

kota seperti ketenaran dari sang Bulan atau Matahari. Jika bersin

atau tersandung, setiap penduduk Benares akan berujar,

“Terpujilah Saccatapavi.” Pada hari pertama dari suatu festival,

beberapa pandai emas membuat sebuah tenda di satu tempat,

tempat orang-orang ramai berkumpul, dengan membawa ikan,

daging, minuman keras, wewangian, untaian bunga dan

sebagainya, dan memulai pesta minuman. Kemudian seorang

pandai besi, yang kecanduan minuman keras, muntah dan

berujar, “Terpujilah Saccatapavi.” Ada seorang bijak di antara

mereka yang kemudian berkata, “He, orang tolol yang buta, Anda

menghormati seorang wanita yang pikirannya selalu berubahubah,

Anda adalah orang dungu.” Ia kemudian membalas,

“Teman, jangan berkata demikian, jangan melakukan perbuatan

salah yang mengarahkanmu ke neraka.” Kemudian laki-laki bijak

itu berkata, “Diamlah, dungu. Mari kita bertaruh seribu kepeng,

pada hari ketujuh mulai hari ini, dengan duduk di tempat ini akan

kubawakan kepadamu Saccatapavi yang mengenakan pakaian mewah dan bercanda ria dengan minuman keras dan diriku

sendiri juga akan berbagi minuman dengannya: wanita itu adalah

orang yang selalu berubah-ubah.” Ia berkata, “Anda tidak akan

mampu melakukannya,” dan ia mengeluarkan seribu kepeng.

Maka ia memberitahukan pandai-pandai emas lainnya, dan

keesokan paginya, dengan samaran sebagai seorang petapa,

orang bijak tersebut beranjak ke daerah pekuburan itu, dan pada

jarak yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal petapa wanita itu,

ia berdiri sembari menyembah matahari. Saccatapavi melihatnya

ketika hendak berkeliling untuk mendapatkan derma makanan

dan berpikir, “Ia pasti adalah seorang petapa yang digdaya.

Diriku tinggal di samping pekuburan, sedangkan dirinya tinggal di

tengahnya: hatinya pasti penuh dengan ketenangan murni. Akan

kuberikan hormatku kepadanya.” Maka Saccatapavi pun

menghampirinya dan memberi hormat kepadanya, dan ia tidak

menoleh maupun berbicara kepadanya. Keesokan harinya, ia

bersikap sama. Pada hari ketiga, ketika Saccatapavi memberi

hormat kepadanya, ia melihat ke bawah dan berkata, “Pergilah.”

Pada hari keempat, ia berbicara lembut kepada Saccatapavi dan

berkata, “Apakah Anda tidak bosan harus berkeliling meminta

derma makanan?” Saccatapavi berpikir, “Saya telah

mendapatkan salam balasan yang baik,” dan pergi dengan hati

yang gembira. Pada hari kelima, Saccatapavi mendapatkan

salam yang lebih baik lagi, dan setelah duduk sejenak, ia

memberi hormat kepadanya dan pergi. Pada hari keenam,

Saccatapavi datang menghampiri dan memberi hormat

kepadanya di saat ia sedang duduk di sana. Ia berkata, “Saudari,

ada gerangan apa dengan suara ribut dari lagu dan musik di Benares hari ini?” Ia menjawab, “Ayya, tidakkah Anda tahu

bahwa ada festival di kota, dan ini adalah suara ribut dari mereka

yang sedang bersenang-senang di sana?” Berpura-pura tidak

tahu, ia kemudian berkata, “Ya, tak diragukan lagi, inilah suara

yang kudengar.” Kemudian ia bertanya, “Saudari, sampai berapa

makanan kah Anda selalu berpantang?” “Empat, Ayya,”

jawabnya, “dan berapa makanan kah Anda berpantang?” “Tujuh,

Saudari,” dalam hal ini ia berbohong, karena sepanjang siang

dan malam ia selalu makan. Kemudian ia bertanya lagi, “Sudah

berapa tahun kah Anda menjadi seorang petapa?” Dan ketika

dijawab olehnya, “Dua belas tahun, dan Anda berapa tahun?” ia

menjawab, “Ini adalah tahun keenam.” Kemudian ia bertanya

kembali, “Saudari, apakah Anda telah mencapai ketenangan

murni?” “Belum, Ayya. Apakah Anda telah mencapainya?”

“Belum juga,” katanya, “Saudari, baik kesenangan indriawi

maupun kebahagiaan dari pelepasan keduniawian tidak kita

dapatkan. Apakah gunanya pengetahuan bahwa neraka itu

panas? Mari kita ikuti saja jalan yang dilalui oleh orang banyak:

saya akan kembali menjadi umat awam, dan karena saya

memiliki harta warisan ibuku, maka diriku akan baik-baik saja.”

Ketika mendengar perkataannya ini, dikarenakan

ketidakkukuhannya, Saccatapavi menjadi jatuh cinta kepadanya

dan berkata, “Ayya, saya juga merasakan ketidakpuasan: Jika

Anda tidak menolakku, saya juga ingin berumah tangga

denganmu.” Maka ia berkata kepadanya, “Saya tidak akan

menolakmu: Anda akan menjadi istriku.” Kemudian ia membawanya ke kota dan tinggal bersama dengannya. Sewaktu

pergi bersama dengannya ke tempat minum tersebut, ia

meneguk minuman keras dan memberikan minuman itu kepada

Saccatapavi, kemudian kepada teman-temannya, akibat buruk

dari minuman keras; jadi orang yang tadinya bertaruh itu kalah

seribu kepeng. Saccatapavi memiliki banyak putra dan putri, hasil

pernikahannya dengan si pandai emas. Pada waktu itu, Kunala

adalah si pandai emas, dan sewaktu menceritakan kisah ini, ia

memulainya dengan perkataan, “Telah kulihat…”

Kisah ketiga diuraikan secara lengkap di Buku Keempat

dalam kisah Kākāti-Jātaka; kala itu Kunala adalah si burung

garuda, dan inilah alasannya mengapa dalam memberitahukan

apa yang telah dilihatnya dengan mata kepala sendiri, ia

menggunakan perkataan, “Telah kulihat…”

Kisah keempat: Pada suatu ketika, Brahmadatta

membunuh Raja Kosala dan merampas kerajaannya. Dengan

memboyong istrinya, yang sedang mengandung, ia kembali ke

Benares dan menjadikannya sebagai permaisuri meskipun ia

mengetahui kondisinya yang sebenarnya. Ketika waktunya tiba,

permaisuri melahirkan seorang putra yang rupawan. Permaisuri

berpikir, “Ketika anak ini dewasa, Raja Benares (mungkin) akan

berkata, ‘Ini adalah putra dari musuhku: apalah hubungan

ia denganku?’ dan membunuhnya. Tidak, saya tidak boleh

membiarkan putraku mati di tangan seorang musuh.” Maka ia

berkata kepada perawat anaknya, “Bungkuslah anak ini dengan

kain yang bermutu rendah, kemudian pergi dan letakkan ia di daerah pekuburan.” Perawat itu melakukan apa yang

diperintahkan, dan pulang kembali ke rumah setelah selesai mandi.

Setelah kematiannya, Raja Kosala terlahir sebagai dewata

pelindung bagi putranya. Dengan kekuatan supranatural yang

dimilikinya, ketika seekor kambing betina, kepunyaan seorang

penggembala kambing yang sedang menggembalakan kawanan

kambingnya di tempat ini, melihat anak tersebut langsung

memiliki perasaan cinta kepadanya dan menyusuinya, kemudian

pergi. Setelah pergi beberapa jauh, kambing betina tersebut

kembali lagi untuk kedua kalinya, untuk ketiga kalinya, dan

bahkan untuk keempat kalinya, untuk menyusuinya. Mencari tahu

apa yang sebenarnya dilakukan oleh kambing betina tersebut, si

penggembala datang ke tempat itu. Di saat melihat anak itu, ia

pun langsung memiliki perasaan cinta kepadanya dan

membawanya pulang kepada istrinya. Kala itu, sang istri

penggembala tidak bisa memiliki anak, dan oleh karenanya tidak

memiliki air susu untuk menyusuinya. Maka kambing betinalah

yang tetap menyusuinya, dan sejak saat itu dua atau tiga ekor

kambing mati setiap harinya. Penggembala berpikir, “Jika anak

laki-laki itu tetap kami rawat, maka semua kambing kami akan

musnah. Apalah hubungan ia dengan kami?” Kemudian ia

meletakkan anak itu dalam sebuah bejana lempung, menutupnya

dengan satu bejana yang lain, membedaki seluruh wajahnya

dengan tepung kacang tanpa meninggalkan satu celah pun, dan

menghanyutkannya di sungai. Anak tersebut dibawa oleh arus

sungai dan ditemukan di bagian hilir sungai dekat istana raja oleh

seorang tukang tambal, seorang candala, yang berkasta rendah, yang kebetulan berada di sana sedang mencuci muka di sana,

bersama istrinya. Dengan sigap, ia menarik bejana tersebut

keluar dari air dan meletakkannya di tepian. “Apa yang kita

dapatkan di sini?” pikirnya, dan ketika membuka bejana tersebut,

ia melihat anak itu. Istrinya, kala itu, juga tidak memiliki anak, dan

ia juga memiliki perasaan cinta kepadanya, maka ia

membawanya pulang dan merawatnya. Di saat ia berusia tujuh

atau delapan tahun, orang tuanya selalu membawa serta dirinya

ketika pergi ke istana. Di saat berusia enam belas tahun, anak

laki-laki itu sering berkunjung ke istana untuk menambal barangbarang

usang. Waktu itu, raja dan permaisuri memiliki seorang

anak yang bernama Kuraṅgavī (Kurangavi), putri yang luar biasa

cantiknya. Sejak pertama melihat laki-laki itu, putri jatuh cinta

kepadanya, dan tanpa memedulikan yang lainnya lagi, ia selalu

pergi ke tempat laki-laki itu bekerja. Dari pertemuan yang cukup

sering itu, mereka menjadi saling tertarik, dan diam-diam di

sekitar ruangan istana mereka melakukan hubungan terlarang.

Suatu ketika, para pelayan istana memberitahukan hal ini kepada

raja. Dalam kemarahannya, raja mengumpulkan para menterinya

dan berkata, “Perbuatan anu telah dilakukan oleh orang candala

ini: pertimbangkanlah apa yang harus dilakukan kepadanya.”

Para menterinya menjawab, “Ini adalah pelanggaran berat;

setelah mempertimbangkan berbagai jenis hukuman, kami

memberinya hukuman mati.” Pada waktu ini, ayah dari anak

tersebut (Raja Kosala), yang terlahir kembali sebagai dewata

pelindungnya, memasuki tubuh ibu dari anak tersebut, dan dalam

keadaan di bawah pengaruh makhluk dewata itu, sang ibu

menghampiri raja dan berkata, “Paduka, anak ini bukanlah seorang candala. Ia adalah putraku, hasil pernikahanku dengan

Raja Kosala, dahulu saya berbohong dengan mengatakan bahwa

ia meninggal. Karena menyadari bahwa ia adalah putra dari

musuhmu, kuberikan ia kepada seorang perawat dan

memintanya untuk meletakkannya di suatu daerah pekuburan.

Kemudian seorang penggembala kambing merawatnya, tetapi

ketika satu per satu kambingnya mati, ia menghanyutkan anak ini

ke sungai, dan karena terbawa oleh arus sampai ke hilir, ia

ditemukan oleh seorang candala, yaitu tukang tambal barangbarang

usang di istana kita, dan diasuh olehnya. Jika Anda tidak

memercayaiku, Anda boleh memanggil orang-orang tersebut dan

menanyakannya kepada mereka.” Raja memanggil mereka

semua, dimulai dari perawat, dan ketika mengetahui

kebenarannya sama seperti yang dikatakan oleh sang

permaisuri, raja merasa gembira mengetahui bahwa anak

tersebut adalah benar seorang keturunan bangsawan, dan

setelah memberikan perintah untuk memandikan anak tersebut

dan mengenakan padanya pakaian yang amat bagus, raja pun

menikahkan putrinya kepadanya. Dikarenakan dirinya yang

menyebabkan matinya kambing-kambing tersebut, maka ia diberi

nama Eḷakamāra (Elakamara). Kemudian raja memberikan

kepadanya kereta dan pasukan, kemudian menyuruhnya pergi

dengan berkata, “Pergi dan ambil alih kekuasaan dari kerajaan

milik ayahmu.” Maka ia pun berangkat bersama dengan

Kurangavi, dan mendapatkan takhta kerajaannya, berkuasa di

sana. Kemudian Raja Benares berpikir, “Anak ini tidak begitu

terpelajar,” dan untuk mengajari dirinya, raja mengutus

Chaḷaṅgakumāra (Chalangakumara) untuk menjadi gurunya. Setelah menerimanya sebagai gurunya, ia memberikan jabatan

Panglima Tertinggi kepadanya. Kemudian lambat laun Kurangavi

pun berbuat zina dengannya. Kala itu, sang panglima memiliki

seorang pelayan yang bernama Dhanantevāsī, dan ketika ia

dikirim untuk mengantarkan pakaian dan hiasan lainnya kepada

Kurangavi, ia juga berbuat zina dengannya. Demikian salah dan

buruknyalah wanita itu, oleh karenanya saya tidak memuja

mereka. Ini diceritakan oleh Sang Mahasatwa karena ia adalah

Chaḷaṅgakumāra, dan oleh sebab itu pula, ia menceritakan

kembali kisah tersebut dengan perkataan, “Telah kulihat…”

Kisah kelima: Dahulu kala, seorang Raja Kosala

merampas Kerajaan Benares dan menjadikan permaisuri Raja

Kosala, yang kala itu sedang mengandung, sebagai

permaisurinya, dan kemudian kembali ke kerajaannya sendiri.

Seiring berjalannya waktu, permaisuri pun melahirkan seorang

putra. Karena tidak memiliki anak, raja amat menyayangi putra

tersebut dan membuatnya mempelajari semua cabang ilmu

pengetahuan. Ketika ia telah dewasa, raja memintanya untuk

mengambil alih kerajaan milik ayahnya. Ia pun pergi dan

berkuasa di sana. Kemudian di saat merindukan putranya, sang

ibu meminta izin dari Raja Kosala untuk bertemu dengannya, dan

berangkat ke Benares dengan rombongan besar, kemudian

bertempat tinggal di sebuah kota yang terletak di antara kedua

kerajaan tersebut. Di tempat ini, tinggallah seorang brahmana

muda tampan yang bernama Pañcālacaṇḍa. Ia membawa hadiah

untuk permaisuri. Ketika melihatnya, permaisuri menjadi jatuh

cinta kepadanya dan kemudian melakukan perbuatan yang salah

dengannya. Setelah tinggal selama beberapa hari di sana, permaisuri pergi ke Benares dan menjumpai putranya. Dalam

perjalanannya kembali ke Kosala, permaisuri menginap selama

beberapa hari di kota yang sama dan melakukan perzinaan

dengan kekasihnya. Sesudah kejadian ini, dengan alasan ini dan

itu permaisuri selalu meminta izin dari raja untuk mengunjungi

putranya, dan dalam perjalanannya pergi dan kembali, ia selalu

menginap selama dua minggu di kota yang sama, melakukan

perzinaan dengan kekasihnya tersebut. Demikian bohong dan

buruknya lah wanita itu, Teman Punnamukha. Dan dalam

menceritakan kembali kisah masa lampau ini, ia memulainya

dengan perkataan, “Telah kulihat…”

Berikutnya, dengan beragam gaya untuk

memberikan khotbah kebenaran itu, ia berkata, “Teman

Punnamukha, terdapat empat hal yang dapat menjadi berbahaya

jika keadaan-keadaan tertentu terpenuhi—keempat hal ini tidak

boleh ditempatkan dalam rumah tangga orang lain (tetangga)—

seekor sapi jantan, seekor sapi perah, sebuah kereta, dan

seorang istri. Seorang yang bijak akan membuat rumahnya

bersih dari keempat hal ini:

Sapi jantan, sapi perah, atau kereta tidak dipinjamkan

kepada tetangga, tidak juga memercayakan istri di rumah

seorang teman:

Kereta akan hancur oleh mereka karena menginginkan keahlian,

Sapi jantan akan mati karena dipaksa bekerja keras terus-menerus.

Sapi perah akan diperah sebelum waktunya,

Istri di rumah seorang saudara (teman) akan melakukan

perbuatan salah.

Terdapat enam hal, Teman Punnamukha, yang dalam keadaankeadaan

tertentu dapat menjadi berbahaya—sebuah busur tanpa

tali, seorang istri yang tinggal di rumah seorang saudara (teman),

sebuah kapal tanpa tujuan, sebuah kereta tanpa poros sumbu,

seorang teman yang jauh (saat dibutuhkan), seorang rekan yang jahat.

Terdapat delapan alasan, Teman Punnamukha, seorang istri

membenci suaminya: karena kemiskinan, penyakit, usia tua,

ketagihan minuman memabukkan, kebodohan, kecerobohan,

mengurusi segala macam urusan, mengabaikan setiap kewajiban

terhadap dirinya—sungguh, atas delapan alasan ini seorang

wanita dapat membenci suaminya. Berikut ini adalah syairnya:

Jika miskin atau sakit atau tua, mabuk, atau bodoh,

jika ceroboh atau terlalu banyak mengurusi urusan

dengan penuh perhatian,

atau mengabaikan kewajiban—seorang istri tidak akan

menghormati suami yang demikian.

Terdapat sembilan alasan bagi seorang istri menimbulkan

perbuatan yang salah: jika ia sering mengunjungi tempat hiburan,

taman, sungai, sering mengunjungi rumah saudara, rumah orang

asing, terbiasa memakai hiasan pakaian yang biasanya

dikenakan oleh pria, jika ia adalah seorang peminum (minuman memabukkan), menatap kosong, atau berdiri di depan pintunya—

atas sembilan alasan ini, kukatakan seorang wanita dapat

menimbulkan perbuatan yang salah. Berikut ini adalah syairnya:

Seorang wanita yang mengenakan pakaian pria, yang

meminum minuman memabukkan, yang sering

bersenang-senang di tempat hiburan, taman, tepi sungai,

mengunjungi rumah teman atau orang lain,

Yang berdiri di depan pintunya, menatap dengan

pandangan kosong,

terjebak dalam sembilan jalan demikian, ia berada jauh

dari jalan kebajikan.

Sungguh, Teman Punnamukha, terdapat empat puluh cara yang

digunakan oleh seorang wanita untuk berdamai kembali dengan

seorang pria. Ia meluruskan badannya, ia membungkukkan

badannya, ia berlari-lari dan melompat-lompat, ia kelihatan

tersipu malu-malu, ia menjentikkan jari-jari tangannya, ia

menyilangkan satu kaki di atas kaki yang lainnya, ia menggaruk

tanah dengan sebatang kayu, ia menggendong naik anaknya, ia

menggendong turun anaknya, ia bermain dan membuatnya

ikut bermain, ia mencium dan membuatnya mencium dirinya, ia

makan dan memberinya makan, ia memberi atau meminta

sesuatu, apa pun yang dilakukan ditiru olehnya, ia berbicara

dengan nada yang tinggi atau nada yang rendah, kadang-kadang ia berbicara dengan tidak jelas, kadang-kadang dengan jelas, ia

menarik perhatiannya dengan tarian, nyanyian, dan musik,

dengan air mata atau godaan, atau dengan dandanannya, ia

tertawa atau menatap tajam, ia menggoyang-goyang pakaiannya

atau menukar pakaian yang menutupi bagian bawahnya,

memperlihatkan atau menutupi bagian kakinya, memperlihatkan

bagian dadanya, ketiak, pusar, ia menutup kedua matanya, ia

menaikkan alis matanya, ia menggigit bibirnya, menjulurkan

lidahnya, melonggarkan atau mengencangkan pakaiannya,

melonggarkan atau mengencangkan penutup kepalanya.

Sungguh, dengan empat puluh cara ini ia berdamai kembali

dengan seorang pria.

Sungguh, Teman Punnamukha, seorang wanita yang buruk

dikenali dari dua puluh lima cara yang berbeda-beda: ia

menyukai ketidakberadaan suaminya di rumah, ia tidak menyukai

keberadaan suaminya di rumah, ia mengatakan keburukannya, ia

tidak mengatakan kebaikannya, ia bertindak untuk

merugikannya, ia tidak bertindak untuk menguntungkannya, ia

melakukan apa yang tidak harus dilakukan, ia tidak melakukan

apa yang harus dilakukan, ia mengenakan baju tidurnya (dengan

lengkap) dan tidur dengan berbaring memalingkan wajahnya ke

sisi yang berlawanan, ia membolak-balikkan badannya dari satu

sisi ke sisi yang lain, ia membuat suara ribut, ia berdesah

panjang, ia merasa menderita, ia berkali-kali pergi untuk buang

air, ia bertindak dengan tidak benar, ia memasang telinga ketika

mendengar perkataan orang asing dan mendengarkan dengan

penuh perhatian, ia menghabiskan kekayaan suaminya, ia lebih

akrab dengan orang lain, ia berkeluyuran, ia selalu bepergian, ia melakukan tindakan yang tidak senonoh, ia memiliki pemikiran

yang buruk dalam dirinya tanpa memikirkan suaminya. Sungguh,

Teman Punnamukha, dalam dua puluh lima cara ini seorang

wanita yang buruk dapat dikenali. Berikut ini adalah syairnya:

Ia gembira ketika suaminya tidak ada, ia tidak bersedih

ketika suaminya pergi, ia juga tidak gembira ketika

melihat suaminya pulang,

Tidak pernah ia mengatakan hal-hal baik untuk memuji

suaminya,

Demikian hal-hal yang menandai wanita yang buruk.

Tak patuh, ia bersekongkol untuk merugikan suaminya,

ia mengabaikan kesukaan suaminya dan melakukan hal

yang tak seharusnya dilakukan,

Ia tidur di samping suaminya dengan wajah yang

dipalingkan, mengenakan baju tidurnya,

Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita

terlihat jelas.

Tak bisa tidur, ia bolak-balik dari satu sisi ke sisi lainnya,

tak dapat diam barang sebentar pun,

ia berdesah panjang dan merintih, berpura-pura sakit

(menderita), seolah-olah seperti terpanggil oleh

panggilan alam acap kali ia bangkit dari ranjangnya

(untuk buang air),

Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita

dapat terlihat jelas.

Ia bertindak tidak benar dengan melakukan apa yang

seharusnya dihindari, ia mendengarkan perkataan orang

asing, ia berfoya-foya untuk mendapatkan cinta dari yang

lainnya,

Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita

dapat terlihat jelas.

Kekayaan yang dikumpulkan suaminya dengan jerih

payah dan kerja keras, sesuatu yang demikian sulitnya

ditimbun, dihabiskannya dengan sia-sia, ia cepat menjadi

akrab dengan tetangganya (orang lain),

Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita

dapat terlihat jelas.

Keluyuran, lihatlah bagaimana ia selalu bepergian di

jalanan, dan dengan hal-hal yang paling kasar ia

memperlakukan suaminya, tidak menghargainya:

Tidak berhenti melakukan tindakan yang tidak senonoh,

ia memiliki pemikiran yang buruk,

Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita

dapat terlihat jelas.

Sering di depan pintu rumahnya, tidak lagi

memperhatikan norma kesusilaan, dengan tanpa rasa

malu ia mempertontonkan dirinya kepada siapa saja

yang melewati rumahnya, dengan pikiran yang galau ia

melihat ke seluruh sisi,

Dengan tanda-tanda yang demikian, keburukan wanita

dapat terlihat jelas.

Seperti hutan yang terbuat dari kayu, seperti aliran

sungai yang berkelok mengikuti arus, demikianlah para

wanita akan berbuat kesalahan jika mereka

mendapatkan kesempatan.

Ya, jika mendapatkan kesempatan dan, dengan

tersembunyi, wanita akan menjadi terbuang dari jalan

kebajikan:

Demikian para wanita itu adalah tidak terkendalikan jika

waktu dan tempat mengizinkan, dan bahkan dengan

seorang pelayan bungkuk akan berbuat zina jika

kekasihnya yang lainnya tidak memuaskannya.

Wanita yang melayani kesenangan semua pria tidak lah

seharusnya dipercayai oleh siapa pun,

Wanita itu selalu berubah-ubah pendiriannya (labil) dan

tidak terkendalikan nafsunya.

Wanita menyebut kesenangan sebagai sesuatu yang

pantas (didapatkan), hal mendasar dari yang paling

mendasar, menganggap semua laki-laki itu biasa, sama

halnya dengan tempat mandi.

Selanjutnya ia berkata:

Dahulu kala memerintah di Benares seorang raja yang

bernama Kaṇḍari (Kandari), seorang yang sangat tampan, dan setiap hari para dayangnya membawakan seribu kotak

wewangian, yang mana digunakan untuk menata istana dengan

rapi dan bersih, setelah membuka kotak-kotak tersebut kemudian

mereka membuat kayu bakar yang wangi dan memasak

makanannya di sana. Kala itu, raja memiliki seorang permaisuri

yang bernama Kinnarā (Kinnara), seorang wanita berparas elok,

dan pendeta kerajaan yang bernama Pañcālacaṇḍa

(Pancalacanda), seorang laki-laki yang berusia sama dengan

raja dan cendekia. Kala itu, di tembok dekat istana raja tumbuh

sebuah pohon jambu dan cabang-cabang pohonnya tumbuh

bergelantungan ke bawah melalui tembok tersebut, dan di bawah

pohon ini tinggal seorang cacat yang buruk rupa. Suatu hari,

ketika melihat keluar dari jendelanya, Ratu Kinnara melihat orang

cacat tersebut dan memiliki perasaan suka terhadap dirinya.

Pada malam harinya, setelah menyenangkan raja dengan

daya tariknya, segera sesudah raja tertidur, Kinnara bangkit

secara perlahan dari ranjang. Dengan meletakkan berbagai jenis

makanan lezat dalam sebuah wadah emas dan meletakkannya di

bagian pinggul, Kinnara keluar dari jendelanya dan turun dengan

menggunakan kain yang dijadikan sebagai tali, kemudian

melompat ke cabang pohon jambu dan turun sampai ke bawah.

Ia kemudian memberikan makanan tersebut kepada si cacat dan

bersenang-senang dengannya, sesudah itu kembali ke dalam

istana dengan menggunakan cara yang sama sewaktu ia turun

ke bawah. Setelah mandi membersihkan dirinya dengan

wewangian, ia pun berbaring di sisi raja. Dengan cara ini, ia

terus-menerus berbuat zina dengan si cacat dan raja sama sekali

tidak mengetahui tentang hal ini. Suatu hari setelah berkeliling kota dan hendak masuk ke dalam istana, raja melihat orang

cacat ini, sebuah penampakan yang patut dikasihani, sedang

berbaring di bawah rindangnya pohon jambu, dan berkata

kepada pendeta kerajaannya, “Lihatlah manusia berwujud peta

ini.” “Ya, Paduka?” “Apakah mungkin, Teman, ada wanita yang

tergerak karena nafsunya mendekati sesosok makhluk yang

demikian menjijikkan ini?” Ketika mendengar apa yang dikatakan

oleh raja ini, si cacat, yang dipenuhi dengan rasa angkuh,

berpikir, “Apa yang dikatakan oleh raja ini? Menurutku, ia pasti

sama sekali tidak mengetahui tentang kedatangan ratu ke

tempatku.” Dan dengan merangkapkan kedua tangannya di

depan dada, ia berkata, “Wahai Tuan, dewa pohon ini, selain

dirimu tidak ada lagi orang lain yang mengetahui tentang hal ini.”

Pendeta kerajaan yang memperhatikan gerak-geriknya berpikir,

“Pastinya permaisuri raja turun ke tempat ini dengan bantuan dari

pohon ini dan melakukan sesuatu yang buruk dengan orang

cacat ini.” Maka ia berkata kepada raja, “Paduka, pada malam

hari ketika Anda bersentuhan dengan badan ratu, apa yang Anda

rasakan?” “Tidak ada yang istimewa,” jawabnya, “tetapi pada

penggal tengah malam hari badannya terasa dingin.” “Baiklah,

Paduka, apa pun masalahnya yang dihadapi oleh wanita-wanita

yang lain, tetapi Ratu Kinnara telah melakukan sesuatu yang

buruk dengannya.” “Apa yang Anda katakan ini, Teman? Apakah

seorang wanita yang demikian rupawan mau bersenang-senang

dengan makhluk menjijikkan ini?” “Kalau begitu, buktikan saja.”

“Baiklah,” jawab raja. Setelah makan malam, raja tidur bersama

dengan ratu untuk menguji dirinya. Di saat tiba waktunya untuk

tertidur, raja pun berpura-pura tertidur pulas, dan ratu melakukan hal yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Dengan mengikuti

langkah kakinya, raja kemudian berdiri di bawah pohon jambu itu.

Si cacat menjadi marah terhadap ratu dan berkata, “Anda telat

sekali datangnya hari ini,” kemudian dengan tangannya memukul

anting-anting yang ada di (salah satu) telinganya. Maka ratu

berkata, “Jangan marah, Tuanku; saya harus menunggu sampai

raja tertidur pulas,” dan setelah berkata demikian, ratu pun

melakukan kewajiban seperti layaknya seorang istri di dalam

tempat tinggal tersebut. Di saat ia memukulnya, anting-anting

yang memiliki bentuk kepala seekor singa, terlepas dari

telinganya dan jatuh di kaki raja. Kemudian raja berpikir, “Ini akan

menjadi benda yang amat berguna bagiku,” dan membawanya

pergi. Setelah berbuat zina dengan kekasihnya, ratu kembali ke

istana dengan cara yang sama seperti sebelumnya dan

kemudian berbaring di sisi raja. Raja kemudian tidak

memperbolehkan ratu pergi dan keesokan harinya memberikan

perintah, dengan berkata, “Panggil Ratu Kinnara untuk datang

kemari, dengan mengenakan segala perhiasan yang telah

kuberikan padanya.” Ratu berkata, “Hiasan permata kepala

singa-ku ada di tempat pandai emas,” dan menolak untuk

datang. Ketika pesan disampaikan untuk kedua kalinya, ratu

datang dengan hanya mengenakan satu hiasan anting-anting.

[439] Raja bertanya, “Di mana anting-antingmu?” “Ada di tempat

pandai emas.” Raja memanggil si pandai emas dan berkata,

“Mengapa Anda tidak memberikan anting-anting itu kepada

ratu?” “Anting-anting itu tidak ada pada saya, Paduka.” Raja

menjadi murka dan berkata, “Wanita rendah, wanita buruk,

pandai emas ini adalah laki-laki yang sama seperti diriku,” dan setelah berkata demikian, raja melempar anting-anting tersebut

di bawah hadapannya dan berkata kepada pendeta kerajaannya,

“Teman, perkataanmu benar: bawa ia pergi dan penggal

kepalanya.” Maka sang pendeta kerajaan pun membawanya,

tetapi mengamankannya di sebuah ruangan tertentu di dalam

istana, kemudian datang menjumpai raja kembali dan berkata,

“Paduka, janganlah marah dengan Ratu Kinnara: semua wanita

itu sama. Jika Anda hendak melihat betapa buruknya wanita itu,

akan saya tunjukkan keburukan dan tipu daya mereka. Ayo, mari

kita pergi ke desa dalam samaran.” Raja menyetujuinya dan,

setelah mengalihkan kerajaan kepada ibunya, berangkat

melakukan perjalanan bersama dengan pendeta kerajaannya.

Setelah berjalan sejauh satu yojana dan sedang duduk di jalan

besar, seorang laki-laki kaya yang sedang menyelenggarakan

perayaan pernikahan untuk putranya, mendudukkan sang

mempelai wanita di dalam sebuah tandu tertutup dan

menemaninya beserta dengan rombongan besar. Melihat ini,

pendeta kerajaan berkata, “Jika Anda mau, Anda dapat membuat

wanita ini berzina denganmu.” “Apa yang Anda katakan ini,

Teman? Dengan rombongan sebesar ini, hal itu tidaklah mungkin

terjadi.” “Baiklah kalau begitu, Paduka, lihatlah ini.” Dan setelah

berjalan ke depan, ia membuat sebuah layar berbentuk tenda

tidak jauh dari jalan besar tersebut dan, setelah menempatkan

raja di dalamnya, ia duduk di samping jalan, sembari meratap

tangis. Kemudian laki-laki tersebut sewaktu melihat dirinya,

bertanya, “Teman, mengapa Anda menangis?” “Istriku,”

jawabnya, “sedang mengandung dan saya membawanya dalam

perjalanan pulang ke rumahnya. Di tengah perjalanan, rasa sakit mendera dirinya dan saat ini ia lagi bermasalah di dalam layar

itu, ia tidak memiliki seorang wanita yang mendampinginya dan

saya tidak bisa masuk mendampinginya di sana. Saya tidak tahu

apa yang akan terjadi.” “Ia harus memiliki teman, seorang wanita,

bersama dengannya di dalam sana: berhentilah menangis, ada

banyak wanita di sini, salah satu dari mereka akan pergi

menemaninya.” “Baiklah kalau begitu, mintalah wanita ini untuk

menemaninya; itu juga akan menjadi suatu petanda yang baik

bagi wanita tersebut.” Laki-laki itu berpikir, “Apa yang

dikatakannya itu benar: itu akan menjadi hal yang

menguntungkan bagi menantuku ini. Ia nantinya akan dilimpahi

dengan banyak putra dan putri,” dan ia pun membawanya ke

sana. Setelah masuk ke dalam layar itu, ia jatuh cinta kepada

raja pada pandangan pertama dan melakukan perzinaan

dengannya, dan raja memberikan cincin stempel miliknya kepada

wanita itu. Setelah perbuatan (buruk) itu dilakukan dan ia

melangkah keluar dari tenda itu, mereka bertanya kepadanya, “Ia

melahirkan seorang putra atau putri?” “Seorang putra, berwarna

keemasan?” Kemudian laki-laki itu membawanya pergi

melanjutkan perjalanan mereka. Sang pendeta menghampiri raja

dan berkata, “Paduka, Anda telah melihat sendiri, bahkan

seorang gadis muda bersifat demikian buruk. Berapa banyak lagi

wanita lain yang sama seperti dirinya? Paduka, apakah Anda

memberikan sesuatu kepadanya?” “Ya, kuberikan padanya cincin

stempelku.” “Tidak akan kubiarkan ia memilikinya.” Dan dengan

segera, ia menyusul rombongan tersebut. Ketika mereka

bertanya, “Ada apa ini?” ia menjawab, “Wanita ini membawa

pergi sebuah cincin yang diletakkan oleh istriku di bawah bantalnya: kembalikan cincin itu, Nona.” [440] Sewaktu

mengembalikannya, ia menggores tangan brahmana itu, sambil

berkata, “Ambillah ini, Perampok.” Demikianlah brahmana

tersebut dengan beberapa cara menunjukkan kepada raja bahwa

banyak wanita yang melakukan kesalahan akan perbuatan

buruk, dan berkata, “Yang ini cukup sampai di sini; sekarang mari

kita pergi ke tempat yang lainnya.” Raja menjelajahi seluruh

India, dan mereka berkata, “Semua wanita sama saja. Apalah

artinya mereka bagiku? Mari kita kembali.” Maka mereka pun

langsung pulang kembali ke Benares. Pendeta kerajaan itu

berkata, “Demikianlah adanya, Paduka, para wanita itu; sifat

mereka memang buruk. Ampunilah Ratu Kinnara.” Atas

permohonan pendeta kerajaannya, raja mengampuninya, tetapi

ia mengeluarkannya dari istana. Setelah mengeluarkannya dari

istana, raja memilih permaisuri yang lainnya, mengusir orang

cacat tersebut, memberi perintah kepada pengawalnya untuk

menebang cabang pohon jambu itu. Pada masa itu, Kunala

adalah Pancalacanda. Maka ketika menceritakan kisah yang

telah dilihat dengan mata kepalanya sendiri ini, sebagai

gambaran ia mengucapkan bait berikut:

Banyak yang ditunjukkan dari kisah Kaṇḍari dan Kinnarā;

semua wanita tidak menemukan kesenangan di dalam

rumah milik mereka.

Demikian seorang istri meninggalkan suaminya

meskipun ia kuat dan bertenaga, dan berbuat zina

dengan laki-laki lain, sekalipun ia adalah seorang cacat

yang buruk rupa.

Kisah yang berikutnya:

Dahulu kala seorang Raja Benares yang bernama Baka

memerintah kerajaannya dengan benar (sesuai dengan

kebenaran/Dhamma). Kala itu, seorang lelaki miskin yang tinggal

di sebelah timur gerbang Kota Benares memiliki seorang putri

yang bernama Pañcapāpā 244 (Pancapapa). Dikatakan bahwa

dalam kehidupan lampaunya sebagai putri dari seorang lelaki

miskin, ia bekerja mengaduk tanah liat (campuran semen, pasir,

kapur, dan air) untuk menghaluskan dinding batu. Waktu itu

seorang Pacceka Buddha berpikir, “Di manakah bisa kudapatkan

tanah liat untuk membuat dinding gua ini menjadi kelihatan rapi

dan bersih? Mungkin bisa kudapatkan di Benares.” Maka setelah

mengenakan jubah dan membawa serta patta di tangannya,

beliau pergi ke kota dan berdiri tidak jauh dari tempat wanita ini

berada. Ia menjadi marah dan berpikir, sembari melihat ke

arahnya, “Dalam pikirannya yang buruk, ia meminta tanah liat

sebagai derma, sama seperti makanan derma.” Pacceka Buddha

tetap berdiri di sana tak bergerak. Ketika melihat beliau tetap

berdiri di sana tak bergerak, ia pun tergerak dan kemudian

berkata, sembari melihat ke arahnya kembali, “Petapa, Anda

tidak memiliki tanah liat,” dan ia mengambil satu bongkah besar

dan meletakkannya di dalam patta. Dengan tanah liat tersebut,

beliau membuat guanya kelihatan rapi. Sebagai hasil dari

pemberian derma berupa tanah liat tersebut, seluruh badan

wanita ini menjadi sangat lembut. Akan tetapi, sebagai hasil dari

wajahnya yang menunjukkan kemarahan, maka tangan, kaki, mulut, mata dan telinganya menjadi buruk rupa. Dan demikian

orang-orang mengenalnya dengan nama Pañcapāpā (Lima Cela).

Suatu hari, Raja Benares berkeliling kota di malam hari

dan sampai di tempat wanita ini. Ia sedang bermain dengan

gadis-gadis desa lainnya, dan secara tak sengaja ia memegang

tangan raja, yang tak dikenalinya. Sebagai akibat dari

sentuhannya tersebut, raja kehilangan kendali, seakan-akan

seperti digetarkan oleh sentuhan surgawi dan terbakar oleh

nafsu, dan menggenggam tangannya, meskipun ia buruk rupa,

bertanya putri siapakah dirinya itu. Ketika ia menjawab, “Putri

dari penghuni rumah itu,” dan mengetahui bahwa ia belum

menikah, raja berkata, “Saya akan menjadi suamimu: pergi dan

mintalah persetujuan dari orang tuamu.” Ia pun pergi menjumpai

kedua orang tuanya dan berkata, “Seorang lelaki anu ingin

menikahiku.” Ketika mereka setuju, sambil berkata, “Pastinya ia

adalah seorang yang miskin, seorang makhluk yang

menyedihkan jika ia menginginkan orang seperti dirimu,” segera

ia menemuinya kembali dan mengatakan kepadanya bahwa

orang tuanya telah setuju. Maka raja pun tinggal bersama

dengannya di rumah itu, dan pulang kembali ke istananya di pagi

hari. Mulai dari hari itu, raja terus-menerus datang ke sana dalam

samarannya dan tidak berminat lagi untuk melirik wanita lain.

Suatu hari, ayah wanita tersebut terserang penyakit disentri.

Obat untuk penyakitnya ini adalah bubur beras yang dimasak

dengan susu, mentega (gi), madu, dan gula. Dikarenakan kemiskinan, mereka tidak mampu mendapatkan semuanya ini.

Kemudian sang ibu bertanya kepada putrinya, “Anakku, apakah

suamimu bisa mendapatkan sedikit bubur susu?” “Bu, suamiku

itu lebih miskin dibandingkan dengan kita,” jawabnya, “walaupun

demikian, saya akan menanyakannya: Jangan khawatir.” Setelah

berkata demikian, kira-kira mendekati saat waktunya bagi sang

suami pulang ke rumah, ia duduk dengan wajah murung. Ketika

datang, raja menanyakan mengapa ia begitu sedih, dan sewaktu

mendengar permasalahannya, berkata, “Istriku, dari mana bisa

kudapatkan obat yang demikian?” Dan ia berpikir, “Tak bisa

terus-menerus saya datang ke sini dengan cara seperti ini;

Sudah seharusnya kupertimbangkan resiko dari pulang-pergi ke

suatu tempat. Akan tetapi, jika kubawa ia ke istana, tanpa

memedulikan sentuhannya yang demikian lembut, orang-orang

akan menertawakanku dan berkata, ‘Raja kita kembali dengan

membawa serta sesosok yaksa wanita.’ Tetapi, jika kubuat

seluruh kota mengenal sentuhan-nya, maka dapat kuatasi semua

cercaan atas diriku itu.” Maka ia berkata kepadanya, “Istriku,

janganlah bersusah hati: akan kubawakan bubur susu untuk

ayahmu,” setelah berkata demikian dan bersenang-senang

dengannya, ia kembali ke istananya. Keesokan harinya ia

meminta orang istananya untuk memasakkan bubur susu seperti

yang diberitahukan kepadanya, dan, dengan menggunakan

dedaunan, membuat dua keranjang. Ia meletakkan bubur susu

itu di salah satu keranjang dan meletakkan mahkota permata di

keranjang yang satunya lagi, kemudian mengikat kedua

keranjang tersebut. Di malam harinya ia datang dan berkata,

“Istriku, kita ini adalah orang yang miskin: saya mendapatkan ini dengan amat susah payah. Katakanlah (seperti ini) kepada

ayahmu, ‘Hari ini makanlah bubur susu dari keranjang ini dan

besok baru makan dari keranjang yang satunya lagi.’ ” Ia pun

melakukan seperti apa yang diminta suaminya itu. Maka setelah

menyantap bagian yang amat sedikit dari bubur susu itu karena

tiada selera makan, sang ayah memberikan sisanya kepada

istrinya dan juga putrinya. Mereka bertiga merasa sangat

bahagia, bungkusan yang berisikan mahkota permata itu

disimpan mereka untuk kebutuhan pada keesokan harinya.

Sekembalinya ke istana, raja mencuci mukanya dan kemudian

berkata, “Ambilkan mahkotaku.” Ketika mereka membalas, “Kami

tidak menemukannya,” ia berkata, “Cari di seluruh penjuru kota.”

Mereka pun mencarinya, tetapi tidak dapat menemukannya.

“Baiklah kalau begitu,” kata raja, “cari di rumah-rumah orang

miskin di pinggiran kota, dimulai dengan mencari di keranjang

daun tempat makanan. Mereka kemudian mencari dan

menemukan mahkota permata itu di rumah ini, dan dengan

berkata, “Ayah dan ibu dari wanita ini adalah pencuri,” mereka

mengikat dan membawanya ke hadapan raja. Kemudian ayah

dari wanita itu berkata, “Paduka, kami bukan pencuri. Seorang

laki-laki anu yang memberikan permata ini kepada kami.” “Siapa

itu?” tanyanya. “Menantu kami,” jawabnya. Ketika ditanya di

manakah ia berada, ayah wanita itu berkata, “Putriku yang

mengetahuinya.” Kemudian ia berbicara dengan putrinya.

“Anakku,” katanya, “Anda yang mengetahui jati diri suamimu.”

“Saya tidak tahu.” “Jika itu benar, maka habislah kita.” “Ayah, ia

hanya pulang di saat hari telah gelap dan pergi di saat hari belum

terang, jadi saya tidak mengetahui penampilannya. Akan tetapi, saya dapat mengenalinya melalui sentuhan tangannya.” Ayahnya

memberitahukan ini kepada pejabat kerajaan dan mereka

memberitahukannya kepada raja. Berpura-pura tidak mengetahui

permasalahannya, raja berkata, “Baiklah, masukkan wanita di

dalam sebuah layar tenda dan buat sebuah lubang di layarnya

sebesar kepalan tangan, kemudian kumpulkan semua penduduk,

dan dapatkan pencuri itu dengan memeriksa sentuhan

tangannya.” Para pejabat kerajaan melakukan seperti apa yang

diperintahkan. Ketika pergi ke tempat wanita itu berada dan

melihatnya, orang-orang diliputi dengan rasa jijik dan berkata,

“Wanita ini kelihatan seperti sesosok pisaca,” dan dikarenakan

rasa jijik tersebut, mereka enggan untuk menyentuhnya. Tetapi

kemudian pengawal kerajaan membawa dan memasukkannya ke

dalam layar tenda di halaman istana dan mengumpulkan semua

penduduk. Sewaktu menyentuh tangan setiap orang yang

datang, dengan tanggannya yang dijulurkan keluar, ia berkata,

“Bukan ini orangnya.” Orang-orang menjadi sangat terpikat

dengan sentuhan surgawi dari wanita tersebut sehingga mereka

enggan untuk membubarkan diri. Mereka berpikir, “Jika ia harus

dihukum, meskipun harus dipukul dengan kayu, kami akan

bersedia untuk menerima semuanya demi dirinya, dan akan

membawanya pulang sebagai seorang istri.” Kemudian para

pengawal raja memukuli mereka dan mengusir mereka. Dan

mereka semuanya, yang dimulai dari wakil raja, menjadi

bertingkah seperti layaknya orang tidak waras. Raja kemudian

berkata, “Apakah mungkin saya adalah orangnya?” dan

menjulurkan tangannya ke depan. Ketika menyentuh tangannya,

wanita itu berteriak dengan keras, “Saya telah menemukan pencurinya. Raja bertanya kepada para pejabat kerajaannya, “Di

saat tangan kalian bersentuhan dengan wanita ini, apa yang

kalian rasakan?” Mereka memberitahukan raja yang sebenarnya.

Maka raja berkata, “Inilah sebabnya kubawa ia ke rumahku. Jika

mereka sama sekali tidak mengetahui tentang sentuhannya itu,

pastilah mereka mencela diriku. Dan sekarang karena kalian

telah mengetahui yang sebenarnya dari diriku, katakanlah di

rumah siapakah wanita ini pantas untuk tinggal sebagai seorang

istri.” Mereka menjawab, “Di rumahmu, Paduka.” Maka dengan

upacara pemercikkan, raja mengangkatnya sebagai permaisuri,

dan melimpahkan kekuasaan yang besar kepada ayah dan

ibunya. Sejak saat itu, raja tidak pernah menanyakan pertanyaan

apa pun mengenai jati dirinya, juga tidak melirik wanita yang

lainnya lagi. Selir-selir raja yang lainnya kemudian merasa ingin

mencari tahu misteri di balik diri permaisuri.

Pada suatu hari, dalam mimpinya permaisuri melihat dirinya

menjadi permaisuri dari dua orang raja, dan ia memberitahukan

mimpinya tersebut kepada raja. Kemudian raja memanggil

beberapa ahli tafsir mimpi dan bertanya, “Apa arti dari mimpi

demikian yang dilihat oleh permaisuri?” Kala itu, para ahli tafsir

mimpi tersebut telah menerima suap dari selir-selir raja, dan

berkata, “Peristiwa ratu duduk di atas punggung seekor gajah

yang berbadan putih terang itu menandakan kematianmu, dan

peristiwa ratu menyentuh bulan di saat menunggangi gajah

tersebut menandakan ia akan membawa seorang raja musuh

untuk melawanmu, Paduka.” “Kalau begitu, apa yang harus

dilakukan?” kata raja. “Anda tidak boleh membunuhnya, Paduka.

Letakkan ia di dalam sebuah perahu dan biarkan ia mengalir mengikuti arus sungai.” Di malam hari, raja meletakkan

permaisuri di dalam sebuah perahu, bersama dengan makanan,

pakaian, perhiasan, dan mendorongnya berjalan mengikuti arus.

Ketika berada di dalam perahu yang berjalan mengikuti arus, ia

bertemu dengan Raja Pāvāriya (Pavariya) di saat sedang

bermain-main di sungai. Ketika melihat perahu tersebut, sang

panglima raja berkata, “Perahu itu adalah milikku.” Sedangkan

raja berkata, “Barang di dalamnya adalah milikku,” ketika perahu

tersebut sampai ke tempat mereka berada dan mereka melihat

wanita tersebut, raja berkata, “Siapakah Anda, yang terlihat

seperti sesosok pisaca?” Sembari tersenyum, ia menjawab

bahwa ia adalah permaisuri Raja Baka, dan menceritakan

semuanya, juga mengatakan bahwa ia dikenal di seluruh India

dengan panggilan Pancapapa. Kemudian dengan menarik

tangannya, raja membantunya keluar dari perahu. Tak lama

setelah menarik tangannya, kemudian raja diliputi dengan nafsu

karena sentuhannya itu. Dan meskipun selir-selir raja

mengatakan bahwa ia tidaklah pantas disebut sebagai seorang

wanita, tetapi raja (berpikiran lain) mengangkatnya sebagai

permaisuri, raja amat menyayanginya, sama seperti menyayangi

dirinya sendiri. Mendengar apa yang terjadi, Raja Baka berkata,

“Tidak akan kubiarkan ia menjadikan wanita itu sebagai

permaisurinya,” setelah mengumpulkan pasukannya, ia

memimpin mereka sampai di satu sisi di seberang sungai dan

mengirimkan pesan yang mengatakan bahwa Pavariya harus

mengembalikan istrinya atau (jika tidak) mereka akan bertempur.

Saingan Raja Baka ini siap untuk bertempur, tetapi para

penasihat dari kedua raja berkata, “Tidak ada yang perlu mati demi seorang wanita. Dari kenyataan bahwa suami pertama

wanita itu adalah Raja Baka, maka ia adalah miliknya. Akan

tetapi, dari kenyataan bahwa wanita itu diselamatkan dari perahu

oleh Raja Pavariya, maka ia adalah miliknya. Oleh karena itu,

biarlah ia berada selama tujuh hari di rumah yang satu dan

kemudian di rumah yang satunya lagi.” Atas pertimbangan itu,

mereka memberitahukan pandangan ini kepada kedua raja, dan

mereka pun merasa amat bahagia, mereka masing-masing

membangun tempat tinggal di kedua tepi sungai yang

berseberangan dan tinggal di sana. Wanita tersebut menerima

jabatan sebagai permaisuri ganda dari kedua raja, dan mereka

amat tergila-gila kepadanya. Maka selama tujuh hari ia tinggal di

rumah salah satu raja, dan tujuh hari berikutnya dengan perahu

menyeberangi sungai ia pergi ke rumah raja yang satunya lagi,

dan di tengah perjalanannya itu ia berzina dengan tukang perahu

yang mengemudikan perahunya, seorang nelayan tua yang

bungkuk. Pada masa itu, Kunala, si raja burung, adalah

Raja Baka, dan ia meceritakan kejadian ini seperti sesuatu yang

dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Untuk menggambarkan

kisah ini, ia mengulangi bait berikut:

Meskipun telah menjadi istri dari Pāvāriya,

dan juga istri dari Baka,

(Dua raja yang nafsunya terkenal tidak ada habisnya)

ia tetap berzina dengan budak dari suaminya;

Dengan makhluk buruk apa yang tidak di-zina-inya?

Kisah yang berikutnya:

Suatu ketika istri Brahmadatta yang bernama Piṅgiyānī

(Pingiyani), ketika melihat keluar dari jendelanya, melihat tukang

kuda kerajaan. Setelah raja tertidur di malam hari, ia turun ke

bawah melalui jendela kamar dan berbuat zina dengan tukang

kuda tersebut, kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Setelah

membersihkan badan, memakai wewangian, ia kemudian tidur

berbaring di sisi raja. Suatu hari raja berpikir, “Mengapa badan

ratu selalu terasa dingin di tengah malam: Akan kucari tahu

masalah ini.” Maka suatu malam ia pura-pura tertidur, dan

kemudian bangun mengikuti ratu. Ia melihatnya melakukan

persetubuhan dengan seorang tukang kuda. Raja kemudian

kembali ke kamarnya, dan begitu halnya dengan ratu, setelah

melakukan perbuatan buruk itu, kembali ke kamar dan tidur.

Keesokan harinya, di hadapan para pejabat kerajaannya, raja

memanggil ratu dan membeberkan perbuatan buruknya, dengan

berkata, “Semua wanita itu sama, para pelaku perbuatan buruk.”

Dan raja mengampuninya, yang sebenarnya pantas menerima

hukuman mati, penjara, mutilasi, dengan mencabut jabatannya

sebagai permaisuri dan menjadikan yang lain sebagai

penggantinya. Pada masa itu, Kunala adalah Brahmadata, dan

itulah sebabnya ia menceritakan kisah ini seperti sesuatu yang

telah dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Untuk

menggambarkannya, ia mengulangi bait berikut:

Piṅgiyānī cantik disukai oleh Brahmadatta,

Penguasa yang menaklukkan segala,

meskipun demikian berzina dengan budak suaminya,

dan kehilangan segalanya atas perzinaannya dengan

tukang kuda.

Setelah memberitahukan perbuatan buruk dari

wanita dalam kisah-kisah masa lampau, kemudian dengan cara

yang lain, masih membicarakan perbuatan salah mereka, ia berkata:

Wanita adalah makhluk yang labil, tidak tahu berterima

kasih, pengkhianat,

Jika tidak dirasuki, tak seorang laki-laki pun berkenan

untuk memberikan kepercayaan.

Tidak peduli dengan kewajiban atau memiliki rasa terima

kasih, tidak acuh dengan kasih sayang orang tua atau

ikatan persaudaraan,

Melanggar peraturan yang benar, mereka memainkan

peranannya tanpa rasa malu, mengikuti keinginan hati,

adalah tindakan mereka.

Tak peduli berapa lama mereka telah tinggal

bersamanya dan betapa cintanya pun ia kepada mereka,

betapa pun lembut dan sayangnya ia kepada mereka,

Di waktu susah dan bermasalah, mereka akan dan pasti

meninggalkannya,

Tidak akan pernah lagi kupercayakan bagianku kepada

mereka, para wanita.

Sering dijumpai pikiran wanita itu seperti kera yang

penuh tipu daya, atau seperti tempat teduh yang dibuat

oleh pohon yang tinggi atau besar,

Betapa labil juga tujuan yang tertanam di dada mereka,

seperti roda kereta yang selalu berputar tiada henti.

Kapan saja dengan pandangannya mereka melihat

sekitar dan mencari cara untuk memerangkap laki-laki

kaya, menjadikannya sebagai mangsa,

Mereka menjebak dengan perkataan lembut nan halus

orang-orang dungu itu, seperti tukang kuda Kamboja

menangkap kuda yang paling liar dengan menggunakan

rerumputan.

Tetapi ketika melihat situasi sekitar tidak memungkinkan

mereka untuk berhasil mendapatkan hartanya dan

menjadikannya sebagai mangsa,

maka mereka akan mengusirnya pergi, seperti

seseorang yang telah tiba di pantai yang paling jauh dan

memotong tali perahunya.

Mereka mendekapnya erat seperti kobaran api yang

ganas mematikan, menghanyutkannya seperti arus banjir

yang amat cepat;

Mereka akrab dengan laki-laki yang mereka benci, sama

akrabnya seperti dengan laki-laki yang mereka suka,

seperti sebuah kapal yang menyusuri pantai yang dekat

dan yang jauh.

Mereka bukan milik satu atau dua orang saja, tetapi

mereka seperti toko yang terbuka,

Seseorang akan seperti mampu menangkap angin

dengan jaring bila ia telah berada di bawah kuasa wanita

Seperti sungai, jalan, atau tempat minum246, aula atau

penginapan, wanita itu demikian bebasnya, tiada

batasan untuk memeriksa perbuatan buruknya.

Mereka seperti ular hitam, lapar seperti kobaran api,

seperti ternak yang memilih rumput terbaik, mereka

menginginkan kekasih yang kaya.

Dari gajah, ular hitam, dan dari api yang memangsa gi,

Dari laki-laki yang berambisi menjadi raja, dan dari

wanita kita terbebas.

Semuanya ini yang selalu awas akan diperlakukan

sebagai musuhnya yang paling mematikan, sangat sulit

mengetahui sifat asli mereka.

Wanita yang sangat pintar atau yang berparas elok, yang

paling banyak dicari oleh para lelaki—semua ini

seharusnya dihindari:

istri orang lain dan wanita yang mencari seorang laki-laki

kaya sebagai teman,

wanita-wanita demikian, lima tipe semuanya, tidak

seharusnya didekati oleh seseorang.

Ketika ia telah selesai berkata demikian, orangorang

bertepuk tangan, seraya berkata, “Bagus, bagus sekali!”

Dan setelah memberitahukan keburukan wanita dalam beberapa

kisah, ia pun kemudian diam. Ketika mendengar dirinya, Ānanda

(Ananda), si raja burung hering, berkata, “Temanku, Kunala,

dengan kekuatan pengetahuanku akan kuberitahukan juga

mengenai keburukan wanita,” dan ia pun mulai berbicara kepada

mereka. Yang Terberkahi, dengan perumpamaan, berkata:

“Kemudian, Ananda, si raja burung hering, setelah mendengar

bagian permulaan, pertengahan, dan akhir dari apa yang

dikatakan oleh Kunala, mengucapkan bait-bait berikut:

Meskipun seorang laki-laki di dunia ini memiliki

segalanya yang bersinar keemasan, memberikan hatinya

kepada wanita yang amat dikasihinya,

Tetapi jika muncul kesempatan, wanita itu akan tidak lagi

menghormatinya—

Waspadalah, jika tidak, Anda akan jatuh ke dalam

cengkeraman makhluk buruk itu.

Seorang laki-laki mungkin saja terlihat perkasa, tak ada

cacat, mungkin juga sangat menawan hati dan penuh

kasih sayang terhadap pasangannya,

(tetapi) di waktu susah dan bermasalah, mereka akan

dan pasti meninggalkannya,

Tidak akan pernah lagi kupercayakan bagianku kepada

mereka, para wanita.

Janganlah percaya karena berpikiran, ‘saya yakin ia

menyukaiku,’

Janganlah juga percaya karena air matanya selalu

menetes keluar;

Mereka akrab dengan laki-laki yang mereka benci, sama

akrabnya seperti dengan laki-laki yang mereka suka,

seperti sebuah kapal yang menyusuri pantai yang dekat

dan yang jauh.

Jangan percaya dengan sampah yang berserakan

dengan dedaunan dan ranting-ranting usang247,

Jangan percaya dengan teman (yang telah) lama,

barangkali sekarang ia telah menjadi seorang musuh.

Jangan percaya dengan seorang raja karena berpikiran,

‘Dahulu, ia adalah temanku,’

Jangan percaya dengan seorang wanita meskipun ia

telah melahirkan sepuluh anak untukmu.

Wanita itu semuanya adalah pencari kesenangan dan

memiliki nafsu yang tidak terkendali, pelanggar hukum

moral (sila): kepada mereka tidak seharusnya Anda

letakkan kepercayaan.

Seorang istri bisa saja berpura-pura menunjukkan cinta

yang tanpa batas di hadapan suaminya;

Jangan percaya kepadanya: wanita itu sama seperti

pelabuhan.

Siap untuk mencincang atau membunuh, mereka

menyusut tanpa alasan,

dan setelah memotong-motong tubuhmu, mereka bahkan

akan meminum darahmu:

Janganlah jatuh cinta kepada mereka, makhluk-makhluk

dengan nafsu rendah,

Nafsu tak terkendali dan sama seperti tempat berlabuh di

Sungai Gangga.

Dalam ucapan, mereka tidak membuat perbedaan antara

yang benar dan yang salah,

seperti ternak yang memilih rumput terbaik, mereka

menginginkan kekasih yang kaya.

Sebagian laki-laki dipikatnya dengan tatapan dan

senyuman, laki-laki yang lain dipikatnya dengan cara

berjalan, sebagian lagi yang lain dengan samaran yang

aneh, dan yang lainnya dengan ucapan manis.

Tidak jujur, galak, dan berhati batu, ucapan mereka

semanis gula,

Tidak ada yang mereka tidak tahu

untuk menipu suami yang mereka nikahi.

Semua wanita itu menjijikkan,

tak ada batasan bagi rasa malu mereka,

mereka itu emosional dan tidak takut,

dapat melahap seperti api.

Wanita tidaklah dibentuk demikian: menyukai lelaki ini

dan tidak menyukai lelaki itu,

tetapi mereka akrab dengan laki-laki yang mereka benci,

sama akrabnya seperti dengan laki-laki yang mereka

suka, seperti sebuah kapal yang menyusuri pantai yang

dekat dan yang jauh.

Ini bukanlah sebuah permasalahan mengenai cinta atau

benci yang kita lihat dalam wanita,

Mereka mendekap seorang laki-laki demi emas, seperti

parasit bagi sebatang pohon.

Seorang tukang kremasi jenazah atau tukang bersih

tempat sembahyang dari bunga-bunga layu,

seorang tukang kuda, tukang gajah, atau tukang ternak,

wanita akan lari kepada mereka, meskipun status

mereka yang rendah, demi uang.

Seorang bangsawan akan mereka tinggalkan

jika ia jatuh miskin;

Seorang candala, jika kaya, mereka akan dengan segera

menempel kepadanya, seperti bau busuk pada bangkai.”

Demikianlah Ananda, si raja burung hering, dengan

pengetahuannya sendiri, memaparkan tentang keburukan

wanita, dan kemudian diam. Nārada (Narada) juga, setelah

mendengar apa yang mereka berdua katakan, dengan

pengetahuan yang dimilikinya, mengatakan tentang keburukan

wanita. Untuk menggambarkan ini, Sang Guru berkata,

“Kemudian Narada, setelah mendengar bagian permulaan,

pertengahan dan akhir dari apa yang dikatakan oleh Ananda, si

raja burung hering, mengucapkan bait-bait berikut:

Ada empat hal yang tidak pernah dapat dipuaskan—

dengarkan perkataanku dengan baik—

Samudra, raja, brahmana, wanita, inilah keempat hal tersebut.

Semua aliran sungai yang mengalir ke rumah mereka

tidak akan pernah membuat samudra penuh (puas),

meskipun semuanya telah bercampur, tetapi masih saja

ada yang kurang.

Seorang brahmana mempelajari Weda-nya dan tradisi

keluarganya secara turun temurun,

tetapi ia masih saja merasa kurang dalam hal ilmu

pengetahuan dan selalu menginginkan lebih dan lebih banyak lagi.

Dengan penaklukan, seorang raja menguasai suatu

daerah, beserta dengan pegunungannya, lautannya dan semuanya,

harta kekayaan yang tak ada habisnya yang terdapat di

dalamnya dikatakan sebagai miliknya sendiri,

Meskipun demikian, ia tetap melirik daerah lain di luar

samudra, karena ini semua dianggapnya terlalu kecil.

Seorang wanita mungkin saja memiliki delapan suami,

yang menuruti keinginannya,

mereka semuanya adalah para pahlawan yang berani,

memenuhi kewajiban kasih sayang mereka dengan baik,

Meskipun demikian, ia masih memberikan cintanya

kepada suami yang kesembilan, karena ia tetap merasa

ada sesuatu yang kurang.

Wanita melahap mangsanya seperti kobaran api,

Wanita menghanyutkan segalanya seperti arus banjir,

Wanita seperti hama, mereka juga seperti duri,

Wanita akan pergi meninggalkan, demi uang.

Laki-laki yang membiarkan pikirannya mengembara

memikirkan wanita cantik, (diibaratkan) seperti orang

yang menangkap angin dengan jaring, atau seperti orang

yang mengeringkan air laut tanpa bantuan yang lain,

bertepuk sebelah tangan.

Dengan wanita-wanita yang pintar, kebenaran adalah hal

yang langka untuk dapat ditemukan,

Jalan mereka sama kompleksnya dengan jalan ikan-ikan

yang ada di laut.

Ucapannya lembut, sulit dipuaskan, susah dipenuhi

seperti sungai,

Ke bawah—ke bawah mereka terus tenggelam: ia, yang

mengetahui wanita, seharusnya membebaskan diri dari

mereka.

Pengkhianat yang menggoda, mereka membujuk orang

suci untuk melakukan perbuatan buruk,

Ke bawah—ke bawah mereka terus tenggelam: ia, yang

mengetahui wanita, seharusnya membebaskan diri dari

mereka.

Siapa saja akan mereka layani demi harta dan nafsu,

Mereka akan melahap lelaki, seperti minyak yang

membakar habis sampah dengan kobaran apinya.”

Ketika Narada telah demikian memaparkan keburukan

dari wanita, sekali lagi Sang Mahasatwa menggambarkan sifat

buruk mereka dengan perumpamaan yang khusus.

Untuk menunjukkan ini, Sang Guru berkata,

“Demikianlah Kunala, setelah mengetahui bagian permulaan, pertengahan, dan akhir dari apa yang dikatakan oleh Narada,

mengulangi bait-bait berikut ini:

Seorang bijak mungkin berani untuk berbincang dengan

sesosok pisaca yang bersenjatakan pedang yang telah

diasah tajam,

ia juga mungkin berani untuk bertarung

dengan seekor ular.

Namun demikian, ia tidak terlalu berani untuk

berbincang berdua dengan seorang wanita.

Kekuatan pria dilemahkan oleh daya pikat wanita,

dengan ucapan, senyuman, tarian dan nyanyian, bahkan

hanya dengan tangan mereka:

Hati yang labil mereka serang, seperti gerombolan

raksasa (wanita) yang menyerang para saudagar di

dalam istana mereka.

Ketagihan minuman keras dan daging, seseorang akan

sia-sia saja berusaha untuk menghilangkan selera atau

mengendalikan nafsu mereka,

seperti monster lautan, mereka akan menyapu habis

seluruh kekayaannya, ke dalam mulut mereka.

Lima alam kesenangan indriawi mereka miliki sebagai

tempat tinggal,

tak ada yang mampu mengendalikan keangkuhan

mereka yang tinggi:

Seperti semua sungai yang pada akhirnya bertemu di

samudra, demikianlah jiwa-jiwa yang tak awas menjadi

mangsa bagi para wanita.

Laki-laki yang mencari kesenangan dalam diri para

wanita ini, karena tergerak oleh ketamakan dan nafsu

indriawi,

Orang yang terbakar dengan nafsu yang kuat itu akan

mereka habisi, seperti minyak yang dituang ke api.

Jika mengetahui seseorang itu kaya,

mereka akan mendekatinya,

dan kemudian mereka akan

membawa pergi harta dan semuanya,

Mereka melingkarkan kedua tangan di kepala laki-laki

yang terbakar dengan nafsu itu, seperti tanaman

merambat yang bergantung pada pohon (sala) di hutan.

Seperti buah vimba, berbibir merah, begitu terang

dan senangnya, mereka mengeluarkan beragam jalan

untuk menghadapi manusia,

kadang menyerang dalam tawa, kadang dalam

senyuman, seperti Saṁvara, sang raja yang memiliki

banyak tipu muslihat.

Meskipun para wanita diberikan perhiasan emas dan

permata yang berlimpah,

meskipun diterima dengan baik oleh sanak keluarga dan

saudara dari suami,

meskipun dijaga dengan ketat oleh suami-suami mereka,

mereka tetap berbuat buruk (zina), seperti dikirim masuk

ke dalam mulut sang setan.

Seorang laki-laki yang terkemuka dan bijaksana,

mulia dan terhormat di mata semua orang,

tetapi dengan jatuh ke dalam kekuasaan wanita tidak

akan bersinar lagi, seperti pudarnya cahaya bulan

(gerhana bulan) oleh Rāhu.

Dendam yang dilampiaskan oleh seorang musuh yang

sedang murka kepada musuhnya,

seperti yang ditunjukkan oleh raja lalim kepada korbankorbannya,

bahkan hal yang lebih buruk dari ini dapat mendera

semuanya yang dikarenakan nafsu terjatuh ke dalam

kekuasaan wanita.

Meskipun diancam dengan badan yang dilukai atau

rambut yang dipotong, dicambuk, dipukul, atau ditendang,

tetapi wanita itu tetap pergi mencari kaum candala untuk

bersenang-senang dengan mereka, seperti lalat pada bangkai.

Wanita-wanita yang bersinar di jalan atau di istana, di

perkotaan atau di pedesaan,

seorang laki-laki dengan pandangan terang, jika ia ingin

mendapatkan kebahagiaan, akan menghindari

perangkap yang disiapkan oleh Namuci254.

Ia yang tidak mempraktikkan manfaat baik dari sila

seorang petapa,

ia mempraktikkan apa yang disebut dengan hal-hal yang

buruk dan rendah, orang dungu,

akan menukar alam surga menjadi alam neraka, seperti

orang yang menukar permata tak bernoda dengan

permata bernoda.

Ia akan menjadi orang yang hina baik di kehidupan ini

maupun di kehidupan berikutnya,

dan, bila masih tetap tergoda oleh wanita yang buruk, ia

akan terus-menerus jatuh karena kecerobohannya,

seperti keledai jahat yang berlari dengan kereta.

Ia dapat terlahir di alam neraka Simbali dengan duri-duri

yang tajam nan runcing,

dapat juga ia terlahir di neraka Patāpana,

atau di alam binatang,

terlihat pula ia menderita terlahir di alam peta.

Di alam dewa bergembira ria dan bersenang-senang

di Nandana,

di alam manusia mendapat kekuasaan sebagai raja,

jika orang demikian juga tersesat karena wanita, maka

jiwa-jiwa ceroboh itu harus melewati alam menyedihkan.

Tidak sulit untuk mencapai kebahagiaan di alam dewa,

demikian juga untuk mendapatkan kekuasaan di alam

manusia,

begitu pula dengan bidadari-bidadari di alam kayangan

keemasan mereka,

semuanya ini dapat dicapai oleh ia yang telah

melenyapkan nafsu (kesenangan) dalam dirinya.

Melewati alam kesenangan indriawi dengan hidup yang

baru di alam bentuk,

kemudian dengan kekuatan yang didapatkan di sana,

terlahir kembali di alam yang dihuni oleh mereka yang

telah terbebas dari nafsu,

semuanya ini dapat dicapai oleh ia yang telah

melenyapkan nafsu (kesenangan) dalam dirinya.

Kebahagiaan yang melampaui segala rasa,

tak tergoyahkan, tak terkondisi, tanpa akhir,

yaitu nibbana, dapat dicapai oleh ia yang telah

melenyapkan nafsu (kesenangan) dalam dirinya.

Demikian Sang Mahasatwa menyampaikan uraian-

Nya setelah memaparkan tentang pencapaian Mahanibbana.

Para kinnara, ular naga dan hewan lainnya yang berada di sana,

serta para dewa yang berdiri di angkasa, bertepuk tangan

sembari berkata, “Bagus sekali, diucapkan dengan gaya seperti

seorang Buddha.” Ananda, si raja burung hering, Narada, sang

brahmana suci, Punnamukha, si raja burung tekukur, dengan

pengikutnya masing-masing kembali ke kediaman mereka, dan

begitu pula halnya dengan Sang Mahasatwa yang kemudian

kembali ke kediamannya. Akan tetapi, mereka tetap datang

kembali dan mendengar nasihat yang diberikan Sang

Mahasatwa, sehingga dengan melakukan hal demikian, terlahir di

alam surga.

Sang Guru mengakhiri uraian-Nya sampai di sini, dan

untuk mempertautkan kisah kelahiran ini, Beliau mengulangi bait

terakhir berikut:

Udāyi adalah si burung tekukur, Ānanda adalah si

burung hering, Nārada adalah Sāriputta,

dan aku adalah Kuṇāla.

Para bhikkhu ini, yang sewaktu datang dibawa dengan kekuatan dari Sang Guru, kemudian kembali dengan menggunakan kekuatan mereka sendiri. Dan Sang Guru memaparkan kepada mereka di dalam Mahavana cara mencapai kebahagiaan, dan saat itu juga mereka mencapai tingkat kesucian Arahat, (yang menyebabkan) munculnya kumpulan besar makhluk dewata, sehingga Yang Terberkahi memaparkan kepada mereka semua Mahāsamaya Sutta (Khotbah yang dibabarkan kepada satu kumpulan besar).

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 5

 

 

Tagged ,

SUDHĀBHOJANA JĀTAKA

“Bukanlah seorang penjaja,” dan seterusnya.

Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang Bhikkhu yang (berpikiran) dermawan. Dikatakan bahwa ia adalah seorang putra dari keluarga terpandang yang tinggal di Sāvatthi, yang setelah mendengar Dhamma yang dibabarkan oleh Sang Guru, menjadi merasa damai dan bertahbis menjadi bhikkhu. Menjalankan sila dengan sempurna dan latihan dhutaṅga, serta dengan hati yang penuh cinta kasih terhadap rekan sesama bhikkhu-nya, setiap hari sebanyak tiga kali ia memberikan pelayanan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha. Ia menunjukkan dirinya sebagai contoh yang patut ditiru dalam hal perilaku yang sempurna dan kedermawanan. Untuk memenuhi kewajiban dalam hal persaudaraan yang baik, maka apa pun yang diterimanya, selama masih ada yang membutuhkannya, akan diberikannya kepada orang tersebut, sampai-sampai ia sendiri tidak memiliki makanan. Kedermawanan dan kesukaannya dalam berderma tersebar di luas dalam perkumpulan saṅgha (sangha). Suatu hari dibicarakan oleh para bhikkhu di dalam balai kebenaran tentang bagaimana bhikkhu anu demikian dermawannya dan demikian sukanya berderma sehingga bila ia mendapatkan air yang hanya cukup untuk menutupi rongga tangan, ia akan terlebih dahulu memberikannya kepada rekannya sesama bhikkhu, dengan perasaan bebas dari keserakahan—tekadnya sama seperti tekad seorang Bodhisatta. Dengan telinga dewa-Nya, Sang Guru mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, kemudian keluar dari gandhakuṭi, menghampiri mereka dan menanyakan apa topik pembicaraan mereka. Ketika mereka menjawab, “Topiknya adalah ini,” Beliau berkata, “Para Bhikkhu, di masa lampau bhikkhu ini adalah orang yang sangat jauh dari suka berderma, demikian kikirnya sehingga ia tidak mau memberi, meskipun itu hanyalah (sebesar) setetes minyak pada ujung rumput. Saya mengubah dirinya, membuatnya menjadi orang yang tidak mementingkan diri sendiri, dan dengan

memberitahukan tentang buah dari kedermawanan membuatnya kukuh dalam berderma; karena itulah, ketika meskipun mendapatkan air yang hanya cukup untuk menutupi rongga tangan, ia akan berkata, ‘Saya tidak akan meminum setetes pun tanpa memberikannya (kepada yang lain) terlebih dahulu,’ dan ia mendapatkan suatu anugerah dari-Ku. Dan sebagai hasilnya ia menjadi orang yang dermawan dan suka memberi,” dan setelah mengatakan ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala, ketika Brahmadata menjadi Raja Benares,

hiduplah seorang perumah tangga kaya yang memiliki harta

sebesar delapan ratus juta, dan raja memberikan kepadanya

kedudukan sebagai bendahara. Setelah demikian diberikan

kehormatan oleh raja dan dihargai oleh para penduduk kota dan

desa, ia hidup dalam kemakmuran duniawinya itu. Suatu hari, ia

berpikir, “Kejayaan ini tidaklah kudapatkan dengan kemalasan

dan perbuatan buruk dalam kehidupan sebelumnya,

melainkan dengan perbuatan baik (kebajikan); hal ini diperlukan

untuk memastikan keadaanku yang baik di kehidupan

berikutnya.” Maka ia pergi menghadap kepada raja dan berkata

demikian kepadanya, “Paduka, di rumahku terdapat kekayaan

yang berjumlah sebesar delapan ratus juta. Ambillah kekayaan

itu dariku.” Dan ketika raja berkata, “Saya tidak memerlukan

kekayaanmu; saya memiliki kekayaan yang berlimpah ruah; karenanya, ambil dan lakukan apa saja sesuka hatimu dengan

kekayaan itu,” ia berkata, “Bolehkah saya, Paduka, memberikan

uangku sebagai dana (derma)?” Raja menjawab, “Silakan.” Ia

pun meminta orang untuk membangun enam balai distribusi

dana, masing-masing satu di keempat gerbang kota, satu di

bagian tengah kota, dan satu lagi di pintu rumahnya; dan dengan

pengeluaran harian sebesar enam ratus ribu keping uang, ia

terus memberikan derma dalam jumlah yang besar semasa

hidupnya dan memberikan petunjuk demikian kepada putraputranya,

“Pastikan kalian tidak memutuskan tradisiku ini untuk

memberikan derma,” dan setelah meninggal dunia, ia terlahir

kembali sebagai Dewa Sakka. Putranya, dengan cara sama tetap

memberikan derma, terlahir kembali sebagai Canda, putra dari

Canda terlahir sebagai Suriya, putra dari Suriya terlahir sebagai

Matali (Mātali), putra dari Matali terlahir sebagai Pancasikha

(Pañcasikha). Kemudian putra dari Pancasikha, generasi

keenam, bernama Maccharikosiya (hartawan yang kikir)

mendapatkan kedudukan sebagai bendahara dan ia tetap

memiliki kekayaan sebesar delapan ratus juta. Tetapi ia

berpikiran, “Generasi-generasi terdahuluku adalah orang dungu.

Mereka menghabiskan (dengan cuma-cuma) kekayaan yang

demikian susahnya dikumpulkan, saya akan menjaga

kekayaanku. Saya tidak akan memberikan uang sepeser pun

kepada satu orang pun.” Ia menghancurkan, membakar semua

balai distribusi dana dan menjadi seorang yang amat kikir. Para

pengemis berkumpul di depan gerbang rumahnya dan dengan

menjulurkan tangan mereka meneriakkan, “Wahai Tuan

Bendahara yang mulia, janganlah menghentikan tradisi para pendahulu, berikanlah derma.” Ketika mendengar ini, orangorang

mengecam dirinya, dengan berkata, “Maccharikosiya telah

menghentikan tradisi keluarganya.” Merasa malu, ia

menempatkan seorang penjaga untuk menghalau para

pengemis yang berdiri di depan gerbang rumahnya, dan karena

terus diperlakukan demikian, mereka pun tidak pernah lagi

menampakkan wajah di gerbang rumahnya. Sejak saat itu, ia

terus-menerus menghitung uangnya, tetapi ia tidak

menghabiskannya untuk dirinya sendiri maupun

menghabiskannya dengan istri dan anak-anaknya. Ia menjalani

hidup memakan beras yang masih disertai dengan bubuk

merahnya, disajikan dengan bubur masam, mengenakan pakaian

usang, hanya berupa filamen (benang tipis) dari akar-akaran dan

tangkai buah-buahan, melindungi kepalanya dengan

menggunakan payung dari dedaunan, serta mengendarai kereta

reyot yang ditarik oleh sapi yang sudah tua pula. Demikianlah

uang orang yang kikir ini [384] disimpan seperti sebuah kelapa

yang ditemukan oleh seekor anjing200. Suatu hari ketika ia

hendak menghadap kepada raja (untuk bekerja), ia berpikir untuk

membawa serta wakil bendaharanya201. Sewaktu tiba di

rumahnya, ia melihat wakil bendahara itu sedang duduk bersama

dengan istri dan anak-anaknya, menikmati bubur beras yang diberi gula bubuk untuk memaniskannya dan dimasak dengan

mentega cair yang segar. Ketika melihat Maccharikosiya, wakil

bendahara itu bangkit dari duduknya dan berkata, “Mari, Yang

Mulia Bendahara, silakan duduk di tempat ini dan makan bubur

beras ini bersama.” Sewaktu ia melihat bubur beras itu, mulutnya

dipenuhi dengan air liur dan ia sangat ingin untuk mencicipinya,

tetapi pemikiran ini muncul dalam dirinya, “Jika saya memakan

bubur beras ini, maka nanti ketika wakil bendahara ini datang ke

rumahku, saya harus membuatkannya sesuatu untuk membalas

kebaikannya ini, dan dengan ini, uangku akan terbuang sia-sia.

Saya tidak akan memakannya.” Sewaktu terus dan terus didesak

untuk makan, ia tetap menolaknya dengan berkata, “Saya sudah

makan; saya sudah kenyang sekarang.” Akan tetapi, selagi wakil

bendahara itu sedang menikmati makanannya, ia hanya bisa

melihatnya dengan mulut yang dipenuhi dengan air liur. Setelah

selesai makan, ia pun berangkat bersamanya menuju ke istana.

Sepulangnya ke rumah, ia dipenuhi dengan rasa ingin untuk

memakan bubur beras, tetapi kembali ia berpikir, “Jika kukatakan

bahwa saya ingin makan bubur beras, maka banyak orang juga

akan ingin untuk memakannya dan akibatnya beras dalam

jumlah yang banyak akan habis. Saya tidak akan mengatakan

apa pun kepada siapa pun.” Maka selama siang dan malam, ia

melewati hari-harinya dengan hanya memikirkan bubur beras,

tidak yang lainnya. Akan tetapi, karena takut menghabiskan

kekayaannya, ia tidak memberitahukan siapa pun dan

menyimpan keinginannya itu dalam dirinya sendiri. Karena tidak bisa mengatasi keinginannya itu, kian hari ia menjadi kian pucat

(pasi), dan dikarenakan rasa takut untuk menghabiskan

kekayaannya, ia tidak memberitahukannya kepada siapa pun,

dan oleh karenanya kian hari ia menjadi kian lemah sampai

akhirnya berbaring di tempat tidur, memeluki ranjangnya.

Kemudian istrinya datang menjenguknya dan dengan tangannya

mengelus punggung suaminya, ia bertanya, “Apakah Tuanku

sakit?” “Kamu yang sakit!” teriaknya, “saya baik-baik saja.”

“Tuanku, wajahmu menjadi pucat pasi. Apakah Anda sedang

memikirkan sesuatu? Apakah raja merasa tidak senang

(denganmu) atau anak-anak memperlakukanmu dengan tidak

hormat? Atau apakah Anda memiliki suatu keinginan akan

sesuatu?” “Ya, saya memiliki suatu keinginan.” “Beritahu saya

apa keinginanmu itu, Tuanku.” “Bisakah kamu menjaga rahasia?”

“Ya, saya tidak akan memberitahukan keinginan yang memang

seharusnya dirahasiakan.” Walaupun demikian, masih

karena takut menghabiskan kekayaannya, ia tidak berani untuk

memberitahu istrinya. Tetapi karena didesak berulang kali, ia

akhirnya berkata, “Istriku, suatu hari saya melihat wakil

bendahara menikmati bubur beras yang diberi gula bubuk untuk

memaniskannya dan dimasak dengan mentega cair yang segar.

Sejak hari itu, saya memiliki keinginan untuk memakan bubur

jenis itu.” “Dasar orang buruk, apakah Anda demikian miskinnya?

Akan kumasakkan bubur beras yang cukup dimakan oleh semua

penduduk Benares.” Kemudian ia merasa seperti kepalanya

seolah-olah baru saja dipukul dengan sebuah tongkat. Dengan

perasaan marah, ia berkata, “Saya tahu kamu kaya. Jika

kekayaan itu berasal dari keluargamu, maka kamu boleh memasak dan memberikan bubur beras itu kepada seluruh

penduduk.” “Baiklah kalau begitu, akan kumasakkan bubur yang

cukup dimakan oleh penduduk yang tinggal di satu jalan saja.”

“Apa hubunganmu dengan mereka? Biarlah mereka makan apa

yang mereka miliki.” “Kalau begitu, akan kumasakkan bubur yang

cukup dimakan oleh tujuh kepala keluarga yang dipilih secara

acak dari sini dan sana.” “Apa hubunganmu dengan mereka?”

“Kalau begitu, akan kumasakkan untuk semua penghuni rumah

ini.” “Apa hubunganmu dengan mereka?” “Baiklah kalau begitu,

akan kumasakkan untuk sanak saudara kita saja.” “Apa

hubunganmu dengan mereka?” “Kalau begitu, akan kumasakkan

untukmu, Tuanku, dan untukku.” “Tolong katakan siapa kamu?

Tidaklah pantas untukmu mendapatkannya.” “Akan kumasakkan

untuk dirimu sendiri saja, Tuanku.” “Tidak usah memasakkannya

untukku: jika kamu memasaknya di dalam rumah, maka banyak

orang yang akan mengetahuinya. Berikan saja kepadaku

sejumlah beras, sejumlah susu, sejumlah gula, sejumlah

madu203, dan sebuah belanga, saya akan pergi ke dalam hutan

untuk memasak dan memakan bubur itu.” Istrinya pun melakukan

seperti apa yang diminta. Dengan meminta seorang pelayan

untuk membawa semua barang bawaannya, ia

memerintahkannya untuk pergi dan berdiri di tempat anu. Setelah

meminta pelayan itu untuk pergi terlebih dahulu, ia membuat

sebuah cadar untuk dirinya dan dalam samaran itu pergi ke tempat yang telah ditentukan, dan di tepi sungai di bawah suatu

semak-semak ia meminta pelayan itu menyiapkan belanga, kayu

bakar, dan air, kemudian berkata demikian kepadanya, “Pergilah

kembali berdiri di tempatmu dan, jika kamu melihat ada orang,

berilah tanda kepadaku, dan ketika kupanggil, kembalilah

kemari.” Setelah menyuruh pelayannya pergi, ia menyalakan api

dan memasak buburnya. Kala itu, Sakka, raja para dewa, sedang

meninjau alam dewa yang luasnya sepuluh ribu yojana,

jalan emas yang panjangnya enam puluh yojana, Vejayanta yang

tingginya seribu yojana, Suddhamā yang luasnya lima ratus

yojana, singgasana marmer kuningnya yang luasnya enam puluh

yojana, payung putih dengan untaian bunga kuningnya yang

memiliki keliling sebesar lima yojana, dan para pelayannya

berupa dua puluh juta bidadari, ia kemudian berpikir, “Apa yang

telah kulakukan sehingga mendapatkan kejayaan seperti ini?”

Dan dalam pikirannya ia melihat pemberian derma yang

dilakukannya sewaktu menjabat sebagai bendahara di Benares,

kemudian ia berpikir lagi, “Di manakah para generasiku terlahir

kembali?” Setelah meninjau masalah ini, ia berkata, “Putraku,

Canda, terlahir kembali sebagai makhluk dewa; putranya

(Canda) terlahir sebagai Suriya; putranya (Suriya) terlahir

sebagai Matali (Mātali); putranya terlahir sebagai Pancasikha

(Pañcasikha).” Demikian ia melihat semua keadaan generasinya.

Kemudian ia berkata, “Bagaimana dengan putra Pancasikha?”

Setelah meninjau ini, ia mengetahui bahwa tradisi generasinya

itu telah dihentikan, dan pikiran ini muncul dalam benaknya, “Orang buruk ini adalah orang yang kikir, ia sendiri tidak

menikmati kekayaannya, pun tidak memberikannya kepada yang

lain: tradisi generasiku telah dirusak olehnya. Ketika meninggal

nantinya, ia akan terlahir kembali di alam neraka. Dengan cara

memberinya nasihat dan mengembalikan tradisiku (memberikan

derma), akan kutunjukkan kepadanya bagaimana cara terlahir

kembali di alam dewa.” Maka ia memanggil Canda dan yang

lainnya dan berkata, “Ayo, kita akan pergi ke alam manusia:

tradisi keluarga kita telah dihapuskan oleh Maccharikosiya, balai

distribusi dana telah dibakarnya dan ia sendiri tidak menikmati

kekayaannya, pun tidak memberikannya kepada yang lain. Saat

ini dengan memiliki keinginan untuk makan bubur dan berpikiran,

‘Jika bubur ini dimasak di dalam rumah, maka bubur ini juga akan

harus dibagikan kepada yang lain juga,’ ia telah masuk ke dalam

hutan dan memasaknya sendirian di sana. Kita akan pergi dan

mengubahnya, serta mengajarkan kepadanya tentang buah

(hasil) dari memberi derma (berdana). Tetapi jika kita semua

meminta makanan kepadanya secara bersamaan, ia akan

langsung mati di tempat. Saya yang akan pergi terlebih dahulu,

dan setelah kudapatkan sedikit bubur dan tempat duduk, barulah

kalian datang, satu per satu, dengan samaran sebagai

brahmana, mengemis padanya.” Setelah berkata demikian,

dalam penampilan seorang brahmana, ia menghampiri

Maccharikosiya dan berkata, “Hai Tuan, manakah jalan menuju

ke Benares?” Ia menjawab, “Apakah Anda telah kehilangan akal

sehatmu? Apakah Anda tidak tahu jalan menuju ke Benares?

Mengapa Anda melewati jalan ini? Pergilah dari tempat ini.”

Sakka, yang berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakannya, menghampirinya sembari menanyakan apa yang

tadi dikatakannya. Kemudian ia berteriak, “Brahmana tua

yang tuli, tadi kukatakan mengapa Anda melewati jalan ini.

Pergilah sana.” Kemudian Sakka berkata, “Mengapa Anda

berteriak demikian kerasnya? Di sini kulihat ada asap dan api,

Anda sedang memasak bubur. Pastinya ini adalah saat Anda

ingin menjamu para brahmana. Saya juga adalah seorang

brahmana yang akan menerima bagiannya. Mengapa Anda

mengusirku?” “Tidak ada apa-apa untuk para brahmana di sini.

Pergilah dari sini.” “Kalau begitu, mengapa Anda menjadi sangat

marah? Di saat Anda makan nanti, saya akan meminta sedikit.”

Ia berkata, “Saya tidak akan memberikan sebutir beras pun

kepadamu. Makanan yang sedikit ini hanya cukup untuk

mempertahankan kelangsungan hidupku, dan bahkan ini

didapatkan dari hasil meminta-minta. Pergi dan carilah

makananmu di tempat yang lain.”—ia mengatakan ini dengan

rujukan dari kenyataan bahwa ia meminta beras itu dari istrinya—

dan ia mengucapkan bait berikut:

Bukanlah seorang penjaja diriku ini baik untuk membeli

maupun menjual sesuatu,

Tidak ada barang-barang milikku yang dapat diberikan

atau dipinjamkan:

Sejumlah beras derma ini dengan sulit diperoleh,

terlalu sedikit untuk dibagi berdua.

Mendengar ini, Sakka berkata, “Saya juga akan

mengulangi satu bait kalimat untukmu dengan suara yang merdu

(semanis madu); dengarkanlah diriku,” dan meskipun ia berusaha menghentikannya dengan berkata, “Saya tidak ingin

mendengar kata-katamu,” Sakka tetap mengulangi bait berikut:

Dengan memiliki sedikit, seseorang hendaknya

memberikan sedikit, sama halnya dengan arti dari

kerendahan hati,

Dengan memiliki banyak, seseorang hendaknya

memberikan banyak pula: dengan tidak memberi, tidak

akan timbul pertanyaan.

Ini kuberitahukan kepadamu, Kosiya, memberikan derma

(berdana) adalah bagianmu:

Janganlah makan sendirian, tidak ada kebahagiaan bagi

ia yang makan sendirian, sedangkan dengan berderma,

jalan para ariya mungkin dapat Anda masuki.

Mendengar perkataannya ini, Maccharikosiya

berkata, “Ini adalah perkataan yang menyenangkan, Brahmana.

Di saat bubur ini masak, Anda akan mendapatkan sedikit.

Silakan duduk.” Sakka pun duduk di satu sisi. Ketika ia telah

duduk, dengan cara yang sama Canda mendekati dan memulai

perbincangan yang sama, yang meskipun Maccharikosiya

mencoba untuk menghentikannya, ia tetap mengucapkan bait berikut ini:

Sia-sia pengorbananmu dan sia-sia semangatmu (dalam

mengumpulkan kekayaan) jika Anda makan makananmu

dan tidak memberikan sedikit pun kepada tamu-mu.

Ini kuberitahukan kepadamu, Kosiya, memberi derma

adalah bagianmu, dan seterusnya.

Mendengar perkataannya ini, si kikir itu mau tidak mau

berkata, “Baik, duduklah, Anda akan mendapatkan sedikit bubur.”

Ia pun duduk di sebelah Sakka. Dengan cara yang sama, Suriya

datang mendekat dan memulai perbincangan. Meskipun si kikir

berusaha menghentikannya, ia tetap mengucapkan bait berikut:

Pengorbananmu tidak sia-sia dan semangatmu tidak siasia

jika Anda tidak memakan makananmu sendirian,

tetapi memberikan sedikit kepada tamu-mu.

Ini kuberitahukan kepadamu, Kosiya, memberi derma

adalah bagianmu, dan seterusnya.

Mendengar perkataannya ini, si kikir dengan rasa

enggan yang amat sangat berkata, “Baik, duduklah, dan Anda

akan mendapatkan sedikit bubur.” Maka Suriya duduk di sebelah

Canda. Kemudian dengan cara yang sama, Matali datang

mendekat dan memulai perbincangan, yang meskipun si kikir itu

berusaha menghentikannya, mengucapkan bait berikut ini:

Ia yang memberi derma (persembahan) kepada Sungai

Gayā yang mengalir,

atau kepada pohon Tinduka atau Doṇa dengan air yang

mengalir cepat,

akan mendapatkan hasil dari pengorbanan dan

semangat dirinya jika ia berbagi makanannya dengan

seorang tamu, bukan duduk dan makan sendirian.

Ini kuberitahukan kepadamu, Kosiya, memberi derma

adalah bagianmu, dan seterusnya.

Ketika mendengar perkataannya ini juga, seolaholah

seperti dilindas oleh sebuah gunung, dengan enggannya ia

berkata, “Baik, duduklah, dan Anda akan mendapatkan sedikit

bubur.” Matali duduk di sebelah Suriya. Kemudian dengan cara

yang sama Pancasikha datang mendekat dan memulai

perbincangan, yang meskipun si kikir itu berusaha

menghentikannya, mengucapkan bait berikut ini:

Seperti ikan yang dengan tamaknya menelan apa pun

tersangkut di satu kail,

demikianlah ia yang memakan makanannya sendirian

tanpa memberikan sedikit kepada tamunya.

Ini kuberitahukan kepadamu, Kosiya, memberi derma

adalah bagianmu, dan seterusnya.

Mendengar ini, Maccharikosiya dengan perasaan duka

dan ratapan, berkata, “Baik, duduklah, dan Anda akan

mendapatkan sedikit bubur.” Maka Pancasikha duduk di sebelah

Matali. Ketika lima brahmana ini mendapatkan tempat duduk,

buburnya pun matang. Setelah mengangkatnya dari belanga,

Kosiya memberitahu para brahmana itu untuk menyiapkan wadah makanan mereka (daun). Dengan tetap duduk, mereka

menjulurkan tangan mereka dengan mengeluarkan daun dari

suatu tanaman menjalar dari Himalaya. Melihat mereka

demikian, Kosiya berkata, “Saya tidak bisa memberikan kalian

bubur dalam daun yang besar milik kalian ini: gunakanlah daun

dari pohon akasia atau sejenisnya.” Mereka pun mencari daun

itu dan masing-masing dari mereka mendapatkan daun yang

sebesar tameng seorang kesatria. Kosiya pun membagikan

bubur kepada mereka dengan menggunakan sendok. Selesai

membagikan bubur kepada mereka semua, ia masih memiliki

sisa yang banyak dalam belanganya. Waktu itu, Pancasikha

bangkit dari duduknya dan mengubah dirinya menjadi seekor

anjing, kemudian berdiri di hadapan mereka dan buang air kecil.

Masing-masing brahmana itu menutupi bubur mereka dengan

daun. Satu tetes air seni anjing tersebut mengenai telapak

tangan Kosiya. Para brahmana itu mengambil air dari kendi

mereka dan setelah mencampurnya dengan bubur tersebut,

mereka berpura-pura memakannya. Kosiya kemudian berkata,

“Berikanlah sedikit air kepadaku, dan setelah mencuci tanganku,

saya baru akan makan.” “Ambil airmu sendiri,” kata mereka, “dan

cuci tanganmu.” “Saya memberikan kalian bubur; berikanlah

sedikit air kepadaku.” “Kami tidak boleh melakukan tukar

menukar derma.” “Baiklah kalau begitu, tolong jaga belanga ini

dan saya akan kembali sehabis mencuci tangan,” dan ia pun turun ke sisi sungai. Ketika itu juga, anjing tersebut mengencingi

belanga itu. Melihatnya melakukan hal itu, Kosiya mengambil

tongkat yang besar dan berlari ke arahnya, sembari

menghalaunya. Saat itu, anjing tersebut mengubah dirinya

menjadi seekor kuda yang mabuk, mengejar Kosiya, dengan

terus mengubah warna tubuhnya. Sebentar-sebentar berwarna

hitam, sebentar-sebentar berwarna putih, kemudian berwarna

keemasan, dan campuran semuanya; sebentar-sebentar menjadi

tinggi, sebentar-sebentar menjadi pendek. Demikian dengan

berbagai penampilan yang berbeda ia terus mengejar

Maccharikosiya, yang hampir mati ketakutan, yang kemudian

berlari ke arah para brahmana lainnya, tempat mereka semua

berdiri melayang di udara. Ketika melihat kekuatan gaib mereka ini, ia berkata:

Wahai brahmana-brahmana mulia, yang berdiri

melayang di udara,

mengapa anjing milik kalian ini dengan anehnya dapat

mengubah berbagai bentuk yang berbeda meskipun ia

hanya ada satu, dan beritahukan yang sebenarnya

kepadaku, siapakah kalian ini?

Mendengar ini, raja para dewa, Sakka, berkata:

Canda dan Suriya adalah dua yang ada di sini,

dan Mātali juga, sang sais kereta dewa,

aku adalah Sakka, raja para dewa di Alam Tāvatiṁsā,

serta Pañcasikha, yang mengejarmu di sana.

Dan untuk menjelaskan tentang ketenaran dari

Pancasikha (Pañcasikha), Sakka mengucapkan bait berikut:

Dengan tambur, genderang, dan tamborin mereka

membangunkan dirinya dari tidur,

dan ketika ia bangun, lantunan musik yang

menyenangkan membuat detak hatinya mengalun

dengan kebahagiaan.

Mendengar ini, Kosiya bertanya, “Dengan perbuatan

yang bagaimanakah orang dapat memperoleh kejayaan seperti

ini?” “Mereka yang tidak melatih diri dalam memberi derma

(berdana), para pelaku perbuatan buruk, orang-orang yang

terlalu kikir tidak akan terlahir di alam dewa, melainkan di alam

neraka.” Dan untuk menjelaskan ini, Sakka berkata:

Ia yang menjadi orang kikir, atau memaki para petapa

maupun brahmana,

setelah meninggal dan hancur terurainya badan jasmani,

akan terlahir di alam neraka.

Dan dengan mengucapkan bait berikutnya, untuk

menunjukkan bagaimana orang yang berjalan dalam kebenaran

(sesuai dengan Dhamma) akan terlahir di alam dewa, ia berkata:

Ia yang menjadi orang baik (menyenangkan), berjalan

dalam kebenaran, melatih pengendalian diri (tidak

berbuat buruk), selalu berbagi (derma),

setelah meninggal dan hancur terurainya badan jasmani,

akan terlahir di alam dewa.

Setelah mengucapkan kata-kata ini, Sakka kemudian

berkata, “Kosiya, kami datang kepadamu bukanlah karena bubur,

melainkan karena belas kasih dan kasih sayang,” dan untuk

menjelaskan kepadanya, ia pun berkata:

Anda, meskipun dalam kelahiran lampau kami adalah

saling berhubungan, menjadi orang yang kikir, orang

yang tidak baik dan pelaku perbuatan buruk;

Demi dirimu ini kami turun ke alam manusia, berusaha

menghindarkanmu dari hasil berbuat buruk—kelahiran di

alam neraka.

Mendengar ini, Kosiya berpikir, “Mereka mengatakan

mereka adalah penyelamatku; mereka akan membuatku keluar

dari neraka dan kemudian mengukuhkan diriku di alam dewa.”

Dan dengan perasaan amat gembira, ia berkata:

Demikian kalian telah menasihati diriku, tak diragukan

lagi kalian menginginkan kebaikanku,

akan kuikuti nasihatmu, yang telah dimengerti.

Mulai hari ini, saya akan menyingkirkan sifat kikir,

mengendalikan diri dari perbuatan buruk,

memberikan derma, bahkan berbagi secangkir air.

Dengan selalu memberi demikian, Sakka, segera

kekayaanku akan berkurang (habis),

kemudian saya akan menjadi seorang pabbajita, dan

berusaha membebaskan diri dari segala bentuk

kesenangan indriawi.

Setelah mengubah (sifat) Maccharikosiya, Sakka

mengajarkan kepadanya tentang buah dari berdana, membuat

dirinya menjadi tidak memikirkan diri sendiri, memaparkan

khotbah Dhamma kepadanya yang membuat dirinya kukuh

dalam menjalankan lima latihan sila (Pancasila Buddhis),

kemudian bersama dengan para dewa lainnya kembali ke alam

para dewa. Maccharikosiya juga kemudian pulang kembali ke

Kota Benares, dan setelah mendapatkan izin dari raja, ia

meminta orang-orang untuk membawa dan mengisi semua

bejana, yang dapat mereka bawa, dengan harta kekayaannya,

dan juga memberikannya kepada para pengemis. Setelah itu, ia

pergi ke daerah pegunungan Himalaya melalui bagian sebelah

kanan, dan di satu tempat di antara Sungai Gangga dan sebuah

danau alami, ia membuat sebuah gubuk daun. Dengan menjalani

hidup sebagai seorang petapa, ia bertahan hidup (melewati hariharinya)

dengan memakan buah-buahan dan akar-akaran. Ia

tinggal di tempat itu dalam waktu yang lama, sampai ia berusia

lanjut. Pada waktu itu, Sakka memiliki empat orang putri: Āsā (Asa), Saddhā (Saddha), Sirī (Siri), dan Hirī (Hiri), yang pada

waktu itu pergi ke Danau Anotatta dengan membawa untaian

bunga yang wangi, bermain-main di air. Sehabis itu, mereka

duduk di Gunung Manosilā. Persis ketika itu juga, Nārada

(Narada), seorang brahmana suci, mengunjungi Alam Dewa

Tāvatiṁsā, beristirahat di saat teriknya siang hari, membuat

tempat istirahatnya di Cittakūṭa di Taman Nandana. Kemudian

dengan membawa bunga pohon koral sebagai pelindung

matahari (payungnya), ia kembali ke kediamannya di Gua Emas

(Kañcanaguhā), di puncak Gunung Manosilā (Arsenik Merah).

Para bidadari dewa yang melihat bunga di tangannya itu

meminta darinya.

Untuk menjelaskannya, Sang Guru berkata:

Di ketinggian Gunung Gandhamādana, para bidadari ini,

dalam asuhan Sakka, bersenang-senang:

Datang melewati mereka adalah seorang suci yang

terkemuka, dengan bunga dewa di tangannya.

Bunga yang demikian bersih dan wangi itu

diperuntukkan para dewa dan makhluk dewata:

Tidak ada yaksa atau makhluk sejenisnya dan manusia

yang dapat memiliki bunga yang tak ternilai ini.

Kemudian keempat wanita ini, dengan warna kulit

keemasan dan elok tiada tara di antara bidadari lainnya,

bangkit dan menyapa Nārada, sang brahmana suci,

‘Berikanlah kepada kami, wahai brahmana agung,

bunga koral itu jika memberi adalah kekuasaanmu,

seperti Dewa Sakka sendiri akan kami hormati dirimu,

dan Anda akan dilimpahi dengan segalanya.’

Ketika Nārada mendengar permintaan mereka, ia

memulai sebuah perdebatan:

‘Saya tidak memerlukan ini; siapa di antara kalian yang

menjadi sang ratu (yang terbaik) akan mendapatkan bunga ini.’

Sewaktu mendengar apa yang dikatakannya,

keempat bidadari itu mengucapkan bait berikut:

Wahai Nārada, Anda adalah brahmana agung yang

terbaik, Anda tahu kepada siapa harus mengabulkan

permohonan itu:

Kepada siapa pun di antara kami yang Anda berikan

hadiah itu akan dianggap sebagai yang terbaik.

Mendengar perkataan mereka ini, Narada mengucapkan

bait berikut:

Wahai yang berbahagia, perkataan yang demikian

tidaklah benar; Apakah brahmana menyebabkan

timbulnya perselisihan?

Beritahukanlah permohonanmu itu kepada raja para

dewa, jika ingin mengetahui siapa yang terbaik.

Kemudian Sang Guru mengucapkan bait berikut ini:

Dengan rasa bangga akan kecantikan dan rasa

keinginan yang kuat, yang dipicu oleh brahmana cerdik,

mereka pergi menghadap kepada Sakka, raja para

dewa, untuk mengetahui siapa yang terbaik di antara

mereka.

Ketika mereka berdiri, ia menanyakan pertanyaan

ini dengan berkata:

Para bidadari ini demikian seriusnya dalam pencarian

mereka, dengan segala hormat Sakka menyapa mereka,

Wahai kalian yang memiliki kecantikan yang setara,

siapakah yang mengganggu kedamaian kalian dengan

perselisihan?

Ditanya demikian, mereka menjawab:

Nārada, brahamana agung yang dapat mengunjungi

segala alam, yang berjalan dalam kebenaran, yang tidak

melakukan perbuatan selain perbuatan baik dan benar,

berkata demikian di ketinggian Gunung Gandhamādana;

‘Beritahukanlah permohonanmu itu kepada raja para

dewa, jika ingin mengetahui siapa yang terbaik.’

Mendengar ini, Sakka kemudian berpikir, “Jika kukatakan

salah satu dari keempat putriku ini adalah yang terbaik di antara

yang lainnya, maka yang lainnya akan menjadi marah. Ini adalah

sebuah permasalahan yang tidak mungkin diselesaikan olehku;

akan kukirim mereka kepada Kosiya, sang petapa di Himalaya: ia

pasti dapat memecahkan permasalahan ini untuk mereka.” Maka

ia berkata, “Saya tidak bisa memutuskan untuk permasalahan

kalian ini. Di daerah pegunungan Himalaya ada seorang petapa

yang bernama Kosiya: kepadanya akan kukirimkan makanan

dewa-ku. Ia selalu makan dengan berbagi kepada yang lain,

dan dalam membagikan kepada yang lain, ia hanya memberikan

kepada yang baik/bajik. Siapa di antara kalian yang

mendapatkan pembagian makanan darinya akan menjadi yang

terbaik.” Setelah berkata demikian, ia mengulangi bait berikut ini:

Petapa suci, yang tinggal di hutan nan luas di sana, tidak

akan menyentuh makanannya dengan tidak berbagi;

Kosiya, dengan pemberian darinya, akan memberikan penilaian,

ia yang mendapatkan pemberian darinya akan menjadi

yang terbaik.

Kemudian Sakka memanggil Matali dan

mengutusnya menghadap sang petapa, dan sebagai pesan

kepada dirinya, ia mengulangi bait berikut:

Di lereng pegunungan Himalaya, tempat Sungai Gangga

mengalir, ke arah selatan seorang petapa suci tinggal:

Mātali, bawalah ambrosia ini kepadanya,

makanan dan minuman cukup sulit diperolehnya.

Kemudian Sang Guru berkata:

Atas permintaan raja dewa, Mātali berangkat,

dengan sebuah kereta yang ditarik oleh seribu kuda;

Tanpa terlihat segera ia berdiri di depan tempat

pertapaan itu dan mempersembahkan ambrosia,

makanan dewa, kepada petapa suci.

Kosiya menerimanya dan dengan masih dalam keadaan

berdiri, mengucapkan bait-bait berikut:

Suatu api pengorbanan tempat saya bangkit,

memuji matahari yang menghilangkan

segala kemurungan,

Sakka yang mahatinggi di alam dewa—siapa lagi?—

mempersembahkan ambrosia kepadaku.

Putih bak mutiara, tiada tara,

harum semerbak dan bersih suci, indah luar biasa,

tak pernah mataku melihatnya sebelumnya;

Apa yang dewa letakkan di tanganku ini?

Kemudian Matali berkata:

Saya datang, wahai petapa agung, diutus oleh Sakka,

dengan segera untuk membawakan kepadamu

makanan dewa ini:

Makanan terbaik, mohon Anda makan tanpa ada rasa

takut, yang Anda lihat ini adalah Mātali, sais kereta dewa.

Dengan memakan ini, dua belas hal buruk akan lenyap;

rasa lapar, rasa haus, rasa tak puas, rasa sakit (pada

jasmani), rasa lelah, rasa marah, rasa benci,

perselisihan, perkataan tidak benar (fitnah), rasa dingin,

rasa panas, dan kemalasan—

makanlah inti sari dari dewa ini, tidak ada yang tidak

menginginkannya.

Mendengar ini, untuk menjelaskan bahwa ia telah

bertekad melatih selalu berbagi (pemberian derma), Kosiya

mengucapkan bait berikut ini:

Adalah hal yang salah bila saya makan sendirian, jadi

suatu hari kubuat suatu tekad:

Tidak menyentuh makanan jika tidak dapat memberikan

sebagian darinya kepada yang lain,

Makan makanan sendirian tidak pernah disetujui oleh

orang-orang yang berpikiran mulia,

ia yang tidak berbagi dengan yang lainnya

tidak akan mendapatkan kebahagiaan.

Dan ketika Matali menanyakan kepadanya dengan

berkata, “Bhante, apa yang salah yang Anda temukan dalam

makan makanan tanpa memberikan sebagian kepada yang lain,

sehingga Anda mengambil tekad ini?” ia menjawab:

Semua yang melakukan pezinaan atau yang melukai

wanita, yang orang bajik kecam dan cela, yang

mengkhianati temannya, dan yang kikir, yang terburuk

dari semuanya—semoga saya tidak pernah

menjadi demikian,

Tak setetes air pun akan kusentuh tanpa

membagikannya dengan yang lain.

Kepada pria dan wanita dermaku kuberikan,

orang bajik akan memuji perbuatan demikian orangorang

yang memberi derma

dengan barang-barang mereka;

Semua yang murah hati di alam ini dan menjauhkan diri

dari sifat kikir, disukai oleh semuanya, akan dikenang

selamanya sebagai orang yang baik dan benar.

Mendengar ini, Matali kemudian berdiri di hadapannya

dalam wujudnya yang tampak oleh mata. Kala itu, keempat

bidadari tersebut berdiri di keempat arah mata angin; Siri berdiri di sebelah timur, Asa di selatan, Saddha di sebelah barat, dan

Hiri di sebelah utara.

Menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Empat bidadari dengan wujud keemasan demikian

terang; Asa, Saddha, Siri dan Hiri, atas perintah dari

Sakka diutus ke alam manusia,

melangkah ke kediaman Kosiya.

Wanita-wanita yang memiliki wujud yang bersinar

laksana api masing-masing berdiri di keempat arah;

Di depan Mātali, petapa suci dengan perasaan riang

menyapa satu dari mereka,

‘Siapakah Anda, yang seperti bintang di pagi hari,

menyinari langit sebelah timur nan jauh di sana?

Rupamu dalam busana yang berkilau terang keemasan

beritahukanlah namamu, wahai bidadari.’

‘Namaku adalah Siri, yang dipuja oleh manusia,

membela orang-orang yang tidak bersalah:

Untuk meminta makananmu itu saya berada di sini;

Penuhilah permintaanku ini.

Kuberikan kejayaan kepada siapa saja yang kuhendaki,

dan kupenuhi segala keinginannya;

Petapa agung, ingatlah namaku Siri, berikanlah makanan

dewamu itu kepadaku.’

Ketika mendengar ini, Kosiya berkata:

Orang bisa saja menjadi ahli, bajik, bijaksana, cendekia

melebihi pemikirannya, tetapi tanpa dirimu mereka tidak

bisa berhasil tanpa dirimu;

Dalam hal ini, kusalahkan dirimu atas perbuatan buruk.

Orang lain yang malas, serakah, buruk, berasal dari

keluarga yang buruk pula:

Tetapi dengan berkahmu mereka menjadi kaya,

membuat orang dari keluarga baik-baik sebagai

budaknya.

Karenanya Anda kuanggap sebagai yang tidak benar

dan dungu, Siri, tanpa menyadari berteman dengan

orang dungu dan merendahkan orang bijak;

Tidak ada bagianmu untuk mendapatkan tempat duduk

atau air minum, apalagi makanan dewa(ku). Pergilah,

saya tidak menyukaimu.

Maka segera ia pun menghilang dari pandangan.

Kemudian untuk berbincang dengan Asa, ia berkata:

Siapakah Anda, yang bergigi demikian bersih nan putih,

dengan cincin emas yang berkilau dan gelang manikmanik

permata,

dalam busana seperti warna ombak laut dan di kepalamu

terdapat hiasan menyerupai rumput kusa?

Seperti seekor rusa yang terkena panah pemburu,

matamu terlihat sayu seperti makhluk yang keheranan,

wahai wanita yang memiliki tatapan lembut, siapakah

sanak saudaramu di tempat ini, sehingga mendatangi

hutan kesepian ini tanpa rasa takut?

Kemudian Asa mengucapkan bait berikut ini:

Tak ada sanak saudaraku di tempat ini, dari satu

kediaman Sakka yang disebut Masakkasāra, terlahir

diriku sebagai bidadari:

Untuk meminta makanan dewamu itu, Asa datang

menampakkan dirinya di sini;

Dengarlah, wahai petapa suci, dan kabulkanlah

permintaanku ini.

Ketika mendengar ini, Kosiya berkata, “Mereka

katakan bahwa siapa saja yang membuatmu senang, maka

kepadanya akan Anda berikan buah dari asa (harapan) yaitu

mengabulkan asa-nya, dan siapa saja yang tidak membuatmu

senang, maka tidak akan Anda kabulkan asa-nya. Keberhasilan

tidak menghampirinya karena dirimu dalam hal ini, tetapi Anda yang menyebabkan kehancurannya,” dan dengan perumpamaan, ia berkata:

Dengan asa (di dalam diri), para saudagar mencari harta

di tempat-tempat nan jauh, dan dengan kapal

mengarungi samudra berombak besar:

Acap kali mereka tenggelam dan tak muncul kembali,

ataupun jika selamat, mereka kehilangan kekayaan.

Dengan asa (di dalam diri), para petani membajak

sampai pada masa menabur benih bekerja dengan

kemampuan terbaik mereka;

Tetapi ketika wabah, atau kekeringan melanda, tak ada

hasil panen yang dapat dinikmati sebagai hasil kerja

keras mereka.

Orang-orang yang mencari kesenangan, terdorong oleh

asa mereka, berusaha mengambil hati dan demi tuan

mereka melakukan tindakan gagah berani,

Karena tertekan oleh musuh dari segala sisi mereka pun

terjatuh, dan dalam pertempuran demi tuan mereka,

kehilangan nyawa dan segalanya.

Biji-bijian dan harta kekayan ditinggalkan untuk sanak

keluarganya, dengan asa untuk terlahir di alam

menyenangkan, mereka menjalani siksaan dengan

keras, dan dengan jalan yang salah mereka terlahir di

alam menyedihkan.

Penipu manusia, permintaanmu adalah hal yang sia-sia,

jauhkanlah dirimu dari keinginan akan permintaan ini;

Tidak ada bagianmu untuk mendapatkan tempat duduk

atau air minum, apalagi makanan dewa(ku). Pergilah,

saya tidak menyukaimu.

Sama halnya dengan bidadari sebelumnya, setelah

ditolak permintaannya, Asa pun langsung menghilang dari

pandangan. Kemudian untuk berbincang dengan Saddha, ia

mengucapkan bait berikut ini:

Bidadari terkenal yang mengenakan busana luar biasa

terang menyala, yang berdiri di sebelah barat

menandakan ketidakberuntungan, rupamu dalam busana

yang berkilau terang keemasan,

beritahukanlah namamu, wahai bidadari.

Kemudian ia (Saddha) mengucapkan satu bait berikut:

Namaku adalah Saddha, yang dipuja oleh manusia,

membela orang-orang yang tidak bersalah:

Untuk meminta makananmu itu saya berada di sini;

Penuhilah permintaanku ini.

Kemudian Kosiya berkata, “Dengan memercayai katakata

dari satu orang dan kemudian orang berikutnya akan

melakukan ini dan itu, manusia-manusia itu lebih banyak

melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan daripada melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dan semuanya ini

terjadi dikarenakan dirimu,” dan ia mengulangi bait-bait berikut:

Dengan keyakinan (di dalam diri), orang-orang kadang

kala memberikan derma, menjalankan pengendalian diri

dan latihan moralitas:

Tetapi kadang kala pula dikarenakan keyakinan, mereka

melakukan perbuatan buruk, berbohong, menipu, memfitnah.

Dengan memiliki istri yang sederhana, setia dan berasal

dari keluarga baik-baik, seorang laki-laki berhati-hati dan

mawas diri, dapat melegakan keinginannya dalam hal ini,

akan tetapi ia juga mungkin menaruh semua

kepercayaannya kepada seorang pelacur.

Dikarenakan dirimu, wahai Saddha, timbullah perzinaan,

meninggalkan yang baik menjalankan yang buruk;

Tidak ada bagianmu untuk mendapatkan tempat duduk

atau air minum, apalagi makanan dewa(ku). Pergilah,

saya tidak menyukai dirimu.

Ia juga sama halnya langsung menghilang dari

pandangan. Kemudian untuk memulai perbincangan dengan Hiri

yang berdiri di arah utara, Kosiya mengulangi dua bait berikut:

Seperti fajar yang menggantikan gelapnya malam,

demikianlah kecantikanmu yang terlihat olehku;

Wahai bidadari dengan rupa demikian anggun,

Beritahukanlah namamu dan katakanlah siapa dirimu.

Seperti suatu tanaman lembut yang akar-akarnya

mendapat makanan dalam tanah tersebar seperti

kobaran api, dedaunan merahnya yang gugur oleh

hembusan angin musim panas,

mengapa Anda melihatku dengan malu-malu, seakanakan

lemah untuk berbicara, berdiri diam membisu?

Kemudian ia (Hiri) mengucapkan bait berikut:

Namaku adalah Hiri, yang dipuja oleh manusia,

yang membantu manusia-manusia tidak berbuat buruk;

Untuk meminta makananmu saya berada di sini,

tetapi tidak berani menyebutkan rincian permintaanku;

menuntut adalah yang segan dilakukan oleh wanita.

Ketika mendengar ini, petapa tersebut mengucapkan dua bait berikut:

Tidak perlu bagimu memohon dan menuntut padaku,

untuk menerima apa yang benar dan seharusnya didapatkan:

Kuberikan padamu permintaan yang tak berani Anda

katakan, terimalah makanan ini yang Anda hendaki.

Bidadari yang berbusana keemasan, kumohon Anda

berkenan makan bersamaku di kediamanku hari ini:

Selain menawarkanmu makanan-makanan lezat lainnya,

juga makanan dewa ini akan kubagi bersama denganmu.

Kemudian bait-bait berikutnya diucapkan oleh Ia Yang

Tercerahkan Sempurna:

Demikian Hiri, bidadari yang berjaya, disambut sebagai

tamu di kediaman Kosiya atas permintaannya:

Buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan (akar-akaran)

berlimpah ruah di sana, dan makhluk-makhluk suci dapat

ditemukan di sekitarnya.

Di sini beragam jenis tumbuhan yang berbunga dapat

terlihat dalam belukar lebat itu, mangga, piyāla, nangka,

kiṃsuka; pohon sala dan jambu menghiasi bagian

tengah, pohon bodhi dan pohon ara (tampuk pinang)

tampak merindang.

Di sini terdapat beragam jenis bunga dengan aroma

wangi menyebar luas,

di sini dapat pula ditemukan padi dan kacang-kacangan:

Rumpun pohon pisang terlihat di mana-mana, dan pohon

bambu tumbuh lebat berkelompok.

Di sebelah utara, diapit di kedua sisi oleh tepi yang datar

dan dihidupi oleh aliran air yang jernih,

terdapat sebuah kolam.

Di kolam itu beragam jenis ikan215 bersenang-senang

sesuka hati mereka menikmati beragam makanan

berlimpah ruah yang menghidupi mereka.

Di sana beragam jenis burung menikmati makanan dan

minuman yang berlimpah ruah jua, burung angsa,

burung pucung, merak, angsa emas, elang (pemakan

ikan), dan tekukur dapat terlihat.

Di sana beragam jenis hewan liar menjadikannya

sebagai tempat pelepas dahaga, singa, harimau, babi,

beruang, hiena (anjing hutan), serigala.

Kerbau, badak, dan banteng juga ada di sini, bersama

dengan kijang, rusa besar, kawanan babi hutan, rusa

merah dan jenis lainnya, serta kucing dengan telinga

yang menyerupai kelinci terlihat.

Landaian gunung dihiasi oleh indahnya beragam

tumbuhan yang merindang dan gema suara kicauan

burung yang menghuninya.

Demikianlah Yang Terberkahi melantunkan pujian

terhadap (keadaan sekitar) kediaman Kosiya. Kemudian untuk

menjelaskan cara Hiri masuk ke dalamnya, Beliau berkata:

Bidadari anggun yang bersandar pada suatu cabang,

seperti kilat yang muncul di tengah badai, langsung

menuju ke kediaman petapa itu.

Sebuah tempat duduk yang bagus disiapkan untuknya,

dengan pernak-pernik di atasnya, semuanya disatukan

oleh rumput kusa, beralaskan kulit kijang.

Dan demikian kepada Hiri, petapa agung itu berkata:

‘Tempat duduk ini disiapkan untukmu; silakan duduk.’

Kemudian, dengan segera, sang petapa memberikan air

bersih dengan sehelai daun yang baru saja

dikumpulkannya,

Dan mengetahui apa yang menjadi keinginan hatinya,

dengan senang hati ia memberikan makanan dewa itu

kepadanya.

Menerima hadiah sambutan itu di tangannya, dalam

perasaan sukacita bidadari berujar demikian kepada

orang suci itu:

‘Anda telah memberikan pujaan dan kemenangan

kepadaku, sekarang saya akan kembali ke kediaman

surgawiku.’

Wanita itu dengan rasa bangga akan kehormatan,

setelah mendapat persetujuan dari Kosiya,

kembali kepada Indra,

‘Lihatlah,’ katanya dengan keras, ‘dewa bermata seribu,

ambrosia yang ada di sini—berikanlah hadiah itu

kepadaku.’

Kemudian Sakka dan semua penghuni alam dewanya

memberi hormat kepada bidadari tiada tara,

dan ketika ia duduk di takhta barunya, dewa-dewa yang

ada di hadapannya dan juga manusia memujanya.

Selagi mereka memberikan penghormatan

demikian kepadanya, terlintas dalam pikiran Sakka, “Apa yang

menjadi alasan mengapa Kosiya memberikan ambrosia itu hanya

kepada putriku ini dan menolak yang lainnya?” Untuk

mendapatkan kepastian akan alasannya, ia kembali mengutus

Matali (mencari jawabannya).

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru

mengucapkan bait berikut:

Demikian Sakka, raja dewa di Alam Tāvatiṁsā,

memanggil Mātali sekali lagi dan berkata,

‘Pergi dan mintalah petapa suci itu jelaskan mengapa Hirī

(Hiri) yang mendapatkan ambrosia itu.’

Mematuhi perkataannya, Matali berangkat menuju ke

sana dengan mengendarai kereta yang disebut Vejayanta.

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Demikian Mātali meluncurkan sebuah kereta dalam

melakukan perjalanan di angkasa, dengan segala

perlengkapan dalam keanggunannya yang luar biasa,

tiang emasnya, emas yang amat berharga, dan segala

kerangkanya diperindah dengan hiasan emas.

Burung merak bergaris keemasan tidaklah sedikit

jumlahnya, kuda, sapi, gajah, harimau, macan kumbang

juga, terlihat di sini kijang dan rusa seperti siap bertempur,

terlihat di sini juga dengan batu permata burung-burung

lainnya yang beterbangan.

Mereka menggunakan seribu kuda terbaik berwarna

keemasan, yang masing-masing kuat seperti gajah

muda, suatu pandangan luar biasa untuk dilihat;

Bagian dada mereka dihubungkan oleh satu jaringan,

disertai pula dengan untaian bunga, dengan tali kekang

yang tidak ketat, dengan hanya ucapan satu kata,

secepat angin mereka berlari.

Ketika Mātali menaiki kereta surgawi ini dengan satu

guncangan, cakrawala di sepuluh arah menggemakan

suaranya:

Di saat ia melewati perjalanan di angkasa, ia membuat

bumi berguncang, langit dan laut dengan bebatuan dan

pepohonan yang bergoyang.

Segera setelah sampai di kediamannya, memiliki

keinginan untuk memberi hormat kepada petapa suci itu,

ia mengosongkan satu bahunya,

dan untuk berbicara kepada brahmana agung itu,

seorang yang bijaksana dan cendekia, sangat ahli dalam

pengetahuan, demikian Mātali memulainya:

Dengarlah, wahai Kosiya, kata-kata dan pesan dari Indra

yang kubawa ini, raja para dewa, atas apa yang ingin

diketahuinya,

‘Permintaan dari Asa, Saddha, dan Siri tidak Anda

kabulkan, mengapa harus Hiri yang mendapatkannya?

Mendengar perkataannya ini, petapa itu

mengucapkan bait berikut:

Wahai Mātali, bagiku Siri adalah wanita yang tidak

berkeahlian, Saddha menunjukkan ia adalah wanita yang

selalu berubah, Asa menyukai para penipu, melanggar

janjinya,

sedangkan Hiri adalah satu-satunya yang berada dalam

jalan yang bajik dan benar.

Dan sekarang untuk memuji kebajikan (kualitas bagus)

dari Hiri, ia berkata:

Para gadis yang masih tinggal di dalam rumah mereka,

selalu terjaga dengan baik,

para wanita yang telah melewati masanya, seperti yang

tinggal bersama suami mereka, sewaktu-waktu ketika

timbul nafsu berahi dalam diri,

mendengar suara Hiri (suara hati karena segan), mereka

akan berpikir sekali lagi, dan padamlah nafsu bejat.

Ketika panah dan tombak beterbangan dalam suatu

pertempuran, dan dalam keadaan rusuh, banyak orang

terjatuh dan lari menyelamatkan diri,

mendengar suara Hiri, mereka akan berpikir sekali lagi,

meskipun nyawa taruhannya, dan mereka akan berdamai

kembali, seolah-olah seperti diserang oleh kepanikan217.

Seperti pantai yang menenangkan hantaman ombak laut,

demikianlah Hiri (rasa segan berbuat jahat)

mengendalikan perbuatan dari orang-orang yang jahat.

Kalau begitu, Mātali, cepatlah kembali kepada Indra dan

jelaskan padanya, para ariya di seluruh penjuru pasti

memilih Hiri tanpa keraguan.

Mendengar ini, Mātali (Matali) mengulangi bait berikut:

Siapa gerangan, Kosiya, yang memberikan pandangan

ini kepadamu, apakah Indra, Brahma, atau mungkin Pajāpati?

Hiri adalah putri dari Indra, dan di alam dewa, ia

mendapatkan kejayaan sebagai yang terbaik.

Selagi berkata demikian, pada saat itu juga Kosiya harus

mengalami tumimbal lahir. Kemudian Matali berkata kepadanya,

“Kosiya, kehidupanmu akan berakhir (segera): latihanmu

dalam pemberian (derma) telah selesai. Apa lagi yang harus

Anda lakukan di alam manusia? Mari kita pergi ke alam dewa

sekarang,” dan dengan berpikiran seperti ini, ia mengucapkan

bait berikut:

Mari, petapa suci, segera kita naik ke dalam kereta

kesayanganku, dan biarlah diriku membawamu ke alam

menyenangkan, tempat Tāvatiṁsā berada.

Indra lama menantikan dirimu, keluarga dari Indra,

hari ini hubungan kekeluargaan dengan Indra akan Anda

dapatkan.

Selagi Matali berkata demikian, Kosiya, setelah

meninggal dunia, muncul sebagai dewa tanpa intervensi dari

orang tua, dan berdiri di kereta surgawi tersebut. Kemudian

Matali membawanya ke hadapan Sakka. Ketika melihatnya,

Sakka merasa amat bahagia dan menikahkan putrinya, Hirī,

kepadanya sebagai permaisuri, dan menganugerahkan

kepadanya kekuasaan tanpa batas.

Ketika meninjau keadaan yang terjadi ini, Sang Guru

berkata: “Disebabkan oleh jasa-jasa kebajikan dari makhluk

itulah ia menjadi demikian suci kembali,” dan Beliau mengulangi

bait terakhir berikut:

Demikianlah perbuatan-perbuatan dari orang suci ini

membawanya ke akhir yang menyenangkan, dan

menikmati buah dari perbuatan kebajikannya.

Ia yang memberikan ambrosia kepada Hiri, setelah

meninggal, langsung menjadi anggota keluarga dari

Indra, sang raja dewa.

Sang Guru menyampaikan uraian kisahnya sampai di sini dan berkata, “Bukan hanya kali ini, para bhikkhu, tetapi juga di masa lampau saya mengubah orang yang tak mau memberi, yang benar-benar kikir ini,” dan setelah berkata demikian, Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada waktu itu, Uppalavaṇṇā adalah Hirī (Hiri), bhikkhu yang dermawan itu adalah Kosiya, Anuruddha adalah Pañcasikha, Ānanda adalah Mātali, Kassapa adalah Suriya, Moggallāna adalah Canda, Sāriputta adalah Nārada, dan aku adalah Sakka.

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 5

 

 

Tagged ,

MAHĀHAṀSA JĀTAKA

“Ke sana perginya burung-burung itu,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Veḷuvana (Veluvana), tentang bagaimana Ānanda Thera (Ananda) mengorbankan hidupnya. Awal dari munculnya kisah ini sama seperti kisah sebelumnya yang telah diceritakan di atas, tetapi dalam kesempatan ini, sewaktu Sang Guru menceritakan kejadian masa lampau yang berhubungan dengan kisah berikut.

Dahulu kala di Benares, seorang raja bernama Saṁyama

(Samyama) memiliki seorang permaisuri yang bernama Khemā.

Kala itu, Bodhisatta dengan pengikutnya berupa sembilan puluh

ribu ekor burung angsa berdiam di Gunung Cittakūṭa. Pada suatu

subuh, Ratu Khemā melihat suatu penampakan dalam tidurnya:

Beberapa ekor angsa berwarna keemasan datang, duduk di

takhta kerajaan, dan mengkhotbahkan hukum kebenaran dengan

suara merdu. Sewaktu ratu mendengarkan dan menyatakan

persetujuannya, serta belum puas akan pemaparan kebenaran

itu, hari sudah terang, angsa-angsa itu mengakhiri

pemaparannya dan terbang pergi melalui jendela yang terbuka.

Ratu yang bergegas bangkit kemudian berteriak, “Tangkap

mereka, tangkap angsa-angsa itu sebelum mereka terbang

pergi,” dan ketika ia menjulurkan tangannya tersebut, ia pun

terbangun. Mendengar perkataannya, para pelayan berkata,

“Ada di mana angsa-angsanya?” dan tersenyum lembut. Ratu

pun menyadari bahwa itu adalah sebuah mimpi, dan berpikir,

“Saya tidak mungkin melihat hal yang tidak ada: Pasti ada angsa

emas di dunia ini. Akan tetapi, jika kukatakan kepada raja seperti

ini, ‘Saya ingin mendengar khotbah kebenaran yang dipaparkan

oleh angsa-angsa emas,’ maka raja akan membalas, ‘Tidak

pernah kita lihat adanya angsa emas; tidak ada itu yang

namanya khotbah kebenaran oleh angsa-angsa emas,’ dan raja

tidak akan menghiraukannya. Tetapi, jika kukatakan, ‘Ini adalah

sebuah idaman (keinginan) dari seorang wanita yang sedang

hamil,’ raja akan mencari mereka dengan cara apa pun dan

dengan demikian keinginanku akan terpenuhi.” Maka dengan

berpura-pura sakit, ratu memberikan perintah kepada para

pelayannya dan kemudian berbaring tidur. Ketika duduk di takhta

kerajaannya dan tidak melihat adanya kehadiran sang ratu di waktu yang biasanya ia terlihat, raja pun menanyakan

keberadaan Ratu Khemā. Sewaktu mendengar bahwa ratu

sedang sakit, raja langsung pergi menjumpainya, dan dengan

duduk pada ranjangnya di satu sisi, mengusap punggungnya dan

menanyakan apakah ia sakit. “Paduka,” jawabnya, “saya tidaklah

sakit, melainkan sedang mengidam sebagai seorang wanita yang

hamil.” “Katakanlah, Ratu, apa yang diinginkan dan segera

kubawakan untukmu.” “Paduka, saya ingin mendengar khotbah

kebenaran dari seekor angsa emas, dengan dirinya yang duduk

di takhta kerajaan, di bawah naungan payung putih, kemudian

saya ingin memberikan penghormatan kepadanya dengan

untaian-untaian bunga dan tanda-tanda hormat lain sebagainya,

dan menyatakan persetujuanku kepadanya. Jika keinginanku ini

dapat terpenuhi, maka diriku akan baik-baik saja. Akan tetapi,

jika tidak dapat terpenuhi, maka tidak akan ada kehidupan lagi

bagiku.” Kemudian raja menghibur dirinya dan berkata, “Jika

memang ada hal seperti ini di alam manusia, pasti akan

kudapatkan untukmu: Janganlah mengkhawatirkannya.” Beranjak

keluar dari kamar ratu, raja berdiskusi dengan para menterinya,

dengan berkata, “Dengarkanlah semuanya, Ratu Khemā tadi

berkata, ‘Jika dapat kudengar khotbah kebenaran oleh seekor

angsa emas, maka diriku akan baik-baik saja; sebaliknya, tidak

akan ada kehidupan lagi bagiku.’ Katakanlah, apakah ada yang

namanya angsa emas itu?” “Paduka, kami belum pernah melihat

ataupun mendengar tentang angsa emas.” “Siapa gerangan yang

tahu tentangnya?” “Para brahmana, Paduka.” Raja memanggil

para brahmana dan bertanya kepada mereka, dengan berkata,

“Apa ada angsa emas yang mengkhobatkan kebenaran?” “Ya, Paduka, menurut tradisi turun-temurun kami, bahwa ikan,

kepiting, kura-kura, rusa, burung merak, angsa memang ada

yang berwarna keemasan. Dikatakan bahwasannya di antara

mereka itu, keluarga dari angsa Dhataraṭṭha adalah yang paling

bijak dan terpelajar. Ditambah dengan manusia, maka terdapat

tujuh makhluk yang dapat ditemukan berwarna keemasan.” Raja

menjadi amat senang dan bertanya, “Di manakah gerangan

tempat tinggal dari angsa-angsa emas yang terpelajar itu?” “Kami

tidak tahu, Paduka.” “Kalau begitu, siapa yang mengetahuinya?”

Dan ketika mereka menjawab, “Para pemburu,” raja segera

mengumpulkan semua pemburu yang terdapat di kerajaannya

dan bertanya kepada mereka, “Tāta, di manakah tempat

tinggal dari angsa emas Dhataraṭṭha?” Kemudian seorang

pemburu berkata, “Paduka, disebutkan di dalam tradisi turuntemurun

kami, mereka berdiam di daerah pegunungan Himalaya,

tepatnya di Gunung Cittakūṭa.” “Apakah Anda tahu bagaimana

cara menangkap mereka?” “Saya tidak tahu, Paduka.” Raja

kemudian memanggil para brahmana bijaknya dan setelah

memberitahu mereka bahwa angsa emas terdapat di Gunung

Cittakūṭa, ia menanyakan apakah mereka tahu bagaimana cara

menangkap angsa-angsa itu? Mereka berkata, “Paduka,

mengapa harus kita yang pergi dan menangkap mereka?

Dengan satu siasat, kita dapat membawa mereka datang ke kota

dan menangkap mereka.” “Siasat apakah itu?” “Di sebelah utara kota ini, Paduka, perintahkanlah orang untuk membuat sebuah

danau yang lebarnya tiga gāvuta dan panjangnya juga tiga

gāvuta, dengan nama Danau Khema, diisi dengan air, ditanam

dengan beragam jenis biji-bijian dan juga dengan lima jenis

teratai. Kemudian serahkanlah penjagaannya kepada seorang

pemburu yang ahli dan tidak boleh ada seorang pun yang

mendekatinya, dan dengan menempatkan penjaga di keempat

sudutnya, umumkanlah bahwa itu adalah sebuah danau yang

dilindungi. Ketika mendengar kabar tentang danau ini, segala

jenis burung (unggas) akan mendatanginya. Dan angsa-angsa

ini, yang mendengar kabar tentang betapa amannya danau ini

dari teman-temannya, akan datang mengunjunginya. Saat itu,

Anda dapat menangkap mereka dengan menggunakan jerat.”

Setelah mendengar semua ini, raja memerintahkan orang untuk

membuat sebuah danau seperti yang mereka uraikan, di tempat

yang mereka sebutkan, dan memanggil seorang pemburu yang

ahli, memberikan kepadanya seribu keping uang dengan berkata,

“Mulai hari ini, berhentilah dari pekerjaanmu: Saya akan

menghidupi istri dan keluargamu. Jagalah danau yang aman ini

dengan hati-hati dan jauhkanlah dari jangkauan orang-orang,

umumkanlah di keempat sudutnya bahwa danau ini adalah

danau yang dilindungi, dan katakan bahwa semua burung yang

datang dan pergi adalah milikku. Dan ketika angsa-angsa emas

datang ke danau ini, Anda akan mendapatkan kehormatan yang

besar.” Dengan mengucapkan kata-kata yang mendorong

semangat ini, raja menugaskannya untuk menjaga danau yang

dilindungi itu. Sejak hari itu, si pemburu berbuat sesuai dengan

apa yang diperintahkan oleh raja kepadanya dan menjaga tempat tersebut. Dikarenakan ia adalah yang menjaga Danau

Khema, maka ia dikenal sebagai Khemaka (Pemburu Khema).

Mulai hari itu, segala jenis burung datang ke danau itu. Dan dari

kabar yang disebarkan dari yang satu kepada yang lainnya

bahwa danau itu adalah danau yang aman dan damai, berbagai

jenis angsa yang berbeda pun mendatanginya. Yang pertama

datang adalah angsa rumput, yang berikutnya datang dari kabar

yang disebarkan oleh mereka adalah angsa (yang berwarna)

kuning, dengan cara yang sama seperti sebelumnya yang

berikutnya datang adalah angsa merah, angsa putih dan angsa

pāka. Setelah mereka datang, Khemaka melapor demikian

kepada raja: “Lima jenis angsa, Paduka, telah datang, dan

mereka tetap mencari makan di danau. Karena sekarang angsa

pāka telah datang, maka beberapa hari lagi angsa emas akan

datang: Janganlah cemas, Paduka.” Mendengar kabar ini,

raja membuat pengumuman di seluruh kota dengan tabuhan

genderang bahwa tak seorang pun boleh pergi ke danau itu, dan

siapa pun yang melanggarnya maka tangan dan kakinya akan

dipotong, serta barang-barang kebutuhan rumah tangganya akan

disita; Mulai saat itu, tak ada seorang pun yang pergi ke sana.

Waktu itu, angsa pāka berdiam di tempat yang dekat dari

Cittakūṭa di Gua Emas. Mereka adalah burung angsa yang kuat

dan warna badan mereka berbeda dengan warna badan dari

angsa emas Dhataraṭṭha, tetapi badan putri dari raja angsa pāka

ini berwarna emas. Maka ayahnya yang berpikir bahwa putrinya

itu adalah pasangan yang cocok untuk Raja Dhataraṭṭha, mengirimnya ke sana untuk dijadikan sebagai istri. Putrinya ini

merupakan kesayangan yang sangat berharga di mata

suaminya, dan disebabkan oleh hal ini lah, maka kedua keluarga

angsa ini menjadi amat akrab. Suatu hari, angsa-angsa yang

berada di bawah pimpinan Bodhisatta menanyakan hal ini

kepada angsa-angsa pāka, “Barusan dari mana kalian

mendapatkan makanan?” “Kami mencari makanan di dekat

Benares, di Danau Khema. Di manakah kalian mencari

makanan?” “Di tempat anu,” jawab mereka. “Mengapa kalian

tidak pergi ke tempat kami? Tempat itu adalah sebuah danau

yang indah, dikerumuni oleh berbagai jenis burung, ditumbuhi

oleh lima jenis teratai, berlimpah ruah dalam biji-bijian dan buahbuahan,

terdengar banyak suara dengung dari kelompokkelompok

lebah yang berbeda-beda. Di keempat sudutnya

terdapat manusia yang menjaganya dari bahaya. Tak ada

seorang pun yang diperbolehkan untuk mendekat: apalagi untuk

melukai mereka.” Dengan cara demikian ini, mereka

melantunkan pujian terhadap danau yang aman itu. Mendengar

apa yang dikatakan oleh angsa pāka, angsa-angsa itu kemudian

memberitahu Sumukha, “Mereka mengatakan bahwa di dekat

Benares terdapat sebuah danau yang indah, dikerumuni oleh

berbagai jenis burung, ditumbuhi oleh lima jenis teratai,

berlimpah ruah dalam biji-bijian dan buah-buahan, terdengar

banyak suara dengung dari kelompok-kelompok lebah yang

berbeda-beda. Anda beritahukanlah kepada Raja Dhataraṭṭha,

jika ia memberikan izin, maka kami akan pergi dan mencari

makanan di sana.” Sumukha memberitahu sang raja angsa, yang

berpikir, “Manusia itu adalah orang yang penuh dengan siasat dan ahli dalam hal perencanaan. Pasti ada sesuatu di balik

semua ini. Selama ini tidak pernah ada danau yang demikian:

pastinya danau itu dibuat agar dapat menangkap kami.” Dan ia

berkata kepada Sumukha, “Janganlah pergi ke tempat itu. Danau

itu tidak dibuat oleh mereka dengan niat yang baik, danau itu

dibuat agar dapat menangkap kita. Manusia itu adalah orang

yang penuh dengan siasat dan ahli dalam hal perencanaan:

Tetap sajalah di tempat kita mencari makan seperti biasanya.”

Untuk kedua kalinya, angsa-angsa emas itu memberitahu

Sumukha bahwa mereka sangat ingin mengunjungi Danau

Khema, dan Sumukha kemudian menyampaikan keinginan

mereka ini kepada raja. Kemudian Sang Mahasatwa berpikir,

“Saudara-saudaraku tidak lah boleh menjadi terus-terusan cemas

karena diriku: Kita akan pergi ke sana.” Maka ditemani dengan

sembilan puluh ribu angsa, ia pergi dan mencari makan di sana,

bersenang-senang layaknya seekor angsa dan kemudian

kembali ke Cittakūṭa. Khemaka, setelah mereka makan dan

terbang kembali, pergi melaporkan berita ini kepada Raja

Benares. Raja merasa amat senang dan berkata, “Samma

Khemaka, coba tangkaplah satu atau dua ekor angsa itu dan

akan kuberikan kepadamu kehormatan yang besar.” Setelah

mengucapkan kata-kata ini, raja membayarkan biaya

pengeluarannya dan memintanya pergi. Sekembalinya ke tempat

itu, pemburu tersebut duduk di dalam sebuah tempayan yang

besar dan mengawasi pergerakan dari angsa-angsa tersebut.

Para Bodhisatta adalah makhluk yang terbebas dari ketamakan. Oleh karena itu, Sang Mahasatwa hanya memakan biji-bijian di

tempat pertama kali ia mulai hinggap, sedangkan semua yang

lainnya selalu berpindah-pindah, memakan di bagian ini dan di

bagian itu. Maka pemburu tersebut berpikir, “Angsa yang satu ini

bebas dari keserakahan: Ini lah yang harus kutangkap.”

Keesokan harinya sebelum angsa-angsa itu tiba, ia pergi cukup

dekat ke danau tersebut dan dengan bersembunyi di dalam

tempayan, ia tetap duduk di dalamnya dan melihat melalui

lubang dari tempayan tersebut. Pada waktu itu, Sang Mahasatwa

yang diikuti oleh sembilan puluh ribu angsa lainnya turun di

tempat yang sama seperti hari sebelumnya, dan melanjutkan

memakan biji-bijian dari batas hari sebelumnya. Pemburu

tersebut, yang melihat melalui lubang di dalam tempayan

keindahan dari burung yang luar biasa ini, berpikir, “Angsa ini

sebesar sebuah kereta, berwarna keemasan, di lehernya dililiti

oleh tiga garis berwarna merah. Tiga garis yang menuruni bagian

tenggorokan melewati bagian tengah perut, sedangkan tiga garis

lainnya menghiasi dan menuruni bagian punggungnya, dan

badannya bersinar seperti onggokan emas yang terbentuk pada

benang yang terbuat dari kumpulan benang wol emas. Pasti ia

adalah raja dari angsa-angsa ini, dan ini yang akan kutangkap.”

Raja angsa itu, setelah makan di lapangan yang luas,

bersenang-senang di air dan kemudian dikelilingi oleh

kelompoknya terbang kembali ke Cittakūṭa. Selama lima hari, ia

mencari makan dengan cara seperti ini. Pada hari keenam,

pemburu itu memilin suatu tali yang besar dari ekor kuda hitam

dan memasang suatu jerat pada satu tongkat, karena

mengetahui dengan jelas bahwa raja angsa itu akan hinggap di tempat yang sama pada keesokan harinya, di dalam air ia

memasang tongkat yang di atasnya terdapat jerat tersebut.

Keesokan harinya ketika si raja angsa terbang turun ke danau,

kakinya masuk tepat di dalam jerat yang mengikatnya dengan

kuat seperti kuatnya papan besi. Dengan berpikiran untuk

melepaskan jerat tersebut, ia menyentak-nyentakkan kakinya

sekuat tenaga. Pertama, kulitnya yang berwarna keemasan

terkoyak, berikutnya adalah dagingnya yang berwarna

kemerahan terpotong, kemudian uratnya terluka parah, dan yang

terakhir kakinya itu pasti telah putus jika saja ia tidak berhenti

berusaha (membebaskan kakinya), karena terpikir bahwa

makhluk yang cacat tidak akan ada gunanya bagi raja. Ketika

rasa sakit yang demikian itu menyerangnya, raja angsa itu

berpikir, “Jika saya mengeluarkan suara jeritan burung yang

tertangkap, saudara-saudaraku akan menjadi terkejut dan, tanpa

makan dalam keadaan lapar, mereka akan terbang melarikan

diri, kemudian karena tubuh mereka yang masih lemah, mereka

akan jatuh ke dalam air.” Maka dengan menahan rasa sakitnya,

ia tetap berada dalam kuasa jerat tersebut, berpura-pura

memakan padi. Ketika kawanan burung angsa itu telah makan

kenyang dan sedang bersenang-senang ala angsa, ia pun

mengeluarkan suara jeritan burung yang tertangkap. Sewaktu

mendengar suara jeritan ini, kawanan angsa tersebut terbang

kabur, sama seperti yang dijelaskan (dalam kisah) sebelumnya.

Kali ini, Sumukha yang berpikir tentang jeritan tersebut, sama seperti sebelumnya, mencari keberadaannya. Ketika tidak

menemukan Sang Mahasatwa dalam tiga kelompok burung

angsa tersebut, ia berpikir, “Tidak diragukan lagi, sesuatu yang

buruk telah menimpa raja.” Dan ia terbang kembali (ke danau

tersebut dan menemukan Sang Mahasatwa yang sedang

terjerat), dengan berkata, “Jangan takut, Maharaja, saya akan

membebaskan Anda dari jerat ini dengan mengorbankan

nyawaku,” ia mencoba untuk menenangkannya, dan duduk di

tanah. Sang Mahasatwa berpikir, “Sembilan puluh ribu angsa

telah terbang kabur meninggalkanku, dan yang satu ini terbang

kembali sendirian. Saya ingin tahu apakah Sumukha juga akan

terbang meninggalkanku atau tidak ketika si pemburu datang.

Kemudian untuk menguji dirinya, dalam keadaan berlumuran

darah dan dengan bersandar pada tongkat yang terikat pada

jerat itu, ia mengulangi tiga bait berikut:

Ke sana perginya burung-burung itu, angsa-angsa emas,

semuanya dirundung dengan rasa takut,

Wahai Sumukha, pergilah! Apa yang Anda

lakukan di sini?

Saudara-saudaraku telah meninggalkanku, mereka telah

terbang melarikan diri;

Tanpa memikirkan apa pun, mereka terbang pergi.

Mengapa Anda tinggal sendirian (tidak pergi)?

Terbanglah, Sumukha, terbanglah! Persahabatan apa

yang diharapkan dari ia yang tertangkap?

Jangan sia-siakan kesempatan, selagi Anda masih

mampu bebas pergi.

Ketika mendengar ini, Sumukha berpikir, “Raja

angsa ini tidak mengetahui sifat cinta kasihku; ia mengira bahwa

saya hanyalah seorang teman yang mengucapkan kata-kata

sanjungan. Akan kutunjukkan kepadanya betapa besarnya cinta

kasihku,” dan ia mengulangi empat bait berikut:

Tidak, tidak akan kutinggalkan dirimu, Dhataraṭṭha, di

saat masalah menimpamu; melainkan aku akan tetap

tinggal dan berada di sisimu, baik hidup maupun mati.

Tidak akan kutinggalkan dirimu, Dhataraṭṭha, di saat

masalah menimpamu, ataupun kuikuti yang lainnya

dengan tindakan yang tak mulia itu.

Hati dan jiwaku adalah satu denganmu, teman bermain

dan sahabat dari kecil;

Dari semua pengikutmu, diriku dikenal sebagai panglima

yang berani.

Sekembaliku kepada saudara-saudaramu apa yang

harus kukatakan nantinya jika kutinggalkan dirimu dan

terbang kabur tanpa memikirkan apa pun?

Tidak, lebih baik mati daripada hidup, dengan melakukan

perbuatan yang rendah.

Setelah Sumukha mengucapkan empat bait tersebut

seperti mengeluarkan suara singa, Sang Mahasatwa,

memberitahukan sifat bajiknya, berujar:

Sifatmu ini, wahai Sumukha, telah berada pada jalur

yang benar; Tidak meninggalkan pemimpinmu dan

temanmu, mencari tempat yang aman.

Melihat dirimu demikian, tidak ada rasa takut yang

muncul dalam pikiranku; Dalam keadaan gawat ini, Anda

akan menemukan cara untuk menyelamatkanku.

Ketika mereka sedang berbincang demikian, pemburu

yang berdiri di ujung danau yang melihat kawanan angsa terbang

kabur dalam tiga kelompok dan mencari tahu apa arti dari itu,

menoleh ke tempat ia meletakkan jeratnya dan melihat

Bodhisatta yang sedang bersandar pada tongkat tempat jeratnya

terpasang. Dengan perasaan riang gembira, ia menegakkan

punggungnya dan, dengan membawa sebuah pentungan kayu,

bergegas ke tempat itu dan berdiri di hadapan kedua angsa

tersebut, seperti api pada awal nyalanya, dengan kepala berada

tinggi pada posisi di atas mereka dan tumit kakinya tertanam di

tanah berlumpur tersebut.

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Ketika kedua angsa mulia ini berbincang, terlihat si

pemburu yang bergegas, dengan pentungan kayu di

tangannya, datang mendekat ke arah mereka.

Ketika melihat dirinya, Sumukha berdiri di depan raja,

pemimpinnya yang berada dalam penderitaan itu yang

bersemangat.

Jangan takut, wahai angsa mulia, karena rasa takut

tidaklah cocok untuk makhluk sepertimu,

Suatu usaha akan kulakukan dengan tepat, dengan

kebenaran sebagai pembelaanku, dan segera dengan

tindakanku akan kubebaskan dirimu sekali lagi.

Demikian Sumukha menenangkan Sang Mahasatwa,

dan beralih kepada pemburu tersebut, berbicara dalam bahasa

manusia, ia bertanya, “Siapakah namamu, Samma?

Kemudian ia menjawab, “Wahai raja angsa emas, saya dipanggil

Khemaka.” Sumukha berkata, “Jangan berpikir, Teman

Khemaka, bahwa yang tertangkap di dalam jerat tali ekor kuda

yang Anda buat itu adalah seekor angsa biasa. Ia adalah

pemimpin dari sembilan puluh ribu angsa, Raja Dhataraṭṭha. Ia

adalah sosok yang bijak, bajik, dan berada dalam empat poin

merangkul pengikut (orang). Tidak seharusnyalah ia dibunuh.

Saya akan melakukan apa yang seharusnya ia lakukan

(untukmu). Saya juga berwarna keemasan dan demi dirinya akan

kuberikan nyawaku ini. Jika Anda menginginkan bulunya, maka

ambil saja buluku; atau jika Anda menginginkan yang lain dari dirinya, kulit, daging, urat atau tulang, ambillah itu dari badanku.

Lagi, jika Anda menginginkan untuk menjadikannya hewan

peliharaan, maka ambillah diriku, atau jika Anda menginginkan

untuk mendapatkan uang, maka dapatkanlah uang dengan

menjualku: jangan membunuhnya, ia dilimpahi dengan

kebijaksanaan dan kebajikan yang demikian. Jika

membunuhnya, Anda tidak akan dapat melarikan diri dari neraka

dan alam penuh siksaan lainnya.” Setelah demikian menakuti

pemburu tersebut dengan alam neraka dan membuatnya

demikian mendengarkan perkataan manisnya, Sumukha berdiri

mendekat Bodhisatta, berusaha tetap untuk menenangkannya.

Pemburu, yang mendengar perkataannya, berpikir, “Meskipun ia

hanyalah seekor hewan, ia mampu melakukan apa yang tidak

mungkin dilakukan oleh manusia. Karena manusia tidak mampu

bertahan dalam persahabatan. Oh, betapa bijak, pandai

berbicara, dan mulia makhluk ini!” Batinnya diliputi dengan

kegiuran dan kenyamanan, bulunya berdiri, dibuangnya

pentungan kayu itu, mengangkat tangannya dalam sikap anjali,

seperti seseorang yang memuja matahari, ia berdiri sembari

mengucapkan kebajikan dari Sumukha.

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Pemburu yang mendengar apa yang dikatakan oleh

angsa yang pandai bicara itu, dengan bulu yang berdiri

dan sikap anjali memberi hormat.

Tidak pernah terdengar atau terlihat sebelumnya, dalam

bahasa manusia, seekor angsa memaparkan kebenaran

kepada seorang manusia dengan lidahnya sendiri.

Apa hubunganmu dengan angsa ini, di saat yang lainnya

telah terbang kabur melarikan diri, Anda yang masih

berdiri bebas tinggal sendiri di samping angsa yang terjerat?

Ketika ditanya dengan pertanyaan ini oleh pemburu

yang diliputi pikiran bahagia, Sumukha berpikir, “Hatinya mulai

menjadi lembut. Akan kuberitahukan jawabannya untuk

melunakkan hatinya,” dan berkata:

Ia adalah rajaku, wahai musuh para unggas (burung),

saya adalah panglimanya; Tak bisa kutinggalkan dirinya

untuk menghadapi kesulitannya sendiri, kemudian

terbang pergi mencari tempat yang aman.

Tak boleh kubiarkan raja dari sejumlah besar pengikut

ini mati di sini, sendirian;

Kutemukan kebahagiaan berada di dekatnya:

Ia adalah tuanku.

Mendengar pemaparan tentang pelaksanaan

kewajibannya, pemburu itu menjadi bersukacita dan dengan bulu

berdiri, ia berpikir, “Jika saya membunuh raja angsa ini yang

dilimpahi dengan kebajikan dan sifat baik lainnya, maka saya tidak akan terlepas dari empat alam rendah: Biarlah Raja

Benares melakukan apa yang diinginkannya kepada diriku; saya

akan memberikan tawanan ini kepada Sumukha sebagai hadiah

cuma-cuma dan membebaskannya,” dan kemudian

mengucapkan bait berikut:

Anda adalah makhluk mulia, dengan menghormati orang

yang membuatmu masih hidup sampai saat ini;

Terbanglah ke mana Anda suka: kepada rajamu yang

bajik itu kuberikan kebebasannya.

Setelah berkata demikian, si pemburu dengan niat

baik dalam hatinya menghampiri Sang Mahasatwa dan dengan

mematahkan tongkat tersebut, dibaringkannya ia di tanah,

setelah mencabut tongkat tersebut dibebaskannya ia dari

belenggu itu. Kemudian dibawanya angsa itu keluar dari danau

dan, setelah membaringkannya pada rumput kusa, dengan

lembut dilepaskannya jerat yang mengikat kakinya. Dengan

pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih yang besar terhadap

Sang Mahasatwa, ia mengambil air dan membersihkan darah

dari lukanya, membasuhnya berulang-ulang kali. Dikarenakan

kekuatan dari cinta kasihnya, urat kembali menyatu dengan urat,

daging menyatu dengan daging, dan kulit menyatu dengan kulit,

dan kakinya menjadi seperti semula, tidak ada bedanya dengan

kaki yang satunya lagi, dan Bodhisatta duduk dengan gembiranya dalam keadaan seperti sediakala. Kemudian

Sumukha, yang melihat betapa gembiranya si raja angsa

dikarenakan perbuatannya, bersukacita dalam dirinya dan

berpikir, “Laki-laki ini telah memberikan bantuan yang besar

kepada kami, sedangkan kami tidak memberikan apa-apa

kepada dirinya. Jika saja ia menangkap kami dan memberikan

kami kepada para menteri raja, maka ia pasti mendapatkan

banyak uang. Dan jika pun ia menangkap kami untuk dirinya

sendiri, ia dapat menjual kami dan mendapatkan uang juga: Saya

akan menanyakan dirinya.” Maka dalam keinginannya untuk

memberikan sesuatu, Sumukha menanyakan ini dan berkata:

Jika Anda menyiapkan jerat ini atas tujuan sendiri, maka

kebebasan ini kami terima tanpa ada pemikiran apa pun.

Akan tetapi sebaliknya, wahai pemburu, dengan

membiarkan kami bebas tanpa izin dari raja, pastinya ini

adalah suatu tindak pencurian.

Mendengar ini, pemburu tersebut berkata, “Saya tidak

bertujuan menangkap kalian untuk diriku sendiri, saya disuruh

oleh Saṁyama, Raja Benares,” dan kemudian ia menceritakan

kepada mereka tentang seluruh ceritanya dimulai dari waktu ratu

melihat penampakan sampai pada waktu raja mendapat kabar

tentang kedatangan angsa-angsa jenis ini dan berkata, “Samma

Khemaka, coba tangkaplah satu atau dua ekor angsa itu dan

akan kuberikan kepadamu kehormatan yang besar,” dan

memintanya pergi dengan membayarkan biaya pengeluarannya.

Setelah mendengar ini, Sumukha berpikir, “Tanpa

memedulikan kehidupannya sendiri, pemburu ini telah

menimbulkan kesulitan besar dengan membebaskan kami. Jika

kami kembali dari tempat ini ke Cittakūṭa, maka tidak akan ada

yang mengetahui kebijaksanaan dari Raja Dhataraṭṭha ataupun

tindakan (demi) persahabatanku, raja tidak akan menjadi kukuh

dalam lima sila, dan keinginan ratu tidak akan terpenuhi.” Dan

kemudian ia menjawab, “Samma, kalau memang begini

kejadiannya, Anda tidak boleh membiarkan kami pergi: bawalah

kami kepada raja dan ia akan bertindak sesuai dengan apa yang

diinginkannya kepada kami.”

Untuk menjelaskan ini, ia mengucapkan bait berikut:

Anda adalah seorang abdi raja; karenanya harus

memenuhi segala keinginan raja;

Raja Saṁyama yang akan bertindak sesuai dengan apa

yang dikehendakinya.

Mendengar ini, pemburu tersebut berkata, “Wahai yang

mulia, janganlah bersenang hati berjumpa dengan raja.

Sesungguhnya para raja adalah makhluk yang berbahaya.

Mereka akan mengurungmu sebagai hewan peliharaan atau

mereka akan membunuhmu.” Kemudian Sumukha berkata,

“Teman pemburu, jangan mengkhawatirkan kami. Dengan

pemaparan kebenaran-ku dapat kubuat makhluk kejam

sepertimu menjadi berhati lembut. Mengapa saya tidak bisa

melakukan hal yang sama terhadap raja? Para raja adalah

orang-orang yang bijak dan mengerti akan kata-kata yang baik dan tidak baik: Bergegaslah bawa kami berjumpa dengan raja.

Dan untuk membawa kami ke sana tidak perlu membawa kami

sebagai tawanan, melainkan letakkan saja kami dalam keranjang

bunga. Untuk Raja Dhataraṭṭha buatlah keranjang besar yang

dihiasi dengan teratai putih, dan untukku buatlah keranjang kecil

yang dihiasi dengan teratai merah, kemudian letakkan sang raja

di bagian depan dan aku di bagian belakang, dengan posisi yang

lebih rendah. Bawalah kami secepat mungkin ke hadapan raja.”

Sewaktu mendengar perkataan Sumukha ini, pemburu tersebut

berpikir, “Ketika berjumpa dengan raja, Sumukha pasti

berkeinginan untuk membicarakan tentang menganugerahkan

kehormatan yang besar kepada diriku,” dan dengan perasaan

gembira demikian, ia membuat keranjang dari tanaman menjalar,

dan setelah menghiasnya dengan bunga teratai, ia pun

berangkat dengan meletakkan kedua angsa itu pada posisi yang

telah diberitahukan sebelumnya.

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Sang pemburu mengangkat mereka dengan kedua

tangannya, seperti yang diberitahukan kepadanya

sebelumnya, meletakkan mereka, angsa berbulu emas,

dalam keranjang masing-masing.

Sekarang Dhataraṭṭha dan Sumukha terlihat bersinar

dengan bulu-bulu mereka,

dengan rasa aman di dalam keranjang; sang pemburu

membawa mereka pergi.

Segera setelah pemburu tersebut berangkat dengan

membawa mereka, Raja Angsa Dhataraṭṭha teringat akan

istrinya, putri dari raja angsa pāka, dan kemudian berkata kepada

Sumukha, dalam pengaruh dari noda batinnya, meratapinya.

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Raja angsa yang ketika dibawa pergi itu, berujar

demikian kepada Sumukha: ‘Pasangan cantik dan

anggunku pastinya sedang bersedih atas diriku. Jika ia

mendengar bahwa diriku mati, maka hidupnya juga akan berakhir.

Seperti burung pucung sendirian berada di tepi samudra

bersedih atas pasangannya, Suhemā—kulitnya berkilau

bak emas—meratapi tuannya.

Mendengar ini, Sumukha berpikir, “Angsa ini, yang

seharusnya telah siap untuk memberikan wejangan kepada

orang lain, dikarenakan pengaruh nafsu, mengucapkan omong

kosong persis seperti ketika air mendidih, atau sama seperti

ketika burung-burung yang terbang dari satu tepi dan mencari

makan di satu ladang biji-bijian. Bagaimana kalau dengan

kekuatan (kebijaksanaanku) kujelaskan padanya mengenai keburukan dari wanita dan menyadarkan kembali dirinya?” dan ia berkata:

Ia yang demikian agung dan tiada taranya, pemimpin

dari bangsa angsa, yang meratapi angsa lawan jenisnya

menunjukkan kekuatan pikiran yang kecil,

Seperti angin yang akan menerbangkan segala bau baik

harum maupun busuk,

atau seperti anak kecil serakah, yang seolah-olah buta,

memakan makanan yang mentah ataupun yang matang,

Tanpa adanya penilaian yang benar dalam suatu ikatan,

orang dungu tidak dapat melihat apa yang harus

dihindari atau apa yang harus dilakukan dalam keadaan genting.

Dalam keadaan kurang waras, Anda membicarakan

tentang wanita yang dilimpahi dengan segala sifat

menyenangkan, yang biasanya bagi kaum laki-laki

adalah seperti rumah minum bagi para pemabuk.

Tipu daya, penipuan, ketidakbahagiaan, penyakit,

bencana, seperti rantai yang paling kuat mengikat, jerat

kematian yang terpasang dalam pikiran—demikianlah

wanita itu: Ia yang memercayai mereka adalah orang

yang paling buruk.

Kemudian Dhataraṭṭha, dalam keadaan dirinya

yang masih terikat akan wanita (istrinya), berkata, “Anda tidak

mengetahui kebaikan dari wanita, tetapi orang bijak

mengetahuinya. Mereka tidaklah seharusnya menerima celaan.”

Dalam bentuk penjelasan, kemudian ia berkata:

Kebenaran yang diyakini oleh para bijak, siapa yang

berani menentangnya?

Wanita yang terlahir di alam ini, memiliki kekuatan dan

ketenaran yang besar.

Mereka terbentuk untuk hiburan, dilengkapi dengan

kesenangan, benih di dalam diri mereka akan tumbuh

berkembang, sumber dari kehidupan, laki-laki yang hidup

bersama mereka tidak akan mencela mereka.

Apakah Anda sendiri, Sumukha, yang mengetahui

tentang wanita itu?

Apakah Anda memperolah kebijaksanaan itu

dikarenakan tergerak oleh rasa takut?

Di saat menghadapi bahaya, setiap makhluk bertahan

dengan gagah berani meskipun memiliki rasa cemas,

dalam satu keadaan krisis, makhluk bijak berusaha

melindungi kita dari bahaya.

Sehingga para kaum kesatria hendaknya memiliki

seorang pemberani yang kuat untuk menasihati mereka,

menghadapi rasa cemas akan kehidupan yang tak

menyenangkan, cepat mengerti akan nasihat.

Janganlah sampai para juru masak istana memasak

kita hari ini;

Seperti pohon bambu yang menyebabkan buahnya mati,

demikianlah jadinya bulu yang berwarna emas ini

menyebabkan kita mati (bila itu terjadi).

Di saat bebas Anda tidak terbang pergi, sekarang Anda

tertahan dikarenakan keinginan sendiri,

berhentilah mengucapkan kata-kata yang

membahayakan, bangkitlah, penuhi bagian dari pejantan

(seorang laki-laki).

Dengan mengucapkan pujian terhadap wanita,

Sang Mahasatwa membuat Sumukha membisu. Akan tetapi

ketika melihat bagaimana tidak puas dirinya itu, ia berusaha

mendapatkan perhatiannya dengan mengulangi bait berikut:

Suatu tindakan yang patut semestinya dilakukan

(sekarang), dengan keadilan sebagai pembelaanmu dan

dengan tindakan heroikmu, Temanku, selamatkanlah

nyawaku.

Kemudian Sumukha berpikir, “Ia benar-benar

dikuasai oleh rasa takut akan kematian; ia tidak mengetahui

kekuatan (pengetahuanku). Nanti setelah bertemu dengan Raja Benares dan berbincang-bincang kecil dengannya, saya pasti

tahu apa yang harus dilakukan: sementara itu, saya akan

menenangkan rajaku terlebih dahulu,” dan mengucapkan bait berikut:

Jangan takut, wahai angsa mulia, karena rasa takut

tidaklah merupakan bagian dirimu yang semestinya;

Saya akan melakukan sesuatu, dengan keadilan sebagai

pembelaanku, dan dengan tindakan heroik-ku, segera

dirimu akan menjadi bebas kembali.

Ketika mereka sedang berbicara demikian dalam bahasa

hewan (angsa), pemburu tersebut tidak mengerti sepatah kata

pun yang mereka ucapkan. Akan tetapi dengan tetap membawa

mereka dengan pemikul, mereka pun tiba di Benares, diiringi

oleh orang banyak yang dipenuhi dengan ketakjuban dan

kekaguman bersikap anjali. Sewaktu tiba di depan pintu istana,

pemburu tersebut meminta penjaga pintu untuk mengumumkan

kedatangan mereka (kepada raja).

Menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Pemburu dengan bawaannya tiba mendekat ke gerbang

istana; ‘Umumkan kedatanganku kepada raja,’ teriaknya,

‘angsa emas ada di sini.’

Penjaga pintu pergi menjumpai raja dan memberitahukan

kedatangan pemburu tersebut. Raja menjadi amat senang dan berkata, “Persilakan ia segera masuk ke sini,” dan dengan

dikelilingi oleh sekumpulan pejabat kerajaannya serta duduk di

takhta kerajaan dengan payung putih yang dibentangkan di atas

kepalanya, raja memperhatikan Khemaka bergerak menuju ke

dipan dengan bawaannya. Ketika melihat angsa-angsa berwarna

emas itu, ia berkata, “Keinginan hatiku telah terpenuhi,” dan

memberikan perintah kepada pejabat kerajaannya agar

memberikan pelayanan yang semestinya kepada pemburu tersebut.

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Setelah melihat angsa-angsa ini yang memiliki

penampilan yang suci dan (tanda) keistimewaan, Raja

Saṁyama berujar demikian kepada para pejabat kerajaannya:

‘Berikan kepada pemburu itu makanan dan minuman,

pakaian, dan kepingan-kepingan emas sebanyak yang

hendak dimiliki seseorang.’

Karena begitu gembiranya, ia menunjukkan

kegembiraannya itu dengan berkata demikian, “Pergi dan

dandani pemburu itu, kemudian bawa ia kembali ke hadapanku.”

Maka para pejabat kerajaannya pun membawa ia turun,

merapikan rambut dan janggutnya, dan setelah ia mandi,

dioleskan minyak, didandani dengan mewah, membawanya

kembali ke hadapan raja. Kemudian raja menganugerahkan

kepadanya dua belas perkampungan yang tiap tahunnya sebuah kereta memberikan pendapatan sebesar seratus ribu keping

uang, sebuah kereta dengan kuda-kuda berdarah murni, sebuah

rumah besar yang lengkap dan kehormatan lain yang besar.

Ketika menerima begitu banyaknya anugerah, pemburu itu

berkata untuk menjelaskan apa yang telah dilakukannya,

“Paduka, yang saya bawakan kepadamu ini bukanlah angsaangsa

biasa; Yang satu ini adalah raja dari sembilan puluh ribu

angsa lainnya, bernama Dhataraṭṭha, dan yang satunya lagi

adalah panglimanya, Sumukha.” Kemudian raja bertanya,

“Teman, bagaimana Anda menangkap mereka?”

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Melihat pemburu yang menjadi riang gembira itu, Raja

Kāsi berkata, ‘Khemaka, jika memang di danau sana

ada puluhan ribu angsa yang datang untuk mencari makan,

jelaskanlah bagaimana Anda mampu memilih angsa

jenis yang ini dan menangkapnya dalam keadaan hidup?’

Untuk menjawabnya, pemburu itu berkata:

Selama tujuh hari nan panjang dengan perhatian yang

teliti, tidak sia-sia kutandai tempat itu,

untuk mendapatkan jejak dari angsa nan elok, saya

bersembunyi dalam sebuah tempayan.

Kutemukan tempat angsa itu biasanya makan, dan di

sana pula segera kupasang jerat, ia pun kemudian

masuk dalam jerat tersebut.

Setelah mendengar ini, raja berpikir, “Orang ini

datang berdiri di depan pintu istana, memberitahukan tentang

tibanya Raja Dhataraṭṭha, dan sekarang ia hanya membicarakan

tentang angsa yang satu ini. Apa arti dari semua ini?” dan ia

mengucapkan bait berikut:

Pemburu, Anda hanya membicarakan tentang satu

angsa saja, sedangkan di sini saya melihat

ada dua angsa;

Ini adalah suatu kesalahan, mengapa Anda membawa

angsa yang kedua ini ke hadapanku?

Kemudian pemburu itu berkata, “Tidak ada perubahan

rencana dari diriku, pun tidak ada niat dariku untuk

mempersembahkan angsa yang kedua ini kepada orang lain:

lagipula tadinya cuma ada satu angsa yang masuk dalam jerat

yang kupasang,” dan dalam bentuk penjelasan, ia berkata:

Angsa yang memiliki garis-garis seperti warna emas

yang turun sampai ke bagian dadanya terperangkap

dalam jeratku, kubawa ia ke tempat ini, wahai raja,

atas permintaanmu.

Angsa istimewa yang satu lagi ini dalam keadaan bebas

berdiri di samping yang terperangkap, berusaha

menenangkan temannya, kemudian berbicara dalam

bahasa manusia.

Demikianlah dengan cara ini diberitahukan olehnya

tentang kebaikan dari Sumukha. “Segera sewaktu mengetahui

bahwa angsa Dhataraṭṭha terjerat, ia pun tinggal (di sampingnya)

dan menghiburnya temannya itu. Di saat melihatku datang, ia

menyambutku dan, dengan tetap berada di udara, berbicang

denganku dalam bahasa manusia serta memberitahukan tentang

kebaikan dari Dhataraṭṭha. Setelah melunakkan hatiku,

sekali lagi ia berdiri di depan temannya. Kemudian saya, Paduka,

setelah mendengar kecakapan Sumukha (dalam berbicara)

menjadi tergugah dan melepaskan Dhataraṭṭha. Demikianlah

cerita tentang bebasnya Dhataraṭṭha dari jerat dan tibanya diriku

di sini bersama dengan angsa-angsa ini, yang semuanya

disebabkan oleh Sumukha.” Ketika diberitahukan mengenai ini,

raja menjadi berkeinginan untuk mendengar pemaparan

kebenaran dari Sumukha. Di saat pemburu itu sedang

memberikan penghormatan kepadanya, matahari terbenam,

sehingga lampu-lampu dihidupkan, kelompok para kesatria dan

yang lainnya berkumpul bersama, dan Ratu Khemā yang datang

bersama dengan rombongan penari duduk di sebelah kanan raja.

Kemudian karena memiliki keinginan untuk membujuk Sumukha

agar berbicara, raja mengucapkan bait berikut:

Mengapa, Sumukha, Anda diam saja? Apakah

disebabkan oleh perasaan takut (karena segan) sampai

Anda tidak mengucapkan sepatah kata pun di hadapan

orang-orang kerajaanku?

Mendengar ini, Sumukha, untuk menunjukkan bahwa

dirinya tidak takut, berkata:

Saya tidak takut, Raja Kasi, untuk berbicara di hadapan

barisan kerajaanmu, namun saya hanya akan berkatakata

jika kesempatan yang tepat itu muncul.

Mendengar jawaban ini, raja yang berkeinginan untuk

membuatnya berbicara dalam waktu yang lebih lama, berkata:

Tidak ada pemanah berbaju besi, tidak ada pelindung

kepala, tidak ada tameng yang kulihat,

tidak ada kawanan kuda atau pengawal, tidak ada

kereta, tidak ada bala tentara.

Tidak kulihat adanya emas kepingan atau lantakan, tidak

ada tempat yang dihiasi oleh bangunan-bangunan indah,

tidak ada menara pengawas yang dibuat agar tak dapat

dimasuki dengan parit kecil di sekelilingnya, berada di

manakah Sumukha sehingga tidak memiliki rasa takut.

Ketika raja menanyakan demikian mengapa ia tidak

merasa takut, Sumukha menjawabnya dalam bait berikut:

Rombongan pengawal tidak kuinginkan, kota atau

kekayaan tidak kubutuhkan,

di antara angkasa yang tak berjalur kami temukan suatu

jalan dan bepergian melalui angkasa.

Jika Anda adalah orang yang berpegang teguh pada

kebenaran, maka kami bersedia memberikan pelajaran

yang berguna untuk kebaikanmu dalam perkataan bijak

yang saling berhubungan.

Tetapi jika Anda adalah seorang pembohong, seorang

yang tidak benar, seorang yang tidak mulia,

maka kata-kata pemburu ini dengan sia-sia tidak akan

menarik bagimu.

Mendengar ini, raja berkata, “Mengapa Anda

mengatakan bahwa diriku (mungkin) adalah seorang pembohong

dan seorang yang tidak benar? Apa yang telah kulakukan?”

Kemudian Sumukha berkata, “Baiklah, dengarkan diriku,” dan ia

mengucapkan bait-bait berikut:

Atas masukan dari para brahmana, Anda membuat

Danau Khema yang terkenal ini,

dan kepada para unggas (burung) di keempat sudutnya

Anda umumkan itu dilindungi.

Di danau yang demikian damai dilengkapi dengan air

bersih nan jernih, burung-burung mendapatkan makanan

yang berlimpah ruah dan kehidupan yang aman.

Di saat mendengar kabar ini yang tersebar luas, kami

pun terbang datang mengunjungi tempat indah itu,

dan yang kami dapatkan adalah masuk dalam

perangkapmu! Janjimu adalah palsu.

Dalam samaran ucapan yang tidak benar, setiap

perbuatan buruk, perbuatan tamak atau serakah akan

menghilangkan kesempatan terlahir kembali sebagai

manusia atau dewa, melainkan mengarahkan pada alam neraka.

Demikianlah bahkan di tengah rombongan anggota

kerajaan ia membuat raja menjadi merasa malu. Kemudian raja

berkata kepadanya, “Saya tidak memerintahkan orang

menangkapmu, Sumukha, untuk membunuhmu dan memakan

dagingmu. Akan tetapi, sewaktu mendengar betapa bijaknya

dirimu itu, saya berkeinginan untuk mendengarkan

kebijaksanaanmu itu,” dan untuk menjelaskan masalahnya, raja berkata:

Bukanlah perbuatan yang buruk dariku, wahai Sumukha,

bukanlah karena serakah kutangkap dirimu;

Ketenaran dirimu akan pemikiran yang bijaksana dan

mendalam, inilah yang menyebabkan tindakanku itu.

‘Jika saja mereka ada di sini, mereka dapat memaparkan

kata-kata yang benar dan membantu.’

Maka kuperintahkan pemburu itu untuk menangkap dan

membawamu ke tempat ini, wahai burung.

Mendengar ini, Sumukha berkata, “Anda telah berindak

salah, Paduka,” dan ia mengucapkan bait-bait berikut ini:

Kita tidak seharusnya mengucapkan kata tidak benar

meskipun takut akan kematian yang mendekat,

tidak juga ketika mengalami penderitaan terakhir

menjelang kematian, saat kita bernapas dengan

terengah-engah.

Ia yang menggunakan seekor burung untuk menangkap

burung lainnya, atau binatang yang satu untuk

mendapatkan binatang lainnya, atau dengan kata-kata,

seorang pengucap menjebak, ia tidak menghindarkan

dirinya dari perbuatan rendah.

Dan ia yang mengucapkan kata-kata mulia dengan niat

melakukan perbuatan rendah, maka baik di kehidupan ini

maupun kehidupan berikutnya akan berada jauh dari

kebahagiaan menuju ke tempat yang menyedihkan.

Janganlah terlalu bersenang hati ketika berjaya, jangan

bersusah hati ketika gagal,

lakukanlah kekurangan yang bagus, sewaktu berada

dalam masalah, berdaya upayalah.

Di tahap akhir kehidupan menjadi orang bijak, terlihat

tujuan dari kematian,

setelah melalui jalan yang benar di alam ini, terlahir di

alam menyenangkan.

Setelah mendengar ini, tetaplah berada dalam

kebenaran (hal yang benar), wahai paduka, dan

bebaskanlah Raja Angsa Dhataraṭṭha,

suri teladan para angsa.

Mendengar ini, raja berkata:

Pergi ambillah air untuk kaki-kaki mereka, dan berikan tempat duduk;

Kubebaskan angsa termulia di muka bumi ini dari kurungannya.

Bersama dengan panglima pemberaninya, demikian

cakap dan bijak, mengajarkan bahwa harus bersimpatik

baik dalam keadaan menyenangkan maupun tidak menyenangkan.

Pastinya jenis yang ini pantas mendapatkan yang baik, sama seperti pemimpinnya,

seperti dirinya yang siap berbagi bersamanya baik hidup maupun mati.

Setelah mendengar perkataan raja, pengawal kerajaan

membawakan tempat duduk untuk mereka, dan setelah mereka

duduk, pengawal kerajaan membasuh kaki-kaki mereka dengan

air yang harum dan meminyakinya dengan minyak yang disuling ratusan kali.

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Raja angsa duduk di sebuah tempat duduk berkaki

delapan, bersinar terang, semuanya adalah emas,

beralaskan kain dari Kota Kasi, betapa suatu

pemandangan yang indah.

Di sebelah rajanya, Sumukha duduk, panglimanya yang

setia dan pemberani,

di atas tempat duduk beralaskan kulit harimau, dan

terbuat dari emas.

Kepada mereka, banyak kesatria dari Kasi yang

membawa makanan dalam mangkuk-mangkuk emas,

makanan pilihan yang lezat untuk dimakan,

persembahan dari raja-raja mereka.

Ketika semua makanan ini telah disajikan kepada

mereka, Raja Kasi, untuk menyambut mereka, mengambil sebuah mangkuk emas dan mempersembahkannya kepada

mereka. Dan dari semuanya itu, mereka memakan madu, bijibijian

dan meminum air gula (air yang manis). Kemudian Sang

Mahasatwa, yang memperhatikan persembahan raja dan

penghormatan yang diberikannya, beruluk salam berbincang dengannya.

Sang Guru, untuk menjelaskan masalah ini, berkata:

Dengan berpikir, ‘Betapa suatu persembahan pilihan

yang diberikan oleh Raja Kasi ini kepada kami,’ unggas

itu, yang ahli dalam hal-hal kerajaan, bertanya demikian:

Apakah Anda, Paduka, dalam keadaan baik dan sehat?

Pastinya kerajaanmu makmur dan Anda memimpin dengan benar.

Wahai raja angsa, saya berada dalam keadaan baik dan

sehat; Kerajaanku makmur dan kupimpin dengan benar.

Apakah Anda memiliki orang-orang yang benar sebagai

para menteri dan pejabat kerajaanmu, yang bebas dari

kesalahan dan keburukan, yang siap mati demi dirimu yang baik?

Saya memiliki orang-orang yang benar sebagai para

menteri dan pejabat kerajaanku, yang bebas dari

kesalahan dan keburukan, yang siap mati demi diriku yang baik.

Apakah Anda memiliki seorang istri yang statusnya sama

denganmu, patuh, santun dalam ucapan, diberkahi

dengan anak, rupawan, nama nan indah, dan penurut

terhadap suaminya?

Saya memiliki seorang istri yang statusnya sama

denganku, patuh, santun dalam ucapan, diberkahi

dengan anak, rupawan, nama nan indah, dan penurut

terhadap suaminya.

Dan apakah kerajaanmu berada dalam keadaan

bahagia, bebas dari segala tindak penindasan, tidak

dikuasai oleh tindakan semena-mena, melainkan

dipimpin dengan benar?

Kerajaanku berada dalam keadaan bahagia, bebas dari

segala tindak penindasan, tidak dikuasai oleh tindakan

semena-mena, melainkan dipimpin dengan benar.

Apakah Anda mengusir orang-orang jahat dari

kerajaanmu, memberikan kehormatan kepada orangorang

baik, atau apakah Anda menjauh dari kebenaran,

mengikuti jalan yang tidak benar?

Kuusir orang-orang jahat dari kerajaanku, memberikan

kehormatan kepada orang-orang baik,

segala keburukan kujauhkan dari diriku, dan mengikuti

jalan yang benar.

Apakah Anda, Paduka, menyadari betapa cepatnya

waktu kehidupan berputar, atau apakah Anda tidak sadar

dalam kelengahan, menganggap kehidupan berikutnya

pastilah bebas dari penderitaan?

Kusadari betapa cepatnya waktu kehidupan berputar,

wahai burung, dan dengan kukuh berada dalam sepuluh

kebenaran, kehidupan berikutnya bagiku akan bebas dari

penderitaan.

Kedermawanan, moralitas, kemurahan hati, kejujuran,

kelembutan, pengendalian diri, welas asih, belas kasih,

kesabaran, kesantunan—

Sifat-sifat bajik demikian ini dapat terlihat tertanam dalam

diriku, darinya ketika berbuah maka hasil berupa

kegembiraan dan kebahagiaan akan menjadi milikku.

Sumukha yang tidak mengetahui kesalahan yang telah

kami perbuat, dengan lalainya memberikan celah bagi

kata-kata kasar dan nada suara yang tidak

menyenangkan.

Hal yang tak kuketahui dituduhkan kepadaku oleh

burung ini dengan salahnya, dalam bahasa yang kasar.

Dalam hal ini, diperlihatkan kebijaksanaan yang kurang.

Ketika mendengar ini, Sumukha berpikir, “Raja

yang bajik ini menjadi tidak senang, saya telah membuatnya

menjadi marah: Saya harus memohon pengampunan darinya,”

dan ia berkata:

Saya telah bersalah terhadapmu, raja manusia,

mengucapkan kata-kata berisikan kekasaran,

tetapi ketika raja angsa ini tertangkap, hatiku serasa hancur.

Seperti bumi yang menampung semua makhluk, seperti

ayah terhadap anaknya, mohon Anda memaafkan

kesalahan yang telah diperbuat.

Kemudian raja mengangkat burung tersebut,

memeluknya, dan setelah mendudukkannya pada sebuah tempat

duduk emas, raja menerima pengakuan kesalahannya dan berkata:

Saya berterima kasih kepadamu, Anda tidak

menyembunyikan sifat aslimu (terhadap diriku),

Anda mematahkan sifat kerasku, Anda adalah seorang

yang jujur (terus terang).

Dan setelah mengucapkan kata-kata ini, raja yang amat

bersukacita dengan pemaparan kebenaran oleh Sang

Mahasatwa dan dengan sifat Sumukha yang terus terang,

berpikir, “Ketika seseorang merasa gembira, maka seharusnya

orang itu melakukan sesuatu untuk menunjukkan

kegembiraannya itu,” dan untuk memberikan kerajaannya yang

berjaya itu kepada angsa-angsa tersebut, ia berkata:

Permata, perak, emas, dan batu berharga lainnya

terdapat dalam tempat tinggalku ini, di Kerajaan Kasi,

Batu permata, permata yang berulir, busana, kayu

cendana kuning, kulit kijang (antelop), gading, kuningan,

besi, benda-benda ini dan kekuasaan atas

kepemimpinannya kuberikan kepadamu.

Dan setelah dengan kata-kata demikian menghormati

kedua angsa tersebut, dengan memberikan payung putih,

menyerahkan kerajaan kepada mereka. Kemudian Sang

Mahasatwa berbicara kepada raja, dengan berkata:

Karena Anda ingin memberikan balasan (kehormatan)

kepada kami, wahai raja manusia, cukuplah dengan menjadi guru kami, mengajarkan kepada kami sepuluh

kualitas seorang raja (rajadhamma).

Jika izin dan persetujuanmu bisa didapatkan, kami ingin

memohon pamit pulang untuk bertemu dengan sanak saudara kami.

Raja memperbolehkan mereka untuk pulang dan, ketika

Bodhisatta sedang memaparkan kebenaran, matahari pun mulai terbit.

Menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Malam yang panjang dilewati oleh Raja Kasi dengan

pemikiran yang mendalam,

kemudian atas permintaan angsa mulia itu, memberikan

persetujuannya.

Setelah mendapatkan izin untuk pergi, dengan berkata,

“Janganlah lengah dan pimpinlah kerajaanmu selalu dengan

benar,” Bodhisatta memantapkan raja dalam lima latihan

moralitas (Pancasila Buddhis). Dan raja memberikan

kepada mereka biji-bijian dengan madu, air gula dan sebagainya,

dalam bejana emas. Ketika mereka selesai makan, raja memuja mereka dengan wewangian, untaian-untaian bunga dan

sebagainya. Raja mengangkat tinggi kandang emas Bodhisatta,

sedangkan Ratu Khemā mengangkat Sumukha. Kemudian di

saat matahari terbit, mereka membuka jendela dan, sembari

berkata, “Pergilah, Tuan-tuan,” mereka pun melepaskan angsa-angsa itu.

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Kemudian ketika matahari telah terbit dan fajar menyingsing,

angsa-angsa itu segera menghilang dari pandangan

mereka dalam birunya langit.

Salah satu dari mereka, Sang Mahasatwa, selepasnya

dari kandang emas, terbang melayang di angkasa dan berkata,

“Paduka, janganlah cemas. Tetaplah waspada dan hidup dengan

menjalani nasihat kami,” demikian ia menenangkan raja dan

segera menuju ke Cittakūṭa bersama dengan Sumukha. Dan

kesembilan puluh angsa lainnya yang keluar dari Gua Emas

sedang berada di dasar gunung. Ketika melihat kedua angsa itu

terbang datang, mereka langsung menyambut dan mengikuti

mereka pulang ke rumah. Demikianlah dengan ditemani oleh

sekelompok saudaranya, mereka tiba di Cittakūṭa.

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Melihat kedua pemimpin mereka pulang kembali dengan

selamat dari tempat hunian manusia,

kelompok makhluk bersayap itu bersorak-sorai

menyambut kepulangan mereka.

Demikian mereka mengelilingi pemimpin yang mereka

percayai, angsa-angsa emas itu memberikan

penghormatan kepada raja mereka, sembari bersukacita

atas pembebasannya.

Selagi demikian mengikuti raja mereka, angsa-angsa

tersebut bertanya kepadanya dengan berkata, “Maharaja,

bagaimana Anda bisa meloloskan diri?” Sang Mahasatwa

memberitahukan kepada mereka tentang pembebasan dirinya

dikarenakan bantuan dari Sumukha, dan juga tentang perbuatan

dari Raja Saṁyama dan para anggota kerajaannya. Setelah

mendengar ini, sekolompok angsa tersebut melantunkan pujian

dalam kegembiraan mereka dengan berkata, “Semoga Sumukha

panjang umur, Panglima kita, dan raja serta si pemburu. Semoga

mereka berbahagia dan bebas dari penderitaan

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Demikianlah semuanya, yang hatinya penuh dengan perasaan cinta kasih, akan berhasil dalam segala hal yang dilakukan,

seperti kedua angsa ini yang dapat terbang kembali menjumpai teman-teman mereka dengan selamat.

Sang Guru mengakhiri uraian-Nya sampai di sini dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, pemburu adalah Channa, Ratu Khemā adalah bhikkhuni Khemā, raja adalah Sāriputta, para pengikut raja adalah para siswa Buddha, Sumukha adalah Ānanda, dan raja angsa adalah diriku sendiri.”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 5

 

 

Tagged ,

CULLAHAṀSA JĀTAKA

“Semua burung yang lain,” dan seterusnya.

Ini adalah sebuah kisah, yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veluvana, tentang bagaimana Yang Mulia Ananda mengorbankan hidupnya. Ketika beberapa pemanah diperintahkan untuk membunuh Sang Tathāgata (Tathagata), dan pemanah pertama yang diutus oleh Devadatta untuk melakukan tugas ini kembali kepadanya dan berkata, “Bhante, saya tak mampu membunuh Yang Terberkahi (Bhagavā); Beliau memiliki kekuatan yang mahatinggi, orang yang digdaya,” Devadatta membalasnya, “Baiklah, Tuan, Anda tidak perlu membunuh petapa Gotama lagi. Saya sendiri yang akan membunuh petapa Gotama.” Maka ketika Sang Tathagata sedang berjalan, dengan bayangan berada di sebelah barat, menuju ke puncak Gunung Burung Hering, Devadatta naik ke atas Gunung Burung Hering itu dan melontarkan sebuah batu yang besar, dengan memiliki pikiran, “Dengan batu ini saya pasti dapat membunuh petapa Gotama.” Akan tetapi, adanya dua gunung di tempat tersebut menghentikan jalannya batu itu, dan satu serpihannya terlontar, menusuk masuk ke dalam kaki Sang Bhagava, menyebabkan kaki-Nya berdarah dan timbulnya sensasi sakit yang kuat. Jīvaka, yang dengan menggunakan pedang mencungkilnya keluar, menyebabkan darah kotor dan daging yang membusuk ikut keluar, dan setelah mencuci bersih luka-Nya, memberikan obat dan membuatnya menjadi sembuh.

Sang Guru kemudian berjalan seperti sediakala, diikuti oleh para anggota saṅgha (sangha), dengan gaya layaknya seorang Buddha. Maka ketika Devadatta melihat Beliau dalam keadaan demikian, ia berpikir, “Tak ada manusia, sewaktu melihat kesempurnaan rupa dari petapa Gotama, yang berani untuk mendekati-Nya (untuk melukai-Nya). Akan tetapi, gajah Nāḷāgiri (Nalagiri) milik raja adalah seekor hewan yang liar dan buas, dan ia tidak tahu apa pun mengenai kebajikan dari Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Ia akan mampu menyebabkan kehancuran bagi sang petapa.” Maka pergilah ia menghadap kepada raja dan memberitahukan permasalahannya. Raja menyetujui gagasan ini, dan setelah memanggil si penjaga gajah, ia berkata demikian kepadanya, “Penjaga, besok kamu harus membuat gajah Nalagiri minum sampai mabuk, dan di saat fajar menyingsing lepaskan ia di jalan tempat petapa Gotama berjalan.” Dan Devadatta menanyakan kepada si penjaga mengenai berapa banyak minuman (keras) yang biasa diminum oleh Nalagiri dalam satu hari. Ketika dijawab, “Delapan kendi, Bhante,” ia pun menambahkan, “Besok berikan padanya enam belas kendi untuk diminum, dan bawa ia ke jalan tempat petapa Gotama sering berada.” “Baik,” jawab si penjaga. Raja mengumumkan di seluruh kota dengan tabuhan genderang, “Besok Nalagiri akan dimabukkan dengan minuman (keras) dan dilepaskan di jalan. Para penduduk harus melakukan apa yang seharusnya dilakukan pada awal pagi, dan setelahnya tidak boleh ada seorang pun yang berkeliaran di jalanan.” Devadatta turun dari istana raja dan pergi menuju ke kandang gajah, dan berkata kepada para penjaga demikian, “Kami mampu, saya beritahukan padamu, menurunkan status seorang yang tinggi menjadi rendah, demikian juga sebaliknya menaikkan status orang yang rendah menjadi tinggi. Jika Anda hendak mendapatkan satu kehormatan, besok pagi berikan enam belas kendi minuman yang amat memabukkan kepada Nalagiri. Dan ketika petapa Gotama berjalan di jalan anu, lukailah gajah ini dengan angkusa runcing, dan ketika dalam kemurkaannya dirobohkannya kandang ini, tuntunlah ia ke jalan, tempat petapa Gotama biasa berjalan, yang demikian akan menyebabkan kehancuran bagi sang petapa.” Mereka menyetujuinya. Kabar ini tersebar luas di seluruh kota. Para upasaka yang dekat kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha menghampiri Sang Guru dan berkata, “Bhante, Devadatta telah bertemu dengan raja dan mereka berencana, keesokan hari, untuk melepaskan Nalagiri di jalan tempat Anda biasa berpindapata. Janganlah memasuki kota besok untuk berpindapata, tetaplah tinggal di sini saja. Kami akan menyediakan makanan di wihara untuk para anggota Sangha, dengan Buddha sebagai pemimpin mereka.” Sang Guru, tanpa langsung mengatakan, “Saya tidak akan memasuki kota besok untuk berpindapata,” menjawab mereka dengan berkata, “besok akan kulakukan sesuatu yang luar biasa dan kujinakkan Nalagiri, serta kutaklukkan para penganut pandangan salah tersebut. Dengan tidak berpindapata di Rajagaha, saya akan meninggalkan kota ini, dengan diikuti oleh para Sangha, menuju ke Veluvana, dan para penduduk Rajagaha akan datang ke Veluvana dengan membawa banyak makanan, dan besok akan terdapat banyak makanan di ruang makan wihara.” Dengan cara inilah, Sang Guru mengabulkan permintaan mereka. Setelah mengetahui bahwa Sang Tathagata menyetujui permintaan mereka, mereka berangkat meninggalkan kota, membawa banyak makanan dan berkata, “Kami akan memberikan dana ini di wihara.”

Pada penggal awal malam hari, Sang Guru mengajarkan Dhamma; pada penggal tengah malam hari, Beliau menjawab pertanyaan dari para makhluk dewata; pada bagian pertama penggal akhir malam hari, Beliau berbaring di sebelah kanan sisi-Nya, layaknya seekor singa; pada bagian kedua penggal akhir malam hari, Beliau meditasi menikmati pencapaian buah (nibbana); dan pada bagian ketiga penggal akhir malam hari, Beliau meditasi Belas Kasih Nirbatas, meninjau orang-orang yang matang untuk dicerahkan dan ketika mengetahui bahwa sebagai hasil dari penjinakkan gajah Nalagiri akan ada sebanyak delapan puluh empat makhluk dapat diarahkan pada pemahaman yang jelas akan Dhamma, maka pada awal pagi, setelah memenuhi kebutuhan jasmani-Nya, Beliau menyapa Yang Mulia Ananda, “Ananda, hari ini mintalah semua bhikkhu, yang berada di enam belas wihara di sekitar Rajagaha, untuk ikut bersamaku memasuki kota.” Sang Thera pun melakukan demikian, dan semua bhikkhu berkumpul di Veluvana. Sang Guru, beserta dengan kumpulan banyak angota sangha, memasuki Rajagaha, dan para penjaga gajah menjalankan perintah yang telah diberikan sebelumnya, dan demikian terdapat kumpulan banyak orang. Para orang yang memiliki keyakinan (terhadap Buddha) berpikir, “Hari ini akan terjadi sebuah pertarungan antara gajah Buddha dengan gajah Nalagiri. Kita akan menyaksikan kekalahan dari Nalagiri oleh kekuatan seorang Buddha,” dan mereka naik ke lantai atas dan berdiri di atap-atap rumah atau bagian atas rumah. Sedangkan para penganut pandangan salah, yang tidak memiliki keyakinan, berpikir, “Nalagiri adalah sesosok makhluk yang liar dan buas, dan tidak tahu apa pun mengenai kebajikan dari Buddha, Dhamma, dan Sangha. Hari ini ia akan menghancurkan rupa keemasan sang petapa Gotama dan menyebabkan kematiannya.

Hari ini kita akan melihatnya dari belakang lawan kita.” Dan mereka mengambil tempat di lantai atas atau tempat-tempat tinggi lainnya. Dan gajah itu, ketika melihat Sang Bhagava berjalan ke arahnya, membuat orang-orang ketakutan dengan menghancurkan rumah-rumah, dengan menggunakan gadingnya menghancurkan gerobak-gerobak menjadi seperti bubuk, dan dengan kedua telinga dan ekornya yang dalam keadaan siaga karena kemarahan, berlari seperti gunung ber-menara menuju ke arah Sang Bhagava. Ketika melihat keadaannya ini, para bhikkhu berkata demikian kepada Bhagava, “Bhante, gajah Nalagiri ini adalah sesosok makhluk yang liar dan buas, sesosok pembunuh manusia, dan ia sedang menuju ke jalan kendaraan ini. Ia tidak tahu akan kebajikan dari Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Sebaiknya Bhagava, Sugata (Yang Sempurna Menempuh Jalan), menghindarinya.” “Jangan takut, Para Bhikkhu,” jawab-Nya, Saya mampu mengatasinya.” Kemudian Yang Mulia Sāriputta (Sariputta) memohon kepada Sang Guru, “Bhante, ketika ada pelayanan yang harus diberikan kepada seorang ayah, maka beban itu seharusnya lah diberikan kepada putra tertua. Saya akan menaklukkan makhluk ini.” Kemudian Sang Guru berkata, “Sariputta, kekuatan dari Buddha adalah satu hal dan kekuatan dari siswa-Nya adalah hal yang lain,” dan Beliau menolak permohonannya dengan berkata, “Anda harus tetap berada di sini.” Permohonan ini juga diucapkan oleh delapan puluh Mahathera, tetapi juga ditolak oleh Beliau. Kemudian Yang Mulia Ananda, dikarenakan rasa kasihnya terhadap Sang Guru tidak bisa membiarkan ini terjadi, berkata, “Biarlah gajah ini membunuh diriku terlebih dahulu,” dan ia pun berdiri di depan Sang Guru, bersiap mengorbankan nyawanya untuk Sang Tathagata. Maka Sang Guru berkata kepadanya, “Pergilah, Ananda, jangan berdiri di depanku. Thera itu membalas, “Bhante, gajah ini adalah hewan yang liar dan buas, pembunuh manusia, seperti api pada awal sebuah siklus. Biarlah ia membunuh diriku terlebih dahulu sebelum dapat mendekati Anda.” Dan walaupun telah ditolak sebanyak kali, sang Thera tetap tidak bergeming berada di tempatnya. Kemudian Sang Bhagava, dengan kekuatan dari kesaktian-Nya, membuatnya mundur dan menempatkannya berdiri di antara bhikkhu-bhikkhu lainnya. Pada waktu ini, ada seorang wanita yang ketika melihat gajah Nalagiri menjadi ketakutan, dan ketika berlari menyelamatkan diri, anak yang digendongnya itu terjatuh dan berusaha untuk melarikan diri, berada di antara Sang Tathagata dan gajah Nalagiri. Gajah tersebut yang mengejar wanita itu sampai pada tempat anaknya berada, yang kemudian mengeluarkan suara jeritan yang amat keras. Untuk memancarkan cinta kasih, Sang Guru mengeluarkan ucapan yang manis seperti Brahma, berseru demikian kepada Nalagiri, “He, Nalagiri, mereka yang membuatmu mabuk kesakitan dengan enam belas kendi minuman keras tidaklah memintamu melakukan ini, menyerang orang lain melainkan diriku. Janganlah menyia-nyiakan tenagamu dengan berlari ke sana dan ke sini, datanglah kepadaku.” Ketika mendengar suara dari Sang Guru, ia membuka matanya dan melihat rupa yang demikian sempurna dari Yang Terberkahi (Sang Bhagava), dan ia pun menjadi amat terguncang. Dengan kekuatan seorang Buddha, pengaruh dari minuman keras itu pun hilang seketika. Setelah menurunkan belalainya dan mengibas-ngibaskan telinganya, ia menghampiri Sang Tathagata dan bersujud di bawah kaki Beliau. Kemudian Sang Guru menyapanya dengan berujar, “Nalagiri, Anda adalah seekor gajah hewan, saya adalah gajah Buddha. Mulai hari ini, janganlah menjadi liar dan buas, pembunuh manusia; tetapi kembangkanlah perasaan cinta kasih.” Setelah berkata demikian, Beliau menjulurkan tangan kanan-Nya dan dengan lembut mengusap kening gajah tersebut, demikian mengajarkan Dhamma kepadanya:

Jika menyerang gajah ini, maka Anda akan berakhir

meratap di kediaman yang menyedihkan.

Dengan melukai gajah ini, Anda akan terlahir jauh dari

alam-alam menyenangkan.

Dengan tidak menghindari kemabukan dan kelalaian,

orang dungu yang lengah itu tidak akan pernah

mencapai alam menyenangkan.

Jikalau di kehidupan berikutnya hendak mendapatkan

kebahagiaan surgawi, maka Anda harus melakukan apa

yang benar dari ini.

Seluruh tubuh gajah itu digetarkan dengan perasaan

kegiuran, dan seandainya saja ia bukan seekor hewan (buas), ia

akan telah mendapatkan buah dari tingkat kesucian Sotapanna.

Melihat kejadian luar biasa ini, orang-orang bersorak-sorai.

Dalam kegembiraan, mereka melemparkan beragam jenis

perhiasan dan dengan semuanya itu menutupi seluruh tubuh

gajah tersebut. Sejak saat itu, Nalagiri dikenal dengan

nama Dhanapālaka (Penjaga Kekayaan)—Kala itu, bersamaan

dengan kejadian Dhanapālaka ini, sebanyak delapan puluh

empat makhluk menikmati buah dari pembebasan—Dan Sang

Guru memantapkan gajah Nalagiri dalam lima sila. Dengan

menggunakan belalainya mengambil tanah yang ada di bawah

kaki Sang Bhagava, gajah itu memercikkannya di kepalanya.

Kemudian dengan posisi badan berdiri sembari memberi hormat

kepada Dasabala selama Beliau masih terlihat dalam

pandangannya, kemudian berbalik arah dan masuk menuju kandang gajah. Sejak saat itu, ia menjadi hewan yang jinak dan

tidak melukai manusia lagi. Sang Guru, setelah keinginannya

terpenuhi, memutuskan bahwa harta yang terkumpul itu harus

tetap menjadi milik mereka yang melemparkannya, dan dengan

berpikir, “Hari ini, telah kulakukan suatu keajaiban yang luar

biasa. Tidaklah patut bagiku untuk berpindapata di kota ini,” dan

setelah menaklukkan para penganut pandangan salah tersebut,

diikuti oleh kumpulan anggota sangha, Beliau berangkat

meninggalkan kota seperti seorang pemenang menuju ke

Veluvana. Para penduduk kota, dengan membawa makanan,

minuman dan juga makanan utama (makanan keras), pergi ke

wihara dan memberikan dana makanan dalam jumlah besar.

Pada sore harinya, ketika sedang duduk di dalam balai

kebenaran, para bhikkhu memulai sebuah pembicaraan, “Āvuso,

Yang Mulia Ānanda (Ananda) mendapatkan hal yang luar biasa

dengan mengorbankan nyawanya demi Sang Tathagata. Ketika

melihat gajah Nāḷāgiri (Nalagiri), meskipun sebanyak tiga kali

ditolak oleh Sang Guru untuk tetap berdiam di sana, Yang Mulia

Ananda tidak bergerak dari tempatnya tersebut. Āvuso, Yang

Mulia Ananda benar-benar adalah seorang pelaku sesuatu yang

luar biasa.” Sang Guru, yang berpikir, “Pembicaraan itu

membahas tentang jasa kebajikan Ananda, saya harus berada di

sana,” beranjak keluar dari ruangan yang wangi (gandhakuṭi)

menuju ke tempat itu dan bertanya kepada mereka, dengan

berkata, “Apa yang sedang kalian bicarakan, Para Bhikkhu,

dengan duduk di sini?” Dan ketika mereka menjawab, “Mengenai

topik anu,” Beliau kemudian berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi

juga di masa lampau Ananda, bahkan ketika ia terlahir dalam wujud seekor hewan, mengorbankan hidupnya demi diriku.”

Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala di Kerajaan Mahiṁsaka, di Kota Sakuḷa,

seorang raja yang bernama Sakuḷa memerintah kerajaannya

dengan benar. Kala itu, tak jauh dari kota tersebut tinggallah

seorang pemburu di suatu perkampungan pemburu yang hidup

dengan menangkap burung dan menjualnya ke kota. Di dekat

kota terdapat sebuah danau teratai yang bernama Mānusiya,

dengan keliling seluas dua belas yojana, ditumbuhi oleh lima

jenis teratai. Berbagai jenis burung selalu terbang ke sana, dan

pemburu itu dengan bebas meletakkan jeratnya di tempat

tersebut. Kala itu juga, Raja Angsa Dhataraṭṭha (Dhatarattha)

dengan pengikutnya sejumlah sembilan puluh enam ribu ekor

burung angsa lainnya tinggal di Gua Emas di Gunung Cittakūṭa,

dan panglimanya yang bernama Sumukha. Suatu hari,

sekelompok angsa emas terbang ke Danau Mānusiya, dan

setelah memuaskan diri mereka di tempat makan yang berlimpah

ruah tersebut, mereka terbang kembali ke Cittakūṭa dan berkata

demikian kepada Raja Angsa Dhatarattha, “Maharaja, ada

sebuah danau teratai yang bernama Mānusiya, sebuah tempat

makan yang terdapat di tengah tempat hunian manusia. Mari kita

pergi mencari makan di tempat itu.” Ia menjawab, “Tempat

hunian manusia itu adalah tempat yang berbahaya: janganlah

melakukan hal itu.” Dan meskipun demikian ia menolak untuk

pergi, tetapi dikarenakan desakan yang terus-menerus, ia

akhirnya berkata, “Jika ini adalah kesenangan kalian, maka kita akan pergi ke sana,” dan dengan para pengikutnya, ia pun

terbang ke danau tersebut. Sewaktu terbang turun dari udara, ia

hinggap tepat di tempat jerat itu berada, dan pada saat itu juga

jerat tersebut yang terasa seperti papan besi menjerat dan

mengikatnya dengan kuat. Dengan berpikiran untuk melepaskan

jerat itu, ia menyentak-nyentakkan kakinya, pertama-tama kulit

luarnya koyak, kemudian dagingnya, dan yang terakhir adalah

uratnya, sampai kemudian jerat itu menyentuh bagian tulangnya

yang menyebabkan darah mengalir keluar dan timbulnya rasa

sakit yang amat. Ia kemudian berpikir, “Jika saya mengeluarkan

suara jeritan burung yang tertangkap, saudara-saudaraku akan

menjadi terkejut dan, tanpa makan dalam keadaan lapar, mereka

akan terbang melarikan diri, kemudian karena tubuh mereka

yang masih lemah, mereka akan jatuh ke dalam air. Maka

demikian ia menahan rasa sakitnya dan setelah saudarasaudaranya

telah makan kenyang dan sedang bersenangsenang,

ia mengeluarkan suara jeritan burung yang tertangkap.

Sewaktu mendengar suara jeritan ini, angsa-angsa tersebut

menjadi takut akan kematian dan terbang kabur ke arah

Cittakūṭa. Segera setelah mereka pergi, Sumukha, sang

panglima angsa, berpikir, “Apakah mungkin ini berarti bahwa

sesuatu yang buruk menimpa maharaja? Saya akan mencari

tahu apa yang terjadi,” dan terbang dengan kecepatan penuh,

dan ketika tidak melihat Sang Mahasatwa di antara kelompok

burung bagian depan yang sedang terbang kabur tersebut, ia

melanjutkan mencari di bagian pertengahan dari kelompok

burung yang sedang terbang kabur tersebut, ketika tidak juga

melihatnya, ia berkata, “Tidak diragukan lagi, sesuatu yang buruk telah terjadi,” dan ia pun terbang kembali ke tempat

tersebut dan menemukan Sang Mahasatwa yang sedang terjerat,

berlumuran darah dan mengalami rasa sakit yang amat,

berbaring di tempat berlumpur. Ia pun turun di tanah dan dengan

mencoba untuk menenangkan Sang Mahasatwa, “Jangan takut,

Maharaja, saya akan membebaskan Anda dari jerat ini dengan

mengorbankan nyawaku.” Kemudian untuk menguji dirinya, Sang

Mahasatwa mengucapkan bait pertama berikut:

Semua burung yang lain, tanpa memedulikan diriku,

telah bergegas terbang kabur;

Persahabatan apa yang dapat diharapkan dari ia yang

tertangkap? Pergilah, jangan tunda lagi.

Berikutnya bait-bait ini yang diucapkan186:

Baik saya pergi maupun tinggal di sini bersamamu, saya

juga harus mati suatu hari nanti:

Saya telah bersama denganmu dalam suka, tak boleh

kutinggalkan dirimu dalam duka.

Saya harus memilih antara mati bersamamu atau hidup

sendiri dalam keadaan sedih,

Dan lebih baik bagiku untuk mati bersama daripada

hidup bersedih kehilangan dirimu.

Tidaklah benar meninggalkan dirimu, Maharaja, dalam

keadaan menyedihkan demikian;

Saya merasa cukup bahagia untuk berbagi apa yang

dialami olehmu bersama.

Apa lagi yang akan dialami oleh ia yang tertangkap,

selain berakhir di dapur (perapian)?

Bagaimana bisa, dalam keadaanmu yang masih baik dan

bebas, Anda menyerahkan semua itu demi ini?

Apalah gunanya bagiku atau bagimu, wahai burung,

Anda berada di sini, atau bagi saudara-saudara kita yang

selamat itu, jika kita berdua mati nantinya?

Terbungkus, wahai yang bersayap emas, dalam

kegelapan adalah hasil dari perbuatanmu ini;

Kebaikan apa yang akan didapatkan jika pengorbanan

yang seperti ini dilakukan?

Tidakkah Anda lihat kebaikan dari mengikuti yang benar,

wahai raja burung?

Dengan tepatnya kehormatan akan ditunjukkan kepada

mereka apa yang mungkin didapatkan dari perbuatan

baik mereka.

Melihat kebenaran dan semua kebaikan yang muncul

dari yang benar, dikarenakan rasa kasihku kepadamu,

dengan bahagia kuberikan nyawaku.

Jika benar memperhatikan yang benar, seseorang tidak

akan meninggalkan temannya dalam keadaan duka,

tidak untuk menyelamatkan nyawanya sendiri;

Perbuatan demikian yang disetujui oleh para bijaksana

dan para benar.

Kewajiban muliamu telah kau lakukan, telah kuketahui

pula rasa kasihmu,

Pergilah segera, jika masih ingin melakukan hal yang

kusetujui.

Mungkin pada waktunya nanti kekuasaan memimpin

seluruh saudaraku, dengan pengetahuan dan

pengendalian diri yang lebih, akan beralih kepadamu.

Selagi demikian kedua burung berbincang, terlihat oleh

mereka, seperti maut yang mendatangi orang, adalah si pemburu.

Dua sahabat yang merasakan kedatangannya itu takut,

diam membisu dan tak bergerak, sewaktu ia mendekat

ke arah mereka.

Karena melihat angsa-angsa terbang kabur ke sana dan

ke sini, dan menghilang di angkasa, musuh mereka ini

bergegas menuju tempat kedua burung mulia itu berada.

Dan sewaktu tiba di tempat setelah berlari dengan

kecepatan penuh, si pemburu, dalam pikirannya yang

berkecamuk, berujar, ‘Apakah mereka tertangkap atau tidak?’

Yang satu dilihatnya tertangkap di dalam jeratnya,

sedangkan yang satunya lagi yang tidak terbelenggu

ataupun terikat dilihatnya sedang menatapi temannya

yang terjerat.

Dengan pikiran bingung dan ragu, ia melihat pasangan

burung mulia ini, —saat itu mereka telah dewasa, dua

burung yang menawan hati— dan demikian ia berkata

kepada mereka.

Benar adanya bila ia yang terjerat tidak dapat terbang

melarikan diri;

Tetapi mengapa, burung yang kuat, masih dalam

keadaan bebas tak terikat berada di sini bersamanya?

Wahai musuh para unggas (burung), ia adalah teman

sekaligus pemimpinku, ia sama berharganya dengan nyawaku;

Meninggalkan dirinya—Tidak, tidak akan pernah

kulakukan itu, sampai maut memanggilku.

Bagaimana bisa burung ini tidak melihat jerat dari sang

pemburu? Tugas dari para pemimpin biasanya adalah

harus berhati-hati terhadap mara bahaya.

Di saat kehidupan akan berakhir dan waktu kematian

telah mendekat, meskipun berada dekat dengan jerat,

tidak akan terlihat olehmu apa pun. 188

Jerat jenis apa saja, wahai burung-burung yang mulia,

sering kali sia-sia:

Dalam waktu tertentu akhirnya satu tertangkap di jerat

yang tersembunyi itu dan akan dibunuh.

Untuk berbicara kepadanya agar dapat melunakkan hati si pemburu dan memohon agar Sang Mahasatwa dapat dilepaskan, ia (Sumukha) mengucapkan bait berikut:

Apakah ini merupakan buah dari kebahagiaan, berbicara

demikian ramah denganmu, dan apakah dirimu bersedia,

kumohon padamu, mengampuni nyawa kami dan

melepaskan kami berdua pergi?

Si pemburu, yang menjadi terpikat akan perkataan manis

Sumukha, mengucapkan bait berikut:

Saya tidak boleh memikirkan hidupku sendiri di saat

temanku ini akan menghadapi kematian,

Jika Anda dapat merasa puas dengan satu saja,

maka bebaskanlah ia dan makanlah dagingku

sebagai penggantinya.

Kami berdua sama dalam hal umur, panjang dan besar

badan; Tidak ada ruginya bagimu jika Anda mengambil

diriku sebagai pengganti dirinya.

Anggap saja seperti ini keadaannya

dan hilangkanlah rasa laparmu dengan diriku;

Pertama, ikatlah aku dalam jerat,

kemudian lepaskanlah raja burung ini.

Dengan cara tersebut Anda bisa mendapatkan

keinginanmu dan saya bisa mendapatkan keinginanku,

Dan kedamaian dapat tercipta di antara angsa dan

dirimu, selama kehidupan itu ada.

Demikianlah dengan pemaparan kebenaran itu hati si

pemburu menjadi lunak, sama seperti kapas yang dicelupkan ke

dalam minyak. Dan sewaktu hendak menyerahkan Sang

Mahasatwa kepadanya, seperti seorang pelayan kepada

majikannya, ia berkata:

Sebagai saksi semua saudaramu, sahabatmu, mereka

yang bijak, mereka yang menjadi bawahanmu,

Dikarenakan Anda seorang sendiri, raja para burung ini

memperoleh kebebasannya.

Sedikit sekali seseorang bisa memiliki seorang sahabat

sepertimu yang selalu siap berbagi nasib yang sama,

seperti yang Anda tunjukkan waktu rajamu tertangkap di

dalam jerat mematikan.

Maka kubebaskan sahabatmu yang juga rajamu,

mengikutimu pergi ke kejauhan,

Bergegaslah, pergi dari tempat ini, ke tempat saudarasaudaramu

berada dan bersinarlah layaknya sebuah

bintang.

Dan setelah berkata demikian, si pemburu dengan

niat baik dalam hatinya menghampiri Sang Mahasatwa.

Kemudian setelah memutuskan belenggu, ia menggendongnya

dalam pelukan, membawanya keluar dari air, membaringkannya

di tepi danau pada rumput hijau yang segar, dan dengan

kelembutan yang amat sangat melepaskan jerat yang mengikat

kakinya dan melemparnya jauh-jauh. Kemudian dengan pikiran

dipenuhi dengan perasaan cinta kasih yang besar terhadap Sang

Mahasatwa, ia mengambil air dan membersihkan darah dari

lukanya, dan membasuhnya berulang-ulang kali. Dikarenakan

kekuatan dari pikirannya yang dipenuhi dengan perasaan cinta

kasih, lukanya menjadi sembuh kembali: urat menyatu dengan

urat, daging menyatu dengan daging, dan kulit menyatu dengan

kulit. Kulit yang baru terbentuk dan demikian juga kulit-kulit di bawahnya. Bodhisatta, seperti seolah-olah tidak pernah terkena

jerat, dapat duduk dengan gembiranya dalam keadaan seperti

sediakala. Kemudian Sumukha yang melihat betapa gembiranya

Sang Mahasatwa dikarenakan perbuatannya, dalam

kebahagiaannya sendiri melantunkan pujian terhadap si pemburu.

Sang Guru, untuk menjelaskan ini, berkata:

Si angsa yang bersukacita atas pembebasan sang raja,

untuk menghormati tuannya,

demikian ini menyenangkan telinga si penolong dengan

kata-kata yang menyenangkan pula:

‘Pemburu, bersama dengan sanak saudaramu, semoga

Anda berbahagia, seperti diriku ini yang berbahagia

melihat raja burung ini dibebaskan.’

Setelah demikian memuji si pemburu, Sumukha berkata

kepada Bodhisatta, “Raja, laki-laki ini telah memberikan bantuan

yang besar: Jika ia tidak mau mendengarkan kata-kata kita, ia

bisa saja mendapatkan harta yang banyak, baik dengan

menjadikan kita sebagai hewan jinak yang dipelihara untuk

kesenangan dan memberikan kita kepada raja-raja, maupun

dengan membunuh dan menjual kita sebagai makanan. Akan

tetapi, tanpa memedulikan kehidupannya sendiri, ia

mendengarkan kata-kata kita. [345] Mari kita bawa ia ke hadapan

raja dan buat ia menjadi bahagia dalam hidupnya.” Sang Mahasatwa setuju dengan hal ini. Kemudian setelah berbincang

dengan Sang Mahasatwa dalam bahasa mereka sendiri,

Sumukha menyapa si pemburu dalam bahasa manusia dan

bertanya kepadanya, “Samma, mengapa Anda membuat jerat?”

dan ketika ia menjawabnya, “Untuk mendapatkan uang,”

Sumukha kemudian menambahkan, “Jika memang ini alasannya,

bawalah kami bersamamu ke kota dan persembahkan kami

kepada raja, dan saya akan membujuknya menganugerahkan

kepadamu harta yang banyak,” dan ia mengucapkan bait-bait berikut:

Mari kuajarkan padamu bagaimana mendapatkan harta

yang banyak, setelah bertemu dengan angsa mulia ini

janganlah melakukan kesalahan sekecil apa pun.

Cepat, bawa kami ke istana raja, dengan suara, badan

dan segalanya, dengan tetap berdiri, tak akan melompat,

di kedua sisi pemikulmu.

Dan katakanlah, ‘Wahai paduka, ke tempat ini kami bawa

dua ekor angsa emas, yang satu adalah panglima dan

yang satunya lagi adalah raja.

Raja manusia yang melihat raja angsa ini akan menjadi

begitu riang dan gembira, ia akan menganugerahkan

harta yang banyak kepadamu.

Setelah Sumukha berkata demikian, si pemburu

membalas, “Janganlah bersenang hati berjumpa dengan raja.

Sesungguhnya para raja memiliki pikiran yang susah ditebak:

mereka akan mengurungmu untuk kesenangan mereka atau

bahkan mereka akan membunuhmu.” Sumukha berkata, “Jangan

takut, Teman. Dengan pemaparan kebenaran, saya telah

melunakkan hati dari seorang makhluk kejam sepertimu dan

telah membuatmu menurutiku, seorang pemburu yang tangannya

merah dengan lumuran darah. Raja, sesungguhnya juga, penuh

dengan kebaikan dan kebijaksanaan, dan orang yang demikian

mampu membedakan perkataan yang baik dan yang buruk. Si

pemburu berkata, “Baiklah, jangan marah kepadaku. Karena ini

adalah keinginanmu, maka akan kubawa kalian

kepadanya.” Maka ia pun menaikkan sepasang burung itu ke

pemikulnya dan pergi ke istana, dan membawa mereka

menghadap kepada raja, kemudian ketika dipertanyakan oleh

raja, si pemburu pun menjelaskan seluruh kejadiannya.

Sang Guru, untuk menjelaskan masalah ini, berkata:

Untuk menuruti perkataan mereka, ia melakukan hal

yang dikehendaki oleh angsa-angsa itu;

Dengan cepat mebawa mereka ke istana raja, dengan

suara, badan dan segalanya, dengan tetap berdiri, tak

akan melompat, di kedua sisi pemikulnya.

‘Wah, yang ada di sini,’ katanya, ‘dua angsa emas,

wahai paduka, kubawakan kepadamu, yang satu adalah

panglima dan yang satunya lagi adalah raja.’

Bagaimana bisa makhluk-makhluk hebat yang bersayap

ini menjadi mangsamu, Pemburu?

Bagaimana caranya Anda mendekati mereka, tidak

membuat mereka takut dan terbang pergi?

Wahai paduka, raja manusia, di setiap danau terdapat

jerat atau jaring; Di setiap tempat hunian burung

kupasang perangkap.

Demikianlah pada satu jerat yang tersembunyi ini, saya

mendapatkan raja angsa itu;

Tetapi temannya, yang masih dalam keadaan bebas,

tetap berada di sampingnya dan mencoba membebaskannya.

Panglima angsa itu melakukan kewajiban di luar yang

dapat dicapai oleh para pemberani lainnya, berusaha

sekuat tenaganya untuk menenangkan pemimpinnya.

Di sana ia berdiri, yang seharusnya dapat terbang pergi,

merasa puas dapat memberikan nyawanya jika sang raja

angsa, yang terus dipujinya, dibebaskan.

Mendengar kata-katanya, segera diriku ini seperti

mendapatkan kehormatan;

Dengan perasaan bahagia kubebaskan unggas yang

terjerat itu dan meminta mereka untuk pergi.

Si angsa yang bersukacita atas pembebasan sang raja,

untuk menghormati tuannya,

demikian ini menyenangkan telinga si penolong dengan

kata-kata yang menyenangkan pula:

‘Pemburu, bersama dengan sanak saudaramu, semoga

Anda berbahagia, seperti diriku ini yang berbahagia

melihat raja burung ini dibebaskan.

Mari kuajarkan padamu bagaimana mendapatkan harta

yang banyak, setelah bertemu dengan angsa mulia ini

janganlah melakukan kesalahan sekecil apa pun.

Cepat, bawa kami ke istana raja, dengan suara, badan

dan segalanya, dengan tetap berdiri, tak akan melompat,

di kedua sisi pemikulmu.

Dan katakanlah, “Wahai paduka, ke tempat ini kami

bawa dua ekor angsa emas, yang satu adalah panglima

dan yang satunya lagi adalah raja.”

Raja manusia yang melihat raja angsa ini akan menjadi

begitu riang dan gembira, ia akan menganugerahkan

harta yang banyak kepadamu.’

Demikianlah atas permintaanya, sepasang burung ini

datang ke sini atas tuntunan dariku, yang sebenarnya

mereka telah kubebaskan untuk terbang pulang.

Demikianlah nasib hidup dari unggas malang ini, yang

meskipun ia adalah makhluk yang sempurna, karena

tergerak oleh rasa iba terhadap diriku, si pemburu kejam.

Angsa ini, wahai paduka, kupersembahkan kepadamu,

Di antara para pemburu, sangatlah langka untuk dapat

menemukan unggas yang seperti ini.

Demikian dengan berdiri di sana diucapkannya

pujian terhadap kebajikan Sumukha. Kemudian Raja Sakuḷa

memberikan kepada raja angsa tersebut sebuah tempat duduk

yang agung dan kepada Sumukha sebuah kursi bagus berwarna

emas. Setelah mereka duduk di tempat masing-masing, raja

menyajikan kepada mereka biji-bijian dengan madu, air gula, dan

sebagainya, dalam bejana emas. Ketika mereka selesai makan,

dengan bersikap anjali, raja memohon kepada Sang Mahasatwa

untuk mengajarkan kebenaran, dan duduk di kursi emas. Atas

permintaannya ini, sang raja angsa pun beruluk salam dan

berbincang-bincang dengannya.

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Melihat raja duduk di sebuah kursi emas nan indah, si

angsa, untuk menyenangkan pendengarannya, bertanya demikian:

Apakah Anda, Paduka, dalam keadaan baik dan sehat?

Pastinya kerajaanmu makmur dan Anda memimpin dengan benar.

Wahai raja angsa, saya berada dalam keadaan baik dan

sehat; Kerajaanku makmur dan kupimpin dengan benar.

Apakah Anda memiliki orang-orang yang benar sebagai

para menteri dan pejabat kerajaanmu, yang bebas dari

kesalahan dan keburukan, yang siap mati demi dirimu yang baik?

Saya memiliki orang-orang yang benar sebagai para

menteri dan pejabat kerajaanku, yang bebas dari

kesalahan dan keburukan, yang siap mati demi diriku yang baik.

Apakah Anda memiliki seorang istri yang statusnya sama

denganmu, patuh, santun dalam ucapan, diberkahi

dengan anak, rupawan, nama nan indah, dan penurut

terhadap suaminya?

Saya memiliki seorang istri yang statusnya sama

denganku, patuh, santun dalam ucapan, diberkahi

dengan anak, rupawan, nama nan indah, dan penurut

terhadap suaminya.

Setelah demikian Bodhisatta beruluk salam dengannya, raja kemudian berbincang kembali dengannya dan berkata:

Ketika ketidakberuntungan menimpamu menyebabkan

dirimu berada di tangan musuhmu yang mematikan,

Apakah di saat itu, wahai angsa, Anda mengalami

penderitaan?

Apakah ia kemudian datang dan dengan kayu

memukulimu?

Karena sebagaimana yang kudengar, hal inilah yang

dilakukan oleh para makhluk kejam itu.

Tidak pernah diriku berada dalam bahaya, sejauh yang

dapat kuingat; Ia juga tidak pernah memperlakukan kami

sebagai musuhnya sama sekali.

Si pemburu, yang heran dan terkejut, bertanya kepada kami;

Dan Sumukha, yang paling bijak, menjawab pertanyaannya.

Mendengar kata-katanya, si pemburu segera

menunjukkan hormatnya, dengan perasaan sukacita

membebaskanku dari jerat dan meminta kami

meninggalkan tempat itu.

Datang dan mengunjungimu, wahai paduka, adalah

keinginan dari Sumukha, yang memiliki pemikiran bahwa

teman kami mungkin memperoleh harta yang banyak

dengan berbuat demikian.

Pemikiranmu benar; Selamat datang semuanya!

Senang berjumpa dengan kalian di sini, dan dengan

senang hati kuberikan yang pantas didapatkan oleh si pemburu.

Setelah berkata demikian, raja menatap seorang

pejabat kerajaannya, dan ketika ia bertanya, “Apa yang harus

kulakukan, Paduka?” Raja membalas, “Pastikan rambut dan

janggut dari pemburu ini dirapikan, setelah ia selesai mandi

dan badannya dioles dengan minyak, hiaslah dirinya dengan

mewah, kemudian bawa ia ke sini.” Ketika semua itu telah

dikerjakan dan pemburu itu dibawa menghadap kepada raja

kembali, raja menganugerahkan kepadanya sebuah

perkampungan yang tiap tahunnya memberikan penghasilan

sebesar seratus ribu keping uang, ditambah dengan sebuah

kediaman yang berbatasan dengan dua jalan, sebuah kereta

megah, serta emas kepingan dan emas lantakan yang banyak.

Sang Guru, untuk menjelaskan ini, berkata:

Dengan kekayaan yang berlimpah ruah, raja

menganugerahi si pemburu;

Si angsa emas kemudian berujar dengan perkataan yang

menyenangkan pendengaran.

Kemudian Sang Mahasatawa mengajarkan kebenaran

kepada raja. Raja bersukacita setelah mendengarkan pengajaran

tersebut, dan dengan memiliki pemikiran untuk memberikan

balasan berupa tanda penghormatan kepada sang pengajar

kebenaran, ia menganugerahkan kepadanya payung putih

(kerajaan) dan mengalihkan kerajaan kepadanya, dengan

mengucapkan bait-bait berikut:

Apa pun yang kumiliki, apa pun itu yang disebutkan

akan berada di bawah kekuasaanmu jika Anda

menginginkannya.

Apakah itu akan dijadikan sebagai derma atau apakah itu

akan digunakan olehmu;

Kepadamu kuberikan semua kekayaan dan

kepunyaanku, kepadamu kerajaanku kuberikan.

Tetapi kemudian Sang Mahasatwa mengembalikan

payung putih yang telah diberikan oleh raja itu. Dan raja berpikir,

“Saya telah mendengar kebenaran yang diajarkan oleh raja

angsa. Sumukha yang dipuji oleh pemburu, mengucapkan katakata

semanis madu, saya juga harus mendengar pemaparan kebenaran darinya.” Maka untuk berbincang

dengannya, raja mengucapkan satu bait berikut:

Jika Yang Bijak dan yang terpelajar Sumukha

mengucapkan keinginannya dalam sepatah atau dua

patah kata, kebahagiaanku akan menjadi lebih besar.

Kemudian Sumukha berkata:

Tidak bisa, di hadapan Anda dan Tuanku, tidak pantas

mengucapkan sepatah kata pun, seolah-olah diriku

adalah raja nāga.

Karena raja angsa emas ini dan Anda, wahai raja yang

berkuasa, mendapatkan penghormatan dariku atas dasar apa pun.

Diriku yang hanyalah seorang bawahan, tidaklah pantas

ikut bersuara ketika terjadi percakapan di antara para

pemimpin yang mulia.

Raja yang mendengar perkataannya merasa gembira

dan berkata, “Pantaslah si pemburu memuji dirimu, dan pastinya

tidak ada yang lain seperti dirimu ini, seorang pembabar

Kebenaran yang bersuara manis,” dan mengulangi bait-bait berikut:

Si pemburu benar sekali dengan memuji angsa ini

sebagai yang paling bijak di antara angsa lainnya:

Kebijaksanaan yang demikian tidak ditemukan dalam

pikiran orang yang tidak disiplin.

Dari makhluk-makhluk mulia yang pernah kujumpai,

pastinya angsa inilah yang terbaik di antara mereka

semua, dengan anugerah alamiah yang tertinggi, tiada

taranya.

Rupa muliamu dan pemaparan manismu terdengar oleh

telingaku seperti suara yang menyenangkan,

keinginanku adalah agar Anda berdua bersedia tinggal

bersamaku untuk waktu yang lama.

Kemudian Sang Mahasatwa, dalam pujiannya

terhadap raja, berkata:

Anda bersikap kepada kami seperti seseorang yang

berhadapan dengan sahabat karibnya:

Demikian bagusnya kebaikanmu, Paduka, yang diberikan

kepada kami, burung-burung miskin.

Sayangnya akan terdapat suatu kekosongan bagi

saudara-saudara kami, dan banyak dari mereka yang

bersedih jika tidak melihat kami.

Izinkanlah kami pergi, Paduka, agar dapat

menghilangkan kesedihan mereka;

Dengan rendah hati, kami memohon izin agar dapat

berjumpa dengan teman-teman kami kembali.

Saya merasa senang luar biasa bersahabat dengan

Yang Mulia;

Mulai saat ini, saya percaya, teman-temanku tidak perlu

merasa takut lagi.

Selesai ia berkata demikian, raja pun memperbolehkan

mereka untuk pulang kembali. Dan Sang Mahasatwa

memaparkan kepada raja tentang bahaya dari melakukan lima

jenis perbuatan buruk, dan berkah dari melakukan kebajikan,

serta menasihatinya dengan berkata, “Jagalah sila, perintahlah

kerajaanmu (selalu) dengan benar, menangkanlah hati rakyatrakyatmu

dengan empat poin merangkul orang,” dan tanpa

ditunda lagi, ia terbang menuju Cittakūṭa.

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Demikian Raja Angsa Dhattaraṭṭha berbicara kepada raja

manusia, kemudian angsa-angsa itu terbang dengan

kecepatan penuh ke tempat saudara-saudara mereka berada.

Melihat para pemimpin mereka kembali dalam keadaan

selamat dari tempat hunian manusia, kumpulan burung

bersayap menyambut hangat mereka dengan suara riuh.

Setelah demikian mengelilingi pemimpin yang mereka

percayai, angsa-angsa emas ini memberikan hormat

yang selayaknya kepada seorang raja, bersukacita atas

pembebasan dirinya.

Sewaktu mengelilingi raja mereka, angsa-angsa ini

bertanya kepadanya, “Bagaimana cara Anda menyelamatkan

diri?” Sang Mahasatwa memberitahukan mereka tentang

penyelamatan dirinya atas bantuan dari Sumukha, dan juga

tentang perbuatan dari Raja Sakuḷa dan sang pemburu. Setelah

mendengar ini, kumpulan angsa ini dalam kebahagiaan mereka

melantunkan pujian, dengan berkata, “Semoga Sumukha

panjang umur, Panglima kita; dan Raja Sakuḷa, serta si pemburu.

Semoga mereka berbahagia dan bebas dari penderitaan.”

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru mengulangi bait terakhir berikut:

Demikianlah semuanya, yang hatinya penuh dengan

perasaan cinta kasih, akan berhasil dalam segala hal

yang dilakukan seperti kedua angsa ini yang dapat

terbang kembali kepada teman-teman mereka dengan selamat.

Sang Guru mengakhiri uraian-Nya sampai di sini, dengan berkata, “Para Bhikkhu, bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau Ānanda mengorbankan hidupnya demi diriku,” dan Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Channa adalah si pemburu, Sāriputta adalah raja manusia, Ānanda adalah Sumukha, para siswa Sang Buddha adalah sembilan puluh ribu ekor angsa itu, dan diriku sendiri adalah sang raja angsa.”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 5

 

 

Tagged ,

SONA NANDA JĀTAKA

“Dewakah atau gandhabbakah,” dan seterusnya.

Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menghidupi ibunya. Kejadian yang membawa sampai ke kisah ini sama seperti yang terdapat di dalam Sāma-Jātaka. Dalam kesempatan ini, Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, janganlah mencemooh bhikkhu ini. Orang bijak di masa lampau, meskipun ditawarkan satu kekuasaan untuk memimpin seluruh Jambudīpa, menolaknya dan (memilih untuk) menghidupi orang tua mereka. Konon, dahulu kala Kota Bārāṇasī (Benares) dikenal dengan nama Brahmavaḍḍhana. Kala itu, seorang raja yang bernama Manoja berkuasa di kota itu. Terdapatlah seorang brahmana hartawan yang memiliki kekayaan sebesar delapan ratus juta tetapi tidak memiliki seorang putra, dan istrinya memohon untuk mendapatkan seorang putra atas permintaan suaminya. Bodhisatta, yang beranjak meninggalkan alam brahma ketika itu, terkandung di dalam rahimnya, dan pada hari kelahirannya diberi nama Sona. Di saat ia mampu berlari, seorang makhluk lain lagi beranjak meninggalkan alam brahma dan ia juga terkandung di dalam rahim istrinya, dan pada hari kelahirannya diberi nama Nanda. Segera setelah Weda diajarkan kepada mereka dan mereka menguasai seluruh ilmu pengetahuan, sang brahmana yang memperhatikan betapa rupawan kedua putranya berkata kepada istrinya, “Istriku, bagaimana jika kita mengikat putra kita, Sona, dalam ikatan perkawinan?” Sang istri menyetujuinya dan memberitahukan masalah ini kepada putranya. Ia membalas, “Saya sudah merasa cukup dengan kehidupan duniawi sekarang ini. Selama Anda masih hidup, saya akan menjagamu, dan setelah Anda meninggal nanti, saya akan pergi ke Himalaya dan meninggalkan keduniawian menjadi seorang petapa.” Sang istri kemudian mengulangi perkataan ini kepada suaminya, dan ketika mereka telah berkali-kali berbicara kepadanya tetapi tidak berhasil membujuknya, mereka beralih kepada Nanda, dengan berkata, “Putraku, jalanilah kehidupan berkeluarga.” Ia menjawab, “Saya tidak akan menerima sesuatu yang ditolak oleh abangku, benda yang seolah-olah seperti dahak (yang dikeluarkan). Saya juga akan mengikuti tindakan abangku menjadi seorang pabbajita sepeninggal kalian.” Kedua orang tua tersebut berpikir, “Meskipun masih belia, mereka telah meninggalkan kesenangan indriawi. Jika mereka ini saja memiliki keinginan menjalani kehidupan seorang petapa, bagaimana pula dengan kami?” dan mereka berkata, “Mengapa harus menunggu kami meninggal baru meninggalkan keduniawian? Kami akan meninggalkan kehidupan berumah tangga sekarang (menjalankan kehidupan petapa).” Dan setelah memberitahukan kepada raja tentang niat mereka tersebut, mereka mendermakan seluruh kekayaan, menjadikan pelayan mereka budak yang bebas dan membagikan apa yang benar dan pantas diberikan kepada saudara-saudara mereka, dan mereka berempat meninggalkan Brahmavaḍḍhana menuju ke Himalaya. Mereka membuat satu tempat pertapaan di dalam hutan yang menyenangkan, di dekat sebuah danau yang ditumbuhi oleh lima jenis teratai, dan di sana mereka tinggal sebagai petapa. Dua bersaudara itu menjaga kedua orang tua mereka. Pada setiap awal pagi hari, mereka menyiapkan serat-serat kayu untuk sikat gigi dan air untuk cuci muka. Mereka menyapu bagian luar dari tempat pertapaan, bagian kamar, dan semuanya, menyediakan air untuk mereka minum, membawakan buah-buahan manis untuk mereka makan, menyediakan baik air dingin maupun air panas untuk mandi, merapikan rambut beranyam mereka, membasuh kaki mereka, dan melakukan pelayanan lain sejenisnya. Setelah beberapa lama berlalu dengan keadaan demikian, Yang Bijak Nanda berpikir, “Saya berkewajiban menyediakan buah-buahan untuk ayah dan ibuku,” jadi buah apa saja yang dapat dikumpulkannya di sekitar tempat itu baik pada waktu kemarin maupun dua hari sebelumnya, akan dibawanya pada awal pagi dan diberikannya kepada orang tuanya untuk dimakan. Mereka kemudian memakannya dan, setelah mencuci mulut, melakukan puasa Uposatha. Sedangkan Yang Bijak Sona pergi jauh untuk mengumpulkan buah-buahan yang manis dan masak, dan mempersembahkannya kepada mereka. Kemudian mereka berkata, “Anakku, awal pagi hari ini kami sudah memakan apa yang dibawakan oleh adikmu. Sekarang kami melakukan puasa Uposatha. Kami tidak

memerlukan buah-buahan ini sekarang. Jadi buah-buahannya tidak dimakan dan juga tidak diterima mereka. Hari berikutnya juga terjadi hal yang sama, dan begitu seterusnya. Demikianlah, dengan lima kesaktian yang dimilikinya, ia pergi ke tempat jauh untuk mengumpulkan buah-buahan, tetapi mereka tidak memakannya. Kemudian Sang Mahasatwa berpikir, “Ibu dan ayahku adalah orang lembut, dan Nanda membawakan buah-buahan baik yang belum masak maupun setengah masak untuk mereka makan. Dan bila keadaannya terus begini, mereka tidak akan dapat hidup untuk waktu yang lama. Akan kuhentikan perbuatannya.” Maka untuk memberitahunya, ia berkata, “Mulai hari ini, jika Anda hendak membawakan buah-buahan untuk mereka, Anda harus menunggu sampai saya kembali terlebih dahulu, baru kemudian kita berdua akan memberikannya kepada mereka untuk dimakan.” Meskipun diberitahu demikian, tetapi karena menginginkan jasa kebajikan untuk dirinya sendiri, ia tidak mengindahkan perkataan saudaranya. Sang Mahasatwa kemudian berpikir, “Nanda tidak menghiraukan perkataanku, melakukan perbuatan yang salah. Akan kuusir dirinya.” Dengan memiliki pemikiran bahwa ia sendiri yang akan menjaga kedua orang tuanya, ia pun berkata, “Nanda, Anda tidak mengindahkan perkataanku, tidak berbuat sesuai apa yang dinasihatkan oleh yang bijak. Saya adalah putra sulung. Ibu dan ayah adalah tanggung jawabku: Akan kujaga mereka sendirian. Anda tidak lagi boleh tinggal di tempat ini, pergilah ke tempat lain,” dan ia menjentikkan jarinya. Setelah diusir demikian, Nanda tidak lagi boleh berada di hadapan saudaranya, dan setelah mengucapkan perpisahan dengannya, ia menghampiri kedua orang tuanya dan memberitahu mereka apa yang terjadi. Setelah menuju ke gubuk daunnya sendiri, Nanda melatih meditasi kasiṇa dan kemudian dari hari itu ia mengembangkan lima kesaktian dan delapan pencapaian (meditasi). Ia berpikir, “Aku dapat mengambil pasir permata dari kaki Gunung Sineru dan dengan menaburkannya di kamar abangku, kudapat memohon maaf darinya, dan jika itu tidak berhasil, akan kuambilkan air dari Danau Anotatta dan kemudian memohon maaf darinya. Jika itu tidak berhasil, dan jika abangku akan memaafkanku setelah kudatangkan makhluk-makhluk dewata, maka akan kubawa empat maharaja dan juga Dewa Sakka, kemudian memohon maaf darinya. Dan jika ini juga tidak berhasil, akan kubawa raja termasyhur di seluruh India, Manoja, berikut dengan para raja lainnya, dan kemudian memohon maaf darinya. Dan jika ini dilakukan, ketenaran dari abangku akan tersebar ke seluruh India dan bersinar terang seperti matahari dan bulan.” Dengan kesaktiannya, ia tiba di Kota Brahmavaḍḍhana di depan pintu istana raja dan mengirimkan pesan kepada raja (melalui penjaga pintu) yang berbunyi, “Seorang petapa hendak bertemu dengan Anda.” Raja berkata, “Ada urusan apa seorang petapa datang menemuiku? Ia pasti datang untuk mendapatkan makanan.” Raja memberikannya makanan, tetapi ia tidak mengambilnya. Kemudian raja memberikannya beras, dan kain, dan daun pinang sirih, tetapi ia tidak juga mengambilnya. Akhirnya raja mengutus seorang pengawal untuk menanyakan alasan kedatangannya, dan untuk memberikan jawaban kepada pengawal itu, ia berkata, “Saya datang untuk melayani raja.” Mendengar ini, raja kembali mengirim pengawalnya dengan berkata, “Saya memiliki banyak pelayan, mintalah ia lakukan saja pekerjaannya sebagai seorang petapa.” Ketika mendengar jawaban raja, ia membalas, “Dengan kekuatanku sendiri akan kudapatkan kekuasaan untuk memerintah seluruh India dan memberikannya kepada rajamu.”

Sewaktu mendengar hal ini, raja berpikir, “Pada umumnya, para petapa adalah orang yang bijak. Pastilah mereka mengetahui suatu trik tertentu untuk itu.” Kemudian raja meminta pengawal untuk membawanya menghadap, memberikannya tempat duduk dan setelah memberi salam hormat kepadanya, bertanya, “Bhante, apakah Anda mampu mendapatkan kekuasaan untuk memerintah seluruh India, seperti yang dikatakan, dan akan memberikannya kepadaku?” “Ya, Paduka.” “Bagaimana Anda melakukannya?” “Paduka, tanpa mencucurkan darah siapa pun, bahkan tidak sedikit pun jumlah yang dapat diminum seekor lalat kecil, tanpa menghabiskan harta kekayaanmu. Dengan kesaktianku sendiri, akan kudapatkan kekuasaanku dan kuberikan kepadamu. Hanya saja, hari ini juga, tanpa ditunda lagi Anda harus berangkat maju.” Raja memercayai kata-katanya dan berangkat, dikawal oleh para pasukannya. Jika cuaca panas, Nanda menciptakan peneduh (untuk melindungi mereka dari panas) dan membuatnya terasa dingin. Jika hari hujan, ia tidak membiarkan air membasahi pasukan tersebut; ia menjaga kehangatan hembusan angin. Ia menghilangkan tunggul-tunggul pohon, semak-semak berduri dan segala jenis bahaya. Ia membuat jalanan menjadi sama ratanya seperti saat ia mengembangkan meditasi kasiṇa. Dengan membentangkan pakaian dari kulit antelop-nya, ia duduk bersila di atasnya di angkasa, dan berada di depan pasukan raja. Dengan cara demikian, pertama kalinya mereka tiba di Kerajaan Kosala, dan setelah membuat barak di dekatnya, ia mengirimkan sebuah pesan kepada Raja Kosala, memintanya untuk menyerah atau bertempur dengannya. Raja menjadi marah dan berkata, “Apa-apaan ini, saya tidak lagi menjadi raja? Saya akan bertempur denganmu,” dan ia pun berangkat maju memimpin pasukannya di depan, dan kedua kubu pasukan itu pun terlibat dalam satu pertempuran. Yang Bijak Nanda, setelah membentangkan dengan lebar pakaian dari kulit antelop yang sedang didudukinya tersebut di antara kedua kubu pasukan, menarik semua panah yang ditembakkan oleh masing-masing pasukan, dan tak seorang pun di kedua kubu itu yang terluka. Dan ketika semua panah milik mereka habis, kedua kubu pasukan itu hanya dapat berdiri tak berdaya. Dan Nanda mendatangi Raja Kosala, mencoba meyakinkan dirinya, dengan berkata, “Paduka, janganlah takut. Tidak ada bahaya yang mengancam kerajaanmu. Kerajaan masih akan tetap menjadi milikmu, Anda cuma menyerah kepada Raja Manoja.” Ia memercayai apa yang Nanda katakan dan setuju dengannya. Kemudian dengan membawanya ke hadapan Raja Manoja, Nanda berkata, “Raja Kosala menyerah padamu, Paduka. Biarlah kerajaannya tetap menjadi miliknya.” Manoja juga mengiyakannya dan setelah menerima penyerahannya, ia melanjutkan perjalanan dengan dengan kedua pasukan itu ke Kerajaan Aṅga dan menaklukkan Aṅga, kemudian menaklukkan Magadha. Dengan cara demikian, ia menjadikan dirinya sebagai raja termasyhur di seluruh India, dan dengan ditemani oleh mereka (para raja), ia pun kembali ke Kota Brahmavaḍḍhana. Kala itu, raja menghabiskan waktu selama tujuh tahun, tujuh bulan, dan tujuh hari untuk menaklukkan seluruh kerajaan yang dikuasai oleh para raja tersebut. Dari masing-masing kerajaan, ia mengambil semua jenis makanan, yang keras dan yang lunak, dan seluruh raja yang berjumlah seratus satu orang, selama tujuh hari ia mengadakan pesta bersama mereka. Yang Bijak Nanda saat itu berpikir, “Saya tidak akan memperlihatkan diriku kepada raja sampai ia selesai menikmati kesenangan dari kekuasaan ini selama tujuh hari.” Dengan berkeliling untuk mendapatkan derma makanan di negeri Kuru Utara, ia tinggal di Gua Emas di pegunungan Himalaya selama tujuh hari. Setelah tujuh hari berlalu, pada hari ketujuh, Manoja memikirkan kembali tentang kejayaan dan kekuasaannya, dan teringat kepada dirinya, “Kejayaan ini bukan diberikan oleh ayahku, ibuku, atau saudaraku yang lainnya. Kejayaan ini murni dari Nanda si petapa, dan hari ini adalah hari ketujuh sejak terakhir kali saya melihatnya. Di mana gerangan teman yang memberikan kejayaan demikian ini kepadaku?” Dan ia pun kemudian terus teringat kepada Nanda. Dan Nanda, yang mengetahui bahwa dirinya telah diingatnya, datang dan berdiri di angkasa muncul di hadapannya. Raja berpikir, “Saya tidak tahu apakah petapa ini adalah seorang manusia atau seorang dewa. Jika ia adalah seorang manusia, akan kuberikan kepadanya kekuasaan ini yang memerintah seluruh India. Akan tetapi, jika ia adalah seorang dewa, akan kuberikan penghormatan yang selayaknya diberikan kepada seorang dewa,” untuk membuktikan pemikirannya, ia mengucapkan bait pertama berikut:

Dewakah atau gandhabbakah dirimu? Atau Anda adalah

Sakka, yang muncul di tengah-tengah manusia, dengan

segala kesaktiannya? Kami sangat ingin

mengetahuinya darimu.

Mendengar perkataannya, Nanda memaparkan keadaan

sebenarnya dalam bait kedua berikut:

Bukanlah Dewa, bukanlah gandhabba, apalagi Sakka

diriku ini; Saya hanyalah seorang manusia

yang memiliki kesaktian.

Kebenaranlah yang kuberitahukan ini padamu.

Ketika mendengar perkataannya ini, raja berpikir, “Ia

mengatakan bahwa ia adalah seorang manusia. Meskipun

demikian, ia sangatlah membantuku. Akan kubalas ia dengan

keagungan yang kuberikan padanya,” dan kemudian berkata:

Besar pelayanan yang Anda berikan kepada kami,

melebihi yang dapat diungkapkan dengan kata-kata, di

tengah derasnya hujan tak setetes air pun yang

mengenai kami.

Satu peneduh Anda ciptakan untuk kami ketika angin

panas berhembus.

Dari batang-batang panah mematikan Anda

melindungi kami, di tengah musuh-musuh yang tak

terhitung jumlahnya.

Berikutnya banyak kerajaan makmur yang Anda jadikan

saya sebagai pemimpinnya, terdapat seratus kesatria

yang kemudian tunduk pada kata-kata kami.

Apa yang menjadi pilihanmu dari harta kekayaan kami,

dengan senang hati diberikan padamu;

Kereta yang ditarik oleh kuda atau gajah, atau wanitawanita

yang didandani dengan indahnya, atau bahkan

jika sebuah kediaman (istana) menjadi pilihanmu, itu pun

akan menjadi milikmu.

Di Kerajaan Aṅga atau Magadha jika Anda ingin

berdiam, atau di Kerajaan Assaka atau Avanti,

akan dengan senang hati pula kami berikan.

Bahkan setengah dari kerajaan yang kami miliki akan

diberikan dengan senang hati, katakan saja apa yang

hendak Anda miliki, dengan segera itu menjadi milikmu.

Mendengar perkataan raja ini, Nanda, untuk

menjelaskan keinginannya, berkata:

Bukanlah kekuasaan yang kuinginkan, bukan pula

sebuah kerajaan atau kota, ataupun kekayaan yang

kuhendaki.

“Tetapi jika memang Anda mengasihi diriku,” katanya

lagi, “Lakukanlah satu hal yang kukatakan berikut ini.”

Di dalam kerajaanmu kedua orang tuaku tinggal,

menikmati ketenangan di satu tempat pertapaan

dalam hutan.

Tinggal bersama orang tuaku ini adalah seorang bijak,

Sona, dengannya tak bisa kudapatkan jasa kebajikan

dari mereka. Jika Anda dapat membantuku,

kemarahannya akan reda.

Kemudian raja berkata kepadanya:

Dengan senang hati, wahai brahmana, akan kulakukan

permintaanmu ini.

Akan tetapi, siapa gerangan yang harus kubawa untuk

dapat mewujudkannya?

Kemudian Yang Bijak Nanda berkata:

Lebih dari seratus perumah tangga, lebih dari seratus

brahmana, dan semua kesatria mulia dan terkemuka ini,

beserta dengan Manoja, cukup untuk mewujudkan

keinginanku.

Kemudian raja berkata:

Mari kita pergi, dengan kuda-kuda dan gajah-gajah pada

keretanya; Mari kita pergi, kembangkanlah panji-panjiku

pada tiang-tiang kereta.

Saya akan pergi ke tempat Kosiya sang petapa itu

tinggal.

Demikian dikawal oleh empat kelompok pengawal, raja

itu berangkat mencari tempat ia, petapa tenang itu,

bertempat tinggal. —Bait ini diucapkan oleh Ia Yang

Sempurna Kebijaksanaan-Nya.

Pada hari ketika raja tiba di tempat pertapaan yang

dituju, Yang Bijak Sona terpikir, “Hari ini sudah lebih dari

tujuh tahun, tujuh bulan dan tujuh hari sejak adikku pergi

meninggalkan kami. Di mana gerangan ia berada sekarang?”

Kemudian memindai dengan menggunakan mata dewanya, ia

melihat saudaranya dan berkata dalam dirinya sendiri, “Ia sedang

menuju ke sini beserta dengan seratus satu raja dan rombongan

pasukan yang berjumlah dua puluh empat legiun untuk

meminta maaf kepadaku. Para raja ini beserta dengan

pasukannya telah menyaksikan banyak hal luar biasa yang

dilakukan oleh adikku, dan karena tidak mengetahui kesaktianku,

mereka berkata tentang diriku, ‘Petapa palsu ini terlalu bangga

dengan kesaktiannya dan mencoba membandingkan dirinya

dengan pemimpin kami.’ Dengan kesombongan yang demikian

ini, mereka dapat berakhir di alam neraka. Akan kutunjukkan

kepada mereka sedikit dari kekuatanku,” dan melayang di

angkasa dengan meletakkan pemikulnya tidak bersentuhan

dengan bahunya pada jarak empat aṅgula, demikian ia terbang,

melewati dekat pada raja, untuk mengambil air di Danau

Anotatta. Ketika melihat kedatangannya tersebut, Nanda tidak

memiliki keberanian untuk memperlihatkan dirinya, ia menghilang

dari tempat ia duduk, melarikan diri dan bersembunyi di pegunungan Himalaya. Lain halnya dengan Raja Manoja yang

ketika melihatnya dalam penampilan seorang resi, berujar:

Siapa gerangan itu, yang mengambil air, dengan cara

terbang demikian di angkasa, dengan pemikul yang tidak

bersentuhan dengannya pada jarak empat aṅgula?

Disapa demikian oleh raja, Sang Mahasatwa

mengucapkan dua bait berikutnya:

Saya adalah Sona, yang sempurna dalam perilaku

dan praktik moral (sila);

Kedua orang tuaku kujaga dengan perasaan tanpa lelah

siang dan malam.

Buah-buahan dan akar-akaran di hutan kukumpulkan

sebagai makanan untuk mereka, dengan selalu

mengingat bagaimana baiknya mereka dahulu terhadap diriku.

Mendengar perkataannya ini, raja ingin untuk berteman

dengannya dan mengucapkan bait berikut:

Kami ingin mengunjungi tempat pertapaan Kosiya

tinggal, tunjukkanlah jalannya, Sona, yang membawa

kami menuju ke sana.

Kemudian Sang Mahasatwa dengan kekuatannya

memunculkan setapak jalan yang mengarah ke tempat

pertapaan itu, dan mengucapkan bait ini:

Inilah jalannya: Perhatikanlah dengan baik, wahai raja,

kumpulan pohon koviḷāra yang menyerupai awan, di

sanalah Kosiya tinggal.

Demikian sang maharesi memberi petunjuk kepada para

kesatria, kemudian kembali terbang ke angkasa pulang

ke kediamannya.

Berikutnya setelah menyapu tempat pertapaannya, ia

masuk ke dalam gubuk daun, membangunkan ayahnya

dan memberikannya tempat duduk.

‘Marilah,’ katanya, ‘Wahai maharesi, duduklah di sini,

karena para kesatria terkemuka akan melewati jalan ini.’

Laki-laki tua itu mendengar perkataan putranya, muncul

di hadapannya, keluar dari gubuknya dan duduk di dekat

pintu. —Bait-bait tersebut di atas diucapkan oleh Ia Yang

Sempurna Kebijaksanaan-Nya.

Dan pada waktu yang bersamaan ketika Bodhisatta

kembali ke tempat pertapaannya, Nanda menghadap kepada raja dengan membawakannya air dari Anotatta, dan kemudian

membuat barak yang tidak jauh dari tempat pertapaan tersebut.

Kemudian raja mandi dan berhias diri dengan segala

kebesarannya, dan dengan diikuti oleh seratus satu raja tersebut,

ia pergi bersama pula dengan Nanda dalam segala kehormatan

dan kejayaannya, masuk ke tempat pertapaan, memohon

kepada Bodhisatta untuk memaafkan saudaranya. Kemudian

ayah dari Bodhisatta, ketika melihat raja datang menghampiri

mereka, bertanya kepada Bodhisatta dan beliau pun

menjelaskan masalahnya kepada dirinya.

Untuk memperjelas kejadian ini, Sang Guru berkata:

Ketika melihatnya, dalam kebesarannya, datang

menghampiri, dikelilingi oleh rombongan kesatria, Kosiya

demikian berujar:

Siapa ini yang berombongan datang ke sini diiringi

dengan tabuhan genderang, bunyi dari trompet dan dari

kerang, suara-suara musik yang dilantunkan untuk para

raja? Siapa ini yang datang dengan segala kejayaannya?

Siapa ini yang, dalam kebesarannya, datang dengan

serban emas, terang seperti cahaya, dan dipersenjatai

dengan panah, seorang pemuda pemberani?

Siapa ini yang datang, dalam kebesarannya, dengan

wajah bercahaya keemasan, seperti bara kayu

khadira, bersinar di perapian?

Siapa ini yang datang, dalam kebesarannya, dengan

payung dipegang demikian melindunginya, badannya

menghalangi pancaran sinar matahari?

Siapa ini yang dengan kipas bulu ekor sapi yak di kedua

sisi, terlihat seperti ia yang bijaksana, duduk di atas

punggung gajah?

Siapa ini yang datang, dalam kebesarannya, dengan

payung yang semuanya berwarna putih, di sekelilingnya

semua mengenakan baju besi, merupakan keturunan

bangsawan?

Siapa ini yang datang, dalam kebesarannya, dikelilingi

oleh seratus satu kesatria, serombongan raja mulia, baik

di depan maupun di belakang?

Siapa ini yang datang, dalam kebesarannya, dengan

bala tentaranya, diikuti oleh empat kelompok pengawal—

pasukan bergajah, berkuda, berkereta, berjalan kaki?

Milik siapakah ini, legiun-legiun pasukan tak terhitung

jumlahnya, berbaris di belakangnya seperti ombak di

lautan luas?

Adalah Manoja, raja dari para raja, dengan Nanda yang

datang ini, seakan-akan seperti Indra, raja para dewa, ke

tempat pertapaan orang yang menapaki kehidupan suci.

Itu adalah miliknya, legiun-legiun pasukan tak terhitung

jumlahnya, berbaris di belakangnya seperti ombak di

lautan luas.

Sang Guru berkata:

Dengan aroma wangi cendana, mengenakan busana

terbaik dari negeri Kāsi, mereka semuanya memberi

hormat bersikap anjali dan menghampiri sang resi.

Kemudian Raja Manoja memberi hormat, mengambil

tempat di satu sisi, dan setelah saling memberi salam,

mengucapkan dua bait berikut:

Saya pikir mungkin Anda dalam keadaan baik dan sehat,

dengan buah-buahan dan akar-akaran yang dapat

dikumpulkan di tempat tinggalmu, bukan?

Saya pikir mungkin Anda ada diganggu oleh lalat,

nyamuk, atau hewan kecil bersayap lainnya, atau bahkan

dari serangan hewan pemangsa, bukan?

Bait-bait berikutnya ini kemudian diucapkan oleh mereka

dalam bentuk tanya jawab:

Kami berada dalam keadaan baik dan sehat, dengan

buah-buahan dan akar-akaran yang dapat dikumpulkan

di tempat tinggalku.

Kami bebas dari gangguan lalat, nyamuk, atau hewan

kecil bersayap lainnya, dan tidak diserang oleh hewan

pemangsa.

Banyak pohon akasia yang tumbuh, tak ada penyakit

mematikan yang pernah muncul di tempat pertapaan ini.

Selamat datang, wahai raja! Merupakan suatu

kesempatan yang berbahagia Anda datang ke tempat ini.

Anda adalah orang yang agung dan berjaya: Katakan,

keperluan apa yang membawamu datang?

Buah tiṇḍukā, piyālā, kāsumārī, serta buah-buahan

lainnya yang manis; Ambillah yang terbaik yang kami

miliki, wahai raja, dan makanlah.

Dan air yang dingin ini dari sebuah gua yang

tersembunyi di bukit yang tinggi, wahai raja, ambillah air

ini dan minumlah jika berminat.

Kuterima semua tawaran persembahanmu, tetapi mohon

dengarkanlah apa yang ingin disampaikan oleh Nanda,

teman kami, berikut ini.

Karena, kami semua dalam rombongan ini, yang datang

ke tempat ini adalah untuk meminta padamu

mendengarkan permohonan dari Nanda.

Lebih dari seratus perumah tangga, lebih dari seratus

brahmana, dan semua kesatria mulia dan terkemuka ini,

beserta dengan Manoja, cukup untuk mewujudkan

keinginanku.

Para yaksa yang berkumpul di tempat ini, dan makhlukmakhluk

halus lainnya, tua dan muda, dengarkanlah apa

yang hendak kukatakan.

Hormatku pada mereka ini, kusapa ia yang berada di

samping resi, bagiku ia adalah seorang abang, tepat di

sebelah kananmu.

Untuk melayani kedua orang tuaku yang telah berusia

lanjut adalah permohonanku:

Berhentilah menghalangiku atas kewajiban mulia ini.

Pelayanan yang baik kepada orang tua kita telah lama

dilakukan oleh dirimu;

Orang bajik pastilah setuju dengan perbuatan ini—

mengapa Anda tidak bersedia memberikannya

kepadaku? Dengan jasa kebajikan yang diperoleh

membuatku dapat terlahir di alam menyenangkan.

Ada juga orang lain yang tahu dalam jalan kewajiban ini,

merupakan jalan menuju alam surga, sama sepertimu

yang mengetahuinya.

Tetapi diriku dihalangi untuk memperoleh jasa kebajikan

seperti ini, di saat kuberikan pelayanan agar orang tuaku

mendapatkan kebahagiaan.

Setelah demikian Nanda berkata, Sang Mahasatwa

pun membalas, “Anda telah mendengar apa yang hendak

dikatakannya. Sekarang dengarkanlah apa yang akan

kukatakan,” dan mengucapkan bait berikut ini:

Kalian semua yang menjubeli iring-iringan saudaraku,

dengarkanlah kata-kataku kali ini;

Ia yang mengurus ayah ibunya di hari tua mereka,

berbuat buruk terhadap orang yang lebih tua, akan

terbakar, terlahir di alam neraka.

Ia, yang tahu kebenaran, tahu akan jalan kebenaran,

berbuat kebajikan menjaga praktik moral, tidak akan

terlahir di alam menyedihkan.

Saudara laki-laki atau wanita, orang tua, dan semua

yang terikat hubungan darah, kewajiban utama terletak

pada yang paling tua.

Sebagai putra tertua, kewajiban yang cukup berat ini

kupikul. Dan seperti nahkoda yang mengemudikan laju

sebuah kapal, demikianlah diriku tidak akan pernah

meninggalkan kebenaran.

Mendengar perkataan ini, para raja tersebut bersukacita

dan berkata, “Hari ini kami mengetahui bahwa dari keseluruhan

anggota keluarga, kewajiban utama terletak pada pundak anak

yang paling tua,” mereka berpaling dari Nanda dan beralih

kepada Sang Mahasatwa, mengucapkan dua bait berikut,

melantunkan pujian:

Telah kami dapatkan pengetahuan, seperti api yang

bersinar di kegelapan, demikianlah yang dilakukan oleh

Kosiya memaklumkan kebenaran kepada kami.

Seperti matahari yang, dengan sinarnya, menerangi

seluruh lautan, menunjukkan bentuk dari makhlukmakhluk

hidup, yang baik maupun yang buruk,

demikianlah yang dilakukan oleh Kosiya memaklumkan

kebenaran kepada kami.

Demikianlah, walaupun para raja ini telah sekian

lama berada di pihak Nanda dengan menyaksikan hasil dari

kekuatan gaibnya, tetapi kali ini hanya dengan kekuatan dari

kebijaksanaannya, Sang Mahasatwa dapat membuat mereka

berpaling darinya. Dikarenakan mereka dapat menerima

perkataannya, mereka pun menjadi pelayan yang amat patuh.

Kemudian Nanda berpikir, “Abangku adalah orang yang cendekia

dan pandai dalam memaparkan kebenaran. Ia telah

memenangkan hati para raja tersebut dan membuat mereka

beralih kepadanya. Selain dirinya, saya tidak lagi memiliki orang

lain sebagai tempat untuk bernaung. Akan kubuat permohonanku

ini,” dan ia mengucapkan bait berikut:

Dikarenakan permohonanku tidak mendapatkan

perhatian ataupun uluran tangan, maka aku akan

menjadi seorang pelayan yang siap menjalankan semua perintahmu.

Sang Mahasatwa, secara naluriah, tidak menyimpan

perasaan benci atau perasaan marah terhadap Nanda. Ia

berbuat demikian, dengan memarahinya, hanyalah untuk

menurunkan kesombongan dirinya di saat ia berbicara dengan

begitu bangganya. Tetapi ketika mendengar apa yang

dikatakannya setelah itu, ia menjadi amat gembira, dan karena

memiliki keinginan untuk menolongnya, ia berkata, “Sekarang Anda saya maafkan, dan saya perbolehkan untuk menjaga ayah

dan ibu,” kemudian untuk memberitahukan kebajikannya ini, ia berkata:

Nanda, Anda mengetahui dengan sangat baik

Kebenaran, seperti yang diajarkan oleh para ariya

kepadamu ‘Jadilah mulia untuk berbuat bajik’—Anda

benar-benar membuatku berbahagia.

Hormatku kepada ayah dan ibu: Dengarkanlah apa yang

kukatakan ini,

Kehadiran Sona di sini sebagai suatu beban tidaklah

pernah dirasakan dalam suasana apa pun.

Ayah dan ibu telah kurawat dalam waktu yang lama,

mendapatkan kebahagiaan, sekarang Nanda datang dan

memohon dengan rendah hati untuk mendapatkan giliran

melayani kalian berdua.

Siapa pun di antara Anda berdua, yang mengamalkan

kehidupan suci, yang ingin dirawat oleh Nanda,

bersuaralah dan Nanda akan menjagamu.

Kemudian ibunya, bangkit dari duduknya, berkata, “Sona

anakku, adikmu telah lama pergi dari rumah. Sekarang ia

akhirnya kembali lagi, saya sebenarnya tidak berani untuk

memintanya menjagaku karena kami berdua selama ini

tergantung kepada dirimu. Akan tetapi, jika Anda mengizinkan, saya akan mendekap anak muda ini ke dalam pelukanku dan

mencium keningnya,” dan untuk menjelaskan keinginannya ini, ia

mengucapkan bait berikut:

Sona, putra tempat kami bergantung, jika Anda memberi

izin, saya akan memeluk dan mencium Nanda, yang

menjalankan kehidupan suci.

Kemudian Sang Mahasatwa berkata kepada ibunya,

“Baiklah, Bu, saya berikan izin itu: pergi dan dekaplah putramu,

Nanda, dan ciumlah ia di keningnya, hilangkanlah kesedihanmu.

Maka sang ibu pun menghampiri Nanda, memeluknya di

hadapan orang banyak itu, menciumnya di bagian kening,

menghilangkan kesedihan di dalam hatinya, dan berkata kepada

Sang Mahasatwa dalam bait berikut:

Seperti tunas pohon bodhi yang berguncang karena

hembusan angin kencang, demikianlah guncangan

kegembiraan yang ada di hatiku sewaktu melihat Nanda.

Kelihatannya seperti mimpi, diriku ini yang dapat bertemu

kembali dengan Nanda.

Dengan perasaan gembira dan puas kuteriakkan, ‘Nanda

kembali kepadaku.’

Akan tetapi jika, setelah bangun, tak lagi kulihat Nanda,

maka hatiku akan menjadi mangsa bagi kesedihan yang

lebih besar daripada yang sebelumnya.

Kembali kepada orang tua tercintanya, Nanda akhirnya

datang ke sini, ia menyayangi suamiku begitu juga diriku,

bersama kami, ia membuat rumahnya.

Meskipun Nanda menyayangi ayahnya, tetapi biarkanlah

ia membuat pilihan tempat tinggal,—Anda yang

memenuhi kebutuhan ayah—Nanda akan memenuhi

kebutuhanku.

Sang Mahasatwa menyetujui perkataan ibunya dengan

berkata, “Baiklah kalau begitu,” dan memberi nasihat kepada

saudaranya dengan berkata, “Nanda, Anda telah mendapatkan

bagian dari seorang anak tertua; seorang ibu, sesungguhnya,

adalah seorang penolong yang mulia. Janganlah lengah (dalam)

menjaganya,” dan untuk memberitahukan kebajikan dari seorang

ibu, ia mengucapkan dua bait berikut:

Welas asih, baik hati, tempat kita bernaung ia yang

memberi kita makan dengan air susunya,

seorang ibu adalah sebuah jalan menuju surga, dan ia

amat menyayangimu.

Ia merawat dan membesarkan kita dengan penuh

perhatian: ia dilengkapi dengan jasa-jasa kebajikan,

seorang ibu adalah sebuah jalan menuju surga, dan ia

amat menyayangimu.

Demikianlah Sang Mahasatwa memberitahukan

kebajikan dari seorang ibu dalam dua bait kalimat tersebut, dan

ketika ibunya duduk kembali di tempat duduknya, ia berkata,

“Nanda, Anda telah mendapatkan seorang ibu yang menanggung

hal-hal yang sulit untuk dilakukan. Kita berdua telah dibesarkan

olehnya dengan susah payah. Sekarang, Anda harus menjaga

dirinya dengan penuh kesadaran dan jangan berikan buahbuahan

masam kepadanya untuk dimakan,” dan untuk

menjelaskan, di tengah kumpulan orang banyak tersebut, hal-hal

yang amat sulit yang harus ditanggung oleh seorang ibu, ia berkata:

Untuk mendapatkan seorang putra, ia bersembah sujud

memohon dalam doanya, memindai dan mempelajari

musim-musim yang silih berganti dan perbintangan.

Dalam masa mengandung, ia merasakan keinginannya

yang terkabulkan, dan segera bayi yang tidak tahu apaapa

itu akan menjadi teman yang disayangi.

Hartanya ini dijaga dengan perhatian yang amat sangat

selama hampir satu tahun, kemudian baru melahirkannya

dan sejak saat itu ia menyandang gelar seorang ibu.

Dengan air susunya dan ninabobo, ia menenangkan

anak yang rewel itu,

Dengan terdekap dalam pelukan hangat ibu,

kesedihannya akan teratasi segera.

Untuk menjaganya, anak yang polos itu, baik dari dingin

maupun dari panas, ia dapat disebut sebagai seorang

pengasuh baik hati, untuk selalu membahagiakan anaknya.

Barang berharga apa saja yang dimiliki oleh suami dan

dirinya, akan disimpan untuk anaknya, ‘Mungkin,’

pikirnya, ‘suatu hari nanti, anakku akan memerlukan dan

menggunakannya.’

‘Lakukan ini, lakukan itu, Anakku terkasih,’ sang ibu yang

cemas itu akan berujar, dan ketika anaknya tumbuh

beranjak dewasa, ia pun masih tetap khawatir.

Anak pergi, tanpa memedulikan apa pun, untuk mencari

seorang istri sampai malam hari;

Ibu cemas dan menggerutu, ‘Mengapa ia (anakku) tidak

pulang sewaktu langit masih terang?’

Jika seseorang yang dibesarkan dengan cara demikian

mengabaikan ibunya, tidak merawatnya, tempat berakhir

di mana lagi yang diharapkannya selain neraka?

Jika seseorang yang dibesarkan dengan cara demikian

mengabaikan ayahnya, tidak merawatnya, tempat

berakhir di mana lagi yang diharapkannya selain neraka?

Dikatakan orang yang terlalu mencintai kekayaannya,

akan kehilangan kekayaannya itu,

Orang yang mengabaikan ibunya akan segera amat

menyesali akibatnya.

Dikatakan orang yang terlalu mencintai kekayaannya,

akan kehilangan kekayaannya itu,

Orang yang mengabaikan ayahnya akan segera amat

menyesali akibatnya.

Kebahagiaan, kegembiraan, canda tawa, dan

kesenangan adalah hal yang pasti didapatkan oleh ia

yang merawat ibunya di hari tua mereka.

Kebahagiaan, kegembiraan, canda tawa, dan

kesenangan adalah hal yang pasti didapatkan oleh ia

yang merawat ayahnya di hari tua mereka.

Selalu memberi, berkata yang baik, berbuat yang baik

dan bijaksana, disertai dengan tindakan tanpa pilih kasih

di tempat manapun dan waktu kapanpun jua—

Sifat-sifat ini seperti as pada roda kereta.

Meskipun kekurangan sifat ini, tetapi gelar seorang ibu

selalu saja menarik bagi anak.

Seorang ibu begitu juga seorang ayah seharusnya

mendapatkan penghormatan yang mulia, orang bijak

akan setuju dengan orang yang di dalam dirinya terdapat

sifat bajik demikian.

Demikianlah orang tua, yang patut menerima pujaan,

yang berada pada kedudukan yang tinggi, oleh guru

terdahulu disebut sebagai brahma. Begitu besarnya

ketenaran mereka.

Orang tua yang baik selayaknya menerima

penghormatan yang selayaknya pula dari anak-anaknya.

Ia yang bijak akan memberikan penghormatan, dengan

pelayanan yang baik nan benar.

Ia seharusnya menyediakan makanan dan minuman,

memenuhi kebutuhan untuk tempat tidur dan pakaian,

mandi dan meminyaki tubuh serta membasuh kaki

mereka.

Atas kewajiban (pelayanan) anak terhadap orang tua ini,

orang bijak menyerukan suaranya. Dalam kehidupan ini

ia berlimpah ruah dengan kebahagiaan, demikian juga

setelah meninggal, menerima kebahagiaan di surga.

Demikian, seakan-akan seperti memutar Gunung Sineru, Sang Mahasatwa menyampaikan uraian kebenaran. Setelah mendengar ini, semua raja beserta para pasukan mereka menjadi orang yang yakin. Maka kemudian setelah mengukuhkan mereka dalam menjalankan lima sila dan menasihati mereka agar berderma dengan penuh kesadaran, serta kebajikan lainnya, ia pun membubarkan mereka. Mereka semua, setelah memerintah kerajaan masing-masing dengan benar, di akhir hidup mereka terlahir sebagai penghuni alam-alam dewa. Yang Bijak Sona dan Nanda, selama hidup mereka, melayani orang tua mereka dan kemudian terlahir di alam brahma.

Sang Guru mengakhiri uraian-Nya di sini dan memaklumkan kebenaran serta mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang menghidupi ibunya itu mencapai tingkat kesucian Sotapanna—: “Pada masa itu, orang tua adalah anggota kerajaan raja agung, Nanda adalah Ānanda, Raja Manoja adalah Sāriputta, seratus satu raja (kesatria) adalah delapan puluh Mahāthera (Mahathera) ditambah beberapa (puluh) Thera lainnya, dua puluh empat legiun pasukan adalah pengikut (siswa) Sang Buddha, dan Yang Bijak Sona adalah diriku sendiri.”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 5

 

 

Tagged ,

KUSA JĀTAKA

“Kerajaan ini, dengan” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, mengenai seorang bhikkhu yang menyesal. Ia adalah seorang putra dari keluarga terpandang di Sāvatthi, yang setelah dipaparkan kepadanya ajaran (Buddha), bertahbis menjadi seorang pabbajita. Suatu hari ketika sedang berpindapata di Sāvatthi, ia melihat seorang wanita cantik dan jatuh cinta kepadanya pada pandangan pertama. Dikalahkan oleh kotoran batin, ia hidup dalam kegelisahan, rambut dan kukunya dibiarkan tumbuh panjang, mengenakan jubah yang kotor, pucat pasi, urat nadi di sekujur tubuhnya tampak jelas. Seperti di alam dewa, para dewa yang kehabisan masa ke-dewa-an akan menunjukkan lima pertanda, yakni: bunga-bunga menjadi layu, busana menjadi kotor, badan mengeluarkan bau tidak sedap, ketiak mengeluarkan keringat, dan tidak lagi bersukacita di kediaman mereka. Demikian pula halnya dengan seorang bhikkhu yang menyesal, yang hilang keyakinan pada ajaran, terlihat pula lima pertanda: bunga-bunga keyakinan menjadi layu, busana moral menjadi kotor, dikarenakan ketidakpuasan dan kesalahan badan mereka mengeluarkan bau tidak sedap, keringat kotoran batin keluar, tidak lagi bersukacita dalam kehidupan menyendiri di dalam hutan di bawah kaki pohon—Semua pertanda ini dapat ditemukan pada diri bhikkhu itu. Maka mereka membawanya ke hadapan Sang Guru dan berkata, “Bhante, bhikkhu ini adalah seorang yang menyesal.” Sang Guru menanyakan apakah hal tersebut benar, dan ketika bhikkhu itu mengakuinya, Beliau berkata, “Bhikkhu, janganlah tunduk kepada kotoran batin. Wanita itu adalah seorang yang jahat; Hilangkanlah keterpikatanmu terhadap dirinya, bersukacitalah dalam ajaran. Dahulu dikarenakan jatuh cinta kepada seorang wanita, orang bijak di masa lampau, meskipun kuat, kehilangan kekuatannya dan terjatuh dalam ketidakberuntungan dan kehancuran.” Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala, di Kerajaan Malla, di Kota Kusāvatī, Raja

Okkāka (Okkaka) memerintah kerajaannya dengan benar. Di

antara enam belas ribu orang istrinya, Sīlavatī (Silavati)

adalah ratu utamanya. Kala itu, ratu tidak melahirkan seorang

putra maupun putri, dan para penduduk kota dan kerajaan

berkumpul di depan gerbang istana, sembari mengeluhkan

bahwa kerajaan akan musnah. Raja membuka jendelanya dan

berkata, “Di bawah kepemimpinanku, tidak ada yang melakukan perbuatan tidak benar. Ada apa kalian menyalahkanku?” “Benar,

Paduka,” jawab mereka, “tidak ada yang melakukan perbuatan

tidak benar, tetapi Anda tidak memiliki satu orang putra pun

untuk meneruskan generasi: orang lain akan merampas kerajaan

dan memusnahkannya. Oleh karena itu, mohon dapatkanlah

seorang putra, yang nantinya akan mampu memerintah kerajaan

dengan benar.” “Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan

seorang putra?” “Pertama-tama, keluarkanlah sekelompok gadis

penari berstatus rendah selama satu minggu, minta mereka

melakukan kewajibannya, jika salah satu dari mereka dapat

memberikan Anda seorang putra, maka itu adalah hal yang

bagus. Jika tidak, maka keluarkanlah yang berstatus menengah,

dan untuk yang terakhir, yang berstatus tinggi. Pastinya di antara

sekian banyak wanita, akan ditemukan adanya satu yang cukup

jasa kebajikannya sehingga dapat memberikan seorang putra.”

Raja pun melakukan seperti apa yang dinasihatkan oleh mereka,

dan pada setiap hari ketujuh, setelah mereka melakukan

kesenangan itu, raja akan memanggil dan bertanya kepada

mereka masing-masing apakah mereka hamil atau tidak. Dan

ketika mereka semuanya menjawab, “Tidak, Paduka,” raja

menjadi putus asa dan berkata, “Tidak akan ada putra yang

diberikan kepadaku.” Kemudian para penduduk kota dan

kerajaan menyalahkan raja kembali seperti semula. Raja berkata,

“Mengapa kalian menyalahkanku? Sesuai dengan permintaan

kalian, kelompok-kelompok gadis penari telah kukeluarkan dan

tak satu pun dari mereka yang hamil. Apa yang harus kulakukan

sekarang?” “Paduka,” jawab mereka, “Wanita-wanita ini pastilah

berakhlak buruk dan tidak memiliki jasa-jasa kebajikan. Mereka tidak memiliki cukup jasa kebajikan untuk dapat mengandung

seorang putra. Akan tetapi karena mereka belum juga dapat

memberikanmu seorang putra, Anda tidaklah seharusnya

berpasrah diri. Ratu utama, Sīlavatī (Silavati), adalah seorang

wanita yang penuh dengan sifat baik. Keluarkanlah ia. Seorang

putra akan dikandung olehnya.” Raja menyetujuinya, dan dengan

tabuhan bunyi genderang mengumumkan bahwa pada hari

ketujuh mulai dari hari itu orang-orang harus berkumpul dan raja

akan mengeluarkan Silavati—melakukan kewajibannya. Pada

hari ketujuh, ia meminta agar permaisurinya dihias dengan luar

biasa indahnya dan dibawa turun dari istana dan ditunjukkan di

jalanan. Dikarenakan kekuatan dari kebajikannya, kediaman

Sakka menjadi panas. Sakka, setelah memindai apa yang

menyebabkan ini, mengetahui bahwa ratu menginginkan seorang

putra dan berpikir, “Saya harus memberikan seorang putra

kepadanya,” dan sewaktu sedang mencari demikian yang pantas

untuk menjadi putranya, Sakka melihat Bodhisatta. Dikatakan,

waktu itu, setelah melewati kehidupannya di Alam Tāvatiṁsā, ia

(Bodhisatta) memiliki keinginan untuk terlahir di luar alam dewa.

Setelah tiba di depan pintu kediamannya, Sakka menyapanya

dengan berkata, “Mārisa, Anda akan turun ke alam manusia dan

dikandung di rahim permaisuri Raja Okkāka (Okkaka),” dan

kemudian setelah mendapatkan persetujuan dari dewa yang satu

lagi, ia berkata, “Dan Anda juga akan menjadi putranya.” Agar

tidak seorang pun merusak kebajikannya (Silavati), dengan

menyamar sebagai seorang brahmana tua, Sakka pergi ke

menuju gerbang istana. Orang-orang lainnya juga, setelah

membersihkan dan menghias diri, masing-masing dengan pikiran untuk mendapatkan sang ratu, berkumpul menuju gerbang

istana. Ketika melihat penampilan Sakka, mereka tertawa,

sembari menanyakan mengapa ia datang. Sakka berkata,

“Mengapa kalian mencelaku? Meskipun saya tua, tetapi

semangatku (nafsu) tidak. Saya datang ke sini dengan harapan

dapat membawa Silavati pergi bersamaku, dan saya pasti akan

mendapatkannya.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, dengan

kekuatan gaibnya, ia berhasil berada di depan mereka semua,

dan juga disebabkan oleh kekuatan kebajikannya, tidak ada

sorang pun yang mampu berdiri di depannya (mendahului).

Ketika ratu, yang telah berdandan dengan segala kebesarannya,

melangkah keluar dari istana, ia menarik tangannya dan pergi

bersamanya. Kemudian mereka yang berdiri di sana

mencelanya, dengan berkata, “Lihatlah dirinya, seorang

brahmana tua pergi dengan seorang ratu yang amat cantik. Ia

tidak menyadari apa yang akan terjadi kepadanya.” Ratu juga

berpikir, “Seorang tua membawaku pergi.” Ia merasa kesal dan

marah, bahkan jengkel. Raja yang berdiri pada jendela melihat

siapa gerangan yang membawa ratu pergi. Ketika melihat

pelakunya, raja menjadi sangat tidak senang. Sakka, yang pergi

bersama dengan permaisuri melewati pintu gerbang, dengan

kekuatan gaibnya menciptakan sebuah rumah di tempat yang

tidak jauh, dengan pintu yang terbuka dan satu tumpukan kayu.

“Apakah ini rumahmu?” tanyanya. “Ya, Ratu, sebelumnya saya

hanya tinggal sendirian. Sekarang sudah ada kita berdua. Saya

akan berkeliling untuk mendapatkan derma makanan dan

membawa pulang nasi untukmu. Sementara itu, berbaringlah di

tumpukan kayu ini. Sehabis berucap demikian, ia mengelusnya dengan lembut, seketika itu juga, ratu kehilangan

kesadarannya. Kemudian dengan kekuatan gaibnya, ia

membawa ratu ke Alam Tāvatiṁsā dan mendudukkannya di

tempat duduk surgawi dalam sebuah istana kahyangan. Pada

hari ketujuh, ia terbangun dan melihat semua kemegahan ini,

kemudian mengetahui bahwa orang itu bukanlah seorang

bramana tua, tetapi adalah Dewa Sakka. Kala itu, Sakka duduk

di bawah pohon pāricchattaka, dikelilingi oleh para gadis

penari surgawi. Bangkit dari tempat ia duduk, ratu menghampiri

dan memberi hormat kepada Dewa Sakka dan berdiri di satu sisi.

Kemudian Sakka berkata, “Saya akan memberikan satu

anugerah kepadamu. Katakanlah apa yang menjadi

keinginanmu.” “Anugerahkanlah kepadaku seorang putra.” “Tidak

hanya seorang putra, tetapi saya akan memberikanmu dua orang

putra. Satu di antara mereka akan menjadi orang yang bijaksana

tetapi buruk rupa, dan yang satunya lagi akan menjadi orang

yang rupawan tetapi tidak bijaksana. Yang mana yang Anda pilih

terlebih dahulu?” “Yang bijaksana,” jawabnya. “Baiklah,”

balasnya, dan ia memberikan kepada ratu sehelai rumput kusa,

busana dan cendana surgawi, bunga dari pohon pāricchattaka,

dan sebuah kecapi Kokanada, kemudian membawanya ke

kamar tidur raja dan membaringkannya di ranjang bersama

dengan raja, menyentuh bagian pusarnya, dan seketika itu juga,

Bodhisatta terkandung di dalam rahimnya. Dan Sakka pun

kemudian kembali ke kediamannya. Ratu yang bijaksana itu mengetahui bahwa ia telah mengandung. Kemudian raja,

sewaktu terbangun dan melihat ratu, menanyakan kepadanya

siapa yang telah membawanya ke sana. “Dewa Sakka, Paduka.”

“Apa! Dengan mata kepalaku sendiri kulihat seorang brahmana

tua membawamu pergi. Mengapa Anda mencoba untuk

menipuku?” “Percayalah kepadaku, Paduka. Dewa Sakka

membawaku bersamanya ke alam dewa.” “Ratu, saya tidak

memercayaimu.” Kemudian ratu menunjukkan kepadanya rumput

kusa yang diberikan oleh Sakka, dan berkata, “Sekarang,

percayalah padaku.” Raja berpikir, “Rumput kusa dapat diperoleh

di mana saja,” dan masih tidak memercayainya. Kemudian ratu

menunjukkan kepadanya busana surgawi itu. Ketika melihatnya,

raja mulai memercayainya dan berkata, “Ratu, katakanlah Dewa

Sakka yang membawamu pergi. Apakah Anda sekarang

mengandung?” “Ya, Paduka, saya sudah hamil.” Raja menjadi

gembira dan melakukan upacara selayaknya untuk seorang

wanita hamil. Dalam waktu sepuluh bulan, ratu melahirkan

seorang putra. Tidak memberikannya nama yang lain lagi,

mereka langsung memberinya nama seperti nama rumput itu,

Kusa. Di saat Pangeran Kusa telah dapat berlari, dewa yang

kedua dikandung di dalam rahim ratu. Kepada putra yang kedua,

mereka memberinya nama Jayampati. Kedua anak itu

dibesarkan dengan segala kemewahan kerajaan. Bodhisatta

adalah pangeran yang demikian bijaknya sehingga, tanpa

belajar dari gurunya, dengan kemampuannya sendiri menguasai

semua cabang ilmu pengetahuan. Maka ketika ia berusia enam

belas tahun, raja berkeinginan untuk memberikan kerajaan

kepadanya, dan berkata kepada ratu demikian, “Untuk memberikan kerajaan ini kepada putramu, kita akan menggelar

perayaan tarian, dan saat itu kita akan melihatnya naik takhta

dalam kehidupan kita. Jika ada seorang putri raja yang Anda

sukai, ketika putra kita membawanya, maka kita akan

menjadikan putri itu sebagai permaisurinya. Beritahukanlah ia

agar dapat mengetahui putri raja yang bagaimana yang

diinginkannya.” Ratu menyetujuinya dan mengirimkan seorang

pelayan untuk memberitahukan masalah ini kepada pangeran

dan meminta tanggapannya. Pelayan itu pergi dan memberitahu

pangeran tentang kejadian itu. Ketika mendengar apa yang

dikatakan si pelayan, Sang Mahasatwa berpikir, “Saya adalah

seorang yang buruk rupa. Seorang putri yang cantik, ketika

dibawa ke tempat ini sebagai pengantinku dan melihatku, akan

berkata, ‘Apa yang kulakukan dengan orang jelek ini?’ dan ia

akan melarikan diri, kami akan menanggung malu. Apalah

gunanya kehidupan berumah tangga bagiku? Saya akan

merawat kedua orang tuaku ketika mereka masih hidup, dan di

saat mereka meninggal, saya akan meninggalkan keduniawian

dan menjadi seorang pabbajita.” Maka ia berkata, “Apalah

gunanya sebuah kerajaan atau perayaan bagiku? Setelah orang

tuaku meninggal, saya akan menjalani kehidupan seorang

petapa.” Si pelayan kembali dan memberitahu ratu apa yang

telah dikatakan oleh pangeran. Raja merasa sangat kecewa dan

setelah beberapa hari kemudian, ia mengirimkan sebuah pesan

kembali, tetapi pangeran menolak untuk mendengarkannya.

Setelah tiga kali menolak permintaan itu, pada kali keempat, ia

berpikir, “Tidaklah baik terus-menerus bersikap membangkang

terhadap orang tua. Saya akan merancang sesuatu.” Kemudian ia memanggil seorang pandai besi, dan dengan memberikannya

sejumlah emas, ia memintanya untuk pergi dan membuatkan

untuknya sebuah patung wanita. Setelah ia pergi, pangeran

mengambil lebih banyak emas lagi dan membuatnya menjadi

bentuk seorang wanita. Tujuan dari seorang Bodhisatta selalu

berhasil. Patung wanita tersebut amat cantik, di luar batas

kemampuan mulut untuk mengungkapkannya. Kemudian Sang

Mahasatwa mengenakan kain sutra padanya dan meletakkannya

di dalam ruang utama. Sewaktu melihat patung yang dibawa oleh

si tukang pandai besi, pangeran mencelanya, dan berkata,

“Pergi, bawalah patung yang ada di ruang utama.” Laki-laki

itu masuk ke dalam ruang utama dan sewaktu melihatnya,

berpikir, “Pastinya ini adalah bidadari dewa yang datang untuk

bersenang-senang dengan pangeran,” dan ia meninggalkan

ruang itu, tanpa memiliki keberanian untuk menyentuhkan

tangannya pada ia. Dan ia berkata kepada pangeran, “Yang

Mulia, yang sedang berdiri di dalam ruang utamamu adalah

seorang bidadari dewa. Saya tidak memiliki keberanian untuk

menyentuh dirinya.” “Teman,” balasnya, “pergi dan ambillah

patung emas itu.” Dikarenakan mendapat perintah yang sama

untuk kedua kalinya, pandai besi itu pun membawanya.

Pangeran memerintahkan agar patung yang telah dibuat oleh

pandai besi itu dimasukkan ke dalam ruang emas, sedangkan

patung yang telah dibuat dan dihiasnya sendiri itu diletakkan

dalam kereta dan dikirimkan kepada ibunya, dengan berpesan

demikian, “Jika saya dapat menemukan wanita seperti ini, maka

saya akan menjadikannya sebagai istriku.” Ibunya memanggil

para menteri istana dan berkata demikian kepada mereka, “Para menteri, putra kami ini memiliki jasa kebajikan yang besar dan

merupakan anugerah dari Dewa Sakka. Ia harus mendapatkan

seorang putri yang pantas bersanding dengannya. Pergilah

kalian dengan meletakkan patung ini di dalam kereta yang

terlindungi dan carilah di seluruh India putri dari raja manapun

yang kalian lihat mirip dengan patung ini, persembahkan patung

ini kepada raja itu dan katakan, ‘Raja Okkaka akan mengatur

pernikahan putranya dengan putrimu.’ Kemudian aturlah satu

hari untuk kepulangan kalian ke sini.” “Baiklah,” balas mereka,

dan membawa patung itu pergi beserta dengan rombongan

besar. Dalam perjalanan mereka ke kerajaan mana saja yang

mereka kunjungi, di sana pada sore hari, tempat orang-orang

terlihat berkumpul, mereka meletakkan patung itu di sebuah

tandu emas dan membiarkannya di jalan yang menuju ke

arungan setelah terlebih dahulu menghiasi patung itu dengan

busana, bunga-bunga dan hiasan lainnya, sedangkan mereka

sendiri berdiri mundur di satu sisi untuk dapat mendengar apa

yang dikatakan oleh orang-orang yang melewatinya. Orang-orang

yang melihatnya, tanpa menyadari bahwa ia adalah

sebuah patung emas, berkata, “Meskipun ia hanyalah seorang

wanita biasa, tetapi ia sangatlah cantik, menyerupai bidadari

dewa. Ada apa gerangan ia berdiri diam di sini? Berasal dari

manakah dirinya ini? Kita tidak memiliki seorang pun yang dapat

dibandingkan dengannya di kota ini,” setelah demikian memberikan pujian atas kecantikannya, mereka pun melanjutkan

perjalanan. Para menteri berkata, “Jika di sini terdapat seorang

wanita yang mirip dengan ia, maka mereka pastinya

mengatakan, ‘Ini terlihat seperti si anu, putri dari raja anu, atau ini

terlihat seperti si anu, putri dari dari menteri anu.’ Berarti di

tempat ini benar-benar tidak ada wanita yang demikian.”

Kemudian mereka pun pergi membawa patung itu ke kota

lainnya. Dalam perjalanan berikutnya mereka tiba di Kota Sāgala

di Kerajaan Madda. Kala itu, Raja Madda memiliki tujuh orang

putri, yang memiliki kecantikan yang luar biasa, seperti

kecantikan para bidadari. Putri tertuanya bernama Pabhāvatī

(Pabhavati). Dari tubuhnya terpancar sinar, seperti sinar

dari matahari yang baru terbit. Ketika hari mulai gelap, di dalam

kamarnya, yang berukuran empat hasta, tidak memerlukan sinar

dari lampu apa pun. Seluruh isi kamar menjadi terang dengan

berkas sinarnya, dan ia memiliki seorang pengasuh yang

bungkuk. Waktu itu, ketika telah memberikan makanan kepada

Pabhavati, dengan niat untuk membasuh kepalanya (Pabhavati),

sang pengasuh pergi pada sore hari bersama dengan delapan

orang budak wanita yang masing-masing membawa satu bejana.

Di tengah perjalanan mereka menuju ke arungan, si pengasuh

melihat patung ini, dan dengan berpikiran bahwa itu adalah

Pabhavati, berseru, “Gadis nakal ini, dengan berpura-pura ingin

kepalanya dibasuh, meminta kami untuk mengambil air, dan

sekarang setelah mencuri langkah mendahului kami, ia berdiri di

jalan ini,” dan dalam perasaan kesal, ia berkata, “Anda membuat

malu keluarga: berdiri di sana, datang ke tempat ini mendahului

kami. Jika raja mendengarnya, ia akan menghukum mati kami semua,” setelah mengucapkan kata-kata ini, ia memukul patung

itu di bagian pipinya, dan satu bagian dari patung tersebut

sebesar telapak tangan si pengasuh menjadi rusak. Kemudian

sewaktu mengetahui bahwa itu hanyalah sebuah patung emas, ia

pun tertawa terbahak-bahak dan berkata kepada budak-budak

wanita itu, “Lihat apa yang telah kulakukan. Tadinya saya berpikir

bahwa ia adalah putri asuhku, dan saya menamparnya.

Bagaimana bisa patung ini dibandingkan dengan putriku itu?

Saya hanya melukai tanganku sendiri.” Kemudian menteri raja

menghentikannya dan berkata, “Apa yang Anda katakan tadi,

bahwa putrimu lebih cantik daripada patung ini?” “Maksudku,

Pabhavati, putri dari Raja Madda. Patung ini bahkan tidak

sepersepuluh darinya.” Dengan perasan gembira, mereka pergi

menuju ke gerbang istana dan meminta penjaga pintu untuk

mengumumkan kedatangan mereka, dengan mengatakan bahwa

utusan Raja Okkaka sedang berdiri menunggu di gerbang istana.

Raja kemudian bangkit dari duduknya dan memerintahkan

mereka untuk dipersilakan masuk. Setelah masuk ke dalam,

mereka memberi salam hormat kepada raja dan berkata,

“Paduka, raja kami menanyakan tentang kabar Anda,” dan

setelah dibalas dengan sambutan hangat, dan ditanya alasan

kedatangannya, mereka menjawab, “Raja kami memiliki seorang

putra yang pemberani, Pangeran Kusa. Raja kami berkeinginan

untuk memberikan kerajaan kepada putranya itu, dan mengutus

kami untuk meminta Anda setuju menikahkan putrimu

(kepadanya), Pabhavati, dengan putranya. Dan raja juga

mengutus kami untuk memberikan patung emas ini sebagai

hadiah,” setelah mengatakan ini, mereka pun mempersembahkan patung itu. Raja Madda menyetujuinya,

dengan berpikir bahwa penggabungan kekuasaan dengan

seorang raja yang demikian mulia tentu saja adalah suatu hal

yang baik. Kemudian para utusan itu berkata, “Raja Madda,

kami tidak bisa berlama-lama di sini. Kami akan segera pulang

kembali dan memberitahu raja kami bahwa kami telah

mendapatkan persetujuan mengenai masalah Pabhavati, dan

kemudian ia yang akan datang untuk menjemput putri Anda.”

Raja pun setuju dengan ini, setelah menjamu mereka dengan

ramah, raja mengizinkan mereka pergi. Sekembalinya ke istana,

mereka melaporkannya kepada raja dan ratu. Raja beserta

dengan rombongan besar berangkat dari Kusāvatī dan tiba di

Kota Sāgala. Raja Madda keluar untuk menyambutnya dan

menunjukkan kehormatan kepadanya. Ratu Sīlavatī, seorang

wanita yang bijak, berpikir, “Apa yang akan menjadi hasil dari

semuanya ini?” Pada hari kedua atau ketiga, ia berkata kepada

Raja Madda, “Kami ingin sekali melihat calon menantu.” Raja

mengiyakannya dan memanggil putrinya keluar. Pabhavati, yang

demikian indah dandanannya dan dikelilingi oleh sekumpulan

pelayannya, datang dan memberi hormat kepada calon ibu

mertuanya. Sewaktu melihatnya, ratu berpikir, “Gadis ini

sangatlah cantik, sedangkan putraku sendiri buruk rupa. Jika ia

melihat putraku, ia akan melarikan diri, tidak akan bertahan satu

hari pun. Saya harus mengusahakan sesuatu.” Menyapa Raja

Madda, ia berkata, “Calon menantu kami pantas bersanding

dengan putra kami. Akan tetapi, kami memiliki satu adat

keluarga. Jika ia mampu melakukannya, maka kami akan

menerimanya sebagai mempelai dari putra kami.”

“Apakah adat keluarga itu?”

“Di dalam keluarga kami, seorang istri tidak

diizinkan untuk melihat suaminya selama siang hari, sampai istri

itu hamil. Jika putri Anda menyanggupi adat ini, kami akan

menerimanya.” Raja bertanya kepada putrinya, “Anakku, apakah

kamu merasa akan sanggup melakukannya?” “Ya, Ayah,”

jawabnya. Kemudian Raja Okkaka memberikan banyak

kekayaan kepada Raja Madda, dan pulang dengan membawa

putrinya. Dan Raja Madda mengantar kepergian putrinya, diikuti

dengan rombongan besar. Raja Okkaka, setibanya di Kusāvatī,

memberi perintah untuk menghias kota, membebaskan semua

tahanan, dan setelah menobatkan putranya menjadi raja dan

Pabhavati sebagai permaisurinya, dan dengan tabuhan

genderang, ia mengumumkan tentang kekuasaan dari Raja

Kusa. Dan semua raja, di seluruh India, yang memiliki putri,

mengirimkannya ke istana Raja Kusa, dan yang memiliki

putra, berkeinginan untuk menjalin persahabatan dengannya,

juga mengirimkan putranya untuk menjadi pelayannya.

Bodhisatta kemudian memiliki sekelompok besar gadis penari

dan memerintah dengan kekuasaan yang besar pula. Akan

tetapi, ia tidak diperkenankan bertemu dengan Pabhavati di siang

hari, begitu juga sebaliknya. Pada malam harinya, mereka baru

boleh bertemu. Dan (biasanya) pada malam ada suatu

kemegahan luar biasa pada diri Pabhavati, dan ia (Kusa) harus

meninggalkan kamar itu ketika hari masih gelap. Setelah

beberapa hari, ia memberitahu ibunya bahwa ia ingin melihat

Pabhavati di siang hari. Ibunya menolak permintaan itu dengan

berkata, “Janganlah menganggap permintaan ini sebagai suatu

hal yang menyenangkan bagimu. Tunggulah sampai istrimu hamil dahulu.” Tetapi ia tetap meminta kepada ibunya, secara

berulang-ulang. Maka ibunya berkata, “Baiklah, pergilah ke

kandang gajah dan berdirilah di sana dengan menyamar sebagai

penjaga gajah. Saya akan membawanya ke sana, dan kamu

dapat memenuhi keinginanmu untuk melihatnya. Tetapi pastikan

ia tidak dapat mengenalimu.” Ia menyetujuinya dan pergi ke kandang gajah.

Ibunda ratu mengumumkan akan ada perayaan gajah dan

berkata kepada Pabhavati, “Mari kita pergi lihat gajah milik

suamimu.” Setelah membawanya ke sana, ia memberitahukan

nama gajah ini dan itu kepada Pabhavati. Kemudian ketika

Pabhavati berjalan di belakang ibunya, raja melemparkan

setumpuk kotoran gajah di punggung Pabhavati. Ia menjadi

marah dan berkata, “Saya akan meminta raja untuk memotong

tanganmu,” setelah mengatakan ini, ia mengadu kepada Ibunda

Ratu, yang kemudian mencoba untuk menenangkannya dengan

menggosok bagian punggungnya. Untuk kedua kalinya, ketika

raja berkeinginan untuk melihatnya (di siang hari), dan dengan

menyamar sebagai penjaga kuda di kandang kuda, sama seperti

sebelumnya, ia melemparnya dengan kotoran kuda, yang

kemudian kembali ditenangkan oleh ibu mertuanya sewaktu ia

menjadi marah. Suatu hari, Pabhavati memberitahu ibu

mertuanya bahwa ia sangat ingin bertemu dengan Sang

Mahasatwa (di siang hari), dan ketika permintaannya itu ditolak

oleh ibu mertuanya yang berkata, “Tidak, janganlah menjadikan

permintaan ini sebagai hal yang menyenangkan bagimu,” ia tetap

meminta kepada ibu mertuanya, secara berulang-ulang,

sehingga akhirnya sang ibu berkata, “Baiklah, besok putraku akan berkeliling kota (dari arah kanan). Anda boleh membuka

jendela dan melihatnya.” Setelah berkata demikian, pada

keesokan harinya, ibunda ratu memberi perintah agar seluruh

kota dihias dengan indah dan agar Pangeran Jayampati, dengan

mengenakan pakaian kebesarannya dan menunggangi seekor

gajah, untuk berkeliling kota. Dengan berdiri dekat jendela di

samping Pabhavati, ibunda ratu berkata, “Lihatlah keagungan

suamimu.” Pabhavati kemudian berkata, “Saya memiliki

seorang suami yang pantas untukku,” dan ia merasa sangat

bangga. Akan tetapi, pada hari yang sama itu juga, dengan

samaran berupa seorang penjaga gajah dan duduk di belakang

Jayampati, ketika melihat Pabhavati selama yang diinginkannya,

Sang Mahasatwa bersenang-senang sendiri dalam kebahagiaan

hatinya dengan gerak isyarat tangannya. Ketika rombongan

gajah itu telah berjalan melewati mereka, ibunda ratu

menanyakan kepada ratu apakah ia tadi telah melihat suaminya.

“Ya, Ibunda Ratu. Tetapi, si penjaga gajah yang duduk di

belakangnya itu, seorang yang berkelakuan buruk. Ia menujukan

gerak isyarat tangannya kepadaku. Mengapa mereka

memperbolehkan seorang yang berwujud demikian, yang

membawa ketidakberuntungan, duduk di belakang raja?” “Sudah

begitu adanya, Ratu, seorang pengawal harus duduk di belakang

raja.” “Penjaga gajah ini,” pikirnya, “Adalah seorang yang berani

dan tidak menunjukkan hormat yang seharusnya kepada seorang

raja. Mungkinkah ia adalah Raja Kusa? Tidak diragukan lagi,

mereka tidak memperbolehkanku bertemu dengannya karena ia memiliki rupa yang demikian buruk.” Maka ia berbisik kepada

pengasuhnya yang bungkuk itu, “Cepat pergilah, Bu, dan cari

tahu apakah raja itu adalah orang yang tadi duduk di depan atau

di belakang.” “Bagaimana saya bisa mengetahuinya?” “Jika ia

adalah raja, maka ia akan terlebih dahulu turun dari gajah. Anda

akan mengetahuinya dari pertanda ini. Ia pun pergi dan berdiri di

kejauhan, dan melihat Sang Mahasatwa yang terlebih dahulu

turun dari gajah itu, yang kemudian disusul oleh Jayampati.

Dengan memperhatikan sekelilingnya, Sang Mahasatwa melihat

ke satu sisi, kemudian ke sisi yang lainnya dan melihat wanita

tua yang bungkuk itu. Ia langsung mengetahui alasan

keberadaannya di sana, dan memanggilnya datang, kemudian

memerintahkan agar pengasuh itu tidak membuka rahasianya,

dan melepaskannya. Pengasuh itu mendatangi majikannya dan

berkata, “Yang duduk di depan tadi yang turun terlebih dahulu,”

dan Pabhavati memercayainya. Lagi, raja berkeinginan untuk

melihatnya dan memohon kepada ibunya untuk mengaturnya.

Sang ibu tidak mampu menolaknya dan berkata, “Baiklah,

menyamarlah dan pergi ke taman.” Raja bersembunyi di kolam

teratai, berdiri di dalam kolam sampai pada batas lehernya.

Kepalanya tertutupi oleh daun teratai dan wajahnya tertutupi oleh

bunga teratai. Dan pada sore hari, ibunya membawa Pabhavati

ke taman itu, dengan berkata, “Lihatlah pohon-pohon ini. Lihatlah

burung-burung ini, rusa-rusa itu,” demikian membawanya sampai

ke tepi kolam teratai. Ketika melihat kolam yang dipenuhi dengan

lima jenis teratai, [288] Pabhavati menjadi ingin mandi, dan

masuk ke dalamnya beserta pelayan-pelayannya. Selagi

bersenang-senang, ia melihat teratai itu dan menjulurkan tangannya untuk memetiknya. Kemudian raja, dengan

menyibakkan daun teratai, memegang tangannya dan berkata,

“Saya adalah Raja Kusa.” Seketika itu juga, Pabhavati berteriak,

“Sesosok yaksa menangkap tanganku,” dan kemudian tak

sadarkan diri. Maka raja pun melepaskan tangannya. Ketika

sadar kembali, Pabhavati berpikir, “Raja Kusa, dikatakan, tadi

yang memegang tanganku, ia adalah orang yang sama yang

melemparkan setumpuk kotoran gajah sewaktu di kandang

gajah, kotoran kuda di kandang kuda, dan ia adalah orang yang

duduk di belakang, menunjukkan gerak isyarat tangannya

kepadaku. Apa yang kulakukan ini dengan suami yang demikian

buruk rupa? Selagi saya masih hidup, saya akan mencari suami

yang lain.” Maka ia memanggil para pejabat istana yang

menemaninya di sana dan berkata, “Siapkan keretaku. Hari ini

juga, saya akan pergi.” Mereka memberitahukan hal ini kepada

raja, dan ia berpikir, “Jika ia tidak bisa pergi, hatinya akan

hancur. Biarkanlah ia pergi. Dengan kekuatanku sendiri nanti

akan kubawa ia kembali lagi.” Demikianlah raja mengizinkannya

pergi, dan ia langsung kembali ke kerajaan ayahnya. Dan Sang

Mahasatwa, setelah melewati taman, masuk ke dalam kota dan

naik ke istananya. Sebenarnya, dikarenakan suatu aspirasi

dalam kelahiran lampaunyalah, Pabhavati membenci Bodhisatta;

dan juga dikarenakan suatu perbuatannya di masa lampaulah

Bodhisatta menjadi buruk rupa dalam kehidupan ini.

Dahulu kala, di suatu daerah perkampungan di Benares,

di jalan yang paling tinggi dan jalan yang paling rendah, hiduplah

sebuah keluarga yang terdiri dari dua laki-laki dan satu wanita.

Dari kedua laki-laki itu, Bodhisatta adalah yang paling muda, dan yang wanita itu adalah istri dari laki-laki yang paling tua.

Dikarenakan belum menikah, Bodhisatta masih tetap tinggal

bersama abangnya. Suatu ketika di rumah ini mereka membuat

kue yang lezat rasanya, dan Bodhisatta sedang berada di dalam

hutan. Maka setelah menyimpankan kue bagiannya, mereka pun

memakan sisanya. Pada waktu itu, seorang Pacceka Buddha

datang di depan pintu mereka, meminta makanan dermaan. Adik

ipar Bodhisatta, dengan berpikir ia akan membuatkan saudara

mudanya itu kue lagi nanti, mengambil dan memberikan kue

bagiannya kepada Pacceka Buddha, dan persis saat itu juga, ia

kembali dari hutan. Maka adik iparnya berkata, “Tuan, janganlah

marah. Saya memberikan kue bagianmu kepada Pacceka

Buddha.” Ia membalas, “Setelah terlebih dahulu memakan

kue bagianmu, kemudian Anda memberikan kue bagianku

kepada orang lain, dan Anda akan membuatkanku kue lagi!” Ia

menjadi marah, pergi dan mengambil kembali kue itu dari patta

milik Pacceka Buddha. Adik iparnya pergi ke rumah ibunya

(sendiri) dan mengambil beberapa mentega cair (gi) yang segar,

yang berwarna seperti bunga cempaka, dan mengisikannya ke

dalam patta, dan itu mengeluarkan seberkas sinar. Ketika melihat

ini, ia mengucapkan suatu aspirasi: “Bhante, di mana pun

nantinya saya dilahirkan kembali, semoga tubuhku bersinar dan

saya menjadi seorang yang rupawan, dan semoga saya tidak lagi

harus tinggal di tempat yang sama dengan orang yang tidak baik

itu.” Demikianlah sebagai akibat dari aspirasi itu, ia menjadi tidak

dapat memilikinya. Sedangkan Bodhisatta, setelah memasukkan

kembali kue itu ke dalam patta, mengucapkan aspirasi ini: “Bhante, meskipun nantinya ia tinggal pada jarak sejauh ratusan

yojana, semoga saya memiliki kekuatan untuk membawanya

sebagai pengantinku.” Sebagai akibat dari kemarahannya

sewaktu mengambil kembali kue itu dari patta, ia dilahirkan

dengan memiliki rupa yang demikian buruk.

Kusa menjadi diselimuti dengan penderitaan setelah

Pabhavati meninggalkannya. Meskipun wanita-wanita lain

mencoba menghiburnya dengan berbagai jenis pelayanan, tetapi

tidak mampu membuatnya gembira kembali. Baginya, seluruh

istananya, tanpa Pabhavati, adalah tempat yang tidak

berpenghuni lagi. Kemudian ia berpikir, “Saat ini, ia pasti sudah

sampai di Kota Sāgala,” dan pada pagi harinya ia mencari ibunya

dan berkata, “Ibu, saya akan pergi menjemput Pabhavati.

Urusilah kerajaan sementara itu,” dan ia mengucapkan bait

pertama berikut:

Kerajaan ini, dengan segala kesenangan dan

kebahagiaannya, segala kemegahan dan kekayaannya,

urusilah kerajaan ini untukku: Karena saya akan pergi

menjemput Pabhāvatī.

Mendengar apa yang dikatakannya ini, ibunya

membalas, “Baiklah, Putraku, Anda memang harus selalu penuh

semangat (perhatian): Wanita, sesungguhnya, adalah makhluk

yang pikirannya susah ditebak,” dan mengisi sebuah mangkuk

emas dengan berbagai jenis makanan lezat, berkata, [290] “Ini

untukmu dalam perjalanan,” kemudian meninggalkannya.

Setelah mengambil mangkuk, memberi hormat tiga kali kepada ibunya dan senantiasa mengarahkan sisi kanan badan padanya,

Kusa berujar, “Jika saya tetap hidup, saya akan berjumpa

denganmu lagi,” kemudian pergi ke kamar kerajaannya. Ia

melengkapi dirinya dengan lima jenis senjata, meletakkan uang

seribu keping di dalam sebuah kantong, membawa mangkuk

makanan itu dan sebuah kecapi berbentuk teratai, kemudian

berangkat meninggalkan kotanya. Dikarenakan ia adalah

seorang yang amat kuat dan bertenaga, ia telah menempuh

perjalanan sejauh lima puluh yojana pada siang hari, dan setelah

menyantap makanannya, selama sisa waktu setengah harinya

itu, kembali ia menempuh jarak sejauh lima puluh yojana. Jadi

dalam waktu satu hari, ia telah berhasil menempuh jarak sejauh

seratus yojana. Di sore harinya, ia mandi dan kemudian masuk

ke Kota Sāgala. Tidak lama setelah ia memijakkan kakinya di

tempat itu, kemudian Pabhavati, disebabkan oleh keagungan

kekuatannya (Kusa), tidak dapat beristirahat dengan tenang di

ranjangnya, yang kemudian keluar dari kamarnya dan berbaring

di lantai. Saat itu, Bodhisatta telah kelelahan dengan

perjalanannya, dan ketika terlihat oleh seorang wanita sewaktu

berkeliaran di jalanan, ia pun diundang untuk beristirahat di

dalam rumahnya. Dan, setelah terlebih dahulu membasuh

kakinya, wanita itu memberikannya tempat untuk tidur. Selagi ia

tertidur, wanita itu menyiapkan makanan untuknya, dan

kemudian membangunkannya untuk memintanya makan. Kusa

merasa sangat senang dengan wanita ini dan menghadiahkan

kepadanya uang ribuan keping dan juga mangkuk emas itu.

Setelah meninggalkan lima jenis senjata yang dibawanya, Kusa

berkata, “Ada suatu tempat yang harus saya kunjungi,” dan dengan membawa kecapinya, ia pun pergi ke sebuah kandang

gajah, dan berkata demikian kepada para penjaga gajahnya,

“Biarlah saya berada di sini dan memainkan musik untuk kalian.”

Mereka memperbolehkannya melakukan itu, dan ia pun

berbaring di sana. Ketika keletihannya telah hilang, ia bangun,

membuka kecapinya, memainkannya dan bernyanyi, dengan

memiliki pemikiran bahwa semua yang tinggal di dalam kota pasti

dapat mendengar suaranya. Pabhavati, selagi berbaring di lantai,

mendengarnya dan berpikir, “Musik ini tidak mungkin berasal dari

kecapi yang lain, selain miliknya,” dan merasa yakin bahwa Raja

Kusa telah datang untuknya. Raja Madda juga, ketika

mendengarnya, berpikir, “Orang ini memainkan musiknya dengan

sangat merdu. Besok saya akan memanggilnya dan

menjadikannya sebagai pemain musikku.” Bodhisatta yang

berpikiran, “Tidaklah mungkin bagiku untuk bertemu dengan

Pabhavati jika saya tetap berada di sini. Ini adalah tempat yang

salah bagiku,” meninggalkan tempat itu cepat di pagi hari, dan

setelah sarapan di suatu tempat makan, ia meninggalkan

kecapinya, pergi ke tempat kundi (perajin barang yang terbuat

dari tanah liat) raja dan menjadi muridnya. Suatu hari, setelah

mengisi rumah itu dengan tanah liat, ia menanyakan

apakah ia harus membuat bejana. Ketika dijawab oleh si kundi,

“Ya, kerjakanlah itu,” ia pun meletakkan setumpuk tanah liat di

atas roda dan memutarnya. Sekali roda itu diputar, ia tidak

berhenti sampai tengah hari. Setelah membuat beraneka macam

bentuk bejana, yang besar dan yang kecil, ia kemudian mulai membuat satu yang khusus untuk Pabhavati dengan berbagai

gambar padanya. Tujuan dari seorang Bodhisatta selalu berhasil.

Ia bertekad agar hanya Pabhavati yang melihat gambar-gambar

itu. Setelah ia mengeringkan dan menyiapkan semuanya, rumah

itu pun penuh dengan bejana-bejana. Kundi itu pergi ke istana

dengan membawa beragam jenis bentuk. Ketika melihatnya, raja

menanyakan siapa yang membuatnya. “Saya, Paduka,” jawab

kundi itu. “Saya yakin bukan kamu yang membuatnya. Siapa

yang membuatnya?” “Muridku, Paduka.” “Ia bukanlah muridmu,

melainkan ia adalah gurumu. Belajarlah darinya. Mulai hari ini,

tugaskanlah ia yang membuatkan bejana untuk putri-putriku.”

Dan dengan memberikannya uang seribu keping, raja berkata,

“Berikan ini kepadanya, dan bawakan bejana-bejana ini kepada

putri-putriku.” Ia kemudian membawakan bejana-bejana tersebut

kepada mereka dan berkata, “Semua ini dibuat untuk

kesenangan Anda sekalian.” Mereka semua menerimanya.

Kemudian kundi tersebut memberikan kepada Pabhavati bejana

yang khusus dibuatkan oleh Sang Mahasatwa untuknya.

Sewaktu menerimanya, dengan segera ia mengenali

kesukaannya dan juga kesukaan dari pengasuh bungkuknya,

dan mengetahui bahwa itu pasti adalah hasil kerajinan tangan

Raja Kusa dan bukan yang lain, ia menjadi marah dan berkata,

“Saya tidak menginginkannya. Berikanlah kepada orang mereka

yang menginginkannya.” Kemudian saudara-saudaranya yang

melihat ia demikian marah, menjadi tertawa dan berkata, “Anda

mengira bahwa itu adalah buatan dari Raja Kusa. Yang

membuatnya adalah tukang kundi, bukannya Raja Kusa.

Ambillah itu.” Ia tidak memberitahu mereka bahwa Kusa telah datang ke kota mereka dan membuat bejana itu. Kundi tersebut

memberikan kepada Bodhisatta uang seribu keping dan berkata,

“Anakku, raja merasa senang denganmu. Mulai saat ini, kamu

yang harus membuat bejana-bejana untuk putri-putrinya dan

saya yang membawa bejana-bejana itu untuk mereka.” Ia

berpikir, “Meskipun saya tetap berada di sini, tetap tidak mungkin

bagiku untuk bertemu dengan Pabhavati,” dan ia mengembalikan

uang itu kepada kundi tersebut dan pergi ke tempat perajin

keranjang yang bekerja untuk raja. Setelah diterima menjadi

muridnya, ia membuat sebuah kipas berbentuk pohon lontar

untuk Pabhavati, dan di kipas itu diberikannya gambar sebuah

payung putih (sebagai salah satu lambang kerajaan) dan

dengan menggambar orang-orang berada di tempat minum, di

antara sekian banyak bentuk yang berlainan, ia menggambar

Pabhavati dalam posisi berdiri. Tukang keranjang itu membawa

kipas ini dan benda lainnya, hasil karya dari Kusa, menuju ke

istana. Ketika melihatnya, raja menanyakan siapa yang

membuatnya, dan sama seperti sebelumnya memberikan uang

seribu keping kepada laki-laki itu, seraya berkata, “Berikan hasil

kerajinan ini kepada putri-putriku.” Dan ia juga memberikan kipas

yang secara khusus dibuatkan untuknya kepada Pabhavati,

tetapi ketika melihatnya, Pabhavati mengetahui bahwa itu adalah

hasil kerajinan yang dibuat oleh Raja Kusa dan berkata,

“Berikanlah ini kepada mereka yang menginginkannya,” dan

dikarenakan kemarahannya, ia membuangnya ke lantai.

Saudara-saudara lainnya pun menertawakan dirinya. Perajin keranjang itu membawakan uangnya dan memberikannya

kepada Bodhisatta. Berpikir bahwa itu bukanlah tempat yang

cocok baginya, ia mengembalikan uangnya dan pergi ke tempat

tukang taman kerajaan dan menjadi muridnya. Sewaktu

membuat beraneka ragam untaian bunga, ia membuatkan satu

yang khusus untuk Pabhavati, dengan berbagai bentuk. Tukang

taman itu membawanya ke istana. Ketika melihatnya, raja

menanyakan siapa yang membuat untaian bunga itu. “Saya,

Paduka.” “Saya yakin bukan kamu yang membuatnya. Siapa

yang membuatnya?” “Muridku, Paduka.” “Ia bukanlah muridmu,

melainkan ia adalah gurumu. Belajarlah darinya. Mulai hari ini,

tugaskanlah ia yang membuatkan untaian bunga untuk putriputriku,

dan berikan uang seribu keping ini kepadanya.” Setelah

memberikan uang ini kepadanya, raja berkata, “Bawalah bungabunga

ini kepada putri-putriku.” Dan tukang kebun itu pun

mempersembahkan kepada Pabhavati untaian bunga yang

dibuat oleh Bodhisatta secara khusus untuknya. Saat ini juga

sama, ketika melihat berbagai bentuk itu sebagai kesukaan dari

dirinya dan juga kesukaan dari raja, ia mengenali hasil buatan

dari Kusa, dan dalam kemarahannya, membuang itu ke lantai.

Sama seperti sebelumnya, semua saudara-saudaranya

menertawakan dirinya. Tukang taman mengambil dan

memberikan uang seribu keping itu kepada Bodhisatta, sambil

memberitahukan kepadanya apa yang terjadi. Ia berpikir, “Ini

juga bukan tempat yang cocok untukku,” dan setelah

mengembalikan uang itu kepada tukang taman, ia pergi ke

tempat juru masak kerajaan dan menjadi muridnya. Suatu hari,

juru masak memasakkan beragam jenis makanan untuk raja, dan memberikan kepada Bodhisatta sebuah tulang untuk dimasak

sendiri. Ia memasaknya sedemikian rupa sehingga aroma

masakannya tercium sampai ke seluruh kota. Raja

mencium aroma ini dan menanyakan juru masaknya apakah ia

masih sedang memasak daging di dapur. “Tidak, Paduka. Tadi

saya memberikan tulang kepada muridku untuk dimasak.

Pastinya masakan darinya lah yang Anda cium ini.” Raja

meminta agar makanan itu dibawakan untuknya, dan sewaktu

meletakkan secuil makanan itu di ujung lidahnya, tujuh ribu saraf

perasanya bergairah. Demikian bergairahnya selera makan raja

atas makanan lezat tersebut sehingga ia memberikannya uang

seribu keping, dan berkata, “Mulai saat ini, kamu harus

menugaskan agar makanan untukku dan putri-putriku dimasak

oleh muridmu. Dan yang membawakan makananku adalah

tugasmu, sedangkan yang membawakan makanan untuk putriputriku

adalah tugas muridmu itu.” Juru masak itu kembali dan

memberitahu muridnya. Ketika mendengar ini, ia berpikir,

“Sekarang keinginanku akan terpenuhi: Saya akan dapat

bertemu dengan Pabhavati.” Karena merasa gembira, ia

mengembalikan seribu keping uang itu kepada sang juru masak.

Keesokan harinya, ia menyiapkan makanan untuk raja dan putriputrinya,

ia sendiri yang membawakan makanan untuk putri-putri

raja dengan sebuah pemikul. Pabhavati melihatnya naik beserta

dengan barang bawaannya dan berpikir, “Ia melakukan

pekerjaan yang tidak seharusnya ia lakukan, pekerjaan itu

seharusnya dilakukan oleh budak atau pelayan. Tetapi jika saya

diam saja, ia akan berpikir bahwa saya menginginkan dirinya,

dan ia akan tetap tinggal di sini, melihatku, tidak akan pergi ke tempat yang lain lagi. Saya harus mencerca dan mencaci-maki,

serta mengusirnya dan tidak mengizinkannya tinggal barang

sebentar pun di sini.” Maka ia membiarkan pintunya setengah

terbuka, dengan satu tangannya memegang daun pintu, dan

tangan yang satunya lagi pada engsel pintu, ia mengucapkan

bait kedua berikut:

Kusa, tidaklah benar bagimu, siang dan malam,

menanggung beban ini.

Mohon kembalilah dengan segera ke Kusāvatī;

Saya tidak suka melihat rupa burukmu.

Ia berpikir, “Saya mendengar ucapan dari

Pabhavati,” dan dengan merasa senang demikian, ia

mengucapkan tiga bait kalimat berikut:

Terpikat oleh pesona kecantikanmu, Pabhavati,

aku tidak lagi merasa enak tinggal di tempat asalku;

Kerajaan Madda yang anggun ini adalah tempat

kebahagiaanku, kutinggalkan mahkotaku hanya untuk

dapat melihat rupa cantikmu.

Wahai wanita bermata lembut nan indah, Pabhavati,

Kegilaan apa ini yang menguasai diriku?

Meskipun tahu akan tanah kelahiranku dengan perjalanan ini.

Kamu yang mengenakan busana berwarna keemasan

dan memiliki rupa yang demikian elok;

Yang saya inginkan adalah cintamu, bukanlah

kerajaanmu.

Setelah ia berkata demikian, Pabhavati berpikir, “Saya

tadi memakinya, dengan harapan dapat menimbulkan rasa

kebencian dalam dirinya terhadap diriku. Akan tetapi, dengan

kata-kata manisnya, ia berusaha untuk menenangkanku.

Seandainya ia berkata, ‘Saya adalah Raja Kusa,’ dan menarik

tanganku, siapa yang berani menghalanginya? Dan mungkin saja

akan ada orang lain yang mendengar pembicaraan kami.” Maka

ia pun menutup pintunya dan menguncinya dari dalam159. Dan

Raja Kusa pun membawakan makanan kepada putri-putri yang

lain dengan menggunakan pemikul itu. Pabhavati mengirim

pengasuh bungkuknya untuk membawakan kepadanya makanan

yang telah dimasak oleh Raja Kusa. Pengasuh itu

membawakannya dan berkata, “Makanlah sekarang.” Pabhavati

berkata, “Saya tidak akan memakan makanan yang dimasaknya.

Kamu saja yang makan, dan bawakan kemari untukku makanan

yang dimasak olehmu. Tetapi, jangan memberitahu orang lain

bahwa Raja Kusa telah datang.” Mulai hari itu, pengasuh tersebut

membawa dan memakan jatah sang putri, dan memberikan jatah

makanannya kepada Pabhavati. Sejak saat itu, Raja Kusa

tidak dapat bertemu dengannya lagi, dan berpikir, “Saya ingin

tahu apakah Pabhavati memiliki perasaan cinta kepadaku. Saya akan mengujinya.” Maka setelah menyediakan makanan kepada

para putri raja, ia membawa barang-barang peralatan makan

tersebut keluar. Ketika itu, ia tersandung kemudian terjatuh di

lantai dekat kamar Pabhavati, menimbulkan suara gaduh dari

peralatan makan yang berdentingan dan merintih dengan kuat; ia

membuat semuanya membentuk satu tumpukan dan tak

sadarkan diri. Mendengar suara rintihannya, Pabhavati membuka

pintu kamarnya dan, ketika melihatnya tertimpa barang

bawaannya, Pabhavati berpikir, “Yang berbaring di sini adalah

seorang raja, raja yang termasyhur di seluruh India (Jambudīpa).

Demi diriku, ia menderita siang dan malam, dan sekarang ini,

setelah demikian baiknya menyiapkan makanan, ia jatuh tertimpa

barang bawaannya sendiri. Apakah ia masih hidup?” Ia

melangkah keluar dari kamarnya, memajukan lehernya dan

melihat mulutnya untuk memperhatikan napasnya. Mulut Raja

Kusa terisi dengan air liur, dan ia membuat tubuh Pabhavati

terkena air liurnya. Pabhavati segera kembali ke kamarnya,

mencaci dirinya, dan mengucapkan bait berikut, sembari berdiri

dengan pintu kamarnya yang setengah terbuka:

Kesengsaraan adalah miliknya yang selalu berharap,

ketika harapan-harapannya tak terkabulkan;

Seperti Anda, wahai raja, yang tak jua pulang,

berharap akan cinta.

Tetapi karena ia amat mencintai Pabhavati, betapa

seringnya pun dicerca dan dicaci olehnya, ia tidak menunjukkan

adanya kemarahan, kemudian mengucapkan bait berikut:

Ia akan memperoleh apa yang diharapkannya dengan

terus-menerus, baik dicintai maupun tidak dicintai,

keberhasilan adalah yang kami puji, kegagalan adalah

yang kami cela.

Ketika ia sedang berbicara demikian, tanpa menunjukkan

adanya perasaan tersentuh, Pabhavati berkata dengan nada

suara yang tegas seperti bertekad untuk mengusirnya,

mengucapkan bait berikutnya:

Seperti menggali tanah berbatuan dengan kayu rapuh

atau menghadang angin dengan jala, demikianlah halnya

dengan berharap akan seorang wanita yang tak bersedia.

Ketika mendengar ini, raja mengucapkan tiga bait kalimat berikut:

Di dalam hatimu keras seperti batu, di luar terlihat begitu

lembut, tak ada kata-kata sambutan terucap untukku

meskipun telah kutempuh perjalanan jauh hanya untuk

mendapatkan cintamu.

Jika Anda memandangku dengan wajah yang demikian

merengut, maka di Kerajaan Madda, diriku tak lain tak

bukan hanyalah seorang juru masak.

Akan tetapi jika Anda memandangku dengan wajah yang

tersenyum, maka diriku bukan lagi seorang juru masak,

melainkan adalah Raja Kusāvatī.

Ketika mendengar perkataan raja, Pabhavati berpikir, “Ia

sangat gigih dalam semua perkataannya. Saya harus memikirkan

sesuatu untuk membuatnya pergi dari sini,” dan mengucapkan

bait berikut:

Jika perkataan peramal adalah benar, inilah yang mereka

katakan, ‘Anda akan hancur terpotong menjadi tujuh

bagian jika menikah dengan Raja Kusa.’

Ketika mendengar ini, raja menyanggah perkataannya

dengan berujar, “Nona, saya juga ada pergi ke tempat peramal di

kerajaanku, dan mereka meramalkan bahwa tidak ada suami

yang dapat menyelamatkanmu kecuali sang pemimpin bersuara

singa, Raja Kusa, dan dengan pengetahuan yang kumiliki ini,

kukatakan pula hal yang sama,” dan ia mengucakan bait

berikutnya:

Jika perkataan diriku dan peramal lainnya adalah benar,

Anda akan berkata, ‘Selamatkanlah diriku, Raja Kusa,’

dan Anda tidak akan menerima yang lainnya sebagai

pendamping hidupmu.

Ketika mendengar perkataannya ini, Pabhavati berkata,

“Tidak ada orang yang mampu membuatnya merasa malu. Apa

peduliku jika ia pergi atau tidak?” dan menutup pintu kamarnya,

menolak untuk menunjukkan dirinya. Raja Kusa kemudian

memunguti bawaannya dan turun. Sejak hari itu, ia tidak lagi

dapat melihat Pabhavati dan menjadi bosan dengan pekerjaan

masak-memasaknya. Setelah menyantap sarapan, ia

memotong kayu bakar, mencuci piring, dan kemudian tidur

berbaring pada tumpukan biji-bijian. Bangun cepat di pagi hari,

ia memasak bubur dan sebagainya, kemudian membawakan dan

menghidangkan makanan tersebut. Ia menjalani semua

kesusahan ini demi cintanya kepada Pabhavati. Pada suatu hari,

ia melihat pengasuh bungkuk itu lewat di pintu dapur dan

memanggilnya. Dikarenakan rasa takut terhadap Pabhavati,

pengasuh itu tidak berani mendekatinya, tetap berjalan dengan

berpura-pura sedang tergesa-gesa. Maka ia dengan cepat berlari

mengejarnya sambil meneriakkan, “Bungkuk.” Pengasuh itu

menoleh dan berhenti, kemudian berkata, “Siapa ini? Saya tidak

boleh mendengar apa yang kamu katakan.” Kemudian

dibalasnya, “Anda dan majikan Anda adalah orang yang keras

kepala. Meskipun telah sekian lama tinggal di tempat yang dekat

denganmu, kami tidak pernah dapat mendengar lebih dari

sekedar kabar kesehatannya.” “Pengasuh itu berkata kembali,

“Maukah kamu memberikanku hadiah?” Ia menjawab,

“Anggaplah saya memberikanmu hadiah, apakah Anda mampu

melunakkan Pabhavati dan membawaku ke hadapannya?”

Ketika disetujuinya, ia kemudian berkata, “Jika Anda benar

mampu melakukannya, akan kutegakkan kembali punggung

bungkukmu dan kuberikan perhiasan untuk lehermu,” dan

dengan menggodanya, ia mengucapkan lima bait berikut:

Kalung emas kan kuberikan untukmu sekembaliku ke

Kusāvatī, jika Pabhavati yang bertubuh ramping

berkenan untuk berjumpa denganku.

Kalung emas kan kuberikan untukmu sekembaliku ke

Kusāvatī, jika Pabhavati yang bertubuh ramping

berkenan untuk berbicara denganku.

Kalung emas kan kuberikan untukmu sekembaliku ke

Kusāvatī, jika Pabhavati yang bertubuh ramping

berkenan untuk tersenyum padaku.

Kalung emas kan kuberikan untukmu sekembaliku ke

Kusāvatī, jika Pabhavati yang bertubuh ramping tertawa

girang sewaktu bertemu denganku.

Kalung emas kan kuberikan untukmu sekembaliku ke

Kusāvatī, jika Pabhavati yang bertubuh ramping

berkenan membalas cintaku.

Ketika mendengar ini, pengasuh tersebut berkata,

“Pergilah, Tuan. Dalam beberapa hari akan kubuat ia takluk

dalam kekuasaanmu. Anda akan melihat betapa kuatnya diriku.”

Setelah berkata demikian, ia memutuskan untuk segera

bertindak, dan dengan pergi ke tempat Pabhavati ia berpura-pura

seolah-olah akan membersihkan ruangannya dengan tidak

meninggalkan seberkas debu pun, mengeluarkan sepatu-sepatunya,

kemudian mulai menyapu bersih seluruh isi kamar itu.

Kemudian ia menyiapkan satu tempat duduk yang tinggi untuk

dirinya sendiri di pintu masuk kamarnya (menjaga ambang

pintunya dengan baik) dan, dengan membentangkan satu selimut

pada tempat duduk yang rendah untuk Pabhavati, ia berkata,

“Mari, Anakku, saya akan mencari kutu di kepalamu,”

memintanya untuk duduk di sana, meletakkan kepalanya di

pangkuan, dan mengusap rambutnya sedikit, ia kemudian

berkata, “Wah, betapa banyaknya kutu yang ada di sini,” ia

mengambil kutu-kutu dari kepalanya sendiri dan meletakkan

mereka di kepala sang putri, dan kemudian untuk mengatakan

cinta dari Sang Mahasatwa, ia pun memuji dirinya dalam bait ini:

Putri raja ini tidak lagi berbahagia untuk bertemu dengan

Kusa meskipun ia hanya menerima bayaran seorang

pelayan di sini sebagai juru masak, tidak menginginkan apa pun.

Pabhavati menjadi marah kepada si bungkuk. Wanita tua

itu menariknya pada bagian leher dan mendorongnya masuk ke

dalam kamar, dan dengan dirinya sendiri berada di luar,

pengasuh itu menutup pintunya dan duduk berdiri memegangi tali

yang menarik pintu. Tidak mampu menangkapnya, Pabhavati

hanya berdiri di belakang pintu, mencercanya dan mengucapkan

bait berikut:

Budak berpunggung bungkuk ini pastinya, karena telah

mengucapkan kata-kata demikian, pantas mendapatkan

lidahnya dicabut keluar dengan pedang yang tertajam.

Maka si bungkuk yang berdiri sambil memegang tali yang

bergantung ke bawah, berkata, “Anda adalah orang yang tak

bijaksana, orang yang berkelakuan buruk. Apalah yang dapat

dilakukan oleh kecantikanmu itu? Dapatkah orang hidup dengan

memakan kecantikanmu itu?” dan setelah berkata demikian, ia

mengulas kualitas bagus dari Bodhisatta dalam tiga belas bait

berikut, mengucapkannya dengan keras seperti layaknya suara

kasar seorang yang bungkuk:

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau

penampilan luarnya,

ia memiliki kemuliaan yang besar, lakukanlah apa pun

yang menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau

penampilan luarnya,

ia memiliki kekayaan yang besar, lakukanlah apa pun

yang menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau

penampilan luarnya,

ia memiliki kekuatan yang besar, lakukanlah apa pun

yang menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau

penampilan luarnya,

ia memiliki daerah kekuasaan yang luas, lakukanlah apa

pun yang menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau

penampilan luarnya,

ia adalah seorang maharaja, lakukanlah apa pun yang

menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau

penampilan luarnya,

ia bersuara layaknya suara singa, lakukanlah apa pun

yang menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau

penampilan luarnya,

ia bersuara menyenangkan, lakukanlah apa pun yang

menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau

penampilan luarnya,

ia bersuara penuh tekanan, lakukanlah apa pun yang

menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau

penampilan luarnya,

ia bersuara merdu, lakukanlah apa pun yang

menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau

penampilan luarnya,

ia bersuara manis, lakukanlah apa pun yang

menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau

penampilan luarnya,

ia memiliki ratusan keahlian, lakukanlah apa pun yang

menyenangkan baginya.

Janganlah menilainya, Pabhāvatī, dari rupanya atau

penampilan luarnya,

Raja Kusa adalah dirinya, lakukanlah apa pun yang

menyenangkan baginya.

Mendengar apa yang dikatakannya, Pabhavati

mengancam si bungkuk dengan berkata, “Bungkuk, suaramu

terlalu keras. Jika saya mendapatkanmu nanti, akan saya

tunjukkan bahwa kamu memiliki majikan di sini.” Ia membalas,

“Sebagai rasa toleransiku kepadamu, saya tidak

memberitahukan keberadaan Raja Kusa kepada ayahmu.

Baiklah, hari ini raja akan kuberitahu,” dan setelah berkata

dengan suara keras demikian, ia pun membuat putri menjadi

takut. Dikarenakan takut akan ada orang lain yang

mendengarnya, Pabhavati berusaha menenangkan si bungkuk.

Dan dikarenakan tidak dapat bertemu dengannya, setelah tujuh

bulan merasa bosan dengan tempat tidurnya yang keras dan

makanan yang tidak enak, Bodhisatta berpikir, “Apalah gunanya

ia bagiku? Setelah tinggal di sini selama tujuh bulan, saya

bahkan tidak dapat bertemu dengannya. Ia adalah orang yang

keras dan tak berperasaan. Saya akan kembali untuk menjumpai

ibu dan ayahku.” Pada waktu itu, Sakka yang memindai

permasalahannya mengetahui penyesalan Kusa, dan ia berpikir,

“Setelah melewati waktu tujuh bulan, ia tetap tidak dapat bertemu

dengan Pabhavati. Saya akan mencari suatu cara untuk dapat

membuatnya bertemu dengannya.” Kemudian Sakka

mengirimkan pesan kepada tujuh orang raja seolah-olah pesan

itu berasal dari Raja Madda, yang berbunyi, “Pabhavati telah

meninggalkan Raja Kusa dan kembali ke rumah. Datanglah ke

sini dan jadikanlah ia sebagai ratumu.” Dan Sakka mengirimkan

pesan yang sama ini kepada tujuh orang raja tersebut. Mereka

semuanya berangkat menuju ke Kerajaan Madda diikuti dengan

rombongan besar, tanpa saling mengetahui alasan kedatangan masing-masing. Mereka kemudian bertanya satu sama lain

(sewaktu berjumpa), “Mengapa Anda datang ke sini?” Dan

sewaktu mengetahui pokok permasalahannya, mereka menjadi

marah dan berkata, “Apakah ia akan menikahkan putrinya

kepada kita bertujuh? Lihatlah betapa buruk kelakuannya. Ia

mempermainkan kita, dengan mengatakan, ‘Jadikanlah ia

sebagai ratumu.’ Biarlah ia memilih apakah ia akan menikahkan

Pabhavati kepada kita bertujuh atau apakah ia akan berperang

dengan kita.” Dan mereka pun mengirimkan sebuah pesan

kepadanya mengenai permasalahan ini dan masuk ke dalam

kota. Ketika mendapat pesan tersebut, Raja Madda terkejut dan

berdiskusi dengan para menterinya dengan berkata, “Apa yang

harus kita lakukan?” Kemudian para menterinya menjawab, [301]

“Paduka, ketujuh raja ini telah berangkat menuju ke sini untuk

mendapatkan Pabhavati. Jika Anda menolak untuk

menikahkannya, mereka akan merobohkan dinding benteng dan

masuk ke dalam kota, dan kemudian setelah menghancurkan

kita, mereka akan merampas kerajaanmu. Selagi benteng belum

roboh, kirimkanlah Pabhavati kepada mereka,” dan mereka

mengucapkan bait berikut:

Diperkokoh oleh gajah-gajah yang luar biasa, mereka

semua berdiri dengan mengenakan baju besi,

jika tak segera mengirimkan Pabhāvatī, mereka akan

merobohkan benteng kita.

Mendengar ini, raja berkata, “Jika kukirimkan Pabhavati

kepada salah satu dari mereka, maka yang lainnya akan berperang denganku. Tidaklah mungkin untuk mengirimkannya

kepada siapa pun dari mereka. Setelah menyia-nyiakan raja

termasyhur di seluruh India, biarlah Pabhavati menerima

balasannya dengan kembali ke rumah. Akan kupotong dirinya

menjadi tujuh bagian dan mengirimkan masing-masing bagian

kepada ketujuh raja tersebut,” setelah berkata demikian, ia

mengucapkan bait berikut:

Dalam tujuh bagian Pabhāvatī akan dipotong,

satu bagian masing-masing untuk satu dari tujuh raja

yang datang dengan tujuan membunuh ayahnya.

Perkataannya ini terdengar dan tersebar di seluruh

istana. Pelayan-pelayannya mendatangi dan memberitahu

Pabhavati, “Kata mereka, raja akan memotongmu menjadi tujuh

bagian dan mengirimkan bagian-bagian itu kepada tujuh orang

raja.” Pabhavati menjadi ketakutan dan dengan ditemani oleh

adik-adiknya, bangkit dari duduknya, pergi ke kediaman ibunya.

Untuk menjelaskan masalah ini, Sang Guru berkata:

Dengan rupa yang menawan meskipun gelap, ia menuju

ke tempat ratu dan berjalan di depan kelompok

pelayannya, mengenakan kain sutra dan menangis

terisak.

Ia mendatangi ibunya dan setelah memberi salam, ia

kemudian meratap demikian:

Wajah ini yang dipercantik oleh bedak, demikian

menawan hati seperti terlihat di kaca, dengan kepolosan

dan kemurnian di setiap garisnya, sekarang akan berada

tertancap pada gading oleh para raja di dalam hutan.

Rambut yang berwarna gelap ini, diikat dan dikucir,

demikian lembut untuk disentuh dan wangi dengan

aroma kayu cendana;

Di tempat mayat berbaring, meskipun ditimbun, burung

hering dengan segera akan menemukannya, dan,

dengan cakar mereka, mencabik dan mengoyak dan

menyerakkannya dengan hembusan angin.

Tangan-tangan ini yang ujung jarinya diwarnai, seperti

warna tembaga, merah tua, sering berendam mandi

dengan cendana terbaik dan melumuri semua bagian,

akan segera dipotong, dan oleh para raja yang berada di

hutan kemudian dibuang;

Serigala akan mengambil dan membawanya pergi

sesukanya ke mana pun.

Payudara ini seperti buah lontar yang matang di

pohonnya, beraroma wangi cendana yang dimiliki Kāsi:

Segera, bergantung padanya, seekor serigala kemudian

akan menggigit dan menariknya, seperti bayi yang

bergantung pada payudara ibunya.

Pinggul ini lebar dan kencang, terbentuk dengan pakaian

yang membalutnya, dililit dan dilingkari oleh sabuk emas,

akan segera dipotong, dan oleh para raja yang berada di

hutan kemudian dibuang;

Serigala akan mengambil dan membawanya pergi

sesukanya ke mana pun.

Anjing, burung gagak, serigala, dan hewan pemangsa

apa saja, jika mereka memangsa Pabhāvatī, tidak akan

menua.

Jika para raja yang datang dari tempat jauh meminta

daging dan tulang putrimu, bakarlah tubuh ini di tempat

yang tersembunyi.

Kemudian tanamkanlah sebuah pohon kaṇikāra di

sebidang tanah di dekatnya, dan ketika mekar, teringat

akan diriku, Ibu, katakanlah sembari menunjuk pada

bunganya, ‘Demikianlah Pabhāvatī -ku sewaktu hidup.’

Demikianlah ia meratap tangis di hadapan ibunya

dikarenakan rasa takutnya akan kematian. Raja Madda

memerintahkan algojo datang dengan membawa kapak dan

papan pemotong. Kedatangan sang algojo tersebar cepat di seluruh istana. Ibu Pabhavati, yang mendengar kedatangannya,

bangkit dari duduknya dan pergi menjumpai raja dengan diliputi

kesedihan.

Sang Guru menjelaskan masalah ini dengan berkata:

Melihat kapak dan papan pemotong dikeluarkan dengan

lingkar mematikannya, semua wanita kerajaan itu bangkit

dan pergi mencari raja.

Kemudian ratu mengucapkan bait berikut:

Dengan kapak ini, Raja Madda akan menyebabkan

kematian putrinya, dan mengirimkan potongan bagian

tubuhnya kepada para raja di sana.

Raja berusaha untuk menenangkannya dengan berkata,

“Ratu, apa yang Anda katakan ini? Putrimu telah menolak raja

termasyhur di seluruh India dikarenakan keburukan rupanya, dan

dengan menerima kematian sebagai akhir hidupnya, ia pulang

kembali ke rumah sebelum jejak kakinya, di jalan yang pertama

dilaluinya ke sana, terhapus bersih. Oleh karenanya, biarlah ia

menerima hasil sebagai akibat dari kecemburuan yang

ditimbulkan oleh kecantikannya itu.” Setelah mendengar apa

yang dikatakan oleh raja, kemudian ratu beralih ke putrinya dan

meratapinya demikian:

Anda tidak mendengar perkataanku ketika nasihat baik

yang kuucapkan, sekarang Anda akan segera berada di

kediaman Yama, dengan badan yang berlumuran darah.

Demikianlah akhir hidup yang akan terjadi pada setiap

orang, atau bahkan lebih buruk, yang tidak

mendengarkan nasihat baik, mengabaikan peringatan

seorang sahabat.

Jika saja hari ini Anda tetap menikah dengan seorang

pangeran gagah perkasa, berada di tempat yang dihiasi

oleh emas dan permata, memiliki keluarga di Kerajaan

Kusa, dilayani oleh kumpulan pelayan, Anda tidak akan

berakhir di kediaman Yama.

Di saat tabuhan genderang dan bunyi suara trompet

gajah berkumandang, berada dalam keluarga kerajaan,

di tempat mana lagi dapat ditemukan kebahagiaan yang

melebihi ini?

Di saat kuda-kuda meringkik (gembira) dan para pemusik

melantunkan musik, berada dalam keluarga kerajaan, di

tempat mana lagi dapat ditemukan kebahagiaan yang

melebihi ini?

Di saat terdengar suara-suara dari burung merak, burung

pucung dan burung tekukur, berada dalam keluarga

kerajaan, di tempat mana lagi dapat ditemukan

kebahagiaan yang melebihi ini?

Setelah berkata demikian kepadanya, ratu

kemudian berpikir, “Seandainya saja Raja Kusa berada di sini

sekarang, ia akan mampu membuat ketujuh raja itu pergi. Dan

setelah membebaskan putriku dari penderitaannya, ia akan

membawanya pergi bersama dirinya,” dan ia mengucapkan bait berikut:

Di manakah ia yang mampu mengalahkan kerajaan

musuh dan menaklukkan musuh-musuhnya?

Ia, Kusa yang mulia dan bijaksana, mampu

membebaskan kita dari kesusahan ini.

Kemudian Pabhavati berpikir, “Lidah ibuku tidaklah

seharusnya mengucapkan pujian untuk Kusa. Saya akan

memberitahunya bahwa Kusa sebenarnya selama ini tinggal di

sini dan disibukkan dengan pekerjaan seorang juru masak,” dan

ia mengucapkan bait berikut:

Sang penakluk yang mengalahkan semua musuhnya,

ia berada di sini!

Ia, Kusa yang mulia dan bijaksana, yang akan

mengalahkan mereka semua untukku.

Kemudian ibunya berpikir, “Ia takut akan kematian dan

menjadi berbicara yang bukan-bukan,” dan mengucapkan bait berikut:

Apakah Anda telah menjadi buta atau dungu berbicara

demikian? Jika Kusa benar datang ke tempat ini,

mengapa Anda tidak memberitahukannya kepada kami?

Mendengar ini, Pabhavati berpikir, “Ibuku tidak

memercayaiku. Ia tidak tahu bahwa Kusa berada di sini dan telah

tinggal selama tujuh bulan. Akan kubuktikan kepadanya,” dan

dengan menarik tangan ibunya, ia membuka jendela dan

menjulurkan tangannya, menunjuk pada dirinya (Kusa),

kemudian mengucapkan bait berikut:

Ibu, lihatlah juru masak di sana, dengan pinggang yang tegak lurus;

Dengan membungkuk, ia mencuci tempayan dan kuali,

di tempat putri raja tinggal.

Dikatakan, kala itu, Kusa memiliki pemikiran berikut:

“Hari ini keinginanku akan terkabulkan. Dikarenakan takut akan

kematian, Pabhavati akan memberitahukan keberadaanku di

tempat ini. Saya akan mencuci dan membersihkan peralatan

masakku.” Dan ia pun mengambil air dan mulai mencuci.

Kemudian ratu memaki putrinya dalam bait berikut ini:

Apakah Anda ingin menjadi kaum candala atau,

seorang wanita kaum kesatria mencintai seorang budak,

memberikan aib yang besar bagi Kerajaan Madda?

Kemudian Pabhavati berpikir, “Ibuku tidak tahu bahwa

dikarenakan dirikulah, Kusa berada di tempat ini sampai

sekarang dengan status demikian,” dan mengucapkan bait berikut:

Bukannya saya ingin menjadi kaum candala, saya

bersumpah, atau ingin memberikan aib bagi kerajaanku.

Akan tetapi, ia, bukan seorang budak, adalah putra Raja Okkāka.

Dan untuk memuji kemasyhurannya, Pabhavati berkata:

Ia memberikan makanan kepada dua ribu orang

brahmana, bukan seorang budak, saya bersumpah;

Yang Anda lihat berdiri di sana adalah putra Raja Okkāka.

Ia menunggangi dua ribu ekor gajah, bukan seorang

budak, saya bersumpah; Yang Anda lihat berdiri di sana

adalah putra Raja Okkāka.

Ia menunggangi dua ribu ekor kuda, bukan seorang

budak, saya bersumpah; Yang Anda lihat berdiri di sana

adalah putra Raja Okkāka.

Ia menaiki dua ribu buah kereta (pertempuran), bukan

seorang budak, saya bersumpah; Yang Anda lihat berdiri

di sana adalah putra Raja Okkāka.

Ia memiliki dua ribu ekor sapi jantan, bukan seorang

budak, saya bersumpah; Yang Anda lihat berdiri di sana

adalah putra Raja Okkāka.

Ia memiliki dua ribu ekor sapi perah, bukan seorang

budak, saya bersumpah; Yang Anda lihat berdiri di sana

adalah putra Raja Okkāka.

Demikianlah kejayaan dari Sang Mahasatwa yang dipuji

olehnya dalam enam bait kalimat. Kemudian ibunya berpikir, “Ia

berbicara dengan amat meyakinkan. Pastilah itu benar adanya,”

setelah memercayainya, ia pergi memberitahu raja seluruh

kejadiannya. Raja bergegas menjumpai Pabhavati dan bertanya,

“Apakah itu benar, yang mereka katakan, bahwa Raja Kusa

berada di sini?” “Ya, Ayah. Sampai hari ini, sudah tujuh bulan ia

berada di sini dengan samaran sebagai seorang juru masak putri-putrimu.” Tidak memercayainya, raja bertanya kepada si

bungkuk, dan ketika mendengar kebenaran dari permasalahan

ini darinya, raja mencerca perbuatan putrinya dan mengucapkan

bait berikut:

Sebagai gajah yang menyamar sebagai katak, ketika

pangeran gagah perkasa ini datang ke sini;

Adalah merupakan kesalahan dan keburukanmu dengan

menyembunyikannya dari kedua orang tuamu.

Demikian raja mencercanya dan kemudian bergegas

menemui Kusa, dan setelah mengucapkan salam, bersikap

anjali, mengakui kesalahannya, raja mengucapkan bait ini:

Dalam perihal tidak mengenali Maharaja dalam

samarannya, jika kami ada melakukan kesalahan

terhadap Yang Mulia, dengan tulus kami memohon maaf.

Mendengar ini, Sang Mahasatwa berpikir, “Jika saya

berbicara kasar kepadanya, hatinya pasti akan hancur. Saya

akan mengucapkan kata-kata yang menenangkan dirinya.”

Dengan berdiri di antara peralatan masaknya, ia mengucapkan

bait berikutnya:

Memainkan peran sebagai seorang juru masak adalah

perbuatanku yang salah,

tenanglah, bukanlah perbuatan salahmu jika tidak

mengenali diriku.

Setelah demikian dibalas dengan kata-kata yang baik,

raja masuk ke istana dan memanggil Pabhavati,

memerintahkannya untuk pergi meminta maaf pada sang raja,

dan mengucapkan bait ini:

Pergilah, gadis bodoh, minta maaf pada Raja Kusa yang

gagah perkasa, kemungkinan nyawamu akan dapat terselamatkan.

Mendengar perkataan ayahnya ini, ia pun pergi

menjumpai Kusa, ditemani oleh adik-adiknya dan para

pelayannya. Dalam keadaan berdiri sebagaimana adanya waktu

itu dengan pakaian pelayannya, Kusa melihatnya datang menuju

ke arahnya dan berpikir, “Hari ini akan kuhancurkan

kesombongan si Pabhavati dan membuatnya tunduk di bawah

kakiku di tanah berlumpur,” dan dengan menuang habis semua

air yang telah diambilnya ke sana, ia memijak-mijak sebidang

tempat sebesar tempat dilakukan pemisahan padi dengan

bijinya, menjadikan seperti tempat tumpukan lumpur. Pabhavati

menghampirinya dan bersembah sujud di tempat berlumpur itu meminta maaf.

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Pabhāvatī, yang rupanya seperti makhluk dewa,

mematuhi perkataan ayahnya:

Dengan kepala tunduk ke bawah, dipegangnya kedua

kaki Raja Kusa yang gagah perkasa.

Kemudian Pabhavati mengucapkan bait-bait berikut:

Malam dan siangku tanpa dirimu, wahai raja,

telah berakhir:

Lihatlah sekarang saya bersujud di kakimu,

mohon Anda tidak lagi marah padaku.

Saya berjanji padamu, jika Anda berkenan mendengar

permohonanku ini, tak kan kulakukan (lagi) perbuatan

yang menyakiti Tuanku.

Akan tetapi, jika Anda menolak permohonanku, maka

ayahku akan membunuh putrinya sendiri, memotongnya

berkeping-keping, dan memberikannya kepada para raja.

Mendengar ini, Raja Kusa berpikir, “Jika kukatakan,

‘Inilah akibat yang harus Anda terima,’ hatinya pasti akan hancur.

Saya akan mengucapkan kata-kata yang menenangkan dirinya,”

dan ia berkata:

Akan kukabulkan permohonanmu, Pabhāvatī, selama

Anda bersamaku; Janganlah takut, saya tidak marah padamu.

Dengarkanlah aku, wahai putri raja, saya juga berjanji

padamu: Tak kan kulakukan perbuatan yang menyakitimu.

Akan kutanggung betapa pun susahnya, atas cintaku

kepadamu, dan kukalahkan semuanya yang datang ke

Madda untuk mengambil dirimu.

Kusa, yang dipenuhi dengan kebanggaan seorang

kesatria seperti seakan-akan melihat bidadari Dewa Sakka, raja

para dewa, yang melayani dirinya, berpikir, “Selagi saya masih

hidup, siapa yang berani datang dan membawa pergi istriku?”

dan setelah bangkit dari tempatnya, seperti seekor singa, berkata

di halaman istana, “Biarlah semua penghuni kota ini mengetahui

keberadaanku,” dan dengan berjingkrak, bertepuk tangan, ia

meneriakkan, “Sekarang saya akan menghadapi mereka,

mintalah mereka untuk menyiapkan kuda dan keretaku,” dan ia

mengucapkan bait berikut:

Ayo cepat pasangkan kuda-kuda terbaikku pada kereta,

dan lihatlah diriku, yang dengan gagah berani, berangkat

menghancurkan musuh-musuhku di sana.

Kemudian ia mengucapkan perpisahan kepada

Pabhavati dengan berkata, “Untuk menangkap musuh-musuhmu

adalah tugasku. Pergilah mandi dan berhiaslah, kemudian

masuklah ke dalam istanamu.” Dan Raja Madda mengutus para

menterinya sebagai pengawal kehormatannya. Mereka menarik

sebuah layar yang mengelilingi dirinya di dapur dan menyediakan

seorang tukang pangkas untuknya. Setelah janggutnya dirapikan,

rambutnya dibersihkan, dihiasi dengan segala kebesarannya dan

dikelilingi oleh para pengawal, ia berkata, “Saya akan menuju ke istananya,” di setiap arah yang dilaluinya, ia bertepuk tangan, di

mana saja ia melihat, tanahnya berguncang, dan ia meneriakkan,

“Sekarang lihatlah betapa besarnya kekuatanku.”

Sang Guru mengucapkan bait ini untuk menjelaskannya:

Wanita-wanita Kerajaan Madda melihatnya berdiri

demikian di sana, seperti singa pemberani, sewaktu ia

memukulkan kedua tangannya di udara.

Kemudian Raja Madda mengirimkan untuknya

gajah yang telah terlatih untuk dapat berdiri tenang dalam situasi

perang, dihias dengan luar biasanya. Kusa naik ke punggung

gajah itu dengan sebuah payung putih terbentang di atasnya dan

memerintahkan agar Pabhavati dibawa menghadap dirinya, dan

setelah mendudukkannya di belakang, ia pun berangkat melalui

gerbang timur, dikawal oleh empat kelompok pengawal168. Dan

begitu berjumpa dengan rombongan musuhnya, ia berkata:

“Saya adalah Raja Kusa. Bagi mereka yang masih menghargai

nyawanya, silakan berlutut,” dan ia mengeluarkan suara seperti

auman singa sebanyak tiga kali dan kemudian menghancurkan

musuh-musuhnya.

Sang Guru menjelaskan masalah ini dengan berkata:

Duduk di atas punggung gajah, sang ratu berada di

belakang tuannya, Kusa, yang turun mengeluarkan suara

auman singa dalam pertempurannya.

Semua hewan, ketika mendengar suara Kusa yang

menyerupai auman singa itu, dan juga semua kesatria

akan lari dari medan pertempuran, disebabkan oleh rasa

takut dan panik.

Pasukan bergajah, pasukan berkuda, pasukan berkereta,

dan pasukan berjalan kaki, ketika mendengar suara

auman Kusa menjadi terpencar dan lari kocar-kacir,

disebabkan oleh rasa takut dan panik.

Dewa Sakka yang bergembira melihat kemenangan di

barisan depan pertempuran, memberikan sebuah

permata ajaib, yang disebut Verocana.

Memenangkan pertempuran, Kusa mengambil batu

permata, dan kemudian kembali ke Madda dengan

duduk di atas punggung gajah.

Para kesatria itu, dalam keadaan hidup dan terikat,

dibawanya serta, dan kemudian ia berkata kepada

ayahnya, ‘Lihatlah, Paduka, musuh-musuhmu ini.

Hidup mereka tergantung padamu, setelah kalah dalam

pertempuran, Anda boleh membunuh atau

membebaskan mereka,’

Raja kemudian membalas:

Musuh-musuh ini adalah milikmu, bukan milikku.

Anda-lah maharaja kami, hendak membunuh atau

membebaskan mereka.

Setelah mendapatkan balasan demikian, Sang

Mahasatwa pun berpikir, “Apalah gunanya bagiku jika orangorang

ini mati? Janganlah membiarkan kedatangan mereka tidak

mendapatkan hal yang baik. Pabhavati memiliki tujuh orang adik

perempuan, putri-putri Raja Madda. Saya akan menikahkan

mereka dengan ketujuh kesatria ini,” dan ia mengucapkan bait berikut:

Putri-putrimu ini berjumlah tujuh, seperti para dewi,

sangat cantik untuk dilihat;

Nikahkanlah mereka, masing-masing, kepada tujuh

kesatria ini, calon menantumu.

Kemudian raja berkata:

Kami dan mereka berada di bawah kuasamu, memenuhi

segala kehendakmu;

Nikahkanlah mereka—Anda adalah maharaja kami—

sesuai dengan keinginanmu.

Maka ia pun memerintahkan orang untuk mendandani

masing-masing putri dengan cantiknya dan menikahkan

mereka masing-masing kepada ketujuh raja tersebut.

Sang Guru menjelaskan masalah ini dengan lima bait berikut:

Demikian Kusa raja bersuara singa memberikan putriputri

Raja Madda, satu gadis kepada satu raja, gadisgadis

cantik dengan kesatria-kesatria pemberani.

Gembira atas anugerah yang didapatkan dari Kusa raja

bersuara singa, para kesatria kembali ke kerajaan

masing-masing.

Sambil membawa batu permata ajaibnya, Verocana,

Kusa kembali ke Kusāvatī, sang raja gagah perkasa,

dengan membawa pulang Pabhāvatī.

Menaiki satu kereta, pasangan kerajaan ini pulang ke

rumah. Tak ada yang bersinar lebih terang antara satu

dengan lainnya, karena mereka memiliki keanggunan

yang sama.

Sang ibu keluar menyambut kepulangan anaknya. Mulai

saat itu, sebagai pasangan suami istri mereka tinggal di

kerajaan yang damai dan melewati hari-hari yang

bahagia.

Setelah menyelesaikan uraian-Nya di sini, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang tadinya menyesal itu menjadi kukuh dalam tingkat kesucian Sotapanna:—“Pada masa itu, sang ayah dan ibu adalah anggota keluarga kerajaan, putra yang lebih muda adalah Ānanda (Ananda), pengasuh bungkuk adalah Khujjuttarā, Pabhāvatī (Pabhavati) adalah ibu dari Rāhula, yang lainnya adalah pengikut Sang Buddha, dan Raja Kusa adalah diriku sendiri.”

 

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 5

 

 

Tagged ,

SAṀKICCA JĀTAKA

“Ketika melihat Raja Brahmadatta,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di hutan mangga Jīvaka, tentang pembunuhan yang dilakukan oleh Ajātasattu terhadap ayahnya sendiri. Disebabkan oleh Devadatta dan atas hasutan dari dirinyalah ia membunuh ayahnya. Tetapi ketika penyakit menyerang diri si pemecah belah saṅgha, Devadatta, memutuskan untuk pergi dan meminta maaf kepada Sang Tathāgata. Di saat ia berangkat, dengan berbaring di ranjang dalam tandu, menuju Sāvatthi (Savatthi), ia ditelan oleh bumi di pintu gerbang Kota Savatthi. Ketika mendengar ini, Ajātasattu (Ajatasattu) berpikir, “Dikarenakan menjadi seorang musuh dari Yang Tercerahkan Sempurna (Sammāsambuddha), Devadatta menghilang masuk ke dalam bumi dan muncul di Alam Neraka Avīci. Disebabkan oleh dirinyalah kubunuh ayahku, raja kebenaran yang bertindak benar. Saya juga pasti akan ditelan oleh bumi.” Ia menjadi begitu takutnya sehingga tidak bisa mendapatkan ketenangan dalam keagungan kerajaannya.

Berpikir untuk istirahat sejenak, ia pun kemudian tertidur. Tak lama setelah ia tertidur kemudian ia merasa seperti terjatuh ke Alam Besi (ayapaṭhāvī) yang tebalnya sembilan yojana, jatuh di dasar bersula besi dan digigiti oleh anjing-anjing, dengan suara jeritan yang mengerikan ia terbangun. Maka suatu hari di saat bulan purnama dalam acara festival cātumāsiniyā, di saat dikelilingi oleh rombongan besar para pejabat kerajaan, ia memikirkan keagungan dirinya sendiri, mengingat dalam dirinya bahwa keagungan ayahnya jauh lebih besar daripada ini, dan disebabkan oleh Devadatta, ia telah membunuh seorang raja kebenaran yang demikian bagusnya. Ketika memikirkan tentang hal ini, suhu tubuhnya meninggi dan seluruh tubuhnya bermandikan keringat. Setelah mempertimbangkan siapa yang dapat menghalau rasa takut ini dari dalam dirinya, ia menyimpulkan bahwa selain Dasabala, tak ada yang lain lagi yang mampu melakukannya, dan dengan pikiran, “Saya telah berbuat kesalahan besar terhadap Sang Tathāgata. Siapa yang bersedia membawaku ke hadapan Beliau?” Setelah menyimpulkan tidak ada orang lain kecuali Jīvaka, ia memikirkan suatu cara untuk dapat membuat Jīvaka (Jivaka) pergi dan membawa serta dirinya bersama, dengan mengucapkan suatu perkataan yang penuh kegembiraan, “Teman, betapa terangnya malam indah ini,” ia berkata, “Bagaimana jika kita mengunjungi petapa atau brahmana hari ini?” Dan ketika kebajikan dari Purāṇa dan guru-guru lainnya disebutkan oleh masing-masing siswa mereka, tanpa memedulikan apa yang mereka katakan, Ajatasattu mempertanyakannya kepada Jivaka, dan di saat Jivaka memberitahukan kebajikan dari Sang Tathāgata dan berkata dengan keras, “Paduka, sebaiknya mengunjungi, memberi hormat kepada Yang Terberkahi (Bhagavā ),” Ajatasattu memberi perintah untuk menyiapkan kereta gajah dan pergi ke hutan mangga Jīvaka. Setelah menghampiri Sang Tathāgata dengan memberi salam hormat dan dibalas kembali dengan baik oleh Beliau, Ajatasattu menanyakan buah dari kepetapaan (sāmaññaphala) dalam kehidupan ini. Dan setelah mendengar khotbah Dhamma mengenai buah dari kepetapaan dari Sang Tathāgata, ia menyatakan dirinya menjadi upāsaka (upasaka) pada akhir uraian khotbah tersebut. Ia pun pergi setelah memohon maaf dari Sang Tathāgata. Mulai saat itu dengan memberikan derma dan menjalankan sila, ia pun terus berhubungan dengan Sang Tathāgata. Dengan mendengarkan wejangan-wejangan Dhamma nan indah dan bergaul dengan teman-teman yang bajik, rasa takutnya menjadi berkurang dan rasa cemasnya menjadi hilang, ia malah mendapatkan kembali ketenangan pikiran dan mendapatkan kebahagiaan dalam empat sikap tubuh. Kemudian suatu hari para bhikkhu memulai sebuah diskusi di dalam balai kebenaran dengan berkata, “Āvuso, setelah membunuh ayahnya, Ajātasattu diserang oleh rasa takut dan karena tidak mendapatkan ketenangan dalam keagungan kerajaannya, ia merasakan sakit dalam semua sikap tubuhnya. Kemudian ia pergi mengunjungi Sang Tathāgata dan dengan bergaul dengan teman-teman yang bajik, rasa takutnya menjadi hilang dan ia menikmati kebahagiaan dalam kepemimpinan.”

Sang Guru datang dan bertanya, dengan berkata, “Pembicaraan apa, Para Bhikkhu, yang sedang kalian diskusikan dalam pertemuan ini?” dan ketika diberitahukan jawabannya, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau, setelah membunuh ayahnya, dikarenakan aku, orang ini mendapatkan kembali ketenangan pikirannya,” dan Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala, Raja Brahmadatta memerintah di Benares. Ia mendapatkan kelahiran seorang putra yang kemudian diberi nama Pangeran Brahmadatta. Pada waktu yang sama, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga pendeta kerajaannya, yang kemudian diberi nama Saṁkicca (Samkicca). Kedua anak laki-laki ini tumbuh besar bersama di dalam istana dan menjadi teman akrab. Dan ketika dewasa dan setelah memperoleh semua ilmu pengetahuan di Takkasilā, mereka pulang kembali ke rumah. Kemudian raja menunjuk putranya untuk menjadi wakil raja, dan Bodhisatta masih tetap tinggal bersamanya. Suatu hari, di saat ayahnya pergi bersantai di taman, wakil raja ini melihat keagungannya yang besar dan muncul keserakahan dalam dirinya untuk mendapatkannya, dengan berpikir, “Bagi diriku, ayahku itu lebih seperti seorang saudara. Jika harus menunggu sampai ia mati, saya pasti akan menjadi seorang laki-laki tua sebelum dapat menggantikannya naik takhta. Apa gunanya bagiku mendapatkan kerajaan di saat itu? Saya akan membunuh ayahku dan menjadikan diriku sebagai raja,” dan ia memberi tahu Bodhisatta tentang apa yang dipikirkannya itu. Bodhisatta menolak pemikiran tersebut dengan berkata, “Teman, membunuh ayah adalah perbuatan serius (berat), perbuatan yang mengarahkan jalan ke alam neraka. Anda tidak boleh melakukan perbuatan ini; Jangan lakukan ini.” Ia terus mengatakannya, tetapi ditentang oleh temannya itu sampai sebanyak tiga kali. Kemudian ia berunding dengan para pengawalnya dan mereka mendapatkan sebuah gagasan serta merancang sebuah rencana untuk membunuh raja. Tetapi Bodhisatta yang mendengar tentang hal ini berpikir, “Saya tidak akan berteman dengan orang-orang seperti ini,” dan tanpa berpamitan kepada ayah dan ibunya, ia keluar melalui pintu rumah dan bersembunyi di Himalaya. Di sana ia menjalani kehidupan petapa dan memperoleh kesaktian dari jhana, bertahan hidup dengan memakan akar-akaran dan buah-buahan. Sedangkan, ketika temannya telah pergi, wakil raja itu membunuh ayahnya dan menikmati keagungan yang besar tersebut. Ketika mendengar bahwa Saṁkicca (Samkicca) telah menjadi petapa, banyak pemuda dari keluarga baik-baik meninggalkan keduniawian dan ditahbiskan olehnya menjadi petapa. Dan demikian di sana ia tinggal, dikelilingi oleh rombongan resi, yang semuanya telah memperoleh pencapaian.

Setelah membunuh ayahnya, wakil raja itu menikmati kebahagiaan dari kedudukannya sebagai raja untuk waktu yang singkat, dan kemudian diserang oleh rasa takut dan hilangnya ketenangan pikiran, seperti orang yang mendapatkan hukumannya di alam neraka. Kemudian teringat kepada Bodhisatta, ia berpikir, “Temanku dahulu berusaha untuk menghentikan diriku, dengan mengatakan bahwa membunuh ayah adalah perbuatan berat, tetapi karena gagal membujuk diriku, ia pergi agar dirinya bebas dari kesalahan. Jika dahulu ia tetap tinggal di sini, ia pasti tidak akan membiarkanku membunuh ayahku dan ia akan dapat membebaskan diriku dari rasa takut ini. Di mana gerangan ia tinggal sekarang? Jika kutahu di mana ia tinggal, saya akan memanggilnya. Siapakah yang dapat memberitahuku tempat tinggalnya?” Sejak saat itu, baik di kediaman selir maupun di dalam istana, ia selalu melantunkan pujian terhadap Bodhisatta. Setelah sekian lama berlalu, di saat telah tinggal di Himalaya selama lima puluh tahun, Bodhisatta berpikir, “Raja teringat akan diriku. Saya harus pergi menjumpainya dan mengajarkan kepadanya tentang kebenaran, serta menghilangkan rasa takutnya.” Maka ditemani dengan rombongan lima ratus orang petapa, ia terbang di angkasa dan turun di taman yang bernama Dāyapassa, dan dengan dikelilingi oleh rombongan petapanya, ia duduk di papan batu. Ketika melihat dirinya, penjaga taman bertanya dengan berkata, “Bhante, siapakah pemimpin rombongan petapa ini?” Dan ketika mendengar pemimpinnya adalah Samkicca Yang Mulia, dan karena ia mengenali Samkicca, ia berkata, “Bhante, tetaplah di sini sampai saya membawa raja ke sini. Ia resah ingin berjumpa dengan Anda.” Dan setelah memberikan hormat, ia bergegas pergi ke istana dan memberitahukan raja tentang kedatangan temannya. Raja datang untuk menjumpainya dan setelah memberi segala salam yang sepantasnya, ia menanyakan sebuah pertanyaan kepadanya:

Untuk menjelaskan ini, Sang Guru berkata:

Ketika melihat Raja Brahmadatta duduk di takhta

kerajaannya, ia berkata, ‘Wahai raja, teman yang Anda kasihi,

Saṁkicca, ada di sini–ia adalah pemimpin rombongan

resi–bergegaslah untuk berangkat dan jangan berlambat-lambat

untuk bertemu dengan petapa suci ini.’

Maka dengan cepat naik ke kereta yang telah disiapkan

atas perintahnya, raja beserta teman pejabat istananya,

berangkat pergi.

Lima lambang kebesaran (kerajaan) ditanggalkan oleh

Raja Kasi: kipas bulu ekor sapi yak, mahkota, pedang,

payung, dan sepatu.

Kemudian setelah melangkah keluar dari kereta,

menanggalkan perhiasan yang berkilauan, raja berjalan

menuju Dāyapassa, tempat Saṁkicca duduk.

Raja menghampirinya dan menyapanya memberi salam,

mengingat kembali percakapan yang pernah mereka

ucapkan di masa lalu.

Dan di saat raja telah duduk di sampingnya, ketika waktu

yang tepat tiba, sebuah pertanyaan tentang perbuatan

buruk dengan cepat diajukannya.

‘Saṁkicca, Pemimpin rombongan resi, Petapa suci, yang

kujumpai hari ini sedang duduk dalam taman Dāyapassa,

saya ingin bertanya kepadamu,

Bagaimanakah nasib para pelaku perbuatan buruk

setelah kematian? Terlahir di alam apakah mereka?

Saya juga telah berbuat kesalahan atas kebenaran. Saya

mohon Anda cepat menjawabnya.’

Untuk menjelaskannya, Sang Guru berkata:

Demikian Saṁkicca, yang duduk di dalam taman

Dāyapassa, menyapa raja yang memerintah Kerajaan

Kasi: ‘Dengarkanlah dan pahamilah, Paduka:

Jika Anda menunjukkan jalan keluar bagi seseorang

yang tersesat dengan tidak berdaya, dan ia mengikuti

nasihatmu, maka tak kan ada rintangan di jalannya.

Ia yang berjalan di jalan yang tidak benar, jika dengan

benar Anda mengarahkannya kembali, dan ia mengikuti

nasihatmu, ia akan terbebas dari keadaan menyedihkan.’

Demikianlah ia menasihati raja, dan kemudian ditambah lagi dengan mengajarkannya kebenaran:

Kebenaran(Dhamma) adalah jalan yang benar,

Ketidakbenaran(Adhamma) adalah jalan yang salah;

Kebenaran menuntun jalan ke alam menyenangkan,

Ketidakbenaran menuntun jalan ke alam penuh siksaan.

Orang yang menapaki jalan ketidakbenaran, dan hidup

dengan tidak benar, apa yang akan mereka alami di

alam neraka setelah kematian, wahai paduka,

dengarkanlah aku sekarang:

Sañjīva, KāỊasutta dan Roruva, Saṅghāta, Mahāvīci,

adalah nama-nama yang demikian mengerikan,

ditambah dengan Athāpara, Tāpana dan Patāpana;

semuanya adalah delapan alam penuh siksaan (neraka).

Tak ada harapan bagi mereka untuk lepas dari tempattempat

ini, dan dikatakan juga adanya alam (neraka)

Ussada, alam neraka kecil, masing-masing berjumlah

enam belas;

Siksaan dahsyat menyerang mereka, api menjadi

ancaman besar;

Ketidakbahagiaan yang menggidikkan bulu roma,

mengerikan, menciutkan nyali, mengerikan berada di

sekelilingnya.

Keempat sisi tertutup oleh pintu gerbang, diberi jarak

dalam ukuran yang sesuai, ditutupi oleh kubah besi,

dikelilingi oleh dinding besi.

Bahan besi terbentuk sedemikian rupa, tak ada kobaran

api yang mampu melelehkannya; Meskipun demikian,

kekuatannya tetap terasa sampai sejauh seratus yojana.

Ia yang berbuat buruk melampaui batas kepada para resi

dan petapa yang mengamalkan pengendalian diri, jatuh

terjungkir di alam neraka, sulit untuk bangkit.

Dalam keadaan mengerikan badan mereka tercabik

berkeping-keping, seperti ikan yang terpanggang,

disebabkan oleh kesalahan mereka, selama satu kurun

waktu tak terhingga menjalani hukuman.

Anggota tubuh mereka menjadi bahan bakar bagi

kobaran api yang menyiksa mangsa-mangsa ketakutan,

yang meskipun ingin melarikan diri darinya tak akan

pernah menemukan jalan.

Bolak-balik ke arah timur, barat, utara, atau selatan

mereka mencoba bergerak cepat, mencari sesuatu yang

sia-sia, karena setiap pintu gerbang ada penjaganya.

Malang, selama ribuan tahun, mereka berada di alam

neraka, mereka meratap dengan menyedihkan atas

penderitaan yang diderita, dengan tangan terentang.

Seperti ular berbisa yang ganas, yang kemarahannya

sangat fatal untuk dibangkitkan,

Demikianlah juga hindari berbuat buruk terhadap para

petapa yang mengamalkan pengendalian diri.

Ajjuna, Pemimpin Kekaka, pemanah hebat, yang

membunuh Aṅgīrasa Gotama, luluh lantak meskipun ia

memiliki seribu tangan.

Demikian juga Daṇḍaki, yang mengotori Kisavaccha

yang tidak bersalah, hancur seperti pohon lontar yang

dicabut sampai ke akar-akarnya.

Mejjha, melukai Mātaṅga, terjatuh dari tempat

kebanggaannya, tanah kerajaannya musnah,

menjadi hutan belantara.

Karena menyerang dan membunuh Kaṇhadīpāyana,

Andhakaveṅhudāsaputtā terjatuh di alam neraka, yang

satu terbunuh oleh tongkat kebesaran yang lainnya.

Dikarenakan seorang suci, Cecca yang tadinya

mampu berjalan di udara, menghilang dan ditelan bumi

pada hari kematiannya.

Orang dungu yang berhati keras tidak akan pernah

menjadi orang bijak,

Orang yang jujur, disertai dengan kebenaran, lambat

untuk mengucapkan kebohongan.

Ia yang ikut serta dalam rencana berbuat buruk terhadap

mereka yang sempurna dalam pengetahuan dan

perilaku, akan terlempar jatuh ke alam neraka, segera

menyesali rencana kejamnya.

Tetapi ia yang menyerang mereka dengan kejam, akan

seperti tunggul pohon lontar yang hampir mati, tidak

memiliki tunas baru, musnah.

Ia yang membunuh mereka, pabbajita yang bertindak

sesuai kewajibannya, akan menderita siksaan

di Alam Neraka KāỊasutta.

Dan jika seorang raja dungu yang memerintah

kerajaannya dengan tidak benar, ketika meninggal, ia

akan mengalami penderitaan di Neraka Tāpana.

Selama ribuan tahun, seperti para dewa yang

menghitung tahun-tahunnya, ia akan berakhir dengan

menghuni, seperti mengenakan pakaian dari nyala api

yang berkobar-kobar, alam neraka.

Kobaran api yang menyala terang di semua sisi

menyembur keluar dari badannya yang tersiksa, anggota

tubuhnya, bulu badannya, kuku dan semuanya, menjadi

makanan bagi kobaran api itu.

Dan di saat badannya terbakar cepat, benar-benar

tersiksa dengan rasa sakit, seperti gajah yang dipukul

dengan tongkat, makhluk malang, ia akan meratap

sekuat-kuatnya.

Ia yang membunuh ayahnya dikarenakan keserakahan

atau kebencian, makhluk hina, akan menderita dalam

kobaran api di alam neraka KāỊasutta dalam waktu yang

lama.

Ia akan direbus di dalam bejana kuningan (lohakumbhī)

sampai terkelupas, orang yang membunuh ayah, akan

ditusuk dengan tombak besi, kemudian dibutakan, dan

diberikan kotoran sebagai makanan, diceburkan ke

dalam air garam, untuk menerima hasil atas

perbuatannya.

Penjaga neraka akan mematahkan rahang jika mereka

mendekat, bola dan mata bajak besi yang panas berada

di antaranya;

Semuanya ini, ditambah lagi dengan tali mengganjal kuat

mulutnya, mereka juga dimasukkan ke dalam aliran air

yang penuh dengan kotoran.

Burung hering dan anjing berwarna hitam dan berbintik

beraneka warna, kumpulan burung gagak, dan burungburung

dengan paruh besi,

mematuknya menjadi potongan kecil, melahap potongan

kecil itu, darah dan semuanya.

Para penjaga neraka bolak-balik menyerang mereka

dengan banyak pukulan, di bagian dadanya yang hangus

terbakar atau anggota tubuh lain yang terluka, memukuli

mereka dengan riangnya.

Kebahagiaan menjadi milik mereka, sedangkan

penderitaan menjadi milik yang menghuni neraka atas

perbuatan mereka membunuh ayahnya.

Anak yang membunuh ibunya akan langsung dikirim ke

kediaman Dewa Yama (dewa kematian), untuk menuai

hukuman sesuai dengan perbuatannya.

Di sana penjaga neraka menghukumnya, menusuk

punggungnya dengan mata bajak besi dalam lekukan

yang dalam dan lebar.

Mereka mengambil darah yang mengalir dari lukanya

seperti kuningan yang meleleh, dan memberikannya

kepada orang rendah yang bersalah itu, untuk

memuaskan rasa dahaganya yang amat sangat.

Ia diberdirikan di dalam kolam merah yang seperti

berairkan gumpalan-gumpalan darah, menghirup bau

busuk yang menyengat hidung dari bangkai, kotoran

atau lumpur.

Ulat-ulat raksasa dengan gigi (setajam) besi, menusuk

tembus kulit mangsa mereka, melahap daging mereka

dengan rakusnya dan mengisap darah mereka.

Terlihat ia terbenam di alam neraka yang dalammya

seratus porisa, menghirup bau busuk yang menyengat

hidung sampai sejauh seratus yojana.

Dikarenakan bau busuk yang menyengat hidung,

keadaannya demikian menyedihkan, meskipun

sebelumnya memiliki penglihatan tajam, tetapi ia akan

menderita kehilangan penglihatan.

Alam neraka Khuradhāra, penjara yang sulit untuk

meloloskan diri, para pelaku aborsi tidak bisa lari dari

dasar sungaimu yang mengerikan, Vetaraṇī.

Pohon-pohon simbali dengan duri sepanjang enam

belas aṅgula yang runcing, di kedua tepimu;

Mereka tidak bisa lari dari dasar sungaimu yang

mengerikan, Vetaraṇī.

Mereka berbusanakan api, gugusan api, api yang

berkobar-kobar, semuanya berdiri terbalik dengan kepala

di bawah, setinggi tiga gāvuta.

Yang terlahir di alam neraka (Simbali) ini, yang berdiri

pada duri-duri tajam, adalah mereka para wanita yang

berselingkuh dan laki-laki pezina.

Ditusuk dengan sula, mereka jatuh dengan kepala

dahulu, berputar-putar dalam pelarian,

dan di sana dengan anggota tubuh yang tercabik-cabik,

mereka berbaring terbangun sepanjang malam.

Setelah malam berlalu, mereka dimasukkan ke dalam

bejana kuningan, sebesar gunung, dan penuh dengan

air yang menyamai bara api.

Demikianlah orang-orang yang terselubung oleh

kegelapan batin dan kelakuan buruk melewati siang dan

malam, atas perbuatan salah mereka, menanggung hasil

dari perbuatan.

Istri yang belanja dengan uang suaminya tetapi

mengabaikan suaminya, mertuanya, atau sanak

keluarganya yang lain, mengalami siksaan dengan

lidahnya ditarik keluar dengan kail.

Ia hanya mampu melihat lidahnya ditarik keluar, penuh

dengan ulat, tak mampu berkata, terpaksa diam,

menanggung siksaan yang dahsyat di Tāpana.

Penyembelih domba, penjagal babi, penangkap ikan,

penjagal sapi, pemburu, pengkhianat yang kejam,

Diserang dengan belati dan palu kuningan (lohakūṭa),

orang-orang ini berlumuran darah;

Dikejar oleh tombak dan panah sampai terjatuh, dengan

terjungkir, ke dalam sungai asin.

Pemberi keputusan tidak benar, diserang siang dan

malam dengan palu besi yang panas, hanya dapat

memakan kotoran menjijikkan yang dikeluarkannya.

Burung gagak, serigala, burung hering, dan burung hitam

besar berparuh besi, memangsa orang malang yang

memberontak ini hidup-hidup di dalam perut mereka

yang tidak pernah puas.

Ia yang menggunakan binatang yang satu untuk

menangkap atau bahkan membunuh binatang yang

lainnya, atau menangkap bahkan membunuh satu

unggas dengan menggunakan unggas yang lainnya,

diliputi dengan hasil dari perbuatan buruk mereka, akan

terlahir di alam neraka Ussada.

Demikianlah Sang Mahasatwa menguraikan semuannya tentang alam-alam neraka ini, dan kemudian untuk menjelaskan tentang alam-alam dewa, ia berkata:

Dikarenakan jasa-jasa kebajikan yang ditanam sewaktu

masih hidup, pelaku kebajikan akan terlahir

di alam-alam surga;

Di alam-alam surga ini, para Dewa, Brahma, Indra,

menuai buah yang matang dari jasa-jasa kebajikan.

Oleh karenanya ini kukatakan:

Jalankanlah pemerintahan di kerajaanmu dengan benar,

Maharaja, karena setiap kebajikan yang diperbuat akan

mendapatkan buah perbuatan yang baik pula, tidak akan

pernah membuahkan penderitaan.

Setelah mendengar khotbah dari Sang Mahasatwa, raja memperoleh kepuasan. Dan setelah tinggal beberapa lama di sana, Bodhisatta pun kemudian kembali ke kediamannya.

Sang Guru mengakhiri uraian-Nya di sini dan berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi di masa lampau juga, ia dihibur olehku,” dan Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, Ajātasattu (Ajatasattu) adalah raja, rombongan resi adalah pengikut Buddha, dan saya adalah Yang Bijak Saṁkicca (Samkicca).”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 5

 

 

Tagged ,

SONAKA JĀTAKA

“Seribu keping uang, dan seterusnya.”

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang kesempurnaan dalam pelepasan (keduniawian). Pada kesempatan ini, Bodhisatta yang sedang duduk di dalam balai kebenaran di antara para bhikkhu ketika mereka sedang memuji kesempurnaan dalam pelepasan keduniawian, berujar, “Para Bhikkhu, bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau Tathāgata sungguh-sungguh meninggalkan keduniawian dan melakukan pelepasan keduniawian yang agung,” dan setelah berujar demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala, Raja Magadha memerintah di Rajagaha. Bodhisatta dilahirkan oleh ratu utamanya dan di hari pemberian namanya, mereka memberinya nama Arindama. Pada hari yang sama dengan kelahirannya, pendeta kerajaan juga mendapatkan kelahiran seorang putra dan mereka memberinya nama Sonaka. Kedua anak ini tumbuh besar bersama dan ketika dewasa, mereka sangatlah tampan, dalam penampilan tidak dapat dibedakan satu dengan yang lainnya, dan mereka pergi ke Takkasilā. Setelah dilatih dalam semua ilmu pengetahuan, mereka meninggalkan tempat itu dengan maksud untuk mempelajari penggunaan penerapan dari ilmu pengetahuan dan kehidupan rakyat, dan secara berangsur-angsur dalam pengembaraan mereka tiba di Benares. Di sana mereka mengambil tempat tinggal di dalam taman kerajaan dan keesokan harinya masuk ke dalam kota. Pada hari itu juga, beberapa orang yang berpikiran untuk memberikan derma makanan kepada para brahmana, telah menyediakan bubur susu dan menyiapkan tempat duduk. Ketika melihat kedua pemuda ini mendekat, orang-orang itu membawa mereka masuk ke dalam rumah dan mempersilakan mereka duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Pada tempat duduk yang diberikan kepada Bodhisatta terbentang kain putih, sedangkan yang diberikan kepada Sonaka terbentang kain rajutan merah. Melihat petanda ini, Sonaka langsung mengerti bahwa hari ini sahabatnya, Arindama, akan menjadi raja di Benares, dan kemudian ia akan menawarkan kepada dirinya posisi sebagai panglima.

Setelah selesai makan, mereka kembali bersama ke taman. Sekarang adalah hari ketujuh sejak wafatnya Raja Benares, dan kerajaan tidak memiliki ahli waris. Maka setelah membersihkan diri, para penasihat dan yang lainnya, baik pemimpin maupun semuanya, berkumpul bersama dan dengan berkata, “Anda

harus pergi ke tempat yang terdapat orang yang pantas untuk menjadi raja,” mereka pun pergi dengan mengikuti kereta negara tersebut. Setelah meninggalkan kota, secara berangsur-angsur kereta negara mendekat ke taman dan berhenti di gerbang taman, bersiap bagi siapa untuk menaikinya.

Bodhisatta, kala itu, sedang berbaring dengan jubah luarnya menutupi sampai ke bagian kepalanya di papan batu keberuntungan, sedangkan Sonaka duduk di dekatnya. Ketika mendengar alunan suara alat-alat musik, Sonaka berpikir, “Kereta negara itu sedang menuju ke sini untuk Arindama. Hari ini ia akan dijadikan sebagai raja dan akan menawarkan jabatan panglima kepadaku. Tetapi sesungguhnya, saya tidak memiliki keinginan akan kekuasaan. Ketika ia pergi nanti, saya akan meninggalkan keduniawian dan menjadi seorang pabbajita,” dan ia duduk bersembunyi di satu sisi. Pendeta kerajaan masuk ke dalam taman melihat Sang Mahasatwa sedang berbaring di sana, dan memberi perintah untuk membunyikan alat musik.

Sang Mahasatwa terbangun dan setelah berpaling dan berbaring sejenak, ia bangkit dan duduk bersila di papan batu tersebut. Kemudian memohon dengan sikap anjali, pendeta kerajaan itu berkata dengan keras, “Tuan, kerajaan tiba padamu.” “Mengapa, apakah tidak ada yang mewarisi takhta?” “Benar demikian, Tuan.” “Kalau begitu, baiklah,” jawabnya. Maka mereka pun melantiknya menjadi raja di sana. Dan setelah memintanya untuk menaiki kereta, mereka membawanya ke kota diikuti oleh rombongan pengawal dalam jumlah besar. Setelah berkeliling kota dengan senantiasa mengarahkan sisi kanan badannya, ia memasuki istananya, dan dalam kebesarannya (sebagai raja), ia pun lupa akan semuanya mengenai Sonaka. Ketika raja telah pergi, Sonaka keluar dari persembunyiannya dan duduk di papan batu tersebut, persis saat itu juga sehelai daun layu dari pohon sala jatuh di hadapannya. Ketika melihat ini, ia berujar, “Seperti daun ini, tubuhku akan demikian menua,” dan setelah menegakkan pandangan terang pada objek ketidakkekalan (keadaan yang selalu berubah), ia mencapai kebuddhaan dengan menjadi seorang Pacceka Buddha, dan pada saat itu juga penampilan umat awamnya lenyap, dan penampilan petapa muncul, dan dengan berkata, “Tidak akan ada kelahiran lagi bagiku,” setelah mengucapkan ungkapan ketergugahan hati ini, ia berangkat ke Gua Nandamūla. Setelah empat puluh tahun berlalu, Sang Mahasatwa kemudian teringat kembali kepada Sonaka, dan berkata, “Di mana gerangan Sonaka berada?” Dan setelah beberapa lama ia tidak menemukan seorang pun yang mengatakan kepadanya, “Saya pernah mendengar tentang dirinya atau saya pernah melihatnya,” dengan duduk bersila di dipan kerajaan pada mahātala, dikelilingi oleh rombongan pemain musik dan penari, sembari menikmati kejayaannya, ia berkata, “Barang siapa yang mendengar dari seseorang bahwa Sonaka bertempat tinggal di tempat anu dan mengulanginya kepadaku, saya berjanji akan memberikan uang seratus keping kepadanya. Tetapi barang siapa yang melihat Sonaka dengan matanya sendiri dan memberitahukannya kepadaku, saya berjanji akan memberikan uang seribu keping kepadanya,” dan setelah mengucapkan ungkapan sukacita itu, ia mengucapkan bait pertama berikut dalam bentuk sebuah lagu (gita):

Seribu keping uang kuberikan bagi ia yang melihat

teman sekaligus teman bermainku itu;

Seratus keping uang kuberikan bagi ia yang mendengar

tentang keberadaannya.

Kemudian seorang gadis penari melantunkan kata-kata tersebut seolah-olah seperti raja yang sedang melantunkannya, kemudian yang lainnya mengetahuinya sampai seluruh isi kediaman selir raja, dengan berpikir bahwa itu adalah gita kesukaan raja, mereka pun menyanyikannya. Dan secara berangsur-angsur, baik penduduk kota maupun penduduk desa melantunkan gita yang sama dan secara terus-menerus raja juga melantunkannya. Di akhir tahun kelima puluh, raja telah memiliki banyak putra dan putri, anak yang sulung diberi nama Pangeran Dīghāvu (Dighavu). Pada waktu itu, Pacceka Buddha Sonaka berpikir, “Raja Arindama resah ingin berjumpa denganku. Saya akan pergi dan menjelaskan kepadanya tentang keburukan dari kesenangan indriawi dan kebaikan dari pelepasan keduniawian, dan akan menunjukkan kepadanya jalan untuk menjadi seorang pabbajita. Dan dengan kesaktiannya, ia pergi ke tempatnya dan mengambil tempat duduk di dalam taman. Pada waktu itu, seorang bocah berkucir lima yang berusia tujuh tahun, sedang berada di taman itu karena disuruh oleh ibunya. Dan ketika sedang mengumpulkan kayu, ia melantunkan gita itu secara berulang-ulang. Sonaka memanggil bocah tersebut datang kepadanya dan bertanya kepadanya, “Bocah, mengapa kamu selalu melantunkan gita yang sama dan tidak pernah melantunkan yang lainnya? Apakah kamu tidak mengetahui gita yang lain?” “Saya tahu, Bhante, tetapi ini adalah lagu kesukaan raja maka saya melantunkannya secara berulang-ulang.” “Sudah adakah seseorang yang ditemukan dapat menyanyikan gita balasan terhadap ini?” “Tidak ada, Bhante.” “Kalau begitu, saya akan mengajarimu dan kemudian kamu dapat pergi dan melantunkan gita balasan ini di hadapan raja.” “Baik, Bhante.”

Maka ia pun mengajarkan kepada bocah itu gita balasan terhadap gita kesukaan raja itu. Ketika bocah itu telah menguasainya, Pacceka Buddha itu memintanya untuk pergi dengan berkata, “Pergilah, Bocah, dan lantunkan gita balasan ini di hadapan raja, ia akan memberikanmu hadiah yang besar. Apa gunanya kamu mengumpulkan kayu sekarang?

Pergilah secepat mungkin.” “Baiklah,” jawabnya. Maka setelah menguasai gita balasan itu dan memberi hormat kepada Pacceka Buddha Sonaka, ia berkata, “Bhante, tetaplah berada di sini sampai saya membawa raja ke sini.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, secepat mungkin ia pulang menjumpai ibunya dan berkata kepadanya, “Ibu tercinta, mandikanlah diriku dan dandani diriku dengan pakaian terbaikku. Hari ini saya akan membebaskanmu dari kemiskinan.” Dan setelah mandi dan berpakaian dengan bagus, ia pergi ke depan istana dan berkata, “Tuan Penjaga pintu, pergilah beritahu raja dengan mengatakan, ‘Ada seorang bocah yang datang dan berdiri di pintu istana, bersiap untuk melantunkan gita balasanmu.’ ” Sang penjaga pun bergegas memberitahu raja. Raja memanggilnya untuk menghadap dan berkata, “Nak, apakah kamu akan melantunkan gita balasan terhadap gitaku?” “Ya, Paduka.” “Kalau begitu, lantunkanlah gita itu.” “Paduka, saya tidak akan melantunkannya di sini, tetapi berikanlah perintah untuk menabuh genderang di seluruh kota dan minta orang-orang untuk berkumpul bersama.

Saya akan melantunkannya di hadapan orang banyak.” Raja memberi perintah untuk melakukan ini, dan setelah mengambil tempat duduknya di tengah pada dipan di bawah sebuah pavilion yang megah dan memberikan tempat duduk yang tepat kepada anak laki-laki itu, raja berkata, “Sekarang, lantunkanlah gita balasanmu.” “Paduka,” katanya, “Anda lantunkan gita itu terlebih dahulu, baru nanti saya lantunkan balasannya.” Kemudian raja, untuk melantunkan gitanya terlebih dahulu, mengulangi bait berikut:

Seribu keping uang kuberikan bagi ia yang melihat

teman sekaligus teman bermainku itu;

Seratus keping uang kuberikan bagi ia yang mendengar

tentang keberadaannya.

Kemudian, untuk menjelaskan bahwa bocah yang rambutnya berkucir lima itu menyanyikan gita balasan terhadap gita raja, Sang Guru mengucapkan bait kalimat berikut dengan kesempurnaan dalam kebijaksanaannya:

Kemudian bocah itu, yang berkucir lima, maju dan

berkata demikian:

‘Berikanlah seribu keping uang itu kepada aku yang

melihat, ditambah lagi dengan seratus keping kepada

aku yang mendengar keberadaan Sonaka, teman

bermainmu di masa kecil:

Saya akan memberitahumu tentangnya.’

Syair-syair berikutnya dapat dimengerti dalam pergantian

giliran yang jelas di antara raja dan bocah itu:

Mohon katakanlah kepadaku di negeri, kerajaan atau

kota mana kamu telah menjadi mengembara dan melihat

Sonaka, temanku itu?

Di kerajaan ini, di dalam tamanmu sendiri, tempat

terdapat banyak pohon sala yang besar, dengan

dedaunan hijau dan cabang pohon yang begitu lurus,

dapat terlihat sebuah pemandangan yang

menyenangkan itu;

Cabang-cabang pohon itu demikian lebatnya dengan

saling menutupi seperti awan, membubung tinggi di atas:

Di bawah pohon itulah Sonaka duduk bermeditasi,

seperti diliputi oleh ketenangan seorang Arahat, seperti

ketika kotoran batinnya telah padam.

Kemudian raja mulai bergerak dengan kekuatan penuh

dan dengan mengikuti jalannya, ia langsung menuju ke

tempat Sonaka berada.

Di sana di tengah hutan dengan pohon-pohon berbuah

lebat, sahabatnya itu, yang tiada kotoran batin, dalam

kebahagiaan murni, ditemukan sedang beristirahat.

Tanpa memberikan salam hormat kepadanya, raja duduk

di satu sisi, dan dengan menyatakan bahwa ia telah tunduk pada

kotoran batin, ia menganggap dirinya sebagai orang buruk yang

malang dan menyapanya dalam bait kalimat berikut:

Orang tuanya telah meninggal, dengan kepala botak,

mengenakan jubah (sangghati), seorang bhikkhu malang

dalam ketidaksadaran, berada di sini di bawah pohon ini.

Ketika mendengar ini, Sonaka berkata:

Ia, yang dalam tindak tanduknya membuahkan yang

benar, bukanlah orang yang malang.

Orang yang malang sebenarnya adalah mereka yang

mengabaikan yang benar dan mempraktikkan yang

salah, karena pelaku keburukan dipastikan membuahkan

hasil yang buruk.’

Demikianlah ia menyalahkan Bodhisatta, dan dengan

berpura-pura tidak tahu bahwa dirinya sedang disalahkan,

Bodhisatta menyatakan nama dan keluarganya dengan

mengucapkan bait kalimat berikut, sambil berbicara dengan

ramah kepadanya:

Saya dikenal sebagai Raja Kasi, namaku adalah

Arindama; Sejak kedatanganmu di sini, Sonaka, apakah

Anda telah menjumpai keburukan?

Kemudian Pacceka Buddha itu berkata, “Bukan hanya

ketika tinggal di sini, tetapi juga di tempat yang lain saya

menjumpai keburukan,” dan ia memberitahukan kemuliaan

seorang petapa (samaṇabhadra) dalam syair berikut:

Kemuliaan pertama dari seorang bhikkhu yang tak

memiliki tempat tinggal: ia tidak menyimpan harta apa

pun di dalam kamar, pasu, ataupun keranjang,

melainkan hanya menerima apa yang diberikan dan

hidup berpuas hati dengan itu.

Kemuliaan kedua dari seorang bhikkhu yang tak memiliki

tempat tinggal: ia menikmati makanannya dengan bebas

dari rasa bersalah dan tak ada orang yang

menyangkalnya.

Kemuliaan ketiga dari seorang bhikkhu yang tak memiliki

tempat tinggal: sehari-hari ia menikmati makanannya

dalam kebahagiaan dan tak ada orang yang

menyangkalnya.

Kemuliaan keempat dari seorang bhikkhu yang tak

memiliki tempat tinggal: ke mana pun ia pergi, ia

mengembara bebas di seluruh tanah kerajaan dan tak

mengenal adanya ikatan.

Kemuliaan kelima dari seorang bhikkhu yang tak memiliki

tempat tinggal: jika negeri, di mana pun ia berada,

musnah terbakar api, ia tidak akan menderita karena ia

tidak memiliki apa pun untuk terbakar.

Kemuliaan keenam dari seorang bhikkhu yang tak

memiliki tempat tinggal: jika kerajaan dirampas, ia tidak

akan menderita sedikit pun.

Kemuliaan ketujuh dari seorang bhikkhu yang tak

memiliki tempat tinggal: meskipun para perampok dan

banyak musuh berbahaya lainnya mengepung jalannya,

dengan patta dan jubah, orang suci ini akan selalu pergi

dengan selamat.

Kemuliaan kedelapan dari seorang bhikkhu yang tak

memiliki tempat tinggal: Tiada tempat tinggal dan harta

benda, ia tetap mengembara dalam perjalanannya tanpa

rasa sesal dan peduli.

Demikianlah Pacceka Buddha Sonaka memberitahukan delapan kemuliaan seorang petapa, dan bahkan selain dari ini, ia sebenarnya dapat memaparkan kemuliaan sebanyak seratus, seribu, bahkan tak terhitung jumlahnya, tetapi raja yang dikuasai oleh kesenangan indriawi memotong pembicaraannya dengan berkata, “Saya tidak memerlukan kemuliaan seorang petapa,” dan untuk memaklumkan betapa ia terpikat pada kesenangan indriawi, ia berkata:

Anda boleh saja memuji kemuliaan seorang petapa yang

begitu banyak, tetapi apa yang seharusnya kulakukan,

diriku yang dengan serakahnya berburu kesenangan indriawi?

Saya menyukai semua kesenangan duniawi dan juga

kesenangan surgawi. Akan tetapi, katakanlah padaku,

bagaimana mendapatkan dua kesenangan itu sekaligus.

Kemudian Pacceka Buddha itu menjawabnya:

Ia yang hanyut dalam kesenangan dan memuaskan

kesenangan indriawi, akan melakukan perbuatan buruk

dan terlahir di alam menyedihkan.

Tetapi ia yang meninggalkan kesenangan indriawi, pergi

menjalani kehidupan tanpa rasa takut, dan ia yang

mencapai konsentrasi murni, tidak akan terlahir di

alam menyedihkan.

Berikut saya beritahukan kepadamu suatu

perumpamaan; Dengarkanlah dengan saksama,

Arindama, sebagian orang menjadi bijak melalui

perumpamaan, dengan memahaminya.

Terdapatlah sesosok bangkai besar yang terbawa arus di

Sungai Gangga; Seekor burung gagak dungu, ketika

melihatnya terapung, berpikir demikian dalam dirinya,

‘Oh betapa besarnya tunggangan sekaligus persediaan

makanan yang amat banyak yang saya temukan ini,

Saya akan tinggal di sini siang dan malam, sambil

menikmati pikiran yang penuh kebahagiaan.’

Demikianlah ia makan daging bangkai gajah itu dan

minum air Sungai Gangga; Dalam keadaan yang terus

bergerak, ia tidak sadar lagi akan hutan dan daratan

yang dilewatinya, seperti dalam mimpi.

Dengan sikap lengah demikian dan pikiran yang hanya

tertuju pada bangkai itu, ia pun terus terbawa arus

Sungai Gangga dengan cepat menuju bahaya samudra.

Ketika kehabisan persediaan makanan, burung malang

mencoba untuk pergi. Tetapi tidak di sebelah timur,

barat, selatan ataupun utara dapat dilihatnya daratan.

Jauh di samudra, ia menjadi begitu lelah, jauh sebelum

mencapai pantai, di tengah bahaya samudra dalam yang

tak terhitung jumlahnya, ia tidak bisa bangkit lagi.

Para ikan, buaya, monster laut datang ke tempat

makhluk bersayap itu berada, dengan rasa lapar, dan

melahap mangsa mereka yang gemetaran.

Demikian halnya juga kamu dan semuanya yang

memburu kesenangan indriawi dengan tamaknya,

dianggap memiliki sifat dungu yang sama seperti burung

gagak, sampai kamu menjauhkan diri darinya.

Perumpamaanku menunjukkan kebenaran.

Pahamilah, wahai raja, kebijaksanaanmu akan

berkembang untuk kebaikan atau kejahatan sesuai

dengan perbuatanmu.

Demikianlah dengan perumpamaan ini, ia menasihati raja dan mengucapkan bait kalimat berikut untuk memantapkan pikirannya:

Dalam rasa belas kasih satu kali kumaklumkan kata-kata

peringatan, tidak untuk kedua kalinya,

Jangan mengulangi perbuatan buruk, seperti seorang

pelayan terhadap majikannya.

Demikianlah dalam kebijaksanaan-Nya yang tak

terbatas, Yang Bijak Sonaka mengarahkan pemikiran

raja, dan kemudian segera menghilang, terbang di angkasa.

Satu bait kalimat di atas diucapkan dengan terinspirasi

oleh kesempurnaan dalam kebijaksanaan-Nya.

Bodhisatta berdiri menatap Sonaka di saat ia terbang ke angkasa, selama berada dalam jarak pandangnya. Setelah Sonaka tidak terlihat lagi, ia menjadi tergugah dan berpikir, “Brahmana ini, yang menghilang di angkasa setelah menebarkan debu di kepalaku dari bawah kakinya, adalah seorang yang berasal keturunan keluarga rendah, sedangkan saya adalah seorang yang berasal dari keturunan keluarga bangsawan.

Hari ini juga saya harus melepaskan keduniawian dan menjadi seorang petapa. Maka dalam keinginannya untuk menjadi seorang petapa dan melepaskan kerajaannya, ia mengucapkan dua bait kalimat berikut:

Di manakah para saisku akan dapat menemukan

seorang raja yang layak?

Saya tidak akan lagi memerintah kerajaan; mulai saat ini

saya mengundurkan diri. Orang mungkin saja

meninggal besok, siapa yang tahu?

Saya akan bertahbis hari ini; Kalau tidak, seperti burung

gagak dungu itu, saya akan terjatuh dalam kekuasaan

kesenangan indriawi yang menimbulkan malapetaka.

Ketika mendengar dirinya yang demikian ingin

melepaskan takhtanya, para penasihatnya berkata:

Anda memiliki seorang putra, Dīghāvu namanya, ia

adalah seorang pangeran yang tumbuh dewasa;

Nobatkanlah ia, dengan upacara pemercikan,

menjadi raja.

Kemudian, dimulai dengan kalimat yang diucapkan oleh

raja, bait-bait berikut harus dapat dipahami dalam hubungan

kalimat yang cukup jelas oleh siapa bait-bait itu diucapkan:

Kalau begitu cepatlah bawa Dīghāvu ke sini,

pangeran yang tumbuh dewasa;

Dengan upacara pemercikan akan kunobatkan ia

menjadi raja.

Ketika mereka membawa Dīghāvu ke sana, untuk

menjadi raja yang memimpin mereka nantinya,

Raja menyapa putra tercintanya—ia adalah putra satusatunya:

Kumiliki enam puluh ribu desa;

Ambillah mereka, Putraku, saya menyerahkan

kerajaanku kepadamu mulai saat ini.

Orang mungkin saja meninggal besok, siapa yang tahu?

Saya akan bertahbis hari ini; Kalau tidak, seperti burung

gagak dungu itu, saya akan terjatuh dalam kekuasaan

kesenangan indriawi yang menimbulkan malapetaka.

Enam puluh ribu ekor gajah, semuanya dengan hiasan

yang luar biasa, tali pelana emas, diperindah dengan

hiasan-hiasan berwarna terang keemasan,

Masing-masing dituntun oleh pawang tersendiri, dengan

angkusa runcing di tangan; Ambillah mereka, Putraku,

kuberikan mereka kepadamu sebagai

pemimpin kerajaan.

Orang mungkin saja meninggal besok, siapa yang tahu?

Saya akan bertahbis hari ini; Kalau tidak, seperti burung

gagak dungu itu, saya akan terjatuh dalam kekuasaan

kesenangan indriawi yang menimbulkan malapetaka.

Enam puluh ribu ekor kuda, didandani dengan hiasan

yang cerah–Kuda-kuda Sindhu, semuanya keturunan

dari kuda terbaik, dan mereka adalah pasukan di darat–

Masing-masing ditunggangi oleh seorang prajurit

pemberani, dengan pedang dan busur di tangan;

Ambillah mereka, Putraku, kuberikan mereka kepadamu

sebagai pemimpin kerajaan.

Orang mungkin saja meninggal besok, siapa yang tahu?

Saya akan bertahbis hari ini; Kalau tidak, seperti burung

gagak dungu itu, saya akan terjatuh dalam kekuasaan

kesenangan indriawi yang menimbulkan malapetaka.

Enam puluh ribu kereta (ratha), semuanya dilengkapi

dengan kuk, dengan kain yang melayang bebas,

dihias dengan kulit harimau dan macan tutul, terlihat

sebagai suatu pemandangan yang indah sekali,

Masing-masing dikendarai oleh sais berbaju besi,

semuanya dipersenjatai dengan busur di tangan;

Ambillah mereka, Putraku, kuberikan mereka kepadamu

sebagai pemimpin kerajaan.

Orang mungkin saja meninggal besok, siapa yang tahu?

Saya akan bertahbis hari ini; Kalau tidak, seperti burung

gagak dungu itu, saya akan terjatuh dalam kekuasaan

kesenangan indriawi yang menimbulkan malapetaka.

Enam puluh ribu ekor sapi perah, sapi betina dan ternak

lainnya yang berwarna kemerahan; Ambillah mereka,

Putraku, kuberikan mereka kepadamu sebagai pemimpin kerajaan.

Orang mungkin saja meninggal besok, siapa yang tahu?

Saya akan bertahbis hari ini; Kalau tidak, seperti burung

gagak dungu itu, saya akan terjatuh dalam kekuasaan

kesenangan indriawi yang menimbulkan malapetaka.

Berdiri di sini adalah enam belas ribu gadis dengan

pakaian nan indah, berhiaskan gelang tangan dan cincin

permata pada tangan-tangan mereka;

Ambillah mereka, Putraku, kuberikan mereka kepadamu

sebagai pemimpin kerajaan ini.

Orang mungkin saja meninggal besok, siapa yang tahu?

Saya akan bertahbis hari ini; Kalau tidak, seperti burung

gagak dungu itu, saya akan terjatuh dalam kekuasaan

kesenangan indriawi yang menimbulkan malapetaka.

Kata orang-orang kepadaku, ‘Anak yang malang, ibumu

sudah meninggal,’ Saya juga tidak dapat hidup tanpa

dirimu. Semua kebahagiaan dari kehidupanku hilang129.

Seperti yang sering terlihat, anak gajah berjalan di

belakang induknya bergerak melewati gunung atau

hutan, melalui tanah yang berlubang atau datar,

Demikianlah akan kuikuti, dengan patta di tangan, ke

mana pun tujuanmu, Anda tidak akan merasa terbebani olehku.

Seperti kapal-kapal para saudagar yang mencari harta

menerjang risiko apa pun, dihabiskan oleh vohāra,

baik kapal maupun awaknya lenyap,

Demikianlah kutakutkan dapat kutemukan hambatan

dalam diri anak ini.

Bawalah ia ke istana untuk menikmati segalanya yang

membahagiakan di sana,

Dengan dayang-dayang, yang tangannya terang dengan

kilauan emas, menjaga dirinya; Seperti Sakka di antara

para bidadarinya, selamanya akan diperolehnya

kebahagiaan.

Kemudian mereka membawa Dīghāvu ke istana, tempat

tinggal yang penuh kebahagiaan; Melihat dirinya, para

dayang menyapa putra mahkota tersebut,

‘Siapakah Anda? Dewata, pemusik surgawi

(Gandhabba), Purindada atau Sakka, yang dapat

mengabulkan keinginan di setiap kerajaan?

Kami ingin tahu namamu.’

Bukan dewata, gandhabba, maupun Purindada atau

Sakka, aku adalah putra Raja Kasi, Dīghāvu namaku.

Bergembiralah dan hiburlah diriku, kunyatakan kalian

semua menjadi istriku.

Kemudian kepada Dīghāvu, pemimpin baru mereka, para

wanita ini bertanya demikian:

‘Di manakah raja mendapatkan tempat untuk bernaung,

ke manakah ia telah pergi?’

Raja telah bebas dari jalan berlumpur dan aman berada

di tanah yang kering; Terlepas dari semak-semak berduri

dan rimba, ia pun menemukan jalan yang bagus.

Akan tetapi saya ditempatkan pada jalan yang menuntun

ke alam menyedihkan; Terjebak dalam semak-semak

berduri dan rimba, kuperoleh penderitaan.

Selamat datang, seperti anak singa yang menyambut

kepulangan induknya ke sarangnya di pegunungan.

Mulai saat ini, Maharaja, tuntunlah kami.

Dan setelah berkata demikian, mereka semua memainkan alat-alat musik mereka dan terdengarlah pelbagai jenis lagu dan tarian. Begitu besarnya kejayaan itu sehingga pangeran yang dimabukkan olehnya, lupa akan semua mengenai ayahnya. Akan tetapi, karena menjalankan pemerintahan dengan benar, ia pun terlahir kembali di kehidupan berikutnya sesuai dengan perbuatannya. Sedangkan Bodhisatta mengembangkan kesaktian melalui jhana, dan setelah meninggal terlahir di alam brahma.

Sang Guru mengakhiri uraian-Nya sampai di sini dan berkata, “Bukan hanya kali ini, Para Bhikkhu, tetapi juga di masa lampau Sang Tathāgata sungguh-sungguh melakukan pelepasan keduniawian yang agung,” dan Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini dengan berkata, “Pada masa itu, Pacceka Buddha Sonaka mencapai nibbāna setelah meninggal, putra mahkota adalah Rāhula, dan Arindama adalah saya sendiri.”

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 5

 

 

Tagged ,

MAHĀ BODHI JĀTAKA

“Apa arti dari benda-benda ini,” dan seterusnya.

Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang kesempurnaan dalam kebijaksanaan. Kisahnya berhubungan di dalam Mahāummagga-Jātaka. Sekarang dalam kisah ini, Sang Guru berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau, Tathāgata adalah yang bijaksana dan mengalahkan para penganut pandangan salah (pembantah),” dan dengan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

Dahulu kala, pada masa pemerintahan Brahmadatta, Bodhisatta terlahir di Benares dalam Kerajaan Kasi, di keluarga seorang brahmana yang kaya raya, yang memiliki kekayaan sebesar delapan ratus juta, dan mereka memberinya nama Bodhi. Ketika dewasa, ia diajari semua cabang ilmu pengetahuan di Takkasilā, dan sekembalinya ke rumah, ia hidup dalam lingkungan kehidupan rumah tangga. Seiring berjalannya waktu, dengan tujuan untuk melenyapkan kesenangan indriawi yang buruk, ia pergi ke daerah pegunungan Himalaya dan menjalani kehidupan suci dari seorang petapa pengembara, tinggal di sana untuk waktu yang lama, bertahan hidup dengan memakan akar-akaran dan buah-buahan (yang tumbuh liar).

Pada musim hujan, ia turun gunung dan dengan berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, akhirnya ia tiba di Benares. Di sana ia mengambil tempat tinggalnya di dalam taman kerajaan. Keesokan harinya, sewaktu berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, dengan penampilannya sebagai seorang petapa pengembara, ia menghampiri gerbang istana. Raja yang sedang berdiri dekat jendela melihat dirinya, dan karena merasa senang dengan kelakuannya yang tenang, raja mempersilakan ia masuk ke dalam istananya dan duduk di dipan raja. Setelah perbincangan kecil yang ramah, raja mendengarkan pemaparan kebenaran dan kemudian mempersembahkan kepadanya berbagai jenis makanan lezat. Sang Mahasatwa menerima makanan tersebut dan berpikir, “Sesungguhnya istana raja ini penuh dengan kebencian dan terdapat musuh yang berlimpah ruah. Saya bertanya-tanya siapa gerangan yang akan menghilangkan rasa takut yang muncul dalam pikiranku?” Dan sewaktu melihat seekor anjing pemburu yang berwarna kuning kecoklatan, hewan kesayangan raja, yang berdiri di dekatnya, ia mengambil segenggam makanan dan membuat gerakan yang menunjukkan ia ingin untuk memberikannya kepada anjing itu.

Raja yang menyadari ini meminta pengawal untuk membawakan piring anjing itu dan memintanya untuk mengambil makanan itu kemudian memberikannya kepada anjing tersebut. Demikian Sang Mahasatwa memberikannya dan kemudian selesai bersantap. Setelah mendapatkan persetujuan darinya atas satu perencanaan, raja meminta anak buahnya untuk membangun sebuah gubuk daun untuknya di taman kerajaan di dalam kota, dan raja memintanya untuk tinggal di sana setelah memberikan kepadanya semua barang perlengkapan petapa. Dua atau tiga kali setiap harinya, raja datang untuk memberikan penghormatan kepadanya. Dan pada saat makan, Sang Mahasatwa tetap duduk di dipan raja dan saling berbagi makanan. Dengan keadaan demikian, dua belas tahun berlalu. Ketika itu, raja memiliki lima orang penasihat yang memberinya nasihat dalam masalah pemerintahan dan spiritual. Salah satu dari mereka membantah adanya akar penyebab (ahetukavāda). Yang kedua percaya bahwa segala hal adalah atas keinginan dari satu makhluk yang mahatinggi (issarakatavāda). Yang ketiga percaya dalam perbuatan telah terjadi sebelumnya (pubbekatavāda). Yang keempat percaya dalam pemusnahan setelah kematian (ucchedavāda). Yang kelima percaya dalam doktrin Kesatria (khattavijjavāda). Ia yang membantah adanya akar penyebab, mengajarkan orang-orang bahwa makhluk di dunia ini menjadi suci/bersih kembali oleh kelahiran kembali. Ia yang percaya dalam segala hal adalah atas keinginan dari satu makhluk mahatinggi, mengajarkan bahwa dunia ini diciptakan oleh dirinya.

Ia yang percaya dalam perbuatan masa lampau mengajarkan bahwa penderitaan atau kebahagiaan yang terjadi pada diri manusia di dunia ini adalah hasil dari perbuatan masa lampau. Yang percaya dalam pemusnahan setelah kematian mengajarkan bahwa tidak ada seorang pun yang terlahir kembali di alam manapun, melainkan kehidupan di dunia ini mengalami pemusnahan. Ia yang percaya dalam doktrin Kesatria mengajarkan bahwa keinginan seseorang harus dipenuhi meskipun harus dengan membunuh orang tuanya. Orang-orang ini ditunjuk untuk menduduki jabatan di pengadilan kerajaan, dan dikarenakan keserakahan akan uang suap, mereka merampas harta benda milik orang yang sah. Suatu hari ada seorang laki-laki, yang disalahkan dalam tindakan yang tidak benar dalam hukum, melihat Sang Mahasatwa masuk ke dalam istana untuk berpindapata, ia memberi hormat kepadanya dan memberitahukan penderitaannya dengan berkata, “Bhante, mengapa Anda, yang mengambil makananmu di dalam istana raja, menanggapi dengan ketidakpedulian atas tindakan dari para pejabat pengadilan yang dengan menerima uang suap menghancurkan kehidupan orang-orang? Baru saja kelima penasihat raja ini, setelah menerima suap dari seorang laki-laki yang melakukan perbuatan tidak benar, telah merampas harta benda milikku.” Maka Sang Mahasatwa, yang tergerak oleh rasa belas kasihan terhadap dirinya, pergi ke pengadilan dan dengan memberikan keputusan yang benar mengembalikan harta benda miliknya seperti sediakala. Orang-orang serempak bertepuk tangan dengan meriah atas tindakannya tersebut. Raja yang mendengar suara ribut itu menanyakan apa maksudnya itu, dan ketika diberitahukan jawabannya, ketika Sang Mahasatwa telah selesai bersantap, raja mengambil tempat duduk di sampingnya dan bertanya, “Apakah benar, Bhante, seperti yang mereka katakan, bahwasannya Anda telah memutuskan suatu perkara di pengadilan?” “Benar, Paduka.” Raja berkata, “Akan menjadi suatu keuntungan bagi banyak orang jika Anda yang memutuskan perkara. Mulai saat ini, Anda harus menduduki jabatan di pengadilan.” “Paduka,” jawabnya, “Kami adalah para petapa. Ini bukanlah urusan kami.” “Bhante, Anda harus melakukannya atas dasar rasa belas kasihan terhadap orang-orang. Anda tidak perlu menjadi hakim sepanjang hari, tetapi ketika Anda datang ke sini dari taman, pergilah sewaktu fajar pagi ke pengadilan dan adili empat perkara, kemudian kembali ke taman dan setelah selesai bersantap, adili empat perkara lagi; Dengan cara ini orang-orang akan memperoleh keuntungan.”

Setelah secara berulang-ulang diminta kesediaannya, ia pun menyetujuinya dan sejak saat itu ia bertindak dengan benar. Mereka yang melakukan perbuatan yang tidak benar, tidak menemukan peluang lebih lanjut lagi, dan para penasihat yang tidak lagi mendapatkan uang suap berada dalam keadaan yang buruk dan berpikir, “Sejak si Petapa Pengembara Bodhi ini menduduki jabatan di pengadilan, kita tidak mendapatkan apa pun sama sekali.” Dan dengan menyebutnya sebagai musuh raja, mereka berkata, “Ayo, mari kita rusak nama baiknya di hadapan raja dan menyebabkan kematiannya.” Maka dengan menghampiri raja, mereka berkata, “Paduka, Petapa Pengembara Bodhi ingin mencelakaimu.” Raja tidak memercayai mereka dan berkata, “Tidak, ia adalah seorang yang baik dan terpelajar. Ia tidak akan melakukan hal yang demikian.”

“Paduka,” mereka membalas, “semua penduduk menjadi pengikutnya. Tinggal kami berlima yang tidak dapat ia kendalikan. Jika Anda tidak memercayai kami, di saat ia datang nanti, perhatikanlah pengikutnya.” Raja setuju untuk melakukan demikian, dan dengan berdiri di jendelanya, raja mengawasi kedatangannya dan ketika melihat kerumunan penuntut yang mengikuti Bodhi tanpa sepengetahuannya, raja berpikir bahwa mereka itu adalah rombongannya, dan dengan memiliki prasangka buruk terhadap dirinya, raja memanggil para penasihatnya dan bertanya, “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” “Tangkap ia, Paduka,” kata mereka. “Jika kita tidak melihat pelanggaran buruk yang dilakukannya,” kata raja, “Bagaimana kita dapat menahan dirinya?” “Baiklah kalau begitu, kurangi kehormatan yang biasa diberikan kepadanya, dan ketika melihat kurangnya kehormatan ini, dikarenakan menjadi seorang petapa yang bijaksana, ia akan pergi dengan sendirinya tanpa berkata apa pun kepada siapa pun.” Raja setuju dengan saran ini dan secara berangsur-angsur mengurangi kehormatan yang diberikan kepadanya. Pada hari pertama, mereka memberikannya dipan tanpa alas. Ia memperhatikannya dan segera mengetahui bahwa ia telah difitnah terhadap raja, dan sekembalinya ke taman, ia berpikir untuk pergi pada hari itu juga, tetapi kemudian ia berpikir, “Di saat saya mengetahui kepastian ini, baru saya akan pergi,” dan ia pun tidak jadi pergi. Maka keesokan harinya ketika ia duduk di dipan tanpa alas, mereka datang dengan membawa makanan (yang disiapkan) untuk raja dan makanan yang lainnya juga, dan memberikan kepadanya campuran dari kedua jenis makanan tersebut. Pada hari ketiga mereka tidak membolehkannya mendekati dipan, tetapi menempatkan dirinya di ujung tangga dan mempersembahkan kepadanya makanan campuran tersebut. Ia mengambilnya dan pulang kembali ke taman untuk menyantap makanannya di sana.

Pada hari keempat, mereka menempatkan dirinya di bawah, teras, dan memberikan kepadanya bubur yang tercampur dengan sekam, dan ini juga dibawanya ke taman dan membuat makanannya di sana. Raja berkata, “Walaupun kehormatan yang diberikan kepadanya telah dikurangi, tetapi Petapa Bodhi tidak juga pergi. Apa yang harus kita lakukan?” “Paduka,” kata mereka, “Ia datang ke sini bukanlah untuk mendapatkan derma makanan, tetapi untuk mendapatkan kekuasaan. Jika ia memang datang hanya untuk memperoleh derma makanan, ia pasti sudah pergi pada hari di saat ia tidak dihormati.” “Kalau begitu apa yang harus kita lakukan?” “Perintahkanlah kami untuk membunuhnya, Paduka.” Raja berkata, “Baiklah,” dan dengan menempatkan pedang di tangan orang-orang itu raja berkata, “Besok, di saat ia datang dan berdiri di pintu, penggal kepalanya dan hancurkan ia berkeping-keping, dan tanpa mengatakan apa pun kepada siapa pun buanglah jasadnya di tempat tumpukan kotoran, kemudian mandilah dan kembali ke sini.”

Mereka langsung menyetujuinya dan berkata, “Besok kami akan datang dan melakukan demikian,” dan setelah menyusun semua hal satu sama lain, mereka kembali ke rumah masing-masing. Raja juga setelah menyantap makan malam, berbaring di tempat tidur kerajaan dan teringat akan kebajikan dari Sang Mahasatwa. Segera kesedihan melandanya dan keringat bercucuran keluar dari tubuhnya, dan karena tidak mendapatkan kenyamanan di tempat tidurnya, ia berbaring ke sana dan ke sini dari satu sisi ke sisi yang lain. Kala itu, permaisuri tidur di sampingnya, tetapi ia tidak mengatakan sepatah kata pun kepadanya. Maka permaisuri bertanya kepadanya, “Bagaimana bisa, Paduka, Anda tidak berbicara sepatah kata pun kepadaku? Apakah saya telah berbuat kesalahan kepadamu secara tidak disengaja?” “Tidak, Ratu,” katanya, “tetapi mereka mengatakan kepadaku bahwa si Petapa Bodhi telah menjadi seorang musuh kita. Saya telah memerintahkan lima penasihatku untuk membunuhnya besok.

Setelah membunuhnya, mereka akan memotongnya menjadi hancur berkeping-keping dan membuangnya di tempat tumpukan kotoran. Tetapi selama dua belas tahun ia telah mengajarkan kepada kita tentang banyak kebenaran. Tidak ada satu kesalahan pun dalam dirinya yang benar-benar saya lihat dengan jelas sebelumnya, melainkan karena omongan dari orang lain saya telah menurunkan perintah untuk membunuhnya, dan inilah alasan mengapa saya bersedih.” Kemudian ratu menghibur dirinya dengan berkata, “Paduka, jika ia adalah musuhmu, mengapa Anda bersedih untuk membunuhnya? Keselamatanmu harus dijaga, meskipun musuh yang Anda harus bunuh itu adalah putramu sendiri. Jangan terlalu memikirkannya.” Raja menjadi yakin kembali dengan perkataan ratu dan kemudian tidur. Pada waktu itu, anjing pemburu yang berwarna kuning kecoklatan tersebut mendengar pembicaraan mereka dan berpikir, “Besok dengan kekuatan diriku sendiri, saya harus menyelamatkan nyawa orang ini.” Maka pagi-pagi keesokan harinya, anjing itu turun dari teras, menuju ke pintu utama dan berbaring dengan kepalanya di ambang pintu sambil memperhatikan jalan yang akan dilalui oleh Sang Mahasatwa. Sedangkan para penasihat, dengan pedang di tangan mereka, datang pada pagi-pagi sekali dan mengambil posisi di balik pintu itu. Dan Bodhi yang datang tepat waktu dari taman mendekat ke arah pintu istana tersebut. Kemudian anjing pemburu itu yang melihat dirinya, membuka mulutnya dan menunjukkan empat gigi besarnya dan berpikir, “Mengapa, Bhante, Anda tidak berkeliling untuk mencari derma makanan di tempat yang lain di India? Raja kami telah menempatkan lima penasihat yang dipersenjatai dengan pedang di balik pintu ini untuk membunuhmu. Janganlah datang untuk menerima kematian sebagai nasibmu, tetapi cepat pergilah,” dan ia menyalak dengan keras. Dari pengetahuannya atas arti dari semua jenis suara, Bodhi mengerti akan permasalahannya dan kembali ke taman dan mengambil semua yang diperlukan untuk perjalanannya. Raja yang berdiri di jendelanya, ketika ia mengetahui Bodhi tidak datang, berpikir, “Jika orang ini adalah musuhku, ia akan kembali ke taman dan mengumpulkan semua kekuatan pasukannya dan akan bersiap untuk bertempur. Tetapi jika sebaliknya, ia pasti akan mengambil semua yang ia perlukan dan bersiap untuk pergi. Saya akan mencari tahu apa yang ia kerjakan.” Dan setelah pergi ke taman, raja menemukan Sang Mahasatwa keluar dari gubuk daunnya dan dengan semua barang perlengkapannya di ujung beranda, bersiap untuk pergi, dan setelah memberi hormat, raja berdiri di satu sisi dan mengucapkan bait pertama berikut:

Apa arti dari benda-benda ini, tongkat, jubah kulit

(antelop), payung, sandal, galah, patta, dan jubah luar

(sangghati)?

Saya ingin untuk dapat mengerti mengapa dengan

tergesa-gesa Anda akan pergi dan ke mana.

Ketika mendengar ini, Sang Mahasatwa berpikir, “Saya

rasa ia tidak mengerti apa yang telah dilakukannya. Saya akan

membuatnya mengerti.” Dan ia mengucapkan dua bait kalimat

berikutnya:

Selama dua belas tahun yang panjang ini saya telah

tinggal, wahai raja, di dalam taman kerajaanmu;

Tidak pernah sekalipun sebelumnya anjing pemburu ini

menyalak.

Hari ini ia menunjukkan giginya yang begitu putih,

bersifat menantang dan angkuh, dan karena telah

mendengar apa yang Anda bicarakan dengan ratu, untuk

memperingatkan diriku, ia menyalak dengan keras.

Kemudian raja mengakui kesalahannya, dan meminta

maaf, mengucapkan bait keempat berikut:

Saya telah melakukan perbuatan buruk:

Tujuanku adalah untuk membunuhmu.

Tetapi sekarang saya memohon kepadamu sekali lagi,

dan ingin sekali untuk memintamu tetap tinggal di sini.

Mendengar ini, Sang Mahasatwa berkata, “Sebenarnya,

Paduka, orang bijak tidak tinggal dengan seseorang yang tanpa

melihat sesuatu dengan matanya sendiri langsung memercayai

omongan orang lainnya,” dan setelah berkata demikian, ia

memaparkan perbuatan buruknya dan berkata demikian:

Mulanya makananku berwarna putih bersih, berikutnya

beraneka ragam warna, kemudian berwarna merah;

Sudah seharusnya lah saya pergi di saat seperti ini.

Mulanya di dipan (atas), berikutnya di tangga (tengah),

kemudian di teras (bawah);

Sebelum saya diseret keluar dengan ditarik pada bagian

leher dan dipenggal, saya akan mengundurkan diri.

Jangan berteman dengan seorang yang tak setia: ia itu

seperti sebuah sumur kering; Betapa dalamnya pun

seseorang menggali, air yang dikeluarkannya tetap kotor

(berlumpur).

Bersahabatlah dengan teman yang setia, jauhilah teman

yang tak setia; seperti orang kehausan yang bergegas ke

sebuah kolam, demikianlah seharusnya kita mengejar

seorang teman yang setia.

Eratlah dengan teman yang setia padamu, balaslah cinta

kasihnya dengan cinta kasih juga;

Orang yang meninggalkan seorang teman setia adalah

orang yang menyedihkan.

Barang siapa yang tidak bersahabat erat dengan

seorang teman setia, juga tidak membalas cinta kasihnya

dengan cinta kasih, maka ia adalah orang yang paling

buruk, bahkan tidak berada di atas peringkat dari

bangsa kera.

Terlalu sering berjumpa sama buruknya dengan sama

sekali tidak pernah berjumpa;

Meminta hadiah kecil terlalu awal—ini juga dapat

menyebabkan hilangnya cinta kasih.

Kunjungilah teman, tetapi jangan terlalu sering, jangan

pula tinggal terlalu lama;

Pada waktu tepat meminta hadiah: demikian cinta kasih

tidak akan hilang.

Barang siapa yang tinggal terlalu lama (bersama teman)

sering kali mendapatkan kawan berubah menjadi lawan;

Demikianlah sebelumnya saya kehilangan

persahabatanmu, saya akan berangkat dan pergi.

Raja berkata:

Meskipun dengan tangan terlipat (sikap anjali) saya

memohon, Anda tidak akan mendengarkanku, Anda

tidak mempunyai kata-kata lagi bagi kami yang

menghargai jasamu,

Saya memohon satu hal, datanglah lagi

dan berkunjung ke sini.

Bodhisatta berkata:

Jika tidak ada yang mengambil kehidupan kita, wahai

raja, jika saya dan Anda masih hidup, wahai pemimpin

kerajaan, mungkin saya akan datang ke sini, dan kita

dapat berjumpa kembali, seperti siang dan malam yang

datang silih berganti.

Demikianlah Sang Mahasatwa mengkhotbahkan kebenaran kepada raja, ditambah dengan berkata, “Waspadalah (jangan lengah), Paduka.” Setelah meninggalkan taman dan berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, ia pun meninggalkan Benares dan secara berangsur-angsur akhirnya tiba di suatu tempat di daerah Himalaya. Setelah tinggal beberapa lama di sana, ia turun gunung dan berdiam di dalam hutan dekat suatu desa perbatasan. Segera setelah ia pergi, para penasihat tersebut kembali menduduki pengadilan, merampas penduduk, dan mereka berpikir, “Jika Petapa Pengembara Mahābodhi (Mahabodhi) datang kembali, kita akan kehilangan mata pencaharian kita. Apa yang harus dilakukan untuk mencegah kedatangannya kembali?” Kemudian ini muncul di dalam pikiran mereka, “Orang-orang demikian ini tidak bisa meninggalkan benda yang memikat hatinya. Apa kira-kira yang mungkin menjadi benda itu di sini yang dapat memikat hatinya?”

Kemudian dengan merasa yakin bahwa benda itu adalah permaisuri raja, mereka berpikir, “Ini adalah alasannya mengapa ia akan datang kembali ke sini. Kita akan mendahului mereka dan membunuh ratu.” Dan mereka mengatakan ini kepada raja, dengan berkata, “Paduka, hari ini ada satu berita hangat yang tersebar di kota.” “Berita apa?” katanya. “Petapa Pengembara Mahabodhi dan permaisuri saling mengirim pesan.” “Atas masalah apa?” “Pesan darinya kepada ratu, dikatakan, adalah ini, ‘Apakah Anda mampu membunuh raja dengan kekuatanmu sendiri dan memberikan payung putih kepadaku?’ Pesan dari permaisuri kepadanya adalah, ‘Serahkanlah tugas kematian raja padaku. Anda cepat datang ke sini.’ ” Mereka secara terus-menerus mengulangi ini sampai raja memercayainya dan bertanya, “Kalau begitu apa yang harus dilakukan?” Mereka menjawab, “Kita harus membunuh permaisuri.” Dan tanpa

menyelidiki kebenaran masalahnya, raja berkata, “Baiklah kalau begitu, bunuh permaisuri. Setelah memotong tubuhnya menjadi hancur berkeping-keping, buanglah di tempat tumpukan kotoran.”

Mereka pun melakukan demikian, dan berita kematian ratu tersebar luas di seluruh kota. Kemudian keempat putra ratu berkata, “Meskipun tidak bersalah, tetapi ibu kita dibunuh oleh orang ini,” mereka pun menjadi musuh raja. Dan raja menjadi amat cemas. Seiring berjalannya waktu, Sang Mahasatwa mendengar apa yang telah terjadi dan berpikir, “Selain diriku, tidak ada orang lain yang dapat menenangkan pangeran-pangeran ini dan membujuk mereka untuk memaafkan ayah mereka. Saya akan menyelamatkan nyawa raja dan membebaskan pangeran-pangeran muda ini dari niat mereka melakukan perbuatan buruk.” Maka pada keesokan harinya, ia masuk ke sebuah desa perbatasan dan setelah memakan daging kera yang diberikan kepadanya oleh para penduduk desa tesebut, ia meminta kulit kera tersebut yang kemudian dikeringkan di dalam gubuknya sampai hilang bau-nya dan dijadikan sebagai satu jubah dalam dan satu jubah luar yang disampirkan pada bahunya. Mengapa ia melakukan hal demikian? Ia berkata, “Ini sangatlah berguna bagiku.” Dengan membawa kulit itu bersamanya, secara berangsur-angsur ia menuju ke Benares dan setelah menghampiri para pangeran muda tersebut, ia berkata kepada mereka, “Membunuh ayah (kandung) adalah suatu pelanggaran berat. Kalian tidak boleh melakukan ini. Tidak ada manusia yang terbebas dari usia tua dan kematian. Saya datang ke sini untuk mendamaikan kalian. Di saat saya mengirim pesan nanti, kalian harus datang kepadaku.”

Setelah demikian menasihati para pangeran muda itu, ia masuk ke taman kerajaan dan duduk pada satu papan batu, dengan terlebih dahulu membentangkan kulit kera tersebut di atasnya. Ketika penjaga taman melihatnya, ia bergegas pergi untuk memberitahu raja. Mendengar ini, raja diliputi oleh kegembiraan dan dengan membawa serta para penasihat tersebut bersamanya, ia pergi memberi hormat kepada Sang Mahasatwa dan setelah duduk, ia mulai untuk berbincang dengan bahagianya kepadanya. Tanpa membalas salam yang diberikan kepadanya, Sang Mahasatwa hanya mengelus-elus kulit kera tersebut. Raja berkata, “Bhante, tanpa mengucapkan sepatah kata, Anda cuma mengelus kulit kera itu. Apakah ini lebih berharga bagimu dibandingkan diriku?” “Ya, Paduka, kera ini memberikan pelayanan terbesar kepada diriku. Saya bepergian dengan duduk pada punggungnya. Ia membawakan kendi airku. Ia membersihkan tempat tinggalku. Ia melakukan berbagai pekerjaan kecil untukku. Dikarenakan kepolosannya, saya (dapat) memakan dagingnya dan setelah mengeringkan kulitnya, saya membentangkannya dan duduk serta berbaring di atasnya. Jadi ia sangatlah berguna bagiku.” Demikianlah untuk membantah ajaran (pandangan) para penganut pandangan salah itu, ia mempersalahkan perbuatan seekor kera sehingga menjadi kulit kera, dan ia berbicara dengan objek ini seolah-olah seperti ia sendiri yang melakukannya. Dikarenakan perbuatannya yang mengenakan kulit kera itu, ia berkata, “Saya bepergian dengan duduk pada punggung kera ini.” Dikarenakan perbuatannya yang menyampirkan kulit kera itu pada bahunya dan dengan cara demikian membawa kendi airnya, ia berkata, “Kera ini membawakan kendi airku.” Dikarenakan ia membersihkan lantai dengan kulit kera itu, ia berkata, “Kera ini membersihkan tempat tinggalku.” Karena punggungnya tersentuh oleh kulit kera itu di saat ia berbaring, dan karena kulit kera itu menyentuh kakinya di saat ia berdiri, ia berkata, “Kera ini melakukan berbagai pekerjaan kecil ini untukku.” Dikarenakan ia memakan daging kera itu di saat ia merasa lapar, ia berkata, “Karena ia adalah satu makhluk yang demikian polos, maka saya memakan dagingnya.” Ketika mendengar hal ini, para penasihat tersebut berpikir, “Orang ini melakukan pembunuhan. Coba pikirkan perbuatan dari pabbajita ini: ia mengatakan ia membunuh seekor kera, memakan dagingnya dan pergi ke sana dan ke sini dengan kulitnya,” dan sambil bertepuk tangan, mereka mengolok-olok dirinya. Ketika melihat mereka melakukan ini, Sang Mahasatwa berkata, “Orang-orang ini tidak tahu bahwa saya datang dengan kulit kera ini untuk membuktikan kesalahan pandangan mereka. Saya tidak akan memberitahu mereka.” Dan untuk menyapa ia yang membantah adanya akar penyebab, pabbajita itu berkata, “Āvuso, mengapa Anda menyalahkan saya?” “Karena Anda telah bersalah atas suatu tindakan pengkhianatan terhadap seorang teman, dan atas pembunuhan.” Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Jika seseorang percaya kepadamu dan ajaranmu, kemudian bertindak sesuai dengan itu, perbuatan buruk apa yang telah dilakukannya?” Dan untuk membuktikan kesalahan ajarannya, ia berkata:

Jika ini adalah ajaranmu, ‘Semua perbuatan manusia,

yang baik maupun yang buruk, muncul secara alamiah,’

Di manakah perbuatan buruk dapat menemukan

tempatnya dalam hal perbuatan yang buruk?

Jika demikian ini yang Anda anut dan ini benar, maka

perbuatanku juga tidak salah di saat saya membunuh

kera itu.

Jika Anda dapat melihat betapa salahnya pandanganmu,

Anda tidak akan lagi menyalahkan perbuatanku dengan

alasan itu.

Demikianlah Sang Mahasatwa mengecamnya dan membuatnya membisu. Raja, yang menjadi galau atas kecaman di hadapan banyak orang, jatuh tidak berdaya dan terduduk. Setelah membuktikan kesalahan pandangan yang pertama, Sang Mahasatwa menyapa ia yang percaya bahwa segala hal adalah atas keinginan dari satu makhluk yang mahatinggi, dan berkata, “Āvuso, mengapa Anda menyalahkan diriku jika Anda benar-benar berpegangan pada pandangan yang mengatakan bahwa segala hal adalah atas keinginan dari satu makhluk yang mahatinggi?” Dan ia mengucapkan bait berikut:

Jika benar ada seorang makhluk kuat yang mahakuasa

untuk memberikan, dalam kehidupan semua makhluk,

kebahagiaan atau penderitaan, dan perbuatan baik atau

buruk, maka Tuan itu telah ternoda oleh perbuatan buruk;

Manusia hanya berbuat atas (sesuai dengan)

keinginannya.

Jika demikian ini yang Anda anut dan ini benar, maka

perbuatanku juga tidak salah di saat saya membunuh

kera itu.

Jika Anda dapat melihat betapa salahnya pandanganmu,

Anda tidak akan lagi menyalahkan perbuatanku dengan

alasan itu.

Demikianlah, seperti seseorang yang menyodok jatuh

buah mangga dengan batang kayu yang diambil dari pohon

mangga itu sendiri, ia membuktikan kesalahan pandangan orang

tersebut, yang percaya dalam segala hal adalah atas keinginan

suatu makhluk mahatinggi, dengan ajaran dari orang itu sendiri.

Dan kemudian ia demikian menyapa orang yang percaya dalam hal-hal yang telah terjadi sebelumnya, dengan berkata, “Āvuso, mengapa Anda menyalahkan diriku jika Anda percaya dalam kebenaran dari ajaran bahwa semuanya telah terjadi sebelumnya?” Dan ia mengucapkan bait berikut:

Hal-hal yang telah terjadi sebelumnya menimbulkan

kebahagiaan dan penderitaan; Kera ini membayar

utangnya, untuk melunasi perbuatan buruk terdahulunya:

Setiap perbuatan melunasi utangnya. Kalau begitu, dari

mana kesalahan itu datang?

Jika demikian ini yang Anda anut dan ini benar, maka

perbuatanku juga tidak salah di saat saya membunuh

kera itu.

Jika Anda dapat melihat betapa salahnya pandanganmu,

Anda tidak akan lagi menyalahkan perbuatanku dengan

alasan itu.

Setelah demikian membuktikan kesalahan pandangan dari orang tersebut, kemudian ia beralih kepada orang yang percaya dalam pemusnahan dan berkata, “Āvuso, Anda menganut pandangan bahwa tidak ada ganjaran dan sebagainya, dengan percaya bahwa semua makhluk hidup mengalami pemusnahan di kehidupan ini, dan bahwa tidak ada seorang pun yang terlahir kembali di kehidupan berikutnya. Kalau begitu, mengapa Anda menyalahkan diriku?” Dan untuk mengecamnya, ia berkata:

Makhluk hidup terdiri atas empat unsur;

Setiap bagian dari elemen ini akan lenyap di saat badan

jasmani hancur terurai.

Orang yang meninggal tidak akan terlahir lagi dan orang

yang hidup masih menjalankan kehidupannya;

Jika dunia ini (kehidupan ini) hancur, baik orang-orang

bijak maupun orang-orang dungu akan musnah:

Di tengah-tengah kehidupan yang akan hancur ini (tidak

ada kehidupan berikutnya), noda kesalahan dari

perbuatan buruk tak akan mengotori apa pun.

Jika demikian ini yang Anda anut dan ini benar, maka

perbuatanku juga tidak salah di saat saya membunuh

kera itu.

Jika Anda dapat melihat betapa salahnya pandanganmu,

Anda tidak akan lagi menyalahkan perbuatanku dengan

alasan itu.

Demikianlah ia membuktikan kesalahan pandangan dari orang ini juga, dan kemudian untuk menyapa orang yang percaya dalam doktrin Kesatria, ia berkata, “Āvuso, Anda mengajarkan bahwa seseorang harus dapat memenuhi keinginannya sendiri, bahkan meskipun ia harus membunuh ayah dan ibunya sendiri. Jika Anda mengajarkan pandangan ini, mengapa Anda menyalahkan diriku?” Dan ia mengucapkan syair berikut:

Para penganut doktrin kesatria, orang dungu yang

merasa dirinya cendekia, mengatakan seseorang boleh

saja membunuh kedua orang tuanya, atau saudarasaudaranya,

anak, istri, jika hal itu memang diperlukan.

Demikianlah ia menentang pandangan dari orang ini

juga, dan memaklumkan pandangannya, ia melanjutkan berkata:

‘Di bawah satu pohon rindang seseorang duduk berteduh

dan beristirahat; Adalah merupakan suatu tindak

pengkhianatan bila ia mematahkan satu cabangnya.

Kita tidak menyukai teman yang tidak setia.

Tetapi kemudian ketika keadaan lain muncul, pohon itu

dicabut (ditebang sampai ke akarnya).’

Kera tersebut juga mati disembelih, untuk memenuhi

kebutuhanku.

Jika demikian ini yang Anda anut dan ini benar, maka

perbuatanku juga tidak salah di saat saya membunuh

kera itu.

Jika Anda dapat melihat betapa salahnya pandanganmu,

Anda tidak akan lagi menyalahkan perbuatanku dengan

alasan itu.

Demikianlah ia membuktikan kesalahan pandangan dari orang ini juga, dan di saat kelima penganut pandangan salah ini tercengang bingung dan duduk membisu, untuk menyapa sang raja, ia berkata, “Paduka, orang-orang ini yang selalu bersamamu adalah pencuri besar yang menjarah kerajaanmu. Oh, Anda adalah orang dungu, orang yang bergaul dengan orang-orang yang seperti ini baik dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan berikutnya akan memperoleh penderitaan yang besar,” dan setelah berkata demikian, ia memaparkan kebenaran kepada raja dan berkata:

Orang yang ini menganut tidak ada akar penyebab, yang

lain menganut adanya makhluk mahatinggi, yang lainnya

menganut hal-hal yang telah terjadi sebelumnya,

berikutnya menganut semuanya akan musnah dalam

satu kehidupan ini, yang terakhir menganut doktrin

Kesatria.

Orang-orang demikian ini adalah orang-orang dungu

yang berpikir bahwa mereka itu cendekia;

Mereka adalah orang-orang jahat yang melakukan

perbuatan buruk terhadap diri sendiri dan orang lain,

pandangan salah menyebabkan penderitaan dan

hukuman berat.

Kemudian dengan perumpamaan, untuk menambah

uraian kebenarannya, ia berkata:

Seekor serigala menyamar sebagai domba jantan di

masa lampau, mendekati kawanan domba tanpa

dicurigai.

Kawanan domba yang menjadi panik dibunuhnya,

kemudian berlari cepat ke padang rumput yang baru.

Demikian juga para petapa dan brahmana yang sering

menggunakan pakaian (penampilannya) untuk

mengelabui orang-orang yang mudah percaya.

Sebagian berbaring tanpa alas di tanah yang kotor,

sebagian berpantang makan, sebagian lagi menahan

sakit lainnya.

Sebagian tidak minum, sebagian makan dengan

peraturan, masing-masing bersikap seperti orang suci,

orang dungu yang kejam itu.

Orang-orang demikian ini adalah orang-orang dungu

yang berpikir bahwa mereka itu cendekia;

Mereka adalah orang-orang jahat yang melakukan

perbuatan buruk terhadap diri sendiri dan orang lain,

pandangan salah menyebabkan penderitaan dan

hukuman berat.

Ia yang mengatakan, ‘Tidak ada yang muncul dalam hal

apa pun,’ membantah adanya akar penyebab,

menganggap perbuatan mereka sendiri dan orang lain

sebagai hal yang tidak ada hasilnya, wahai raja,

Orang-orang demikian ini adalah orang-orang dungu

yang berpikir bahwa mereka itu cendekia;

Mereka adalah orang-orang jahat yang melakukan

perbuatan buruk terhadap diri sendiri dan orang lain,

pandangan salah menyebabkan penderitaan dan

hukuman berat.

Jika tidak ada yang muncul dalam hal (perbuatan) apa

pun, yang baik atau yang buruk, mengapa seorang raja

harus mempekerjakan para tukang untuk mendapatkan

keuntungan dari keahlian mereka?

Dikarenakan ada yang muncul dan perbuatan itu ada

yang baik dan yang buruk, maka raja mempekerjakan

para tukang dan mendapatkan keuntungan dari keahlian

mereka.

Jika selama ratusan tahun tidak ada hujan atau salju

yang turun, maka kita, di tengah satu kehidupan yang

akan hancur, akan musnah selamanya.

Tetapi karena adanya hujan dan salju yang turun,

memastikan tahun yang terus berganti, sehingga hasil

panen dan tanah bertahan untuk waktu yang lama dan

panjang.

Sapi yang mengambil jalan berliku-liku di dalam banjir,

dan seterusnya120.

Barang siapa yang memetik buah sebelum buah itu

matang di pohon, akan membuat benihnya hancur dan

tidak akan pernah tahu bagaimana manisnya buah

tersebut.

Demikianlah ia, yang dengan menggunakan aturan yang

tidak benar, telah menghancurkan buah-buah manis

yang muncul dari kebenaran yang tidak pernah dinikmati

sekalipun.

Tetapi barang siapa yang membiarkan buah itu matang

di pohonnya sebelum dipetik, akan melindungi benihnya

dan mengetahui dengan amat baik bagaimana manisnya

buah tersebut.

Demikian juga ia, yang dengan menggunakan aturan

yang benar, telah melindungi kerajaannya, dapat

memahami dengan benar bagaimana manisnya buah

dari kebenaran.

Raja yang memerintah kerajaannya dengan tidak benar

tidak akan memiliki dan menderita kerugian pada

tanaman dan herba, atau apa pun yang tanah (kerajaan)

itu hasilkan.

Demikianlah jika ia menghancurkan rakyatnya dengan

merampas, maka satu sumber pendapatan yang tidak

benar akan menyebabkan keuangannya habis.

Dan jika ia menyalahkan pasukannya yang gagah berani,

yang demikian ahli dalam pertempuran, maka

pasukannya akan berpaling darinya dan menggulingkan

kekuasaannya.

Demikianlah jika melukai resi atau orang-orang yang

menapaki kehidupan suci, maka ia akan mendapatkan

ganjaran yang sesuai:

Dan dikarenakan perbuatan buruknya itu, ia akan

terhalang untuk masuk ke alam surga, betapa pun

tingginya status kelahiran dirinya.

Dan jika seorang istri, meskipun tidak bersalah, dibunuh

oleh raja yang kejam, maka ia akan menimbulkan

penderitaan bagi anak-anaknya dan tersiksa kesakitan di

alam neraka.

Berikanlah perlakuan benar kepada penduduk kota dan

desa, dan perlakukan para pasukanmu dengan baik,

bersikaplah yang baik kepada anak dan istri, dan

janganlah melukai para resi (petapa suci).

Seorang pemimpin kerajaan yang demikian ini, wahai

raja, jika bebas dari semua nafsu keinginan, seperti

Dewa Indra, pemimpin para asura, akan memerangi

keburukan di mana saja.

Setelah demikian memaparkan kebenaran kepada raja, Sang Mahasatwa memanggil keempat pangeran muda tersebut dan menasihati mereka, dengan menjelaskan perbuatan raja kepada mereka, dan berkata, “Minta maaflah kepada raja,” dan setelah membujuk raja untuk memaafkan mereka, ia berkata, “Paduka, mulai saat ini, jangan menerima pernyataan dari para penghasut tanpa menyelidiki perkataan mereka, dan jangan melakukan kesalahan atas perbuatan buruk yang sama lagi. Dan kepada kalian, Para Pangeran Muda, jangan melakukan tindak pengkhianatan terhadap raja,” dan demikianlah ia menasihati mereka semuanya. Kemudian raja berkata kepadanya, “Bhante, dikarenakan orang-orang ini saya telah melakukan perbuatan buruk terhadap Anda dan permaisuri, dan karena menerima hasutan mereka, saya melakukan perbuatan buruk ini. Saya akan membunuh mereka berlima.” “Paduka, Anda tidak boleh melakukan ini.” “Kalau begitu, saya akan memerintahkan untuk memotong kaki dan tangan mereka.”

“Anda juga tidak boleh melakukan ini.” Raja menyetujuinya dengan berkata, “Baiklah,” dan ia mengambil semua harta benda mereka dan membuat mereka malu dengan cara yang beraneka ragam, dengan membuat rambut mereka menjadi berkucir lima, dengan mengikat mereka menggunakan belenggu dan rantai, dan dengan menyiramkan kotoran sapi pada mereka, ia mengusir mereka keluar dari kerajaannya. Setelah tinggal selama beberapa hari di sana, memberikan wejangan kepada raja, dengan memintanya untuk tetap waspada, Bodhisatta berangkat ke pegunungan Himalaya dan mengembangkan kesaktian yang timbul dari meditasi jhana, dan hidup dengan mengembangkan kediaman luhur (brahmavihāra), ia pun menjadi penghuni alam brahma.

Sang Guru mengakhiri uraian-Nya di sini dan setelah berkata, “Bukan hanya kali ini, Para Bhikkhu, tetapi juga di masa lampau, Tathāgata adalah yang bijaksana dan mengalahkan para pembantah,” demikian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, kelima penganut pandangan salah itu adalah Purāṇa Kassapa, Makkhali Gosāla, Pakudha Kaccāna, Ajita Kesakambalī, Nigaṇṭha Nāthaputta, anjing kuning kecoklatan itu adalah Ānanda, dan Petapa Pengembara Mahabodhi (Mahābodhi) adalah saya sendiri.

*****

Sumber: ITC, Jataka Vol. 5

 

 

Tagged ,